Anda di halaman 1dari 10

Proses Pembelajaran: Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana ...............................................................................

(Yuniartanti)

PROSES PEMBELAJARAN: PENATAAN RUANG


KAWASAN RAWAN BENCANA DAN RENTAN DAMPAK PERUBAHAN
IKLIM DI PULAU ALOR
(Learning Process: Spatial Planning of Disaster Prone Areas and Climate Change Impact in
Alor Island)

Rizki Kirana Yuniartanti


Tenaga Ahli Individu di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional
E-mail: rizki.kirana@gmail.com

ABSTRAK
Pulau Alor menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang tingkat kerawanan bencananya tinggi. Hal
tersebut dibuktikan dengan kejadian bencana gempa bumi yang terjadi secara kontinu bahkan dalam
intensitas besar pada periode 10 tahunan. Bencana sebagai dampak perubahan iklim seperti bencana banjir
dan kekeringan juga terjadi di Pulau Alor. Oleh karena itu, Pulau Alor membutuhkan upaya mitigasi bencana
dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi. Upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim
tersebut bertujuan untuk mengurangi risiko bencana sekaligus mengurangi kerentanan dampak perubahan
iklim. Penataan ruang Kawasan Rawan Bencana (KRB) menjadi kunci dalam mewujudkan mitigasi bencana
dan adaptasi perubahan iklim dengan perspektif tata ruang dalam koridor desa-kota. Kajian ini bertujuan
mengidentifikasi wilayah terdampak, kronologis, dan risiko kerawanan bencana serta kerentanan dampak
perubahan iklim. Melalui analisis deskriptif dan juga pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis
(SIG), kajian ini menghasilkan output pokok-pokok penanganan pasca bencana/rehabilitasi dan rekonstruksi,
upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di masa depan, serta rekomendasi penataan ruang
kawasan rawan bencana dan rentan dampak perubahan iklim di Pulau Alor. Kajian ini diharapkan dapat
menjadi proses pembelajaran dalam rangka mewujudkan penataan ruang berbasis mitigasi
bencana/adaptasi rentan dampak perubahan iklim.

Kata kunci: Mitigasi, adaptasi, dan perubahan iklim

ABSTRACT
Alor Island is an area in Indonesia that has high disaster level. This is evidenced by the earthquake
disaster that occurred within 10 years. Disasters as a result of climate change such as floods and droughts
also occured in Alor Island. Therefore, Alor Island requires integrated disaster mitigation and climate change
adaptation. Disaster mitigation and climate change adaptation aim to reducing risk, and at a time reducing
the vulnerability of climate change impacts. Spatial Planning of Disaster Prone Areas is the key to realizing
disaster mitigation and climate change adaptation on spatial perspective in rural-urban corridors. This study
aims to identify the affected areas, chronological and risk of disaster prone areas, and also climate change
vulnerability. Through descriptive analysis and mapping using Geographic Information System (GIS), the
result of this study can be used to handling post-disaster recovery/rehabilitation and reconstruction,
mitigation and adaptation of future climate change impacts, and also to be recommendation for spatial
planning of disaster prone and climate change vulnerability zones on Alor Island. This study is expected to
be a learning process in order to realize the spatial arrangement based on disaster mitigation/adaptation.

Keywords: Mitigation, Adaptation, and Climate Change

PENDAHULUAN
Bencana sering kali dianggap sebagai akibat perubahan siklus alam yang justru berdampak
buruk bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, bencana ternyata terjadi karena integrasi dari
berbagai aspek, yaitu: 1. Karakter geografis yang memang berada pada kawasan bencana; 2.
Gaya hidup manusia yang bertentangan dengan alam dan lingkungan; dan 3. Siklus alam yang
memang mengalami perubahan. Ketika proses bencana akibat siklus alam terjadi, masyarakat
tidak dapat menyadari. Hanya saja ketika bencana tersebut menimbulkan dampak, masyarakat
dapat merasakannya. Bencana dianggap sebagai kejadian yang dapat menghambat dan juga

213
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

menggagalkan seluruh aspek-aspek kehidupan dan pembangunan di suatu negara. Bencana yang
seringkali terjadi di negara berkembang menyebabkan proses pembangunan terhenti dan juga
mengalami kemunduran. Di negara berkembang dampak bencana sangat signifikan berpengaruh
pada sektor ekonomi (Bilau dkk, 2015). Akibat terjadinya bencana, hasil-hasil pembangunan,
seperti infrastruktur dan pusat-pusat pelayanan menjadi tidak berfungsi lagi. Pemerintah harus
mengeluarkan dana ekstra untuk mengembalikan fungsi infrastruktur dan pusat-pusat pelayanan
tersebut.
Indonesia merupakan negara yang terpapar multi bencana akibat integrasi ketiga aspek
kebencanaan tersebut. Secara geografis, Indonesia terletak di pergerakan tiga lempeng dunia,
yatu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Indonesia juga dilalui jalur pegunungan aktif, yaitu
sirkum pasifik dan sirkum mediterania. Dengan kondisi geografis tersebut, Indonesia rawan
terhadap bencana. Bencana di Indonesia juga dipicu oleh aspek gaya hidup penduduk yang belum
dapat hidup berdampingan dengan alam dan lingkungan. Percepatan pembangunan sering kali
tidak sejalan dengan kaidah alam dan lingkungan. Efek siklus alam juga menjadi ancaman
bencana di Indonesia. El Nino dan La Nina juga merupakan gejala perubahan iklim. El Nino
menyebabkan kekeringan panjang di Indonesia, sementara La Nina menyebabkan banjir dan
tanah longsor.
Adanya integrasi aspek kebencanaan di Indonesia berimplikasi pada tingkat keterpaparan,
tingkat kerawanan, dan tingkat risiko bencana. Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) dalam CNN Indonesia (2015) menyatakan sebanyak lebih dari 200 juta penduduk
Indonesia terpapar bencana. Pada kurun waktu 2010-2016 terdapat korban meninggal sejumlah
4.684 jiwa dan luka-luka sejumlah 15.500 akibat bencana (DIBI, 2016). Berdasarkan tingkat
kerawanan bencana, luasan kawasan rawan tinggi terhadap total kawasan rawan bencana adalah
101.117.386 ha dan juga tingkat risiko tinggi terhadap total risiko adalah 96.941.498 ha
(Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 2015).
Data keterpaparan, kerawanan bencana, dan risiko bencana menunjukkan bahwa Negara
Indonesia memerlukan harmonisasi kehidupan dengan bencana. Ketahanan bencana menjadi
salah satu langkah untuk pencapaian keberlanjutan pembangunan. Hal tersebut tercantum dalam
Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and Communities to
Disasters dalam International Strategy for Disaster Reduction (2007). Berbagai program dan rencana
aksi mengarah pada output dan outcome pengurangan dampak bencana. Hanya saja, program
dan rencana aksi tersebut memiliki tingkatan yang berbeda dalam pencapaian ketahanan bencana.
Ketahanan bencana sebagai proses yang dinamis, tetapi tujuan pencapaian ketahanan bersifat
tetap (Cutter dkk, 2008).
Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah terdampak, kronologis, dan risiko
kerawanan bencana serta kerentanan dampak perubahan iklim di Pulau Alor. Sehingga,
menghasilkan output pokok-pokok penanganan pasca bencana/rehabilitasi dan rekonstruksi, upaya
mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di masa depan, dan juga rekomendasi penataan
ruang kawasan rawan bencana dan rentan dampak perubahan iklim di Pulau Alor. Kajian ini
diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam rangka mewujudkan penataan ruang
berbasis mitigasi bencana/adaptasi rentan dampak perubahan iklim.

METODE
Kajian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan juga pemetaan menggunakan
Sistem Informasi Geografis (SIG). Data primer dan data sekunder yang didapatkan dari observasi
lapangan diolah dengan metode deskriptif kualitatif. Selain itu, data-data tersebut juga
divisualisasikan dalam peta menggunakan SIG.
Pembahasan wilayah terdampak, kronologis, dan risiko kerawanan bencana serta dampak
perubahan iklim, dan pokok-pokok penanganan pasca bencana/rehabilitasi dan rekonstruksi
menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hal ini bertujuan untuk menjabarkan potensi bencana,
wilayah yang terpapar, dan korban jiwa maupun kerugian yang ditimbulkan oleh bencana
tersebut. Dari penjabaran analisis tersebut, maka dapat diketahui hal-hal yang diperlukan sebagai
upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim dan juga rekomendasi penataan ruang

214
Proses Pembelajaran: Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana ............................................................................... (Yuniartanti)

kawasan rawan bencana dan rentan dampak perubahan iklim di Pulau Alor untuk meningkatkan
kualitas tata ruang di kawasan rawan bencana dan rentan dampak perubahan iklim.

Analisis Wilayah Kronologis dan Risiko Pokok-Pokok


Terdampak Kerawanan Bencana Penanganan Pasca
serta Dampak Bencana/Rehabilitasi
Perubahan Iklim dan Rekonstruksi

Upaya Mitigasi dan Rekomendasi Penataan


Adaptasi Dampak Ruang Kawasan Rawan
Perubahan Iklim di Bencana dan Rentan
Masa Depan Dampak Perubahan
Iklim di Pulau Alor

Peningkatan Kualitas Tata Ruang

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian


Sumber: Analisis Peneliti, 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bagian ini terdapat 3 (tiga) pokok pembahasan, yaitu a). wilayah terdampak, b).
kronologis dan risiko kerawanan bencana serta dampak perubahan iklim, c). pokok-pokok
penanganan pasca bencana/rehabilitasi dan rekonstruksi, d). upaya mitigasi dan adaptasi dampak
perubahan iklim di masa depan, e). rekomendasi penataan ruang kawasan rawan bencana dan
rentan dampak perubahan iklim di pulau alor. Berikut ini adalah penjelasannya.

Wilayah Terdampak

Wilayah yang terdampak bencana gempa bumi di Pulau Alor pada tahun 2004, yaitu
Kecamatan Teluk Mutiara, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kecamatan Alor Timur Laut, Kecamatan
Alor Timur, dan Pulau Pantar. Sedangkan pada tahun 2015, terdapat 8 (delapan) kecamatan, 47
desa, dan 1 (satu) kelurahan. Tabel 1 adalah rinciannya:

Tabel 1. Wilayah Terdampak Bencana Gempa Bumi di Pulau Alor Tahun 2015.
No Kecamatan Jumlah Wilayah Terdampak
(Desa/Kelurahan)
1 Alor Timur 9 desa dan 1 kelurahan
2 Lembur 6 desa
3 Alor Timur Laut 6 desa
4 Alor Selatan 9 desa dan 1 kelurahan
5 Alor Tengah Utara 10 desa
6 Teluk Mutiara 10 desa
7 Mataru 2 kelurahan
8 Pureman 4 desa
Sumber: BPBD Kabupaten Alor, 2015

Sedangkan wilayah terdampak perubahan iklim dengan bencana banjir, yaitu Kecamatan Alor
Barat Daya, Kecamatan Alor Barat Laut, Kecamatan Alor Selatan, Kecamatan Alor Timur, dan

215
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

Kecamatan Pantar. Pada kejadian bencana banjir 13-14 April 2016, Kecamatan Alor Barat Daya
menjadi wilayah yang terdampak. Selain banjir, juga terdapat wilayah yang terdampak kekeringan.
Wilayah-wilayah tersebut antara lain Kecamatan Bukapiting, Kecamatan Maritaing, Kecamatan
Baranusa, dan Kecamatan Kabir.

Kronologis dan Risiko Kerawanan Bencana serta Dampak Perubahan Iklim

Pulau Alor terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan gugusan pulau-pulau kecil.
Kepulauan Alor terdiri dari 20 pulau kecil yang 9 pulau diantaranya dihuni oleh penduduk. Pulau-
pulau kecil di Nusa Tenggara Timur terbentuk dari interaksi lempeng Eurasia dan Indo Australia
yang terletak di selatan Nusa Tenggara. Lempeng ini bergerak ke arah utara dengan kecepatan 7
cm/tahun. Interaksi di kedua lempeng ini mengakibatkan potensi gempa bumi di Nusa Tenggara
Timur.
Karakteristik morfologi Pulau Alor juga menyebabkan potensi gempa bumi di pulau tersebut.
Kondisi morfologi berupa daratan pantai, daratan alluvial, daratan rombakan koral, dan daratan
rombakan batuan gunung api dengan susunan batuan lunak bersifat lepas. Hal tersebut
menyebabkan kerentanan tinggi terhadap goncangan gempa bumi. Pulau Alor memiliki kerawanan
tinggi disebabkan kondisi geologi, morfologi, dan diperparah dengan dampak perubahan iklim.
Pulau Alor rawan terhadap bencana geologi (seperti pada Gambar 2) yaitu gempa bumi dan
gunung api dan juga bencana klimatologi, yaitu banjir dan kekeringan.

Gambar 2. Geologi Pulau Alor dan Area yang Mengidentifikasikan Adanya Patahan
(Garis Putus-Putus di Dalam Lingkaran Merah)
Sumber: PVMBG, 2015

Pada 12 November 2004 terjadi gempa dengan intensitas 6,5 Skala Richter (SR) di Pulau Alor.
Kedalaman gempa sekitar 37,8 km dari daratan dan sekitar 33 km arah timur Kalabahi, Ibukota
Kabupaten Alor. Pusat gempa berada di 8,170LS dan 124,800BT dengan skala sebesar VI-VII MMI
di Kalabahi (PVMBG, 2005). Gempa dirasakan oleh masyarakat selama 30 detik. Gempa ini terjadi
karena pergerakan lempeng aktif di Laut Wetar.
Pada 4 November 2015, terjadi gempa bumi lagi yang berpusat di koordinat 8,200LS dan
124,940BT dan berjarak 28 km Timur Laut Alor, NTT. Gambar 3 menunjukkan peta lokasi
episentrum gempa bumi Alor pada 4 November 2015. Kekuatan gempa adalah 6,2 SR pada
kedalaman 10 Km. Sebelum gempa dengan intensitas besar tersebut terjadi, terjadi dua kali
gempa awal pada tanggal tersebut, pukul 04.54 WITA dan 05.25 WITA. Setelah gempa intensitas
besar juga terjadi gempa-gempa susulan dengan intensitas rendah. Pada 5 November 2016,
gempa masih terjadi dengan kekuatan 4 SR dengan lokasi 8,090 LS-125,290 BT dan berjarak 68
kilometer timor laut Alor dengan kedalaman 10 kilometer. Selanjutnya, gempa terjadi kembali
pada 22 November 2015. Pusat gempa berada pada 8,250 LS dan 125,140 BT dan terletak sekitar
48 kilometer barat laut. Gempa yang terjadi pukul 00.44 WITA berkekuatan 4,7 SR dengan
kedalaman 10 kilometer.

216
Proses Pembelajaran: Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana ............................................................................... (Yuniartanti)

Gambar 3. Peta Lokasi Episenter Gempa Bumi Alor 4 November 2015


Sumber: PVMBG, 2015

Berdasarkan aspek klimatologi, suhu harian dalam periode 2006-2016 di Kabupaten Alor
berubah-ubah secara fluktuatif. Pada tahun 2007-2011, suhu harian mengalami penurunan. Rata-
rata penurunan adalah 30C. Sedangkan pada Tahun 2011-2013, suhu harian di Kabupaten Alor
mengalami kenaikan rata-rata 30C. Kemudian pada 2014-2015 meningkat lagi rata-rata 40C. Dari
tahun 2015-2016, suhu harian mengalami peningkatan ekstrim, yaitu mencapai 240C. Musim
kemarau di Pulau Alor yang lebih panjang akibat dampak perubahan iklim juga menyebabkan
bencana kekeringan. Bencana kekeringan yang terjadi berupa kelangkaan air bersih. Kelangkaan
air bersih ini terjadi di 60% wilayah di Pulau Alor.
Kejadian bencana di Pulau Alor telah menimbulkan kerugian dan korban jiwa. Kerugian yang
dialami wilayah terdampak bencana dapat menimbulkan kerentanan wilayah. Kerentanan yang
terdapat di Pulau Alor yaitu kerentanan infrastruktur wilayah. Infrastruktur wilayah yang dimaksud
adalah sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana dan juga hunian masyarakat yang juga
hancur. Kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat sendiri belum mampu untuk melakukan
upaya mitigasi yang tangguh terhadap bencana. Sehingga, saat terpapar bencana kembali tingkat
keterpaparan yang dialami akan berada pada level yang sama dan bahkan justru meningkat.
Peningkatan bahaya dan keterpaparan di Pulau Alor yang tidak diimbangi dengan peningkatan
kapasitas dapat meningkatkan risiko bencana di Pulau Alor.
Risiko bencana gempa bumi di Pulau Alor meningkat di tahun 2015 dibandingkan dengan
risiko bencana di tahun 2004. Karakteristik risiko di tahun 2004 dan 2015 memiliki kesamaan, yaitu
risiko infrastruktur wilayah. Hanya saja, tingkat risikonya berbeda, berikut penjelasan lebih lanjut
pada Tabel 2.

Tabel 2. Risiko Bencana Gempa Bumi Tahun 2004 dan 2015


No Risiko 2004 2015
1 Sarana
Rumah ibadah 59 unit rumah ibadah rusak yang
terdiri atas rusak ringan 32 unit,
rusak sedang 12 unit, dan rusak
berat 22 unit
Fasilitas pendidikan 92 unit fasilitas kesehatan rusak
yang terdiri atas rusak ringan 49
unit, rusak sedang 16 unit, rusak
berat 27 unit
Fasilitas kesehatan 21 unit fasilitas kesehatan rusak
Kantor pemerintahan Kantor PLN mengalami 31 unit kantor pemerintahan rusak
kerusakan yang terdiri atas rusak ringan 17
unit, rusak sedang 9 unit, rusak
berat 5 unit
Hunian masyarakat 1.222 rumah penduduk 2.303 rumah penduduk rusak yang
termasuk dalam rusak total, terdiri atas rusak ringan 1.236 unit,
berat, dan ringan rusak sedang 430 unit, dan rusak
berat 637 unit

217
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

No Risiko 2004 2015


2 Prasarana
Jalan Jalan raya antara Maritaing Jalan Kalabahi-Taramana dan
dan Kalabahi putus di Sibone Lantoka-Maritaing rusak ringan
20 km dan rusak sekitar 98 km
Jaringan komunikasi Jaringan komunikasi seluler
terganggu
Jembatan 2 buah jembatan rusak ringan
Prasarana lainnya Landasan pacu Bandara
Kalabahi retak dan terbelah
Bangunan mitigasi Tembok pelabuhan roboh 3 buah bendungan rusak yang
bencana sepanjang 100 meter terdiri atas 1 unit rusak ringan, 1
unit rusak sedang, 1 unit rusak
berat
3 Korban
Luka Ringan 10 orang
Luka Berat 2 orang
Meninggal 16 orang (2 orang dari
Kecamatan Teluk Mutiara, 4
orang di Kecamatan Alor
Tengah Utara, 8 orang
Kecamatan Alor Timur Laut, 1
orang dari Kecamatan Alor
Timur, dan 1 orang dari
Kecamatan Pantar)
Sumber: BPBD Kabupaten Alor, 2015

Dampak perubahan iklim yang menyebabkan bencana banjir dan kekeringan juga berisiko
terhadap ketersediaan infrastruktur wilayah. Sebagai buktinya, terputusnya jembatan yang
menghubungkan Kecamatan Alor Barat Daya dengan kecamatan lainnya. Kekeringan berupa
kelangkaan air bersih berisiko terhadap pasokan air minum bagi masyarakat dan juga sumber air
untuk saluran irigasi di lahan pertanian. Ketersediaan air tanah sebagai sumber air bersih juga
tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kelangkaan air bersih biasanya terjadi pada Bulan
Juni-Desember.

Pokok-Pokok Penanganan Pasca Bencana/Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Lokasi Pulau Alor yang berada di pusat gempa mengakibatkan masyarakat terpapar bencana
gempa bumi dengan kekuatan gempa yang bervariasi. Bahkan masyarakat perlu waspada
ancaman gempa bumi yang dapat terjadi sewaktu-waktu. BPBD Kabupaten Alor sebagai lembaga
yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana di Pulau Alor telah melakukan upaya
tanggap darurat saat bencana dan tahapan rehabilitasi/rekonstruksi paska bencana tersebut.
Pada saat bencana terjadi, BNPB berkoordinasi dengan Kementerian atau Lembaga pusat
maupun daerah, organisasi kemasyarakatan, dan badan usaha untuk melakukan upaya tanggap
darurat. BNPB juga mengadakan kerjasama dengan lembaga pemerintah lainnya, seperti Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Stasiun Geofisika Kelas I Kupang dan Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). BMKG melakukan upaya survey dan analisis
frekuensi gempa bumi yang terjadi pada tanggal 4 November 2015. Survey dan analisis tersebut
dilakukan tanggal 4-10 November 2015. Begitu juga dengan PVMBG mengadakan survey dan
pemeriksaan untuk mengidentifikasi perubahan struktur geologi akibat gempa. Selain itu, BPBD
Kabupaten Alor, BMKG Kupang dan PVMBG juga mengadakan sosialisasi kepada masyarakat
perihal kekuatan gempa dan dampaknya bagi masyarakat. Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat juga berkontribusi dalam identifikasi kerusakan infrastuktur, khususnya
ketersediaan air bersih dan sanitasi.
Tidak hanya Kementerian/Lembaga yang merespon cepat saat bencana terjadi, tetapi juga
organisasi kemasyarakatan. Sebagai contoh Plan International Indonesia sebagai organisasi
kemanusiaan dan pengembangan masyarakat yang fokus pada korban bencana anak-anak.

218
Proses Pembelajaran: Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana ............................................................................... (Yuniartanti)

Organisasi ini melakukan penilaian terhadap dampak bencana di sektor pendidikan. Begitu juga
relawan-relawan yang datang ke Pulau Alor untuk membantu korban bencana gempa bumi.
Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan oleh BPBD untuk sarana prasarana dan juga
rumah masyarakat yang mengalami kerusakan berat dan menengah. Perbaikan rumah masyarakat
melalui beberapa tahapan. Hingga tahun 2016, proses rehabilitasi dan rekonstruksi rumah masih
berlangsung. Konstruksi bangunan rumah masyarakat berbeda dengan konstruksi rumah pada
umumnya yang menggunaan material pondasi dan beton. Material rumah tahan gempa berasal
dari baja ringan/alumunium, seperti terlihat pada Gambar 4. Meskipun rumah tahan gempa
masih menggunakan batu kali sebagai pondasi rumah dan batu bata untuk sisi bawah setelah
pondasi batu kali tersebut, dinding rumah tersebut menggunakan material kayu atau triplek yang
disatukan dengan tiang-tiang tersebut yang berasal dari material baja ringan/alumunium. Proses
pembangunan rumah tahan gempa dikoordinir oleh BPBD Kabupaten Alor dan diserahkan
pelaksanaannya kepada pihak ketiga. Akan tetapi proses pembangunannya melibatkan masyarakat
sebagai tenaga kerja. Gambar 5 adalah proses pembangunan rumah tahan gempa yang
melibatkan masyarakat.
Kabupaten Alor telah berhasil melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.
Pelibatan masyarakat cenderung memiliki peluang kesuksesan lebih besar dibandingkan hanya
menunggu bantuan dari pihak pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau swasta. Bilau dkk
(2015) mencontohkan Negara Jepang yang berhasil dalam pelibatan masyarakat dalam
rekonstruksi hunian pasca gempa. Pemerintah Jepang menyediakan kebijakan dan pendanaan
dalam rekonstruksi tersebut. Kemudian masyarakatlah yang menentukan jadwal pelaksanaan
pembangunan dan hunian-hunian prioritas yang perlu direkonstruksi.

Gambar 4. Contoh Rumah Tahan Gempa di Desa Talangpui


Sumber: Dokumentasi Penulis, 2016

Gambar 5. Proses Pembangunan Rumah Tahan Gempa yang Melibatkan Masyarakat


Sumber: BNPB, 2016

Upaya Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim di Masa Depan

Upaya mitigasi dan adaptasi ke depan memerlukan pengintegrasian terkait program untuk
mengurangi risiko rawan bencana dan kerentanan dampak perubahan iklim. Selain itu, jangkauan
upaya mitigasi dan adaptasi ke depan tidak hanya menjangkau kawasan perkotaan, tetapi juga
kawasan perdesaan hingga pelosok desa.
Hingga tahun 2016, upaya mitigasi yang telah dikembangkan di Pulau Alor adalah jalur
evakuasi dan pembangunan rumah tahan gempa. Penanda arah evakuasi hanya terdapat di Kota
Kalabahi, belum terdapat di kawasan perdesaan dan juga pelosok desa. Oleh karena itu,
diperlukan penambahan penanda arah evakuasi. Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan Tempat
Evakuasi Akhir (TEA) telah direncanakan di Pulau Alor, seperti terlihat pada Gambar 6 TEA

219
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

terdapat di sekita Bandar Udara Mali, Kecamatan Kabola. Sedangkan TES tersebar di beberapa
kecamatan.
Pembangunan rumah tahan gempa di Pulau Alor sedang dalam proses pelaksanaan.
Pembangunan rumah tahan gempa akan dilakukan di seluruh wilayah rawan gempa melalui
beberapa tahapan. Di sisi lain pembangunan rumah tahan gempa juga bertujuan untuk
menginisiasi pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana karena masyarakat
sebagai tenaga kerja dalam pembangunan tersebut. Sebagai upaya mitigasi ke depan,
pembangunan rumah tahan gempa perlu memiliki visi adil dan merata bagi masyarakat korban
gempa. Masyarakat tersebut juga perlu dilatih untuk berdikari dalam merespon bencana sesuai
dengan kapasitasnya. Sedangkan pemerintah dapat memberikan dukungan baik jaringan
kerjasama, komunikasi, koordinasi dengan pihak lain, dan juga dukungan pendanaan bagi
masyarakat dengan prinsip keadilan dan pemerataan. Dengan begitu tidak akan menimbulkan
kesenjangan dan kecemburuan sosial antar masyarakat korban gempa.
Upaya adaptasi dampak perubahan iklim belum dilaksanakan di Pulau Alor. Banjir dan
kekeringan sebagai dampak perubahan iklim belum mendapatkan perhatian. Namun telah terdapat
upaya pencegahan bencana banjir melalui pembangunan pengendali banjir. Sedangkan upaya
adaptasi untuk bencana kekeringan belum dilaksanakan di Pulau Alor. Hanya saja terdapat upaya
responsif saat bencana kekeringan air bersih terjadi, yaitu melalui penyaluran tangki air bersih dari
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Abulnour (2013) telah merumuskan aspek kunci dalam mitigasi bencana, yaitu: 1) Identifikasi
penyebab dan dampak bencana disertai dengan upaya antisipasi; 2) Upaya kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana untuk meminimalisir korban dan kerugian; 3) Upaya responsif bencana yang
disesuaikan dengan jenis bencana dan intensitasnya; serta 4) Pelibatan seluruh stakeholder dalam
upaya mitigasi bencana.
Untuk mewujudkan upaya adaptasi dampak perubahan iklim perlu adanya proses
perencanaan dan pengelolaan yang seimbang antara lingkungan dan manusia. Pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya air, perlu dilaksanakan sebijaksana mungkin. Hal ini bertujuan untuk
melindungi sumber daya air dan menjamin keberlanjutannya hingga masa depan. Konsep yang
dapat ditetapkan adalah perencanaan berbasis ekologi. Dengan konsep ini, akan terbentuk
harmonisasi antara pemanfaatan alam, kebutuhan manusia, nilai ekonomi, dan keberlanjutan
lingkungan (Mersal, 2016).

Rekomendasi Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana dan Rentan Dampak


Perubahan Iklim di Pulau Alor

Pulau Alor menjadi salah satu wilayah di Indonesia yang tingkat kerawanan bencananya
tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan kejadian bencana gempa bumi yang terjadi secara kontinu
bahkan dalam intensitas besar pada periode 10 tahunan. Bencana sebagai dampak perubahan
iklim juga terjadi di Pulau Alor, yaitu bencana banjir dan kekeringan. Dengan adanya kerawanan
bencana dan kerentanan dampak perubahan iklim, maka Pulau Alor memerlukan upaya mitigasi
dan adaptasi yang terintegrasi. Upaya mitigasi dan adaptasi tersebut bertujuan untuk mengurangi
risiko bencana sekaligus mengurangi kerentanan dampak perubahan iklim.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Alor telah mengakomodasi penanggulangan
bencana, khususnya untuk bencana gempa bumi. Jalur evakuasi, TEA, dan TES termasuk dalam
sarana mitigasi bencana dan juga menjadi bagian dari rencana struktur ruang di Pulau Alor. Perlu
adanya percepatan implementasi terhadap rencana struktur ruang tersebut, mengingat ancaman
bencana di Pulau Alor semakin meningkat.
Penataan ruang di Pulau Alor masih berorientasi pada tata ruang kawasan perkotaan, belum
melihat perspektif tata ruang dalam koridor desa-kota. Prinsip berkeadilan dan pemerataan
pembangunan belum sepenuhnya diimplementasikan. Apabila mengaitkan antara penataan ruang
kawasan perdesaan dan aspek kebencanaan, terbukti bahwa belum adanya penataan ruang
kawasan rawan bencana di kawasan perdesaan. Sebagai buktinya adalah kawasan perdesaan di
Pulau Alor belum memiliki sarana dan prasarana minimal sebagai bentuk mitigasi bencana.
Kawasan perdesaan di pelosok desa lebih rawan terhadap bencana dibandingkan dengan kawasan
perkotaan. Jika kekuatan atau intensitas bencana gempa adalah sama antara di kawasan

220
Proses Pembelajaran: Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana ............................................................................... (Yuniartanti)

perkotaan dan perdesaan, dengan kapasitas mitigasi yang berbeda antara kawasan perdesaan dan
perkotaan berbeda, maka tingkat keterpaparan kawasan perdesaan akan lebih tinggi dibandingkan
kawasan perkotaan. Begitu juga apabila pusat gempa berada di kawasan perdesaan di pelosok
desa, maka tingkat keterpaparan di kawasan perdesaan tersebut sangat tinggi. Permasalahan
penanggulangan bencana di kawasan perdesaan terutama pelosok desa adalah minimnya
aksesibilitas dan sarana prasarana transportasi menuju lokasi tempat evakuasi. Meskipun dalam
RTRW Kabupaten Alor telah terdapat rencana TES dan jalur evakuasi, tetapi hingga tahun 2016
belum terdapat TES dan jalur evakuasi di kawasan perdesaan termasuk pelosok desa.

Gambar 6. Jalur Evakuasi dan Titik TES&TEA di Pulau Alor


Sumber: BNPB, 2016

Kunci utama dalam penataan ruang kawasan rawan bencana di Pulau Alor adalah
mensinergikan antara pembangunan desa-kota. Dalam artian, kawasan perdesaan tidak
meninggalkan karakternya sebagai kawasan perdesaan yang dapat dimanfaatkan sebagai area
hutan dan pertanian. Akan tetapi, juga tetap dapat dilaksanakan penambahan sarana dan
prasarana transportasi yang dapat memudahkan masyarakat menuju TES dan TEA pada saat
bencana.
Langkah yang dapat dilakukan antara lain penambahan penanda arah evakuasi di kawasan
perdesaan hingga pelosok desa. Apabila arah jalur evakuasi telah ditentukan, maka perlu
ditindaklanjuti dengan penyediaan moda transportasi yang khusus untuk mengevakuasi korban.
Moda transportasi tersebut tidak boleh digunakan selain pada saat gempa. Selain itu, kawasan
perdesaan juga perlu memiliki bungker khusus menyimpan alat-alat berat yang dapat digunakan
pada saat bencana. Seringkali pada saat bencana gempa bumi terjadi akses menuju kota tertutup
karena jalan retak atau pohon tumbang. Oleh karena itu diperlukan alat berat untuk membuka
akses tersebut. Pelayanan kesehatan di kawasan rawan bencana juga menjadi bagian dari
infrastruktur mitigasi. Oleh karena itu, perlu adanya pelayanan kesehatan yang
mempertimbangkan cakupan wilayah layanan dan jarak/jangkauan masyarakat menuju pelayanan
kesehatan tersebut.
Berbeda dengan kerawanan bencana dan mitigasi bencana yang telah diakomodir dalam
RTRW Kabupaten Alor, selama ini adaptasi perubahan iklim belum dipertimbangkan. Fokus
penanganan kebencanaan masih fokus pada upaya mitigasi bencana gempa bumi. Pulau Alor perlu
mempertimbangkan kerentanan sebagai dampak perubahan iklim. Hal itu disebabkan, bencana
kekeringan dan banjir sebagai dampak perubahan iklim terjadi di Pulau Alor. Meskipun telah
dirasakan dampak perubahan iklim oleh masyarakat, Pulau Alor belum memiliki data indeks
kerentanan perubahan iklim dan kapasitas adaptif masyarakat. Apabila telah memiliki kedua data
tersebut, maka Pulau Alor dapat memetakan tingkat risiko perubahan iklim hingga level desa.
Sehingga rekomendasi penataan ruang di kawasan rentan dampak perubahan iklim dapat
ditentukan untuk mengurangi kerentanan dampak perubahan iklim dan meningkatkan kemampuan
adaptasi.

221
Seminar Nasional Geomatika 2017: Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan

KESIMPULAN
Penataan ruang KRB di Indonesia perlu mempertimbangkan konsep Pengurangan Risiko
Bencana (PRB) dan mitigasi bencana. Konsep tersebut harus diakomodir pada saat penyusunan
RTRW, sehingga program-program pembangunan dan juga penyediaan infrastruktur berbasis
mitigasi bencana. Pengembangan infrastruktur mitigasi struktural dan non struktural perlu
dijabarkan dalam RTRW. Sehingga, RTRW berbasis PRB/mitigasi bencana dapat menjadi pedoman
dalam pengembangan wilayah.
Terkait dengan bencana gempa bumi dan rentan dampak perubahan iklim di Pulau Alor,
RTRW perlu disempurnakan dengan mempertimbangkan PRB/ mitigasi bencana. Selain itu,
penyediaan sarana transportasi yang digunakan sebagai moda transportasi komunal saat terjadi
bencana perlu diupayakan mengingat kawasan rawan bencana gempa bumi berada di kawasan
yang sulit terjangkau dan jauh dari pusat pemerintahan.

UCAPAN DAN TERIMAKASIH


Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Penataan Kawasan, Direktorat Jenderal
Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang telah
mengizinkan penulis berkontribusi dalam penyusunan buku “Profil Penataan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana dan Rentan Dampak Perubahan Iklim”.

DAFTAR PUSTAKA
Abulnour, Adham Hany. (2013). Towards Efficient Disaster Management in Egypt. Housing and Building
National Research Center. 15 July 2013. No 10. Hal. 117-126
Bilau, Abdulquardi, Emlyn Witt, Irene Lill. (2015). A Framework for Managing Post Disaster Housing
Reconstruction. Procedia Economics and Finance. No. 21. Hal. 313-320
Cutter, Susan L dkk. 2008. A Place-Based Model For Understanding Community Resilience to Natural
Disasters. No. 18. Hal. 598-606
International Panel on Climate Change. (2012). Managing Risks of Extreme Events and Disasters to Advance
Climate Change Adaptation. Cambridge University Press: USA
International Strategy for Disaster Reduction. (2007). Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the
Resilience of Nations and Communities to Disasters. Geneva
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. (2016). Profil Penataan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana dan Rentan Dampak Perubahan Iklim. Direktorat Penataan Kawasan: Jakarta
Mersal, Amira. (2016). Sustainable Urban Futures: Environmental Planning For Sustainable Urban
Development. Procedia Environmental Sciences. No 34. Halaman 49-61
http://dibi.bnpb.go.id/
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150707091659-20-64813/200-juta-penduduk-ri-terpapar-bencana-
4-kali-lipat-malaysia/

222

Anda mungkin juga menyukai