Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“INTERPRETASI DATA KLINIK GANGGUAN HEMATOLOGI DAN


KESEIMBANGAN ASAM BASA “

Di susun guna memenuhi mata kuliah Farmasi Klinik

Oleh :

Kelompok IV

A.Haning Setyaningsih F 120 155 045

Iriana Murdiastutil F 120 155 047

Sa’diah Ayu F 120 155 048

JURUSAN S-1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH KUDUS
2018
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dan


merupakan wujud pelaksanaan praktik kefarmasian berdasarkan Undang-undang No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan. Saat ini paradigma pelayanan kefarmasian telah meluas dari
pelayanan yang berorientasi pada obat (drug oriented) menjadi pelayanan yang berorientasi
pada pasien (patient oriented) dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
melalui pencapaian luaran klinik yang optimal.

Pada penilaian luaran klinik pasien diperlukan berbagai indikator yang meliputi:
respons klinik pasien, pemeriksaan fi sik, data laboratorium dan diagnostik (misalnya:
imejing, elektrografi). Pernyataan American Pharmacists Association 2008 yang mendukung
peran apoteker dalam keselamatan pasien antara lain perlunya apoteker mempunyai akses
data klinik pasien.

Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan untuk mendapatkan informasi yang


berguna bagi dokter dan apoteker dalam pengambilan keputusan klinik. Untuk mengambil
keputusan klinik pada proses terapi mulai dari pemilihan obat, penggunaan obat hingga
pemantauan efektivitas dan keamanan, apoteker memerlukan hasil pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan tersebut dibutuhkan sebagai pertimbangan penggunaan obat, penentuan
dosis, hingga pemantauan keamanan obat. Sebagai contoh, pada pertimbangan penggunaan
dan penentuan dosis aminoglikosida yang bersifat nefrotoksik diperlukan data kadar
aminoglikosida dalam darah dan serum kreatinin yang menggambarkan fungsi ginjal.

Pada keadaan data tidak tersedia atau belum direncanakan maka apoteker dapat
mengusulkan pemeriksaan laboratorium terkait penggunaan obat. Oleh karena itu, apoteker
dituntut untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam interpretasi data
laboratorium, khususnya yang terkait penggunaan obat, yaitu pemahaman nilai normal dan
implikasi perubahannya. Sebagai contoh penggunaan obat asetaminofen, diazepam,
rifampisin, antidiabetik oral, kloramfenikol dapat menyebabkan penurunan leukosit
(leukopenia).
Kompetensi interpretasi data laboratorium sangat mendukung peran apoteker ruang
rawat, komunitas, termasuk home care. Dalam praktik sehari-hari, kompetensi tersebut
melaksanakan praktek klinik, Apoteker perlu memiliki pengetahuan tentang uji laboratorium dengan
tujuan yaitu : menilai kesesuaian terapi obat, monitoring efek terapetik, monitoring reaksi obat yang
tidak diinginkan (ROTD), menilai toksisitas obat, monitoring kepatuhan minum obat. akan
memudahkan apoteker melakukan pengkajian penggunaan obat secara aktif; dan berdiskusi
dengan profesi kesehatan lain tentang terapi obat.

Dalam Pelayanan Kefarmasian yang berorientasi pada pasien (patient oriented)


dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencapaian luaran klinik
yang optimal. Seorang Apoteker juga dipandang perlu untuk dapat memahami tentang istilah-
istilah kedokteran termasuk juga diagnosa penyakit. Untuk itu dalam makalah ini juga akan
sedikit di bahas tentang definisi suatu penyakit.

I.2 DEFINISI DAN MANIFESTASI KLINIK PENYAKIT

I.2.1 OSTEOMALACIA

a. Definisi

Osteomalasia, sering kali dikenal sebagai rakitis dewasa, merupakan gangguan


metabolik tulang yang ditandai dengan ketidakadekuatan atau hambatan mineralisasi matriks
tulang pada tulang padat dan tulang spons matur, menyebabkan pelunakan tulang
(Praptiani:2012). Osteomalasia (osteomalacia), adalah kelainan tulang dimana tulang menjadi
lunak, lemah dan rapuh, sehingga sangat mudah menjadi fraktur tulang (fragility fracture)
(Tandra :2009).

Osteomalasia “tulang yang lunak” merupakan akibat gangguan pada mineralisasi


matriks osteoid. Hal ini menyebabkan deformitas tulang pada usia muda dan timbulnya nyeri
pada tulang (Rahmalia : 2005). Osteomalsia (tulang menjadi lunak) merupakan penyakit yang
terdapat mineralisasi tulang yang tidak adekuat (Asih :2000).

Sehingga dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa osteomalasia adalah suatu
penyakit akibat kekurangan vitamin D yang menghasilkan terjadinya kekurangan atau
kehilangan garam kalsium, yang menyebabkan tulang menjadi semkain lembut, fleksibel,
rapuh dan cacat. Hal ini ditandai dengan mineralisasi cacat tulang, nyeri tulang, peningkatan
kerapuhan tulang dan patah tulang.

Jadi dapat disimpulkan bahwa penyakit oseomalacia ini dapat terjadi karena
penurunan asupan vitamin D, kalsium dan fosfat pada tulang, yang menyebabkan tulang
menjadi lunak dan rapuh sehingga tulang mudah mengalami pata tulang.

b. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis dari osteomalasia terjadi keletihan dan kelemahan otot yang
mungkin menjadi tanda awal defisiensi vitamin D. Selain itu manifestasi klinis dari
osteomalasia juga menyerupai gangguan reumatik, meliputi nyeri tulang yang mungkin samar
dan general pada pertama, menjadi lebih intens dengan aktivitas seiring dnegan
perkembangan penyakit; terjadi paling sering pada panggul; tulang panjang pada ekstremitas,
spina, dan iga. Kesulitan berganti posisi dari posisi berbaring ke posisi duduk dan dari posisi
duduk ke posisi berdiri, gaya berjalan bergoyang yang mungkin akibat nyeri dan kelemahan
otot, kifosis dorsal yang dapat terjadi pada kasus berat, fraktur patologis, mudah lelah,
kelemahan proksimal dan pelunakan periartikuler. Simptom ini membaik dengan terapi untuk
mengoreksi gangguan mineralisasi. Beberapa pasien dengan osteomalasia menunjukkan garis
radiolusen kortikal tipis (stress fracture) yang tegak lurus dengan tulang dan seringkali
simetris. Pasien lain memiliki fraktur lama pada kosta yang multipel dengan pembentukan
kalus yang buruk.

I.2.2 OSTEOMYELITIS

a. Definisi

Smeltzer & Bare (2002:2342) mendefinisikan Osteomielitis sebagai infeksi tulang


yang dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau
mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
Osteomielitis  juga dapat diartikan sebagai infeksi jaringan tulang yang dapat timbul
akut atau kronik (Price A. Sylvia & Wilson, 2005:1200).
Berdasarkan pendapat lain menyatakan bahwa “osteomielitis (Infeksi tulang)
merupakan proses peradangan yang dapat terjadi secara mendadak atau perlahan-lahan pada
tulang yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme (bakteri dan jamur)”
b. Manifestasi Klinik
Pada anak-anak, infeksi tulang yang didapat melalui aliran darah, menyebabkan
demam, nyeri pada tulang yang terinfeksi. Daerah di atas tulang bisa mengalami luka dan
membengkak dan dalam pergerakan akan menimbulkan nyeri.
Osteomielitis kronik sering menyebabkan nyeri tulang, infeksi jaringan lunak di atas
tulang yang berulang dan pengeluaran nanah (pus) yang menetap atau hilang timbul dari
kulit. Pengeluaran nanah terjadi, jika nanah dari tulang yang terinfeksi menembus permukaan
kulit dan suatu saluran (sinus) terbentuk dari tulang menuju kulit.

I.2.3 OSTEOPOROSIS

a. Definisi

Osteoporosis adalah penyakit metabolisme tulang yang kronik dan progresif, yang
ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan struktural jaringan tulang, yang
dapat mengakibatkan kerapuhan tulang. (Sharon L. Lewis, 2007).
  Osteoporosis adalah penyakit metabolik dimana terjadi demineralisasi tulang yang
menyebabkan penurunan densitas dan berikutnya menyebabkan fraktur. (Donna Ignatavicius,
2002).

b. Manifestasi Klinik

Osteoporosis sering disebut “silent disease” karena kehilangan tulang timbul tanpa
gejala. Seseorang tidak mengetahui ia mempunya osteoporosis sampai tulang mereka menjadi
sangat lemah sehingga tiba-tiba berbunyi, berbenjol atau jatuh akibat fraktur panggul,
vertebra, atau pergelangan tangan. Memendeknya vertebra dapat didahului dengan nyeri
punggung, penurunan tinggi badan, atau deformitas spinal seperti kiposis, atau bungkuk.

1.2.4 HEMATOLOGI ( ANEMIA)


a. Definisi
Anemia adalah suatu kondisi ketika tubuh kekurangan sel darah yang mengandung
hemoglobin untuk menyebarkan oksigen ke seluruh organ tubuh. Dengan kondisi tersebut,
penderita biasanya akan merasa letih dan lelah, sehingga tidak dapat melakukan aktivitas
secara optimal.
b. Manifestasi Klinik

-pucat kekurangan volume darah dan HB, vasokonstriksi.

-takikardia dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah ) angina ( sakit dada )

-dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktivitas (pengiriman O2 berkurang )

-sakit kepala, kelemahan, tinitus ( telinga berdengung) menggambarkan berkurangnya


osigenasi pada SS.

-anemia erat menyebabkan gangguan GI dan CHF ( anoreksia,nausea, konstipasi atau diare )

I.3 INTERPRETASI DATA LABORAT

1.3.1 PEMERIKSAAN ELEKTROLIT

++
A. CALSIUM (Ca )

Nilai normal : 8,8 – 10,4 mg/dL SI unit : 2,2 – 2,6 mmol/L

Deskripsi:

Kation kalsium terlibat dalam kontraksi otot, fungsi jantung, transmisi impuls saraf
dan pembekuan darah. Lebih kurang 98-99% dari kalsium dalam tubuh terdapat
dalam rangka dan gigi. Sejumlah 50% dari kalsium dalam darah terdapat dalam
bentuk ion bebas dan sisanya terikat dengan protein. Hanya kalsium dalam bentuk
ion bebas yang dapat digunakan dalam proses fungsional. Penurunan konsentrasi
serum albumin 1 g/dL menurunkan konsentrasi total serum kalsium lebih kurang
0,8 mEq/dL.

Implikasi klinik:
• Hiperkalsemia terutama terjadi akibat hiperparatiroidisme atau neoplasma
(kanker). Penyebab lain meliputi paratiroid adenoma atau hiperplasia (terkait
dengan hipofosfatemia), penyakit hodgkin, multiple mieloma, leukemia,
penyakit addison, penyakit paget, respiratori asidosis, metastase tulang,
imobilisasi dan terapi dengan diuretik tiazid.
• Hipokalsemia dapat diakibatkan oleh hiperfosfatemia, alkalosis, osteomalasia,
penggantian kalsium yang tidak mencukupi, penggunaan laksatif, furosemide,
dan pemberian kalsitonin. Pseudohipokalsemia kadang-kadang ditemukan bila
konsentrasi albumin rendah karena adanya gabungan kalsium dengan albumin.
• Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kalsium :
– Hormon paratiroid bekerja pada tulang untuk melepaskan kalsium ke dalam
darah, meningkatkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan
reabsorbsi kalsium di ginjal.

– Vitamin D menstimulasi absorpsi kalsium di usus.

– Estrogen meningkatkan simpanan kalsium dalam tulang

– Androgen, glukokortikoid dan kelebihan hormon tiroid dapat menyebabkan


hipokalsemia dan kekurangan kalsium dalam tulang.

Jika diperlukan kadar kalsium terion, pH darah haruslah diukur secara bersamaan.

Faktor pengganggu

• Diuretik tiazid dapat mengganggu ekskresi kalsium urin dan menyebabkan


hiperkalsemia
• Bagi pasien dengan insufisiensi ginjal menjalani dialisis, resin penukar ion
kalsium terkadang digunakan untuk hiperkalemia. Resin ini dapat meningkatkan
kadar kalsium
• Peningkatan uptake magnesium dan fosfat dan penggunaan laksatif berlebih
dapat menurunkan kadar kalsium karena peningkatan kehilangan kalsium di usus
halus
• Jika kadar kalisum menurun akibat defisiensi magnesia (seperti pada absorbsi
usus besar yang tidak baik), pemberian magnesium akan memperbaiki defi siensi
kalsium
• Jika seorang pasien diketahui memiliki atau diduga memiliki abnormalitas pH,
pemeriksaan pH dengan kadar kalsium dilakukan secara bersamaan
• Banyak obat menyebabkan peningkatan atau penurunan kadar kalsium.
Suplemen kalsium yang dikonsumsi segera sebelum pengumpulan spesimen
akan menyebabkan nilai kalsium tinggi yang false.
• Peningkatan kadar protein serum meningkatkan kalsium; penurunan protein
menurunkan kalsium.

Hal yang harus diwaspadai:

1. Nilai kritis total kalsium:


2. < 6 mg/dL (1,5 mmol/L) dapat menyebabkan tetanus dan kejang
3. 13 mg/dL (3,25 mmol/L) dapat menyebabkan kardiotoksisitas, aritmia, dan
koma)
4. Terapi cepat pada hiperkalsemia adalah kalsitonin

Tatalaksana Hiperkalsemia

Hiperkalsemia parah (>3.5 mmol/L)

• Salin iv untuk mengembalikan GFR dan meningkatkan diuresis kombinasi


dengan furosemida untuk meningkatkan ekskresi kalsium ginjal
• Pamidronat IV 30 - 50 mg (mengganggu aktifi tas osteoklas)
Pilihan lain

• Fosfat IV atau oral


• Kalsitonin, kortikosteroid

Tatalaksana Hipokalsemia

Akut parah
Kalsium glukonat 10% 10 mL IV diberikan secara perlahan dengan monitoring

EKG

Terapi IV lebih lanjut jika diperlukan melalui infus perlahan, jika terapi oral tidak
sesuai

Perbaiki hipomagnesia jika terjadi

Terapi kronik

• Vitamin D analog (dengan atau suplemen kalsium tergantung pada asupan


harian)
o Ergokalsiferol 50.000 - 100.000 UI per hari

o Kalsiferol 0,5 - 2 μg per hari

Profilaksis

• Vitamin D analog (dengan atau tanpa suplemen kalsium tergantung pada


asupan harian)
o Ergokalsiferol 1000 UI per hari

Tatalaksana Hipofosfatemia

1. Parah (fosfat < 0,3 mmol/L) atau hipofosfatemia simptomatik:


o Dosis fosfat 0,15 - 0,33 mmol/kg/dosis melalui infus lebih dari 6 jam
diberikan sebagai berikut:
- Kalium fosfat : 4,4 mmol K+/mL dan 3,0 mmol PO43-/mL
- Natrium fosfat : 4,0 mmol Na+/mL dan 3.0 mmol PO43-/mL
2. Pemeliharaan 0,1 - 0,2 mmol/kg/hari
3. Efek samping pemberian fosfat adalah hipokalsemia (khususnya jika diberikan
infus lebih dari 6 jam), kalsifi kasi matastatik, hipotensi dan hiperkalemia atau
hipernatremia (tergantung sediaan yang digunakan).

B. FOSFOR ANORGANIK (PO4)

Nilai normal : Pria; 0-5 tahun : 4-7 mg/dL SI unit:1,29-2,25 mmol/L


6-13 tahun: 4-5,6 mg/dL SI unit : 1,29-1,80 mmol/L

14-16 tahun:3,4-5,5 mg/dL SI unit 1,09-1,78 mmol/L

17-19 tahun: 3-5 mg/dL SI unit: 0,97-1,61 mmol/L

≥20 tahun: 2,6-4,6 mg/dL SI unit: 0,89-1,48 mmol/L

wanita; 0-5 tahun: 4-7 mg/dL SI unit :1,29-2,25 mmol/L

6-10 tahun: 4,2-5,8 mg/dL SI unit: 1,35-1,87 mmol/L

11-13 tahun: 3,6-5,6 mg/dL SI unit : 1,16-1,8 mmol/L

14-16 tahun: 3,2-5,6 mg/dL SI unit : 1,03-1,8 mmol/L

≥17 tahun: 2,6-4,6 mg/dL SI unit: 0,84-1,48 mmol/L

Deskripsi:

Fosfat dibutuhkan untuk pembentukan jaringan tulang, metabolisme glukosa dan lemak,
pemeliharaan keseimbangan asam-basa serta penyimpanan dan transfer energi dalam tubuh.
Sekitar 85% total fosfor dalam tubuh terikat dengan kalsium. Bila kadar fosfat diperiksa
maka nilai serum kalsium juga harus diperiksa.

Implikasi klinik:

• Hiperfosfatemia dapat terjadi pada gangguan fungsi ginjal, uremia, kelebihan asupan
fosfat, hipoparatiroidisme, hipokalsemia, kelebihan asupan vitamin D, tumor tulang,
respiratori asidosis, asidosis laktat dan terapi bifosfonat.
• Hipofosfatemia dapat terjadi pada hiperparatiroidisme, rickets, koma diabetik,
hyperinsulinisme, pemberian glukosa iv secara terus menerus pada nondiabetik,
antasida, tahap-tahap diuretik pada luka bakar parah dan respiratori alkalosis.

Faktor pengganggu

• Kadar fosfor normal lebih tinggi pada anak-anak


• Kadar fosfor dapat meningkat secara false akibat hemolisis darah; karenanya pisahkan
serum dari sel sesegera mungkin
• Obat dapat menjadi penyebab menurunnya fosfo r
• Penggunaan laksatif atau enema yang mengandung natrium fosfat dalam jumlah besar
akan meningkatkan fosfor sebesar 5 mg/dL setelah 2 hingga 3 jam. Peningkatan
tersebut hanya sementara (5-6 jam) tetapi faktor ini harus dipertimbangkan jika
dijumpai abnormalitas kadar.

Tatalaksana Hiperfosfatemia

1. Terapi hiperfosfatemia sebaiknya langsung pada penyebab masalah:


o Pada gagal ginjal pembatasan makanan bermanfaat dan penggunaan bahan yang
mengikat fosfat (kalsium atau aluminium)
o Hemodialisis digunakan untuk mengurangi kadar fosfat pada pasien yang
mengalami penyakit ginjal tahap akhir
2. Terapi hiperfosfatemia yang mengancam jiwa:
o Pemberian cairan IV untuk meningkatkan ekskresi
o Kalsium IV
o dialisis

+
C. KALIUM (K )

Nilai normal: 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L

: ≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 mEq/L SI unit :3,6 – 4,8 mmol/L

Deskripsi :

Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler,


(bersama bikarbonat) berfungsi sebagai buffer utama. Lebih kurang 80% - 90%
kalium dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Aktivitas mineralokortikoid dari
adrenokortikosteroid juga mengatur konsentrasi kalium dalam tubuh. Hanya sekitar
10% dari total konsentrasi kalium di dalam tubuh berada di ekstraseluler dan 50
mmoL berada dalam cairan intraseluler, karena konsentrasi kalium dalam serum
darah sangat kecil maka tidak memadai untuk mengukur kalium serum. Konsentrasi
kalium dalam serum berkolerasi langsung dengan kondisi fi siologi pada konduksi
saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan kontraksi otot jantung.

Implikasi klinik:
• Hiperkalemia. Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium yaitu:
gagal ginjal, kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit Addison,
diabetes yang tidak terkontrol dan transfusi sel darah merah.
Hipokalemia, adalah konsentrasi kalium dalam serum darah kurang dari 3,5
mmol/L.

• Hipokalemia dan hiperkalemia dapat meningkatkan efek digitalis dan dapat


menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga perlu memeriksa nilai K sebelum
pemberian digoksin

I.3.2 PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL

Fungsi pemeriksaan faal ginjal adalah:

i) untuk mengidentifikasi adanya gangguan fungsi ginjal


ii) untuk mendiagnosa penyakit ginjal
iii) untuk memantau perkembangan penyakit
iv) untuk memantau respon terapi
v) untuk mengetahui pengaruh obat terhadap fungsi ginjal

a) Kreatinin
Nilai normal : 0,6 – 1,3 mg/dL SI : 62-115 μmol/L

Deskripsi :

Tes ini untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin dihasilkan selama
kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin diekskresi oleh
ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator fungsi ginjal. Pada kondisi
fungsi ginjal normal, kreatinin dalam darah ada dalam jumlah konstan. Nilainya
akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal.

Serum kreatinin berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas
dan diekskresi seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk
mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati glomerular filtration rate
(GFR).
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan fosfokreatinin
yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan selama masa otot
konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.

Implikasi klinik :

• Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik


karena gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran
urin, penyakit otot atau dehidrasi akut.
• Konsentrasi kreatinin serum menurun akibat distropi otot, atropi, malnutrisi
atau penurunan masa otot akibat penuaan.
• Obat-obat seperti asam askorbat, simetidin, levodopa dan metildopa dapat
mempengaruhi nilai kreatinin pada pengukuran laboratorium walaupun tidak
berarti ada gangguan fungsi ginjal.
• Nilai kreatinin boleh jadi normal meskipun terjadi gangguan fungsi ginjal pada
pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat penurunan masa otot.
• Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu diperlukan
waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai kadar normal untuk
mendeteksi perbaikan fungsi ginjal yang signifikan.
• Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL menunjukan fungsi ginjal yang menurun 50 %
hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.
• Konsentrasi kreatinin serum juga bergantung pada berat, umur dan masa otot.

Faktor pengganggu

• Olahraga berat, angkat beban dan prosedur operasi yang merusak otot rangka
dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Alkohol dan penyalahgunaan obat meningkatkan kadar kreatinin
• Atlet memiliki kreatinin yang lebih tinggi karena masa otot lebih besar
• Injeksi IM berulang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar kreatinin
• Banyak obat dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Melahirkan dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Hemolisis sampel darah dapat meningkatkan kadar kreatinin
• Obat-obat yang meningkatkan serum kreatinin: trimetropim, simetidin,
ACEI/ARB
b) Kreatinin Urin (Clcr)  Creatinine clearance
Nilai normal : Pria : 1 - 2 g/24 jam

Wanita : 0,8 - 1,8 g/24 jam

Deskripsi:

Kreatinin terbentuk sebagai hasil dehidrasi kreatin otot dan merupakan produk sisa
kreatin. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan tidak direabsorbsi oleh tubulus
pada kondisi normal. Kreatinin serum dan klirens kreatinin memberikan gambaran
filtrasi glomerulus.

Implikasi klinik:

Pengukuran kreatinin yang diperoleh dari pengumpulan urin 24 jam, namun hal itu
sulit dilakukan. Konsentrasi kreatinin urin dihubungkan dengan volume urin dan
durasi pengumpulan urin (dalam menit) merupakan nilai perkiraan kerja fungsi ginjal
yang sebenarnya.

Kategori kerusakan ginjal berdasarkan kreatinin serum dan klirens

Derajat Klirens Kreatinin Serum Kreatinin


kegagalan ginjal (mL/menit) (mg/dL)

> 80 1,4
Normal

Ringan 57 – 79 1,5 - 1,9

Moderat 10 – 49 2,0 - 6,4

Berat < 10 > 6,4


Anuria 0 > 12

Obat-obat yang bersifat nefrotoksik :

• Analgesik: naproksen, salisilat, fenoprofen, ibuprofen


• Anestesi: ketamin
• Antibiotik: kolistin, oksasilin, tetrasiklin, aminoglikosida, vankomisin, eritromisin,
rifampisin, sulfonamid
• Antiretroviral, asiklovir
• Preparat besi
• Diuretik: furosemid, tiazid, manitol
• Koloid: dextran
• Sitostatika: siklofosfamid, cisplatin
• Antijamur: amfoterisin
• Imunosupresan: siklosporin, takrolimus
• Antitrombotik: klopidogrel, ticlid
• Antidislipidemia: statin
• Golongan bifosfonat
• Antidepresan: amitriptilin
• Antihistamin
• Allopurinol
• Antikonvulsi: fenitoin, asam valproat
• Ulcer healing drugs: H2-blocker, penghambat pompa proton
Obat-obat yang perlu dimonitor pada pasien dengan ganguan fungsi ginjal

• Golongan aminoglikosida dan Obat dengan indeks terapi sempit


BAB II

CONTOH KASUS DAN METODE PAM

Kasus dalam makalah ini adalah sebagai berikut :


Ny. An usia 63 tahun seorang penderita gagal ginjal kronik dan sudah menjalani hemodialisa
secar rutin, dirawat di RS karena nyeri tulang difus (diffused bone pain), deformitas dada
(chest deformity) dan otopnea. Dia sebelumnya menjalani bed rest yang lama dan mengalami
aritmia jantung dan mendapat pengobatan glikosida digitalis. Untuk mengatasi hipertensinya,
dokter memberikan terapi diuretic tiazid.

Riwayat pengobatan : dokter meresepkan pengikat fosfat berbasis aluminium dalam jangka
waktu 3 bulan untuk hiperfosfatemia.
Pemeriksaan laboratorium :
Ca : 6,5 mg/dL; PO4: 2 mg/dL
iPTH : 1200 ng/ mL
SrCr : 9,2 mg/dL
Kadar 25-hydroxy-D-Vitamin sangat rendah untuk diukur
Pemeriksaan radiologi :
 Menunjukkan adanya peningkatan kemungkinan gangguan metabolic tulang dengan fraktur
sekunder
 Scintigrafi tulang dengan (99m) Tc_MDP menunjukkan akumulasi isotope patologis pada
lokasi tertentu dengan osteomalacia
 Pemeriksaan histologi tulang menunjukkan adanya penebalan substansi osteoid
 Diagnosis : osteomalasia

TUGAS : selesaikan kasus tersebut dg metode PAM, Berikan alasan jika ada obat yang diganti
(sumbernya dr mana/point terpenting cek algoritma terapi kl ada).

II.1 PENYELESAIN KASUS DENGAN METODE PAM

Pembahasan pada kasus pasien Ny An dengan gagal ginjal kronik yang sudah menjalani
hemodialisa secara rutin dengan metode PAM adalah :

II.I .1 PROBLEM

1. Nyeri tulang difus (diffused bone pain)


2. Deformitas dada (chest deformity) dan otopnea (Dia sebelumnya menjalani bed rest
yang lama )
3. Mengalami aritmia jantung.
4. Mempunyai riwayat hypertensi.
5. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium untuk eletrolit menunjukkan kadar Ca++
yang tinggi ( hipocalsemia ) dan PO4 yang tinggi ( hyperpospatemia ).
6. Pada pemeriksaan iPTH ( intake Prothrombin Hormon ) muncul angka yang tinggi.
7. Pemeriksaan SrCr juga tinggi.
8. Kadar 25-hydroxy-D-Vitamin sangat rendah untuk diukur
9. Pemeriksaan radiologi :
 Gangguan metabolic tulang dengan fraktur sekunder.
 Scintigrafi tulang dengan (99m) Tc_MDP menunjukkan akumulasi isotope
patologis pada lokasi tertentu dengan osteomalacia
 Pemeriksaan histologi tulang menunjukkan adanya penebalan substansi
osteoid.

II.1.2 ASSESMENT :

1. Gejala yang dialami pasien merupakan gejala klinik dari osteomalsia , aritmia jantung
dan disfungsi ginjal.
2. Kadar yang tidak normal adalah :
 Ca++ yang rendah (hipocalsemia)
 PO4 yang tinggi (hyperpospatemia)
 iTPH (inTake Prothrombin Hormon ) tinggi menunjukkan kadar kalsium yang
rendah, karena iPTH merupakan indikator utk pemeriksaan kadar kalsium.
 Srcr tinggi, menunjukkan disfungsi ginjal.
 Pemeriksaan vitamin D dengan 25(OH)D sangat rendah menunjukkan kadar
vitamin D sangat rendah.
3. Pemeriksaan Radiologi :
 Adanya Fraktur sekunder
 Penebalan substansi osteoid.
4. Penggunaan obat untuk aritmia jantung dengan glikosida digitalis sebaiknya
dilakukan pemeriksaan eletrolit ion K+ , karena hipokalemia dan hiperkalemia dapat
meningkatkan efek digitalis dan dapat menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga
perlu memeriksa nilai K sebelum pemberian digoksin. ( mengingat obat jantung
adalah golongan obat dengan indeks terapi sempit dan golongan obat HAM.
5. Pengobatan hypertensi dengan diuretik thiazid untuk pasien dengan disfungsi ginjal
akan menimbulkan nefrotoksik.
6. Pengikat fosfat berbasis aluminium dalam jangka waktu yang lama untuk
hiperfosfatemia akan meningkatkan alumunium.
7. DRPs : perlu terapi untuk hipokalsemia, dan suplemen vit D

ACTION

1. Merekomendasikan untuk pemeriksaan ion Kalium sebelum pengobatan dengan


gliosida digitalis.
2. Merekomendasikan untuk hypertensi dengan disfungsi ginjal yaitu dari golongan
ARB atau CCB.
3. Merekomendasikan aff terapi pengikat fosfat berbasis alumunium untuk
hiperfosfatemia dengan menggantikan dari golongan sevelamer seperti Lanthanum
carbonat , kalsitriol atau CaCO3 / Bic Na sekaligus untuk koreksi kadar kalsium.
4. Merekomendasikan untuk hipokalsemia dengan memberikan calcium gluconas 10 %
10 ml IV , CaCo3 atau bicarbonas Na secara PO.
5. Merekomendasikan untuk rawat bersama dengan dokter Spesialis Orthopedi ( SpOT )
untuk mengatasi osteomalsia. Dan bersama dengan ahli Gizi untuk diet terapi.

II.1.3 MONITORING

1. Pantau perkembangan pasien dengan meliputi gejala dan manifestasi klinik nya.
2. Pantau perkembangan pasien dengan pemeriksaan laboratorium yaitu kadar Ca++ ,
K+ , iPTH, SrCr ( proses hemodialisa ), vit D serta pemeriksaan hematologi .
3. Pemantauan Efek Samping Obat.

BAB III

PEMBAHASAN
Pada kasus Ny. An usia 63 tahun seorang penderita gagal ginjal kronik dan sudah
menjalani hemodialisa secar rutin, dirawat di RS. Hasil pemeriksaan laboratorium Serum
Creatinin masih tinggi yaitu 9,2 mg/dL sedangkan untuk Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL
menunjukan fungsi ginjal yang menurun 50 % hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.
Apabila kita implementasikan dengan kategori kerusakan ginjal angka 9,2 mg/dL untuk kadar
SrCr Ny An masuk pada derajat kegagalan ginjal yang berat.
Interpretasi data laboratorium untuk pemeriksaan kadar elektrolit menunjukkan kadar
Ca++ yang rendah dan Fosfor anorganik (PO4) tinggi yaitu Ca : 6,5 mg/dL; PO4: 2 mg/dL
studi literatur menyatakan bahwa hipokalsemia dapat diakibatkan oleh hiperfosfatemia,
alkalosis, osteomalasia, penggantian kalsium yang tidak mencukupi, penggunaan laksatif,
furosemide, dan pemberian kalsitonin. Pseudohipokalsemia kadang-kadang ditemukan bila
konsentrasi albumin rendah karena adanya gabungan kalsium dengan albumin. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kalsium adalah Hormon paratiroid dimana hormon
ini bekerja pada tulang untuk melepaskan kalsium ke dalam darah, meningkatkan absorpsi
kalsium di usus dan meningkatkan reabsorbsi kalsium di ginjal. Dan Vitamin D dimana
vitamin D berfungsi untuk menstimulasi absorpsi kalsium di usus. Pada kasus diatas
hipokalsemia bisa disebabkan oleh osteomalasia dan kekurangan vitamin D .

Tata laksana untuk hipokalsemia adalah :

Akut parah

Kalsium glukonat 10% 10 mL IV diberikan secara perlahan dengan monitoring

EKG

Terapi IV lebih lanjut jika diperlukan melalui infus perlahan, jika terapi oral tidak
sesuai perbaiki hipomagnesia jika terjadi

Terapi kronik

Vitamin D analog (dengan atau suplemen kalsium tergantung pada asupan harian)
Ergokalsiferol 50.000 - 100.000 UI per hari

Kalsiferol 0,5 - 2 μg per hari

Profilaksis
Vitamin D analog (dengan atau tanpa suplemen kalsium tergantung pada asupan
harian)
Ergokalsiferol 1000 UI per hari

Fosfat dibutuhkan untuk pembentukan jaringan tulang, metabolisme glukosa dan


lemak, pemeliharaan keseimbangan asam-basa serta penyimpanan dan transfer energi dalam
tubuh. Sekitar 85% total fosfor dalam tubuh terikat dengan kalsium. Bila kadar fosfat
diperiksa maka nilai serum kalsium juga harus diperiksa. Hiperfosfatemia dapat terjadi pada
gangguan fungsi ginjal, uremia, kelebihan asupan fosfat, hipoparatiroidisme, hipokalsemia,
kelebihan asupan vitamin D, tumor tulang, respiratori asidosis, asidosis laktat dan terapi
bifosfonat. Pada kasus diatas hiperfosfatemia bisa disebabkan karena disfungsi ginjal.
Tata Terapi untuk hiperfosfatemia adalah :

1. Terapi hiperfosfatemia sebaiknya langsung pada penyebab masalah:


Pada gagal ginjal pembatasan makanan bermanfaat dan penggunaan bahan yang
mengikat fosfat (kalsium atau aluminium)
Hemodialisis digunakan untuk mengurangi kadar fosfat pada pasien yang mengalami
penyakit ginjal tahap akhir
2. Terapi hiperfosfatemia yang mengancam jiwa:
Pemberian cairan IV untuk meningkatkan ekskresi
Kalsium IV
Dialisis

Pada pemeriksaan iTPH (Intact Para Thyroid Hormone ) menunjukkan nilai yang
tinggi yaitu 1200 ng/ mL Uji nilai rujukan hasil normal untuk hormon paratiroid adalah 70
pg/ml – 7,5 (pmol/L ). Pemeriksaan IPTH adalah pemeriksaan yang mengukur kadar hormon
parathyroid aktif. Fungsi hormon ini adalah untuk meningkatkan kadar kalsium dalam darah.
Hormon Parathyroid ini akan dihasilkan ketika kadar kalsium dalam darah rendah.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi adanya kekurangan dan kelebihan kalsium
pada penderita penyakit ginjal kronik. Selain itu pemeriksaan IPTH juga dilakukan jika ada
kecurigaan adanya hiperparatiroidisme primer. Kombinasi dengan pemeriksaan vitamin D
akan membantu dalam menentukan adanya kelainan metabolisme tulang dan osteoporosis.
Hasil pemeriksaan IPTH pada kasus diatas adalah tinggi, tingkat yang lebih tinggi pada kasus
diatas disebabkan oleh gangguan yang meningkatkan kadar fosfat dalam darah seperti
penyakit ginjal kronik dan kekurangan kalsium.
Pemeriksaan Vitamin D yaitu menggunakan D 25-OH merujuk pada hasil yang sangat
rendah. Pemeriksaan vitamin D 25-OH total berguna untuk diagnosis kekurangan vitamin D.
Kekurangan vitamin D adalah penyakit yang sulit dideteksi atau biasa disebut silent disease.
Fungsi utama vitamin D itu sendiri adalah untuk menjaga konsetrasi normal kalsium dan
fosfat dalam darah sehingga selalu dikaitkan dengan kesehatan tulang. Akan tetapi sekarang
ini manfaat vitamin D meluas yakni memberikan pengaruh terhadap fungsi berbagai sistem
dalam tubuh seperti sistem pertahanan tubuh , sistem kardiovaskuler, sistem endokrin. Maka
kekurangan vitamin D meningkatkan beberapa penyakit .

Data penggunaan obat untuk Ny As dalam kasus diatas adalah:


1. Terapi diuretik tiazid untuk hypertensi
2. Pengikat fosfat berbasis aluminium dalam jangka waktu 3 bulan untuk
hiperfosfatemia.
3. Glikosida digitalis untuk aritmia jantung.

Evaluasi untuk penggunaan obat pada kasus diatas adalah :

1. Diuretik tiazid
Obat obat golongan diuretik tiazid termasuk golongan nefrotoksik, Diuretik tiazid juga dapat
mengganggu ekskresi kalsium urin dan menyebabkan hiperkalsemia. Diuretik thiazid juga
dapat menyebabkan hiperurisemia ( asam urat tinggi ). Sehingga penggunaan hypertensi
untuk kasus disfungsi ginjal yang menjalani dialis bukan sebuah tindakan yang tepat.
Berdasarkan guedeline JNC 8 tata laksana untuk terpai hypertensi dengan cempeling indikasi
ginjal , pemilihan terapinya adalah menggunakan obat antihypertensi dari golongan ARB atau
CCB.
2. Hiperfosfatemia dengan pengikat berbasis alumunium.

Secara umum kontrol terhadap hiperfosfatemia melibatkan pembatasan fosfat dalam makanan
ditambah dengan penggunaan gel pengikat fosfat, seperti antacid yang mengandung
AL(OH)3 dan tambahan kalsium. Oleh karena itu kemampuannya dalam menginduksi
penyakit tulang yang berhubungan dengan alumunium, maka obat yang berbasis alumunium
hanya boleh digunakan sedikit demi sedikit dan hanya bila cara lain gagal untuk mengontrol
hiperfosfatemia. Akhir-akhir ini suatu bentuk agen pengikat fosfat baru telah disetujui untuk
pengobatan pasien dengan gagal ginjal. Sevelamer tidak mengandung alumunium dan
karenanya merupakan alternatif yang baik dalam situasi dengan keterlibatan hiperkalsemia
atau intoksikasi alumunium. Sehingga rekomendasi untuk tatalaksana hiperfosfatemia adalah
golongan sevelamer seperti Lanthanum carbonat , kalsitriol atau CaCO3 / Bic Na sekaligus
untuk koreksi kadar kalsium.

3. Glikosida digitalis untuk aritmia jantung.

Penggunaan obat untuk aritmia jantung dengan glikosida digitalis sebaiknya dilakukan
pemeriksaan eletrolit ion K+ , karena hipokalemia dan hiperkalemia dapat meningkatkan efek
digitalis dan dapat menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga perlu memeriksa nilai K
sebelum pemberian digoksin. ( mengingat obat jantung adalah golongan obat dengan indeks
terapi sempit dan golongan obat HAM.

BAB III

KESIMPULAN
Dalam melaksanakan praktek klinik, Apoteker perlu memiliki pengetahuan tentang uji
laboratorium dengan tujuan diantaranya adalah menilai kesesuaian terapi obat , monitoring
efek terapetik, monitoring reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), menilai toksisitas obat,
monitoring kepatuhan minum obat.

Dari pembahasan kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu :

1. Obat obat golongan diuretik tiazid termasuk golongan nefrotoksik, Diuretik tiazid
juga dapat mengganggu ekskresi kalsium urin dan menyebabkan hiperkalsemia.
Diuretik thiazid juga dapat menyebabkan hiperurisemia ( asam urat tinggi ). Sehingga
penggunaan hypertensi untuk kasus disfungsi ginjal yang menjalani dialis bukan
sebuah tindakan yang tepat. Berdasarkan guedeline JNC 8 tata laksana untuk terapi
hypertensi dengan cempeling indikasi ginjal , pemilihan terapinya adalah
menggunakan obat antihypertensi dari golongan ARB atau CCB.
2. Obat yang berbasis alumunium hanya boleh digunakan sedikit demi sedikit dan hanya
bila cara lain gagal untuk mengontrol hiperfosfatemia. Sehingga rekomendasi untuk
tatalaksana hiperfosfatemia adalah golongan sevelamer seperti Lanthanum carbonat ,
kalsitriol atau CaCO3 / Bic Na sekaligus untuk koreksi kadar kalsium.
3. Penggunaan obat untuk aritmia jantung dengan glikosida digitalis sebaiknya
dilakukan pemeriksaan eletrolit ion K+ , karena hipokalemia dan hiperkalemia dapat
4. meningkatkan efek digitalis dan dapat menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga
perlu memeriksa nilai K sebelum pemberian digoksin. ( mengingat obat jantung
adalah golongan obat dengan indeks terapi sempit dan golongan obat HAM. Obat
dengan indeks terapi sempit untuk kasus gangguan ginjal juga harus mendapatkan
perhatian khusus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kemenkes RI tahun 2011.
2. Kumar, Vinay, Abul K. Abbas dan Nelson Fausto. 2005. Robbins and Cotran
Pathologic Basis of Disease.  Seventh Edition. Philadelphia : Elsevier Saunders.
3. Lewis, Sharon L. 2007. Medical Surgical Nursing : Assessment and Management of
Clinical Problems Volume 2. Seventh Edition. St.Louis : Mosby.
4.   Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. Alih bahasa : Brahm U. Pendit.
2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 1.Edisi
6.  Jakarta : EGC.
5.   Sherwood, Lauralee. Alih bahasa : Brahm U. Pendit. 2001. Fisiologi Manusia Dari
Sel ke Sistem.Edisi 2. Jakarta : EGC.

6. Asep, P. 2001. Osteomielitis : Perkembangan 10 tahun Terakhir, Jurnal Cermin


Dunia Kedokteran, (online), No.23, (http//www.medicastore.co.id, diakses tanggal 12
Februari 2012).
7. Carpenito, Lynda Juall. (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa
Monica Ester. Jakarta : EGC.
8.   Doengoes, Maryln E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa : I Made
Karyasa. Jakarta : EGC.
9.    Price, Sylvia A. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi
ke 4. Alih bahasa : Peter Anugrah. Jakarta : EGC.
10. Rendra Leonas. 2005. Infeksi Tulang Serang Semua Umur (online),
(http: //www.sriwijaya-postonline.com, diakses tanggal 12 Februari 2012).
11. Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai