Lapoaran Sosioantropologi Kunjungan Kampung Naga

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN SOSIOANTROPOLOGI

“ Kunjungan ke Kampung Naga”

Oleh :
Kelompok 4

Dina Putri Medayu


Eka Lestari
Faraulina Dwi O.
Febrisha Marandika
Ika Sartika
Maisi
Novia
Resi Hermayanti
Soleha Tono Topiah

S1 Kesehatan Masyarakat
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju
(Jakarta)
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok
masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya,
dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi
objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda pada masa
peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat. Kampung Naga
juga merupakan salah satu dari kampung yang masih memegang tradisi dan adat istiadat
leluhur, namun bisa hidup berdampingan dengan kehidupan masyarakat lain yang lebih
modern. Kampung Naga memang memiliki keunikan tersendiri. Melihat dari dekat
kehidupan sederhana dan bersahaja yang masih tetap lestari di tengah peradaban modern.
Observasi ini dilakukan untuk melihat secara langsung budaya masyarakat kampung
naga, sehingga mahasiswa dapat meningkatkan wawasan tidak hanya di bangku kuliah
dengan teori dan konsep, tetapi dapat melihat realitas secara langsung di lapangan, juga
diharapkan mampu memilih unsur-unsur kebudayaan dan perilaku masyarakat. Selain
itu, mahasiswa mendapat wawasan tentang kondisi fisik, sosial, ekonomi dan penataan
lingkungan Kampung Naga. Seperti diketahui bahwa Indonesia memiliki banyak bentuk
masyarakat yang antara satu daerah dengan daerah lainnya memiliki perbedaan masih
memegang teguh adat-istiadat dan kebudayaannya dengan sangat baik, salah satunya
masyarakat kampung Naga di Tasikmalaya.
Namun demikian masyarakat kampung Naga ini tidak menutup diri dari dunia luar
walaupun mungkin berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Melihat
phenomena ini adalah wajar apabila terdapat keinginan untuk mengenal lebih dekat
tentang masyarakat kampung Naga ini, di bidang penataan lingkungan perkampungan.
Sehingga dengan fakta tersebut mahasiswa perlu mengetahui keadaan yang ada di
masyarakat kampung Naga tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Apa saja pedoman dan sistem kepercayaan yang terdapat di Kampung Naga?
1.2.2. Apa saja ritual dan upacara keagamaan yang ada di Kampung Naga?
1.3 Tujuan Makalah
1.3.1. Memenuhi tugas mata kuliah sosioantropologi.
1.3.2. Untuk mengetahui sejarah kampung naga.
1.3.3. Untuk mengetahui kebudayaan dan sistm kepercayaan masyarakat kampung naga.
1.4 Manfaat Makalah
1.4.1. Memberi sumber informasi dan bahan acuan mengenai bagaimana kebudayaan
masyarakat kampung naga.
1.4.2. Memberi informasi mengenai lembaga-lembaga, permasalahan sosial yang terjadi
di kampung naga.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kampung Naga
Sejarah Kampung Naga Sejenak mungkin terlintas dalam pikiran kita, barangkali
ketika mendengar nama Kampung Naga. Ternyata bentuk asli dari kampung tersebut
sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga,
karena tak satupun naga yang berada di sana. Nama Kampung Naga tu sendiri ternyata
merupakan suatu singkatan kata dari Kampung diNa Gawir ( red. bahasa sunda ) yang
artinya adalah merupakan kampung yang berada di lembah yang subur.
Kampung Naga adalah sebuah kampung kecil, yang para penduduknya patuh dan
menjaga tradisi yang ada, hal inilah yang membuat kampung ini unik dan berbeda
dengan yang lain. Tak salah jika kampung ini menjadi salah satu warisan budaya Bangsa
Indonesia yang patut dilestarikan. Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh
beberapa sumber diantaranya, pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan
agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang
menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah
Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat
yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang paling
berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang
Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang
Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh
masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat
diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.
Kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak
seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang
mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak
meninggal dunia, melainkan raib tanpa meninggalkan jasad.
Di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan
memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Namun
masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut,
sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi. Pada saat kejadian pareumun obor bermula
saat ada segerembolan orang-orang yang dengan sengaja membakar kampung tersebut
karena terjadi suatu permasalahan. Kejadian tersebut pula memakan banyak korban.
2.2 Letak Geografis
Letak Geografis Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Lokasi
Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota
Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di
sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut
terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh
sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan
yang sumber iarnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari
kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota
Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-
Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda sengked) sampai
ketepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500
meter.
Pada seratus anak tangga pertama, kita akan melihat beberapa bangunan permanen
dan non permanen rumah masyarakat luar Kampung Naga dan beberapa kios yang
menjual suvenir Kampung Naga atau khas Tasikmalaya dan pemandangan deretan pohon
bambu, pohon eboni, dan pohon albasia. Seratus anak tangga berikutnya akan menikmati
pemandangan alam berupa sawah-sawah dengan aliran-aliran airnya, sedangkan pada
seratus anak tangga terakhir, kita dapat melihat beberapa atap rumah adat ciri khas
masyarakat Kampung Naga yang seluruhnya berwarna hitam (berasal dari ijuk), aliran
dan suara Sungai Ciwulan yang deras, petak-petak sawah, dan bukit Gunung Cikuray
(lokasi Kampung Naga berada di lembah Cikuray) yang rindang oleh tumbuhan dan
pepohonan. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam
Kampung Naga.

Adapun batas wilayahnya :


a. Di sebelah Barat adalah hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam leluhur
masyarakat Kampung Naga).
b. Di sebelah Selatan sawah-sawah penduduk
c. Di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya
berasal dari Gn. Cikuray di daerah Garut.
2.3 Kondisi Fisik
Menurut data dari Desa Neglasari, Struktur tanah pada area kawasan Kampung Naga
berbukit-bukit sehingga perkampungan atau pemukiman masyarakatnya dibangun diatas
tanah yang tidak rapi dan untuk mencegah kelongsoran dibentuk sengkedan yang terbuat
dari bata/batu. Pemukiman pada masyarakat Kampung Naga berbentuk
mengelompok biasanya bentuk pemukimannya dibatasi oleh pagar dari bambu yang
memisahkan daerah pemukiman dengan daerah yang dianggap kotor. Baik dari segi
bangunan, bahan dan arahnya, pemukiman pada masyarakat Kampung Naga
menunjukkan adanya keseragaman. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa
perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.Luas tanah Kampung Naga
yang ada seluas 1,5 ha, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, koam,
dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
2.4 Pola Pemukiman
Pola Pemukiman Pola pemukiman Kampung Naga merupakan pola mengelompok
yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada dengan sebuah lahan kosong (lapang)
di tengah-tengah kampung. Pola perkampungan seperti Kampung Naga bisa jadi
merupakan prototype dari pola perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di sana sini
terjadi perubahan. Adanya kolam, pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah
suci, dan sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda. Demikian juga
bentuk rumahnya. Jika dicermati dengan seksama, bangunan-bangunan yang ada di
Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah
kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah
warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi
(Leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik,
kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir.
Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan
adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut. Masyarakat
Kampung Naga membagi peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
a. Kawasan Suci Kawasan suci adalah sebuah bukit kecil di sebelah barat pemukiman
yang disebut Bukit Naga serta areal hutan lindung (leuweung larangan) persis di
tikungan tapal kuda di timur dan barat Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan
lindung, Bukit Naga juga sebuah hutan, berupa semak belukar yang ditumbuhi
pohon-pohon kecil dan sedang, dan dianggap hutan tutupan (leuweung tutupan atau
leuweung karamat). Dalam hutan di Bukit Naga inilah ditempatkan tanah
pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk didalamnya makam para uyut.
b. Kawasan Bersih Kawasan bersih bisa diartikan sebagai kawasan bebas dari benda-
benda yang dapat mengotori kampung. Baik dari sampah rumah tangga maupun
kotoran hewan, seperti kambing,sapi atau kerbau, terutama anjing. Kawasan ini
berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam kawasan bersih, selain rumah,
juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung, masjid, leuit, dan patemon.
1) Bumi Ageung Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih
kecil dibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi
dan arti yang sangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral, karena
dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan tempat
tinggal tokoh yang paling tua usianya diantara warga Kampung Naga
lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral
ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan
berpagar tinggi terbuat dari bambu dan dirangkap dengan pagar hidup dari
hanjuang.
2) Masjid dan Bale patemon Masjid dan bale petemon Kampung Naga terletak
di daerah terbuka (openspace). Rincinya kedua bangunan tersebut berada di
depan lapangan milik warga masyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale
patemon merupakan dua bangunan yang terletak di kawasan bersih yaitu di
sekitar rumah masyarakat. Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki
fungsi sebagai tempat ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari
itu, fungsi Masjid Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari
pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah,
masjid juga memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat.
Sementara bale patemon mempunyai fungsi sebagai tempat musyawarah
milik masyarakat Kampung Naga.
3) Leuit / lumbung padi Leuit (lumbung), merupakan bangunan yang terletak di
sekitar perumahan milik warga Kampung Naga. Leuit berfungsi untuk
menyimpan padi hasil panenyang disumbangkan warga. Padi-padi tersebut
biasa digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual maupun
yang lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan sebagainya.
Bangunan leuit ditempatkan di sektor perumahan jadi masuk ke dalam
kawasan bersih milik masyarakat Kampung Naga. Sebelum padi dimasukkan
ke dalam leuit padi dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap untuk
ditumbuk.
4) Rumah warga Ciri khas permukiman Kampung Naga yaitu seluruh bangunan
menghadap utara dan selatan.
Arah selatan menghadap Sungai Ciwulan dan arah utara menghadap ke arah hutan
(bukit Cikuray), sedangkan seluruh muka bangunan (pintu rumah) adalah menghadap
arah selatan. Jumlah bangunan masih dimungkinkan bertambah asalkan masih dalam
batas-batas wilayah kampung. Penambahan bisa dilakukan ke arah batas timur berupa
Sungai Ciwulan, sedangkan untuk batas utara (bukit/hutan), selatan (parit/saluran air),
dan barat (parit/saluran air) sudah tidak bisa bertambah karena sudah pada batas
maksimal. Seluruh bangunan, baik rumah, ruang pertemuan, dan mesjid terbuat dari bilik
bambu kepang dan sasak. Bilik sasak diutamakan digunakan di ruang dapur. Manfaatnya
adalah agar saat memasak dapat mengalirkan udara (ventilasi), selain itu juga berguna
dalam keadaan darurat seperti kebakaran karena bilik sasak dapat terlihat dari luar
(terlihat ada lobang atau pori-pori). Atap bangunan terbuat dari 2 (dua) lapis, yaitu lapis
pertama berasal dari daun alang-alang dan lapis kedua (terluar) terbuat dari ijuk/pohon
aren. Lapisan ini dapat bermanfaat dalam penyerapan hawa panas ataupun dingin, selain
menyerap asap kompor saat memasak. Seluruh bangunan rumah memiliki ciri yaitu
berupa ”tanda angin”. Tanda ini digantung di pintu depan.
Menurut Bapak Ucu ini tanda ini berguna untuk menolak bala atau menolak sesuatu
yang buruk/musibah bagi penghuni rumah. Tanda angin yang dipajang di depan rumah
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang didapatkan dengan beberapa syarat ritual dan dari
beberapa tempat. Warna bangunan sebagian rumah adalah berwarna putih yang terbuat
dari bahan batu kapur. Seluruh rumah tidak ada yang menggunakan bahan kimia agar
dapat mempertahankan sifat alami bangunan rumah.
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan
penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka
khawatir akan terjadi kebakaran. Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan,
misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua
arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang
masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang.
Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun
pintu yang sejajar dalam satu garis lurus. Lokasi sekitar Kampung Naga yang lembab
(karena berada di sisi sungai dan lembah) menyebabkan kelembaban yang cukup tinggi
sehingga bangunan yang mereka bangun dibuat dengan model panggung yang tingginya
sekitar + 50 cm dari tanah. Bentuk rumah ini juga berguna dalam menahan getaran
gempa karena lebih fleksibel dan pondasi yang kuat untuk menahan getaran karena
berasal dari batu kali.
2.5 Sistem Kemasyarakatan
Sistem Kemasyarakatan Kemasyarakatan di Kampung Naga masih sangat lekat
dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan
golongan diatas kepentingan pribadi. Lebih jauh menilik pola hidup dan kepemimpinan
Kampung Naga, kita akan mendapatkan dua pemimpin dengan tugasnya masing –
masing yaitu pemerintahan desa dan pemimpin adat atau yang oleh masyarakat
Kampung Naga disebut Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk
tujuan keharmonisan warga Sanaga. Sang Kuncen yang meski begitu berkuasa dalam hal
adapt istiadat jika berhubungan dengan system pemerintahan desa maka harus taat dan
patuh pada RT atau RW, begitupun sebaliknya RT atau RW haruslah taat pada sang
Kuncen apabila berurusan dengan adapt istiadat dan kehidupan rohani penduduk
Kampung Naga.
2.6 Lembaga Pemerintahan
Sistem kemasyarakatan di sini lebih terfokus kepada sistem atau lembaga-lembaga
pemerintahan yang ada di Kampung Naga. Ada dua lembaga yaitu : Formal, yang terdiri
dari:
a. RT
b. RK / RW § Non formal
c. Kudus ( Kepala Dusun )
Lembaga Adat Biasanya pemegang jabatan di lembaga adat itu seumur hidup dan
apabila pemegang adat tersrbut meninggal maka jabatan tersebut akan diwariskan kepada
keturunanya.
Lembaga adat terdiri dari:
a. Kuncen yang bertugas sebagai pemangku adat dan memimpin upacara adat dalam
berziarah.
b. Punduh
c. Lebe yang bertugas mengurusi jenazah dari awal sampai akhir sesuai dengan
syariat Islam.
2.7 Sistem Perekonomian
Sistem Perekonomian Masyarakat Kampung Naga Dalam sistem perekonomian kami
fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga
bermacam-macam yaitu:
a. Bertani, menanam padi umur 6 bulan ( 1 tahun 2 kali panen) untuk awal
penanaman dimualai pada bulan janli (januari dan juli). Saat penanaman para
petani menggunakan 2 pupuk, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia.
b. Membuat kerajianan tangan untuk penambahan hasil produksi.
c. Ternak ayam, ikan, biri-biri, kambing.
d. Jualan makanan ringan. Namun untuk sekarang karena sudah tersentuh arus
modernisasi sebagian masyarakat Kampung Naga ada yang merantau ke Jakarta
dan Bali menjadi karyawan dan pedagang. Kadang mereka kembali setelah
beberapa tahun dirantau atau pada saat idul fitri.
2.8 Sistem Kepercayaan (Religi)
Sistem Kepercayaan (Religi) Penduduk Kampung Naga mayoritas adalah pemeluk
agama islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat
memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Menurut kepercayaan
masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang
berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan
dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya
dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat
Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan
menimbulkan malapetaka. Masyarakat Sanaga pun masih mempercayai akan takhayul
mengenai adannya makhluk gaib yang mengisi tempat – tempat tertentu yang dianggap
angker.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat.
Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama
bagian sungai yang dalam (“leuwi”). Kemudian “ririwa” yaitu mahluk halus yang senang
mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut
“kunti anak” yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal
dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan
tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat
Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget.
Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi
ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung
Naga Berikut adalah Upacara Adat yang masyarakat Kampung Naga sering
selenggarakan:
a. Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa,
rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga
sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun
perempuan. Oleh sebab itu jika ada upacara tersebut di undurkan atau dipercepat
waktu pelaksanaannya. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-
masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan
warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya
juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan
menimbulkan malapetaka.
b. Hajat Sasih
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang
bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan
tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada
leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada
Tuhan yang mahaesa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga
sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal
sebagai berikut: Bulan Muharam untuk menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah
( pada tanggal 26, 27, 28) Bulan Maulud untuk memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW (pada tanggal 12,13,14) Bulan Jumadil Akhir untuk
memperingati pertengahan bulan Hijriah Bulan Nisfu Sya’ban untuk menyambut
datangnya bulan suci Ramadhan (pada tanggal 16, 17, 18) Bulan Syawal untuk
menyambut datangnya Idul Fitri (pada tanggal 14, 15, 16) Bulan Zulhijah untuk
menyambut datangnya Idul Adha (pada tanggal 10, 11, 12)
c. Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang
dilakukan setelah selesainya akad nikah. adapun tahap-tahap upacara tersebut
adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu,
ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
2.9 Peralatan Hidup
Peralatan Hidup Masyarakat Kampung Naga Masyarakat Kampung Naga merupakan
masyarakat yang masih menggunakan peralatan ataupun perlengakpan hidup yang
sederhana, non teknologi yang kesemua bahannya tersedia di alam. Seperti untuk
memasak, masyarakat Sanaga menggunakan tungku dengan bahan bakar menggunakan
kayu bakar dan untuk membajak sawah mereka tidak menggunkan traktor melainkan
menggunakan cangkul. Dan masih banyak hal lainnya, yang pasti masyarakat Sanaga
tidak menggunakan peralatan canggih berteknologi tinggi, dan kampung mereka pun
tidak ada listrik.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kampung Naga merupakan perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih
1,5 ha. Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Kampung ini berada
di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi
oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat
Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah
utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan. Di luar itu semua, Kampung Naga pasti
akan menyuguhkan nuansa lain dari Wisata Budaya manapun. keberadaan kampung
Naga ibarat oase pada jaman yang semakin memiskinkan nilai-nilai.
Kampung Naga sampai saat ini merupakan benteng bagi nilai-nilai tradisi dan
kearifan budaya masyarakatnya. Arus modernisasi tidak bisa dihindari, cepat atau lambat
pasti mempunyai pengaruh dan menimbulkan berbagai perubahan kehidupan sosial, tidak
terkecuali di pelosok desa terpencil sekalipun dan kampung naga juga yang dulunya
tidak pernah tersentuh arus modernisasi sekarang sudah terlihat adanya arus modernisasi
mulai tumbuh di berbagai bidang di kehidupan masyarakat kampung naga yaitu bidang
mata pencaharian, bidang pendidikan, bidang teknologi, bidang kesenian, bidang bahasa,
dan bidang perilaku, pakaian dan alat keseharian. Bahkan yang paling menonjol adalah
Saat ini,kehidupan masyarakat Kampung Naga sudah sangat dekat dengan kehidupan
moderen. Buktinya, ketika memasuki kawasan Kampung Naga, kita bisa melihat
beberapa antene TV menjulang tinggi. Beberapa rumah sudah memiliki TV, dan radio
serta telepon genggam.
3.2 Saran
Kampung Naga tentunya telah berusaha keras untuk mempertahankan tradisi adat
istiadatnya di tengah arus globalisasi dan mereka telah membuktikan bahwa dirinya
mampu. Sekarang adalah kita untuk turut serta melestarikan kebudayaan mereka dan
kebudayaan Nusantara lainnya dengan memperkenalkannya kepada generasi – generasi
secara turun temurun karena kebudayaan – kebudayaan inilah yang telah memperkaya
budaya Indonesia.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai