Disusun oleh :
Adria Putra Farhandika
1102013010
Pembimbing :
dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Berdasarkan survei "Multi Center Study" di Asia Tenggara, Indonesia termasuk 4 negara
dengan prevalensi ketulian yang cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri
Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India 6,3%). Angka prevalensi sebesar 4,6% tergolong
cukup tinggi, sehingga dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk
dunia menderita gangguan pendengaran dan 75 juta - 140 juta diantaranya terdapat di Asia
Tenggara. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Tahun 1993 - 1996 yang dilaksanakan di 8
Provinsi Indonesia menunjukkan prevalensi morbiditas telinga, hidung dan tenggorokan (THT).
Angka prevalensi tersebut sebesar 38,6%, morbiditas telinga 18,5%, gangguan pendengaran
16,8% dan ketulian 0,4%. (1)
Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin-
mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya. Akibatnya kebisingan makin dirasakan
mengganggu dan dapat memberikan dampak pada kesehatan. Biaya yang harus ditanggung
akibat kebisingan ini sangat besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan,
maka bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis dan
pendidikan.(2) Sama halnya dengan akibat yang ditimbulkan pada masyarakat yang lokasi tempat
tinggalnya berdekatan dengan sumber bising. Trauma akustik ataupun gangguan pendengaran
lain yang timbul akibat bising, gangguan sistemik yang timbul akibat kebisingan, penurunan
kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya secara nominal dapat mencapai milyaran rupiah.
Industri yang terutama membawa risiko kehilangan pendengaran antara lain pertambangan,
pembuatan terowongan, penggalian (peledakan, pengeboran), mesin-mesin berat ( pencetakan
besi, proses penempaan, dll), pekerjaan mengemudikan mesin dengan mesin pembakaran yang
kuat (pesawat terbang, truk, bajaj, kenderaan konstruksi, dll), pekerjaan mesin tekstil dan uji
coba mesin-mesin jet. Pada umumnya gangguan pendengaran yang disebabkan bising timbul
setelah bertahun-tahun pajanan. Kecepatan kemunduran tergantung pada tingkat bising,
komponen impulsif dan lamanya pajanan, serta juga pada kepekaan individual yang sifat-sifatnya
tetap tidak diketahui. (3)
2
Salah satu bising industri yang dianggap perlu untuk diteliti adalah bising pesawat terbang.
Penelitian mengenai pengaruh bising pesawat terbang terhadap kemampuan pendengaran pekerja
telah banyak dilakukan. Diantarannya yaitu penelitian yang dilakukan di London Inggris dimana
peneliti membandingkan antara subjek dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang tinggi
dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang rendah. Hasilnya adalah didapat kejadian
gangguan pendengaran lebih tinggi pada subjek dengan tingkat kebisingan pesawat terbang yang
tinggi. (4) Penelitian lainnya juga menunjukkan hal yang sama, dimana pada pekerja bandara laki-
laki di Korea menunjukkan perbedaan yang significant pada kejadian hilangnya pendengaran
(lebih dari 25 dB) antara subjek yang terpapar bising dengan yang tidak terpapar bising pesawat
terbang (p< 0.5). Hampir 60,8 % dari pekerja yang terpapar bising tersebut tercatat sebagai
pengguna HPDs (Hearing Protective Devices). (5)
Mengingat besarnya masalah tersebut dan pentingnya kesehatan indera pendengaran
sebagai salah satu faktor penting dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia, maka
diperlukan adanya perhatian yang lebih terhadap masalah kesehatan indera pendengaran
khususnya tuli akibat pemajanan bising (TAB/NIHL).
1.2 Latar Belakang
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan
waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
(6)
lingkungan. Suara yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi bagi seseorang atau sebagian
orang merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru dianggap
sangat mengganggu. Bising yang didengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat
maupun jauh.Kebisingan menyebabkan gangguan pendengaran yang mengakibatkan kesulitan
dalam melaksanakan kehidupan normal, terutama dalam hal memahami pembicaraan. Banyak
hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising
yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor
lain yang dapat menimbulkan ketulian.(7)
Tanpa disadari banyak orang yang terpajan kebisingan pada tingkat yang berbahaya,
seperti bising dari pesawat terbang, truk, bis, sepeda motor, alat musik, pemotong rumput dan
alat-alat dapur. Pada anak-anak sering kali terpajan kebisingan di tempat-tempat pusat
permainan. Tidak jarang remaja dan orang dewasa sering kali terpajan kebisingan di tempat-
tempat ramai, seperti bioskop, bar, karaoke, dan tempat-tempat yang bernuansa night club. (8)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga
sementara procesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen
stilomastoideus dan berjalam ke lateral menuju prosesus stilodeus di posteroinferior liang
telinga, dan berjalan dibawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis. (11)
4
2.1.2. Telinga Tengah
0 Telinga tengah adalah rongga berisi udara didalam tulang temporalis yang terbuka melalui
tuba auditorius (eustachius) ke nasofaring dan melalui nasofaring keluar. Tuba biasanya tertutup,
tetapi selama mengunyah, menelan, dan menguap saluran ini terbuka, sehingga tekanan dikedua
sisi gendang telinga seimbang. (12)
6
Gambar 2.4 Anatomi Telinga Dalam
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari
spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri
vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis
oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga
bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah
skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner
yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari
duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala
berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu
celah yang dkenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi)
dan melebar pada apeks (nada rendah). (11)
Organ corti adalah organ reseptor yang membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran membrana basiler. Organ corti terletak pada permukaan serat basilar dan
membrana basilar. Terdapat dua tipe sel rambut yang merupakan reseptor sensorik yang
sebenarnya dalam organ corti yaitu baris tunggal sel rambut interna, berjumlah sekitar 3500 dan
dengan diameter berukuran sekitar 12 mikrometer, dan tiga sampai empat baris rambut eksterna,
berjumlah 12.000 dan mempunyai diameter hanya sekitar 8 mikrometer. Basis dan samping sel
rambut bersinaps dengan jaringan akhir saraf koklearis. Sekitar 90 sampai 95 persen ujung-
ujung ini berakhir di sel-sel rambut bagian dalam, yang memperkuat peran khusus sel ini untuk
7
mendeteksi suara. Serat-serat saraf dari ujung-ujung ini mengarah ke ganglion spiralis corti yang
terletak didalam modiolus (pusat) koklea. (14)
Gambar 2.5 Pola Getaran Membran Basiler Untuk Frekuensi Suara Yang Berbeda
8
Terdapat perbedaan pola tranmisi untuk gelombang suara dengan frekuensi suara yang
berbeda. Setiap gelombang relatif lemah pada permulaan tetapi menjadi kuat ketika mencapai
bagian membran basilar yang mempunyai keseimbangan resonansi frekuensi alami terhadap
masing-masing frekuensi suara. Pada titik ini, membran basilar dapat bergetar ke belakang dan
ke depan dengan mudahnya sehingga energi dalam gelombang dihamburkan. Akibatnya,
gelombang berhenti pada titik ini dan gagal berjalan sepanjang membran basilar yang tersisa.
Jadi gelombang suara frekuensi tinggi hanya berjalan singkat sepanjang membran basilar
sebelum gelombang mencapai titik resonansinya dan menghilang. Gelombang suara frekuensi
sedang berjalan sekitar setengah perjalanan dan kemudian menghilang. Dan akhirnya,
gelombang suara frekuensi sangat rendah menjalani seluruh jarak sepanjang membran basilar. (14)
9
Gambar 2.6 Jalur Pendengaran
2.4. Bising
2.4.1. Definisi
Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi
terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang
(18)
menghalangi gaya hidup. Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
(19)
manusia dan kenyamanan lingkungan atau semua suara yang tidak dikehendaki yang
10
bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat
menimbulkan gangguan pendengaran. (20)
2.4.2. Baku Tingkat Kebisingan
Baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat
kebisingan (Nilai Ambang Batas, NAB) peruntukan kawasan/lingkungan dapat dilihat
pada tabel dibawah ini. (19) :
Peruntukan kawasan / lingkungan kegiatan Tingkat kebisingan (dB)
Peruntukan Kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan jasa 70
3. Perkantoran dan perdagangan 65
4. Ruang terbuka hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan fasilitas umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus :- Bandar udara- Stasiun Kereta Api
70
- Pelabuhan Laut- Cagar Budaya
Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah dan sejenisnya 55
3. Tempat ibadah dan sejenisnya 55
11
2.5.3. Klasifikasi
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori yaitu :
(5,14,15)
12
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah
yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang
meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar
menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel
rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel
rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel
rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran
pada batang otak. (13)
2.5.5. Gambaran Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech
discrimination ) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan
dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi
menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral.
Selain itu tinitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu
ketajaman pendengaran dan konsentrasi. (8, 13)
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss )
adalah bersifat sensorineural, hampir selalu bilateral, jarang menyebabkan tuli derajat sangat
berat ( profound hearing loss ). (13, 22)
Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi,
peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang
dengar menetap ( permanent threshold shift). Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan
akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan
fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Peningkatan ambang dengar
sementara, merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising
dengan intensitas yang cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam.
Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan
keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan
intensitas sangat tinggi (explosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada
13
berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis, dan
lainnya.(10,11)
Derajat ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB. Apabila paparan bising dihentikan, tidak
dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan, kerusakan telinga dalam mula-mula
terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada
frekwensi 4000 Hz, dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000
dan 6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan
konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi. (10)
2.5.6. Diagnosis
Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan biasanya
mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan
berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang
berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika
orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung
perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk itu
informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak
keluarga. (5, 8, 13)
Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang
telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan
seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan
pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga
karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk
menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran.
(6)
2.5.7. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapt dipergunakan alat pelindung telinga
terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala
(helmet).
14
Oleh karena itu akibat bising adalah tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemsangan alat bantu dengar/ ABD (hearing aid). Apabila
pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat
berkomunikasi denga adekuat perlu dilakukan psikoterapiagar dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengara dengan ABD
secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota
badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien
mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat
mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada pasien yang telah mengalami
tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).
(10)
2.5.8. Prognosis
Tuli akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan
(9)
tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan. Penggunaan alat bantu dengar hanya
sedikit manfaatnya bagi pasien, bahkan alat tersebut hanya memberikan rangsangan vibrotaktil
dan bukannya perbaikan diskriminasi bicara pada pasien tersebut. Untuk sebagian pasien
dianjurkan pemakaian implan koklearis. Implan koklearis dirancang untuk pasien-pasien dengan
tuli sensorineural. (10)
15
Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran
seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat ketajaman
pendengaran seseorang dapat dinilai. (23)
Alat yang dikenal sebagai audiometer, dikembangkan pada awal 1920-an, mencontoh
rangkaian oktaf dari skala C seperti pada garputala. Intensitas nada dapat dipertahankan pada
tingkat tertentu, tidak seperti garputala dimana intensitas nada segera berkurang setelah
dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan pada
interval tertentu dengan hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat dihitung.
Hanya tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi decibel dan kontunuitas intensitas,
dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni. (11)
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus
nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa
16
pendengaran yang normal grafik berada di atas. Grafiknya terdiri atas skala desibel. Suara
dipresentasikan dengan earphone (air conduction) dan skull vibrator (Bone conduction). Bila
terjadi air bone gap maka diindikasikan adanya CHL (Conduction hearing Loss). Turunnya nilai
ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Sensorineural Hearing
Loss). (24)
BAB III
17
KESIMPULAN
1. Bising dengan frekwensi dan intensitas tertentu dapat menyebabkan ketulian yang berupa
tuli saraf dan sifatnya permanen.
2. Pemeriksaan fisik dan pengujian audiometrik mutlak dibutuhkan untuk setiap pekerja
yang dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama bising industri.
3. Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka yang
terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.
Daftar Pustaka
18
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=700&Itemid=.
jih.com/jatel/index.php?option=com_content&task=view&id=94&Itemid=85.
4. Smith, Andrew. Stansfeld, Stephen. 1986. Aircraft Noise Exposure, Noise Sensitivity, and
5. Hong OS, Chen SP, Conrad KM, 1998. Noise induced hearing loss among male airport
ordinalpos=1&itool=EntrezSystem2.PEntrez.Pubmed.Pubmed_ResultsPanel.Pubmed
_DiscoveryPanel.Pubmed_Discovery_RA&linkpos=1&log$=relatedarticles&logdbfr
om=pubmed.
6. http://staff.undip.ac.id/env/semesterganjil/files/2009/08/Kepmen-LH-No.48-Tahun-1996-
7. Fox MS. Industrial Noise Exposures and Hearing Loss. Dalam Bailenger JJ. Eds.
9. Soetirto, I.,Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
19
10. Bashiruddin, J., Soetirto, I., 2006. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced
Hearing Loss) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan, editor
11. Adams L, Goerge dkk. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC
12. Ganong WF. 1983. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology) Edisi 10. Jakarta:
EGC
13. Yunita Andrina. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian Bedah Fakultas
15. Japardi Iskandar. 2003. Nervus Vestibulocochlearis . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
17. Sukardi. Elias. 1985. Neuroanatomi Medika. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
18. Susanto, Arif. 2006. Kebisingan Serta Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Dan Lingkungan.
pengaruhnya-terhadap-kesehatan-dan-lingkungan/.
21. Soetjipto Damayanti. 2007. Gangguan Pendengaran Akibat Bising /GPAB. Available from:
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Hear-Loss-Noise-000110/Hear-Loss-Noise.htm.
22. Harger MR, Barbosa-Branco A. 2004. Effects on hearing due to the occupational noise
exposure of marble industry workers in the Federal District, Brazil. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez.
20
23. Arifiani, Novi. 2004. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja.
http://hennykartika.wordpress.com/2011/11/28/audiometri-dasar/.
25. Sub. Dep.THT Komunitas. 2008. Cara Pengukuran dengan Audiometri. Available from:
http://www.thtkomunitas.org.
26. Priyo. Dwi. Dkk. 1985. Diagnosis Kekurangan Pendengaran. Bagian THT Fakultas
21