Bab Ii Kajian Pustaka: Epithelium) Yang Ke Arah Orofaring Akan Berubah Menjadi Epitel Gepeng Berlapis
Bab Ii Kajian Pustaka: Epithelium) Yang Ke Arah Orofaring Akan Berubah Menjadi Epitel Gepeng Berlapis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
lebar 4 cm dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas
posterior septum nasi. Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian
atap dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh
sfenoid. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius. Dinding nasofaring diliputi
oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara histologi mukosa nasofaring
epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis
(transitional epithelium) yang terutama didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa
bagian atas pada dasar tengkorak di dalam ruang parafaring retrostyloid di ujung atas
7
8
struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan pembuluh limfe dengan muara
yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor bilateral dan kontralateral tidak
jarang dijumpai (Bailey dkk., 2006). Anatomi nasofaring disajikan pada Gambar 2.1.
2.2.2 Epidemiologi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
yang melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor kelenjar atau limfoma. Angka
Daerah endemik karsinoma nasofaring adalah daerah dengan populasi resiko tinggi,
terutama di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara, India Barat Daya, Afrika Utara,
Eskimo dan Alaska. KNF merupakan kanker yang sering terjadi di Indonesia dan
menempati peringkat ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara, kanker
9
kulit dan merupakan kanker yang paling sering terjadi di bagian kepala leher.
Penyakit ini 100% terkait dengan EBV, terutama tipe undifferentiated carcinoma.
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher adalah KNF, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), tumor ganas rongga mulut,
tonsil, tiroid dan hipofaring dalam prosentase yang lebih rendah (Roezin dan Adham,
kejadian KNF di Indonesia adalah 4,7 per 100.000 penduduk. (Roezin dan Adham,
2007). Dari data profil karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Hasanudin Makasar,
periode Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang
THT-KL adalah karsinoma nasofaring. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun
tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru karsinoma nasofaring di seluruh
dunia dan sekitar 50.000 atau sekitar 40% dari kasus yang meninggal berasal dari
Cina (Chang dan Adam, 2006). Penderita KNF dapat terjadi pada semua umur, rata-
rata penderita karsinoma nasofaring berumur 45-55 tahun dengan 23,3 kasus/100.000
laki-laki dan 8,9 kasus/100.000 perempuan. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3:1
Di negara barat (Amerika dan Eropa) kejadian KNF termasuk jarang dengan
angka kejadian sekitar 0,5/100.000 penduduk, dengan angka 1-2% dari seluruh
kanker kepala dan leher. Di Cina Selatan dan Hongkong penyakit ini endemik dengan
angka kejadian meningkat hingga 50/100.000 penduduk (Chan dan Felip, 2009).
10
Secara umum KNF ditemukan pada populasi yang lebih muda daripada kanker
kepala dan leher di tempat lain. Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20
tahun dan mencapai puncak pada dekade IV dan dekade V (Chan dan Felip, 2009).
Pada daerah resiko rendah usia terbanyak pada dekade V dan dekade VI tapi masih
terdapat angka kejadian yang signifikan pada usia di bawah 30 tahun, dengan puncak
awalnya antara usia 15-25 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada pria daripada
wanita dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Marur dan Forastiere, 2008). Di
berbanding 1, dengan frekuensi terbanyak pada umur 40-60 tahun. Hasil penelitian di
dalam maupun luar negeri melaporkan bahwa sebagian besar penderita (69-96%)
datang berobat ke rumah sakit sudah dalam keadaan stadium lanjut atau stadium III
2.2.3 Etiologi
Sampai saat ini penyebab pasti karsinoma nasofaring masih belum jelas. Secara
umum etiologi karsinoma nasofaring merupakan hasil interaksi kondisi genetik yang
carcinogen dan adanya infeksi EBV (Chan dan Felip, 2009). Penelitian Her (2001),
menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu: infeksi EBV, kerentanan genetik
dan faktor lingkungan yang berperan dalam tingginya kejadian KNF di Cina. Etiologi
dari KNF dapat dibagi menjadi faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.
11
Faktor ekstrinsik:
KNF dianggap memiliki hubungan erat dengan EBV. Terutama antibodi IgA
terhadap EBV dan DNA EBV dalam kadar yang tinggi pada serum penderita KNF.
Dari berbagai jenis KNF hanya tipe undifferentiated yang memiliki hubungan
dengan karsinoma sel epitel dan kapan sel epitel terinfeksi dengan EBV, apakah
sebelum atau sesudahnya berubah menjadi keganasan atau sebagai akibat rusaknya
sistem pertahanan tubuh. EBV mampu merubah limfosit B namun tidak cukup bukti
yang menyatakan bahwa dapat merubah sel epitel. EBV sendiri tidak bereplikasi di
dalam sel tumor karsinoma nasofaring dan antigen virusnya tidak diekspresikan pada
Ikan yang diasinkan dianggap sebagai faktor etiologi penting pada populasi Cina
bagian selatan. Ikan laut yang diasinkan mengandung sejumlah nitrosamine volatile
merangsang karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma pada rongga hidung dan
paranasal dari beberapa penelitian terhadap hewan (Cho, 2007). Penelitian Chew
(2003), menghubungkan kejadian KNF dengan pola hidup, faktor makanan dan
hubungan yang erat terutama dengan konsumsi ikan yang diasinkan pada usia dini.
12
KNF. Dilaporkan juga adanya hubungan positif antara penggunaan bahan bakar fosil
untuk memasak dan KNF. Di Kenya kejadian KNF cukup tinggi, di mana penduduk
yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk di mana asap dan uap hasil
memasak tidak dapat keluar dari atap yang sangat tertutup rapat. Orang merokok
selama 10 tahun atau lebih memiliki resiko tinggi terhadap KNF (Kumar, 2003).
Faktor intrinsik:
Genetik
KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan,
2012). Pasien dengan KNF pada populasi Cina berasal dari sub populasi dengan
genetik yang khas. Sampai saat ini HLA adalah satu-satunya sistem genetik yang
memiliki hubungan erat dengan kanker ini. Lokus HLA yang terlibat pada KNF
adalah lokus HLA-A dan DR yang terdapat pada rantai pendek kromosom 6 (Cho,
2007).
berbagai gejala yang onsetnya berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh
pasien (Chew, 2003). Gejala klinis dari penderita KNF berhubungan dengan lokasi
13
tumor primer dan perluasannya. Secara umum dapat dibagi menjadi empat kelompok
gejala, antara lain gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata serta gejala metastasis
atau gejala leher. Adanya kecurigaan tumor ganas nasofaring harus dipikirkan apabila
dijumpai trias gejala sebagai berikut: 1) tumor leher, gejala telinga dan gejala hidung,
2) gejala intrakranial, gejala telinga dan gejala hidung, 3) tumor leher, gejala
intrakranial dan gejala hidung (Gourzones dkk., 2013). KNF sering muncul pertama
kali di fosa Rosenmuller dekat dengan muara tuba Eustachius, sehingga gejala-gejala
disertai penurunan pendengaran. Gejala ini disebabkan oleh karena oklusi muara tuba
Eustachius oleh masa tumor. Gejala hidung dapat berupa pilek-pilek, hidung buntu
dan ingus bercampur darah. Gejala di mata berupa pandangan kabur atau diplopia
(Chew, 2003).
Metastasis tumor ke kelenjar getah bening leher regional sering terjadi, yaitu
pertama yang timbul pada penderita KNF. Kelenjar limfe retrofaringeal lateral
(rouviere nodes) merupakan filter kelenjar yang pertama, namun tidak dapat
dipalpasi. Kelenjar yang paling sering pertama kali dapat dipalpasi adalah kelenjar
bilateral dan kontralateral sering dijumpai. Selanjutnya sel-sel kanker dapat ikut
mengalir bersama aliran getah bening dan mengadakan metastase jauh mengenai
organ tubuh yang lain seperti tulang, hati dan paru (Chew, 2003).
14
sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan menjalar
sepanjang fosa kranii media. Sel tumor biasanya masuk ke rongga tengkorak melalui
foramen laserum dan menimbulkan lesi pada kelompok saraf kranialis anterior (saraf
kranialis III, IV dan VI). Perluasan tumor ke arah anterior menuju rongga hidung,
sinus paranasalis, fosa pterigopalatina sampai orbita, sehingga terjadi lesi pada saraf
kranialis I dan II. Tumor yang besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan
obstruksi saluran nafas atas dan saluran makanan. Perluasan tumor ke arah
posterior (saraf kranialis IX, X, XI dan XII) serta nervus simpatikus servikalis yang
berjalan menuju fisura orbitalis. Perluasan tumor ke arah inferior menuju rongga
mulut atau regio retrotonsil dapat menimbulkan sumbatan saluran nafas dan saluran
Setiap gejala mempunyai nilai dalam mendiagnosis KNF. Bila jumlah nilai 50,
diagnosis KNF dapat ditegakkan. Walaupun terbukti KNF secara klinis, biopsi
prognosis (Chew, 2003). Untuk nilai mendiagnosis KNF ditunjukkan pada Tabel 1.
Digby score,
15
GEJALA NILAI
Limfadenopati Leher 25
pendengaran
Gangguan neurologi 5
Eksoftalmus 5
WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamous dan
keratinisasi di atasnya.
sel, terdiri dari sel-sel yang bervariasi mulai dari sel matur sampai anaplastik
dan hanya sedikit sekali membuat keratin atau tidak sama sekali.
16
yang sangat heterogen. Sel ganas memiliki inti bulat sampai oval dan
vesikuler, batas sel yang tidak jelas, dapat ditemukan sel ganas berbentuk
Tumor tipe 2 dan tipe 3 lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan
(American Joint Committee on Cancer) tahun 2008 sebagai berikut: (Deschler dan
Day, 2008)
T = Tumor primer
T1 : Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan atau kavum
T2a: Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa
Perluasan ke parafaring
T3 : Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau sinus paranasal.
mastikator.
6 cm atau kurang, diatas fossa supraklavikula dan atau unilateral atau bilateral
supraklavikula
M = Metastase jauh
Stadium klinik
Stadium 0 : Tis N0 M0
18
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium IIB : T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0, N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2a, T2b N2 M0
T3 N0, N1, N2 M0
2.2.6 Diagnosis
gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan pemeriksaan tomogram atau
ke arah lateral menuju ruang paranasofaring. CT-Scan sensitif untuk mendeteksi erosi
ovale dengan penyebaran perineural juga dapat di deteksi, yang merupakan bukti
keterlibatan sinus kavernosus tanpa erosi dasar tengkorak (Chew, 2003; Nakayana
dkk., 2011).
MRI lebih baik dari pada CT-Scan dalam membedakan tumor dengan inflamasi
jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastasis kelenjar
retrofaringeal dan leher dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi sumsum tulang oleh
tumor, di mana CT-Scan tidak dapat mendeteksi infiltrasi ini kecuali disertai erosi
tulang. Penting untuk mendeteksi infiltrasi sumsum tulang ini karena berhubungan
dengan peningkatan resiko metastasis jauh (Chew. 2003; Nakayana dkk., 2011).
reaction (PCR) dan Southern blotting (Gourzones dkk., 2013; Marur dan Forastiere,
2008).
Radioterapi sebagai gold standard untuk KNF sudah dimulai sejak lama. Hasil
radioterapi untuk KNF stadium dini sebenarnya cukup baik, respon lengkap sekitar
20
80% sampai 100%, sedangkan untuk KNF stadium lanjut respon radioterapi menurun
tajam dengan angka ketahanan hidup 5 tahun yang kurang dari 40%. Hasil radioterapi
pada stadium lanjut didapatkan kurang memuaskan sehingga para ahli berupaya
ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus residif. Pemberian
kemoterapi terutama diberikan pada KNF dengan penyakit lokoregional tingkat lanjut
metastasis jauh dan dapat meningkatkan kontrol lokal. Kemoterapi dapat diberikan
Sebanyak 70% pasien yang baru terdiagnosis KNF datang pada stadium III dan
IV, dengan penyakit lokal lanjut dan metastasis. Standar pengobatan adalah
yang lain. Kategori yang digunakan untuk menentukan prognosis suatu tumor adalah:
21
1) Adanya anaplasia dan atau pleomorfism. 2) Angka proliferasi sel yang tinggi,
dihitung dari jumlah mitosis atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan
densitas dari S-100 protein yang hasilnya positif untuk sel-sel dendritik. 5) Dijumpai
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak
atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastase). Pertumbuhan yang tidak
vital yang mengontrol pembelahan sel. Beberapa buah mutasi dibutuhkan untuk
mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi tersebut dapat terjadi secara spontan
Suatu pertumbuhan normal diatur oleh kelompok gen, yaitu growth promoting
yang berperan pada kematian sel terprogram (apoptosis). Selain ke tiga kelompok gen
tersebut, terdapat juga kelompok gen yang berperan pada DNA repair yang
baik secara fenotip dan genetik, seperti disajikan pada Gambar 2.2 (Kumar dkk.,
2010).
The six hallmark of cancer (6 karakter sel kanker) adalah enam perubahan
growth factor dan growth receptor sendiri. Dalam proliferasinya sel kanker
pertumbuhan untuk mencapai homeostasis. Jadi ada waktu tertentu bagi sel
3) Evasion of Apoptosis Signal, pada sel normal kerusakan DNA akan dikurangi
jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA yang tidak
bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak memiliki kepekaan terhadap sinyal
apoptosis.
mencapai pendewasaan.
diperlukan untuk hidup. Namun bentuk dan karakter pembuluh darah sel
24
normal lebih sederhana atau konstan sampai dengan sel dewasa. Sel kanker
untuk survival sel kanker dan ekspansi ke bagian lain dari tubuh (metastasis).
lokasi lain di dalam tubuh. Perpindahan sel kanker dari lokasi primernya ke
lokasi sekunder atau tertiernya merupakan faktor utama adanya kematian yang
EBV merupakan Gamma Herpes Virus yang ditemukan pada tahun 1964 oleh
Michael Epstein dan Yvonne Barr. EBV menyebar ke seluruh infeksi primer dan
menetap sebagai infeksi latent maka ekspresi gen EBV terbatas, dan yang pasti hanya
25
terdapat LMP-2A yaitu suatu protein laten yang memberikan signal kehidupan dan
menginhibisi aktivitas sel B dan pintu masuk siklus litik. Ketika reaktif terjadi, litik
yang berat pada protein viral akan diekspresikan dengan aktivasi inhibisi mekanisme
pelepasan sitokin, interferon α dan β. Sebagai tambahan bcl-2 homolog prolog sel
Keganasan seperti KNF dapat muncul dari klon sel terinfeksi EBV setelah
terinfeksi beberapa tahun. Pada klonal, EBV dapat menetapkan derajat dari
menunjukkan bahwa infeksi EBV pada KNF terjadi lebih dulu oleh ekspansi dari
klon yang malignansi, spesifik kesalahan dari imun, stimulasi proliferasi sel B oleh
infeksi lain dan abrasi genetik sekunder atau mutasi merupakan faktor tambahan dari
hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
endocytosis. EBV juga dapat dideteksi pada karsinoma in situ, suatu prekursor
Enzim ini pertama kali ditemukan pada tahun 1988 oleh Dr.Daniel Simmons seorang
semua jaringan normal. Enzim COX-2 merupakan bentuk yang dapat terinduksi.
Bentuk PG yang berasal dari aktivitas COX-1 memfasilitasi berbagai proses fisiologi,
sedangkan COX-2 sangat mudah terinduksi oleh berbagai proses inflamasi, faktor
COX-2 adalah enzim yang dapat diinduksi dalam makrofag, bertanggung jawab
untuk pengeluaran produksi prostaglandin (PG) yang tinggi selama inflamasi dan
respon imun. COX-2 adalah enzim yang dapat meningkatkan respon untuk
Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem imun tubuh pada
jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan aktivasi leukosit serta protein
plasma yang terjadi pada saat infeksi, keracunan maupun kerusakan sel. Terjadinya
Peningkatan level COX-2 telah ditemukan pada berbagai lesi premalignant dan
kanker epitel. Peningkatan ekspresi COX-2 telah dilaporkan pada berbagai macam
tumor, seperti kanker kolon, kanker paru, kanker payudara, kanker lambung, kanker
esophagus dan kanker kepala leher yang menunjukkan bahwa COX-2 mungkin
terlibat dalam proses karsinogenesis. Peningkatan regulasi COX-2 pada sel kanker
2014). Ekspresi seluler COX-2 meningkat di atas normal pada stadium awal
respon imun, inhibisi apoptosis, angiogenesis, invasi sel tumor dan metastasis (Tan
membran inti, COX-2 konsentrasinya lebih tinggi pada membran inti (Choy dan
Milas, 2003).
(COX), yaitu COX-1, COX-2 dan yang terbaru adalah Cyclooxygenase-3 yang
memiliki kesamaan aktivitas enzimatik tetapi memiliki fungsi dan pola ekspresi yang
berbeda. COX-1 dan COX-2 merupakan produk dari 2 gen yang berbeda, COX-1
pada manusia berlokasi pada kromosom 9 dan COX-2 pada kromosom 1. COX-1
terekspresi pada mukosa gastrointestinal, ginjal, platelet, endotel pembuluh darah dan
memelihara fungsi fisiologis jaringan ini. COX-2 terdapat sedikit sekali pada jaringan
yang normal dan meskipun waktu aktifnya singkat sebagai intermediate-early respon
gen yang akan meningkatkan ekspresi 20 kali lipat terhadap faktor pertumbuhan,
tumor promotor dan onkogenik mutasi sedangkan COX-3 banyak ditemukan pada
Famili COX adalah enzim yang terdiri dari dua anggota, COX-1 adalah enzim
yang terekspresi di banyak organ dan COX-2 hanya terekspresi pada jaringan tertentu
(PGG2) dan sesudah itu menjadi prostaglandin H2 (PGH2), yang berperan sebagai
subtsrat untuk isomerisasi multipel yang secara sendirinya berespon untuk generasi
yang menghasilkan eikosanoid, termasuk PGE2, PGI2 dan TXA2. Di dalam sel-sel
epitel PGE2 akan menekan apoptosis dengan meningkatkan ekspresi BCL-2 dan juga
meningkatkan migrasi sel atau lebih invasif dan mengaktivasi Epidermal Growth
sehingga memiliki kemampuan untuk tumbuh dan bermetastasis (Kim dkk., 2004;
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa level enzim COX-2 meningkat pada
beberapa kanker, seperti karsinoma kolorektal, karsinoma kepala dan leher serta
kanker paru-paru dan payudara. Ekspresi COX-2 dapat dilihat dari level intensitas
agen perusak DNA dan agen oksidasi. Angiogenesis merupakan proses yang
diperlukan untuk menstabilkan koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk
30
konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru dalam tumor. Efek
dihubungkan dengan perkembangan kanker pada manusia. Sel tumor serta komponen
seluler stroma tumor (seperti infiltrasi makrofag, limfosit, fibroblas dan sel endotel)
prostaglandin. Namun matriks ekstraseluler tumor, sel stromal pada tumor juga
berperan penting terhadap progresi dari tumor (Choy dan Milas, 2003).
Angiogenesis
Apotosis pada sel normal bertujuan untuk mencegah proliferasi yang tidak
kerusakan molekuler. Fungsi terutama pada sel-sel epitel yang terus mengalami
survive lebih lama dan terjadi akumulasi genetic error. Terjadinya gangguan pada
program kematian sel juga berkontribusi terhadap resistensi terhadap terapi. Sejumlah
31
koloni tumor yang baru terbentuk dan untuk menyokong pertumbuhan massa tumor.
COX-2 dan PG merupakan faktor potensial yang penting pada angiogenesis tumor, di
mana COX-2 secara konsisten terekspresi dalam pembentukan pembuluh darah baru
dalam tumor dan pembuluh darah di sekitar tumor (Huang dkk., 2010; Kim dkk.,
2004).
Pada mekanisme terjadinya kanker akan melalui empat fase yaitu, fase induksi,
fase in situ, fase invasi serta fase disseminasi. Pada fase invasi sel-sel telah menjadi
ganas dan berkembang dengan cepat serta menginfiltrasi melewati membrane sel
kejaringan sekitarnya dan pembuluh darah serta pembuluh limfe. Dari percobaan
binatang diketahui ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses invasi sel-sel
tumor ganas tersebut yaitu, penambahan tekanan di dalam tumor akibat pembelahan
berkurangnya daya kohesi antar sel, mungkin ada hubungan dengan berkurangnya ion
kalsium atau perubahan muatan listrik dari membran sel, meluasnya bahan-bahan
yang lisis oleh karena sel-sel kanker tersebut dan hilangnya jembatan interseluler
Meskipun prinsip efek tumorigenik dari COX-2 termasuk memicu PGE2, COX-2
mutagen DNA pada jaringan yang berisiko. Tergantung dari lingkungan jaringannya,
karsinogen dapat terbentuk melalui aktivasi peroksidase dari COX-2 yang berasal
prostaglandin (PG) dan thromboxans dari asam arakidonat. COX-2 tertampil pada
menstimulasi BCL-2 dan inhibit apoptosis serta menyokong IL-6 untuk sintesis
pertumbuhan dan onkogen. Pada semua tumor, infeksi EBV merupakan laten yang
predominan. Gen EBV diekspresikan pada infeksi laten yang dibatasi 6 EBV Nuclear
Antigene dan 3 LMP. Pada tipe 2 latent merupakan EBNA-1 dan 3 LMP yang
33
diekspresikan pada KNF dan pada nasal T/Natural Kill Cell Lymphoma. LMP-1
dideteksi lebih 70% pada KNF dan semua infeksi EBV preinvasif lesi nasofaring.
Induksi COX-2 oleh LMP-1 menyokong untuk invasif angiogenesis dan LMP-1
kunci enzim yang mengontrol rate-limiting step pada sintesis prostanoid dan sel
neoplasma, serta metabolisme yang diproduksi oleh aksi COX-2 pada asam
(Hasibuan dkk., 2014; Sobolewski dkk., 2010). Menurut Choy dan Milas (2003),
ekspresi seluler COX-2 meningkat pada stadium awal dan melalui perkembangan
tumor serta pertumbuhan invasif dari KNF. Tan dan Putti (2005) dan Loong dkk
COX-2 dan terdapat hubungan ekspresi COX-2 dan prognosis buruk pada stadium
hubungan reseptor EBV pada sel epitel tidak tampak, tetapi permukaan protein
diuraikan dan EBV banyak masuk ke sel nasofaring berupa IgA mediated
ekspansi klonal dari perubahan sel nasofaring dan berubah menjadi sel malignant
Berdasarkan hal tersebut diatas diperkuat oleh teori karsinogenesis Kumar dkk.,
2010 yaitu:
1. Mutasi Somatik, yaitu perubahan urutan letak nukleotida dalam asam amino
diferensiasi sel terganggu, sel menjadi otonom dan lepas dari regulasi normal
sistem atau mekanisme regulasi gen seperti represif, depresi serta ekspresi
3. Aktivasi Virus yang masuk ke dalam inti sel dan berintegrasi dengan DNA
penderita serta mengubah fenotip sel dengan menyisipkan informasi baru atau
4. Seleksi Sel, pada tubuh manusia diperkirakan terdapat lebih dari 50.000 gen
saat ada sel yang mati dan ada pula sel baru yang terbentuk melalui proses
mitosis.