Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PASCA DIKLAT ANESTESI

GENERAL ANESTESI

OLEH :

1. Dian Yadnya Purnama Dewi


2. I Kadek Sundara Yoga Pranata
3. I Pt Arya Shindu Sadhu
4. I Putu Eka Semara Jaya
5. I Putu Riza Pradipta Guna
6. I Wayan Agus Sri Suhartajaya
7. I Made Bayu Prayoga
8. Ni Dwi Anggraeni Wulandari

SURYA HUSADHA HOSPITAL

UNIT KAMAR OPERASI

2015
PEMBAHASAN MATERI
ANESTESI UMUM

A. DEFINISI
Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran
dan bersifat pulih kembali (reversible).
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang dihasilkan ketika
pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pada pasien
yang dilakukan anestesi dapat dianggap berada dalam keadaan ketidaksadaran yang terkontrol dan
reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang dapat
menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan fisiologis tubuh
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan. Komponen anestesi yang ideal
terdiri dari: Hipnotik, Analgetik,Relaksasi otot.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk memungkinkan
akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi. Satu hal yang perlu dicatat
adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi
klinis pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.

B. KEUNTUNGAN ANESTESI UMUM


1. Membuat pasien lebih tenang
2. Untuk operasi yang lama
3. Dilakukan pada kasus-kasus yang memiliki alergi terhadap agen anestesia lokal
4. Dapat dilakukan tanpa memindahkan pasien dari posisi supine (terlentang)
5. Dapat dilakukan prosedur penanganan (pertolongan) dengan cepat dan mudah pada waktu-
waktu yang tidak terprediksi

C. KERUGIAN ANESTESI UMUM


1. Membutuhkan pemantauan ekstra selama anestesi berlangsung
2. Membutuhkan mesin-mesin yang lengkap
3. Dapat menimbulkan komplikasi yang berat, seperti : kematian, infark myokard, dan
stroke
4. Dapat menimbulkan komplikasi ringan s eperti : mual, muntah,sakit tenggorokkan,
sakit kepala. Resiko terjadinya komplikasi pada pasien dengan anestesi umum adalah kecil,
bergantung beratnya kormobit penyakit pasiennya.
D. INDIKASI
1. Infant & anak usia muda
2. Dewasa yang memilih anestesi ummum
3. Pembedahannya luas / ekstensif
4. Penderita sakit mental
5. Pembedahan lama
6. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
7. Riwayat penderita alergi obat anestesi local
8. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia

E. KOMPLIKASI
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara lain: pembuluh darah,
dan intubasi.
a. Pembuluh Darah
Benzodiazepin dan kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebabkan tromboflebitis
dan infeksi.
b. Intubasi
Kerusakan pada bibir, gusi, dan gigi geligi dapat terjadi pada intubasi trachea.
2. Pernapasan
Yang paling ditakuti adalah obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah
induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat
timbul sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan kandungan
asam lambung.
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi, hipertensi, aritmia jantung,
dan payah jantung. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70
mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh
hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan reaksihipersensivitas obat
induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi. Hipertensi dapat meningkat pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesia dan hipnosis
yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak
adekuat. Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia,
tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan. Zat anestesi mengurangi
susunan kekebalan tubuh dan membuat pasien lebih mudah terkena infeksi yang mencakup
hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi menyebabkan penurunan suhu inti
tubuh. Selama pembedahan yang lama, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer tidak adekuat.

F. Komponen anestesi
Komponen anestesia yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : (1,2)

1. Hipnotik, Hipnotik didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran).
2. Analgesia, Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu
3. Relaksasi otot, Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga
akan mempermudah tindakan pembedahan.

G. Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter kedalam 4 stadium yaitu:
1. Stadium I (analgesi) dimuai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran
pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa
sakit). Tindakan pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini.
2. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleksi bulu
mata sampai pernapasan kembali teratur pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur,
kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin dan alvi
dan muntah. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.
3. Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan
hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
a. Plana I : pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola
mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.
b. Plana 2 : pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak terfiksasi ditengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan
intubasi.
c. Plana 3 : pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriassis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksaai
otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
d. Plana 4 : pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil
sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingterani dan kelenjar air mata tidak ada,
relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
4. Stadium IV (paralisis medulla oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut
jantung berhenti dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

H. Metode pemberian anestesi umum


Metode pemberian anestesi umum dapat dulihat dari cara pemberian obat, terdapat 3 cara
pemberian obat pada anestesi umum:
1. Parenteral
Anestesi umum yang diberikan secara parentral baik intravena maupun intramuskuler
biasanya digunakan untuk tindakan operasi yang singkat atau untuk induksi anestesi. Obat
anestesi yang sering digunakan adalah:
a. Pentothal
Dipergunakan dalam larutan 2,5% atau 5% dengan dosis permulaan 4-6 mg/kg BB dan
selanjutnya dapat ditambah sampai 1 gram.
Penggunaan:
1) Untuk induksi, selanjutnya diteruskan dengan inhalasi.
2) Operasi-operasi yang singkat seperti: curettage, reposisi, insisi abses.
Cara Pemberian: Larutan 2,5% dimasukkan IV pelan-pelan 4-8 CC sampai penderita tidur,
pernapasan lambat dan dalam. Apabila penderita dicubit tidak bereaksi, operasi dapat dimulai.
Selanjutnya suntikan dapat ditambah secukupnya apabila perlu sampai 1 gram.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena yang baik.

b. Ketalar (Ketamine)
Diberikan IV atau IM berbentuk larutan 10 mg/cc dan 50 mg/cc.Dosis: IV 1-3 mg/kgBB,IM 8-13
mg/kgBB1-3 menit setelah penyuntikan operasi dapat dimulai.
Penggunaan:
1) Operasi-operasi yang singkat
2) Untuk indikasi penderita tekanan darah rendah
Kontra Indikasi: Penyakit jantung, kelainan pembuluh darah otak dan hypertensi. Oleh karena
komplikasi utama dari anestesi secara parenteral adalah menekan pusat pernafasan, maka
kita harus siap dengan peralatan dan tindakan pernafasan buatan terutama bila ada sianosis.
c. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak dengan jepekatan 1 % (1ml = 10 mg). suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri sehingga sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
IV. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan 4-2 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0,2mg/kg.Propofol dapat menurunkan tekanan darah selama induksi
anestesi karena menurunnya resistensi arteri perifer dan venodilatasi.
d. Opioid (morfin, fentanil, petidin, sufentanil)
Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestesi digunakan fentanil dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan
dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/ menit
2. Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan singkat. Yang termasuk
induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam. Midazolam memiliki kontraindikasi dengan
glaukoma sudut sempit akut, miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan
depresi tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat menyebabkan kejadian- kejadian
kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda- tanda vital.
3. Perinhalasi
Obat anesthesia dihirup bersama udara pernafasan ke dalam paru-paru, masuk ke darah
dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.
Obat-obat yang dipakai:
1) N2O (nitrous oksida) gas ini bersifat anestetik lemah,. Pemberian anestesi dengan N2O harus
disertai O2 minimal 25 % untuk menghindari hipoksia difusi.
2) Halotan, halotan sering dikombinasikan dengan N2O. pada nafas spontan rumatan anestesi
sekitar 1-2 vol % dan pada afas kendali sekitar 0,5 – 1 vol %. Kontraindikasi pemakaian halotan
adalah penderita gangguan hepar, pernah dapat halotan dalam waktu kurang 3 bulan atau
pasien yang terlalu gemuk.
3) Enfluran, pada EEG dapat menimbulkan tanda-tanda epileptic. Enfluran lebih iritatik dibanding
halotan.
4) Isofluran, isofluran dapat meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial, serta efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal.
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam saluran
pernafasan, di dalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula
yang disuntikkan secara intramuskuler, obat tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi
darah. Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar kedalam jaringan.
Dengan sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan
menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya sedikit seperti tulang
atau jaringan lemak. Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami
metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau jaringan lain.
Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru–paru. Ekskresi bisa dalam bentuk asli atau
hasil metabolismenya. N2O diekskresi dalam bentuk asli lewat paru. Faktor yang mempengaruhi
anestesi antara lain:
1) Faktor respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan parsiel
tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan parsielnya makin tinggi. Perbedaan
tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi.
Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan
sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih
rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan. Makin tinggi perbedaan
tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan terganggu bila terdapat
penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru.
Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya
pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.
2) Faktor sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan
sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut
demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun. Blood gas partition coefisien
adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam
keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi
maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien
rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya
penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
3) Faktor jaringan
Yang menentukan antara lain:
a. Perbedaan tekanan parsiel obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan.
b. Kecepatan metabolisme obat.
c. Aliran darah dalam jaringan.
d. Tissue/blood partition coefisien
4) Faktor zat anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat
anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration). Menurut Merkel dan
Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1
atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal
pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.

I. Persiapan Pre-anestesia Umum


1. Persiapan mental dan fisik pasien
1) Anamnesis
a. Identitas pasien, misalnya : nama, umur, alamat dan pekerjaan
b. Riwayat penyakit yang sedang atau pernah diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit
dalam anestesia seperti penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik, penyakit
jantung dan hipertensi, penyakit hati dan penyakit ginjal.
c. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin dapat menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestesi.
d. Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami, berapa kali dan selang waktunya,
serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
e. Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi misalnya
merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.
2) Pemeriksaan fisik
a. Tinggi dan berat badan untuk mmemperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan
dan jumlah urin selama dan pasca bedah.
b. Kesadaran umum, kesadaran, tanda-tanda anemia, tekanan darah, frekuensi nadi, pola
dan frekuensi pernafasan.
c. Pemeriksaan saluran pernafasan; memungkinkan pelaksana anestesi untuk fokus secara
khusus pada kondisi saluran napas yang diharapkan, termasuk membuka mulut, gigi
longgar atau bermasalah, keterbatasan dalam rentang gerak leher, anatomi leher, dan
presentasi Mallampati (lihat di bawah). Kesulitan yang mungkin dihadaapi dalam
manajemen jalan napas, meliputi kondisi dibawah ini:
a) Rahang yang kecil atau mundur
b) Gigi rahang atas yang menonjol
c) Leher yang pendek
d) Ekstensi leher terbatas
e) Pertumbuhan gigi yang buruk
f) Tumor di wajah, mulut, leher, atau tenggorokan
g) Trauma pada wajah
h) Fiksasi antar-gigi
i) Penggunaan cervical collar yang keras

Berbagai sistem penilaian telah dibuat menggunakan pengukuran orofacial untuk


memprediksi intubasi sulit. Yang paling banyak digunakan adalah skor Mallampati, yang
mengidentifikasi pasien dengan faring yang kurang jelas divisualisasikan melalui mulut
terbuka. Penilaian Mallampati idealnya dilakukan saat pasien duduk dengan mulut
terbuka dan lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada banyak pasien yang diintubasi
karena indikasi emergensi, jenis penilaian seperti ini tidak mungkin. Sebuah penilaian
sederhana dapat dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang untuk mendapatkan
gambaran dari ukuran bukaan mulut dan perkiraan lidah dan orofaring sebagai faktor
dalam keberhasilan intubasi (lihat gambar di bawah)

Skor Mallampati yang tinggi telah terbukti menjadi prediksi intubasi sulit. Namun, tidak
ada sistem penilaian yang sensitive 100% atau spesifik 100% . Akibatnya, praktisi
mengandalkan beberapa kriteria dan pengalaman mereka untuk menilai jalan napas.
d. Tanda-tanda penyakit jantung dan kardiovaskuler; dispnu atau ortopnu, sianosis,
hipertensi.
e. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites yang dapat membuat tekanan
intra abdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan regurgitasi.
3) Pemeriksaan laboratorium
a. Darah : Hb, leukosit, golongan darah, hematokrit, masa pembekuan, masa perdarahan,
hitung jenis leukosit
b. Urine : protein, reduksi, sedimen
c. Foto thoraks
d. EKG : terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya iskemia miokard
e. Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
f. Fungsi hati pada pasien ikterus
g. Fungsi ginjal pada pasien hipertensi
h. Analisa gas darah, elektrolit pada ileus obstruktif
4) Perencanaan anastesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam
keadaan bugar, sedangkan pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
5) Merencanakan prognosis
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang berasal dari The American
Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut :
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat melakukan aktivitas rutin
dan penyakit merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
2. Persiapan pada hari operasi
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1) Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa pada orang
dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI). Pada operasi darurat,
pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
2) Pengosongan kandung kemih
3) Informed consent ( Surat izin operasi dan anestesi).
4) Pemeriksaan fisik ulang
5) Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6) Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secaraintravena jika
diberikan beberapa menit sebelum operasi

J. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya :
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan, misalnya diazepam
2. Memperlancar induksi anestesia, misalnya pethidin
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, misalnya sulfas atropindan hiosin
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik, misalnya pethidin
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah, misalnya ondansetron
6. Menciptakan amnesia, misalnya diazepam,midazolam
7. Mengurangi isi lambung
8. Mengurangi reflex yang membahayakan, misalnya tracurium, sulfas atropine
Obat-obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini : (3)

1. Narkotik analgesic, misalnya morfin pethidin


2. Transqualizer yaitu dari golongan benzodiazepine, misalnya diazepam dan midazolam. Diazepam
dapat dberikan peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital
4. Antikolinergik, misal atropine dan hiosin
5. Antihistamin, misal prometazine
6. Antasida, misal gelusil
7. H2 reseptor antagonis misalnya cimetidine dan ranitidine. Ranitidine diberikan 150 mg 1-2 jam
sebelum operasi

K. Persiapan Induksi Anestesi Umum


Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita mempersiapkan STATICS :
1. S : Scope (stetoskop, laringoskop),
1) Stetoskop : untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
2) Laringoskop : untuk membuka mulut dan membuat area mulut lebih luas serta melihat daerah
faring dan laring, mengidentifikasi epiglotis, pita suara dan trakea.
Ada dua jenis laringoskop, yaitu:
a. Blade lengkung (Miller, Magill). Biasa digunakan pada laringoskopi dewasa.
b. Blade lurus.
2. T : Tube (pipa endotraceal, LMA),
1. Pipa Endotrakeal
Endotracheal tube mengantarkan gas anastetik langsung ke dalam trakea. Endotracheal tube
dikerjakan pada pasien yang memiliki kemungkinan kontaminasi pada jalan nafas, posisi
pembedahan yang sulit, pembedahan di mulut atau muka dan pembedahan yang lama. (6)

2. Laringeal mask airway (LMA)


Indikasi pemasangan LMA ialah sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET.
Kontraindikasi pemasangan LMA pada pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung dan
pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama.
LMA terdiri dari 2 macam : :
a. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas.
b. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahanyang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus
3. A : Airway device (sarana aliran udara, misal sungkup muka, pipa oropharing),
1) Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)
Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring. Alat ini
berguna pada pasien yang masih bernapas spontan, alat ini juga membantu saat
dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal (ETT) (7)

Oral pharyngeal airway Nasopharyngeal airway


2) Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)
Digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas orofaring atau
apabila secara tehnis tidak mungkin memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya
trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).
3) Sungkup muka (face mask) berguna untuk mengantarkan udara/gas anastesi dari alat
resusitasi atau system anestesi ke jalan nafas pasien.
4. T : Tape (plaster), Plester untuk memfiksasi pipa trakea setelah tindakan intubasi
5. I : Inducer (stilet/ forceps Magill),
Stilet (mandren) digunakah untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakeal sebagai alat bantu
saat insersi pipa. Forseps intubasi (Mc gill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakeal nasal
atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
6. C : Connection. Connection ialah hubungan antara mesin respirasi/anestesi dengan sungkup
muka, serta penghubung-penghubung yang lain,
7. S : Suction
Digunakan untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
L. Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan
anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang
dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara
ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan intravena dengan menggunakan opioid dosis tinggi fentanil 10- 50 µg/ kgBB. Rumatan
inhalasi bisanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5- 2 vol % atau enfluran
2-4 vol% atau isofluran 2-4% atau sevofluran 2-4% tergantung pernapasan pasien spontan, dibantu
atau dikendalikan.

M. Tatalaksana nyeri
Metode untuk menghilangkan nyeri biasanya digunakan analgetik golongan opioid untuk nyeri
hebat dan golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untu nyeri sedang atau ringan.
1) Morfin
Dosis anjuran untuk menghilangkan nyeri sedang ialah 0,1-0,2 mg/kgBB dan dapat diulang tiap 4
jam. Untuk nyeri hebat dapat diberi 1-2 mg intravena dan diulang sesuai keperluan.
2) Petidine
Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5
mg/kgBB. petidin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardi.
3) Fentanil
Pada fentanil efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesianya. Dosis 1-3 µg/kgBB
efek analgesianya hanya berlangsung 30 menit.
4) Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid. Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi
nafas pada akhir pembedahan dengan dosisi 1-2 µg/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5
menit.

N. Obat Pelumpuh Otot


Fungsi obat pelumpuh otot adalah memudahkan cedera pada tindakan laringoskop dan intubasi
trakea, membuat relaksasi otot selama pembedahan, serta menghilangkan spasme laring dan refleks
jalan nafas.
1) Atrakurium (4,5)

Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi. Keunggulan obat ini adalah metabolism
terjadi di darah, tidak bergantung fungsi hati dan ginjal. Tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna, Dosis intubasi yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dosis relaksasi otot
yaitu 0,5-0,6 mg/kgBB/iv, dan dosis pemeliharaan 0,1-0,2 mg/kgBB/iv.
2) Suksametonium (succinyl choline)
Indikasi dari suksametonium adakan sebagai pelumpuh otot jangka pendek, dosis untuk
intubasi ialah 1-2 mg/kgBB/iv.

O. Teknik Anestesi
1. Teknik Anestesi spontan dengan sungkup muka
Indikasi :
1) Untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam)
2) Keadaan umum pasien cukup baik
3) Lambung harus kosong
Urutan tindakan :
1) Periksa peralatan yang digunakan
2) Pasang infus
3) Persiapkan obat-obat
4) Induksi dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5) Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup muka
ditempatkan pada muka
6) N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi, bersamaan
dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 %
tergantung reaksi tubuh penderita
7) Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
8) Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi
selesai
9) Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 beberapa menit
2. Teknik Anestesi spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi :
1) Operasi lama
2) Kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi dengan sungkuo muka.
Urutan tindakan :
1) Induksi dengan propofol
2) Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau perlu nafasi dibantu
dengan menekan balon nafas secara periodic
3) Sesudah reflex mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1.5 mg/kgBB, nafas
dikendalikan dengan menekan balon nafas yang diisi dengan aliran O2 2L.
4) Sesudah fasikulasi menghilang, pasien diintubasi.
5) Pipa guedel dimasukan dimulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit. Kemudian difiksasi
dengan plester
6) Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering
7) Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi. N2O dibuka
3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan dibuka 1 vol %dan cepat dinaikkan sampai 2
vol %. Nafas pasien dikendalikan dengan menekan balon nafas.
8) Halotan dikurangi sampai 0,5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi
9) Nafas dapat dibiarkan spontan kalau usaha nafas cukup kuat
10) Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2 masing-masing 2 l/menit,
serta halotan 1.5-2 vol %
3. Teknik anestesi pipa endotrakeal dan nafas kendali
1) Teknik anestesi dan intubasi sama seperti diatas
2) Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot jangka panjang
misalnya alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB
3) Nafas dikendalikan dengan ventilator atau secara manual. Konsentrasi halotan sedikit demi
sedikit dikurangi dan dipertahankan dengan 0.5-1 %.
4) Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien tampak ada usaha
mulai bernafas sendiri
5) Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O dihentikan kalau lapisan kulit
mulai dijahit.
6) Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2 diberi terus selama 2-3
menit untuk mencegah hipoksia difusi.

P. Monitoring Anestesi
Dalam tindakan anestesi harus dilakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien. (1)

1. Kardiovaskuler
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan karena gangguan sirkulasi sering terjadi selama
anestesi. Tekanan darah dan banyaknya perdarahan.
2. Respirasi
Respirasi dinilai dari jenis nafasnya, apakah ada retraksi interkostal atau supraklavikula.
3. Suhu tubuh
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu tubuh. Obat anestesi mendepresi pusat pengatur
suhu, sehingga mudah turun naik dengan suhu lingkungan.
4. Monitoring ginjal
Untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal
5. Monitoring blockade neuromuscular
Untuk mengetahui apakah relaksasi sudah cukup baik atau setelah selesai anestei apakah tonus
otot sudah kembali normal
6. Monitoring sistem saraf
Monitoring dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap trauma
pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.

Q. Pemulihan Anestesi Umum


Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran
oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan oksigenisasi maka oksigen akan mengisi
tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi diaveoli yang berangsur-angsur keluar
mengikuti udara ekspirasi.
Dengan demikian tekanan parsiel obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga
lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsiel obat anestesi inhalasi didalamdarah. Maka
terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin tinggi perbedaan
tekanan parsiel tersebut kecepatan difusi makin meningkat. Sementara itu oksigen dari alveoli akan
berdifusi ke dalam darah.
Semakin tinggi tekanan parsiel oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi kedalam darah
semakin cepat, sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi
yang berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah
menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun.
Turunnya kadar obat anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di alveoli juga
akibat sebagian mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obatanestesi di dalam darah.
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya, berangsur-angsur pulih
dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberinya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa
endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang
menggunakan pipa endotrakheal maka perlu dilakukan ekstubasi(melepas pipa ET). Ekstubasi bisa
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita
sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi
spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya
tekanan intra cranial.
Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya
jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi
dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam. Pada penderita yang mendapat balance
anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya
penderita dari pengaruh muscle relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat
antikolinesterase.
Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekuat bagi penderita
yang sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi setelah
penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan kepala dan
menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa besar pengaruh muscle
relaxant adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus
diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan,
5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:

Hal yang dinilai Nilai

1. Kesadaran:
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respon 0

2. Respirasi:
Dapat melakukan nafas dalam, bebas, dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0

3. Sirkulasi: perbedaan dengan tekanan preanestesi


Perbedaan +- 20 2
Perbedaan +- 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0

4. Aktivitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah:


4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
Tidak dapat 0

5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotic 0

Anda mungkin juga menyukai