Anda di halaman 1dari 5

HIKAYAT “IBNU HASAN”

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak
harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal di
negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,
menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik,
walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak
pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat
tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.

Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya,
namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya
dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah
kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan,


bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat
mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil


dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir,
tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”

Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak,
siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua
orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah
dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.

“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri,
karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan
menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina
sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang,
tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau
orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan
menganggap enteng segala hal.”

Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan
kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang
salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin
dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian,
sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu
berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat
do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru
padanya.

Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang
bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari
mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”
Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”

“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama,
harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera
pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu.
Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”

Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin
mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.

Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa


hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.

Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang,
ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.

Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah
tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.

Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan
bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.

Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah
pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.

Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama
dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak
seorang patih.”

Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.


UNSUR INSTRINSIK

Tema : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya


Tokoh :
o Ibnu Hasan (Protagonis)
o Syekh Hasan (Protagonis)
o Ibu Ibnu Hasan (Protagonis)
o Mairin (Protagonis)
o Mairun (Protagonis)
o Saleh (Protagonis)
o Kyai guru (Protagonis)
Penokohan :
o Ibnu Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut
o Syekh Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang
o Ibu Ibnu Hasan = Baik, Penyayang
o Mairin dan Mairum = Setia
o Saleh = Sopan
o Kyai guru = Baik
Plot/Alur : Alur Maju
Latar :
o Latar tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren
o Latar waktu = Zaman dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur
o Latar suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin
Gaya bahasa :
Sudut pandang : Orang ketiga tunggal
Amanat : Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan
janganlah sekali-kali engkau menyombongkan diri.

UNSUR INSTRINSIK

o Agama : Menganut agama Islam


o Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
o Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
o Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.

UNSUR EKSTRINSIK

NILAI AGAMA
(“……..dengan selamat berkat do’a ayah dan ibunda selanjutnya, segera ia menemui seorang
alim ulama, terus berguru padanya.”) Dan (“Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir
miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan
orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa
pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.”)
Nilai agama yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah berkat doa orang tua
kepada anaknya maka selamatlah anaknya sampai tujuan serta sebagai umat yang beragama
kita selalu berdoa kepada Tuhan Yang maha Esa agar selalu diberikan keselamatan dan juga
kita selalu menyanyangi orang yang tidak mampu.
NILAI SOSIAL
“Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin
dan Mairun. Mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan
pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang sesekali menggantikan tugas Mairun.”

Nilai sosial yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sesama manusia
harus saling tolong menolong dan saling melindungi satu sama lain.

NILAI BUDAYA
“Dipanggilnya putranya, anak itu segera mendatanginya diusap-usapnya putranya sambil
dinasihati bahwa ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku
kuatir tapi pergilah ke Mesir carilah jalan menuju keutamaan. ”Ibnu Hasan
menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun
hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang
malam hanya perintah ayah ibu yang hamba nantikan.”

Nilai budaya yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita sebagai
seorang anak akan selalu mematuhi perkataan orang tua kita namun perintah yang positif.

NILAI ADAT ISTIADAT/ETIKA


“Kelak, apabila anaknda sudah sampai ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri
karena jauh dari orang tua harus tahu ilmunya hidup jangan keras kepala, angkuh dan
menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina
sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senang karena dimusuhi semua
orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada
dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan
menganggap enteng segala hal.” Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu
katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakanlah aku agar selamat, semoga
jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Nilai etika dari penggalan hikayat tersebut adalah jangan merasa sombong dan saling tolong
menolonglah terhadap sesama karena setiap orang akan saling membutuhkan (makhluk
sosial).

NILAI EKONOMI
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan, banyak
harta banyak uang terkenal kesetiap negeri merupakan orang terkaya bertempat tinggal di
Negeri Bagdad yang terkenal kemana-mana sebagai kota yang paling ramai saat itu.

Nilai ekonomi yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa orang tersebut
merupakan orang yang banyak harta dan uang serta terkenal kemana-mana.

NILAI PENDIDIKAN
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama
Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah
itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama,
harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, dia segera pulang,
menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang
katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.” Kyai berkata demikian, tujuan untuk
menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya
mendapat pujian. Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan
mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu. Memang sangkaan
orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknya pun banyak,
hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan. Namun, pendapat hamba tidak
demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah meninggal dunia,
semua hartanya jatuh ketangan hamba. Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti
akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah
pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan. Pangkat anakpun
begitu pula, walaupun tidak melebihi orang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua,
dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.” Maka,
yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

Nilai pendidikan yang terdapat dari penggalan hikayat tersebut adalah bahwa kita menuntut
ilmu bukan untuk mendapat pujian melainkan untuk mendapatkan imu yang bermanfaat
untuk masa depan yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai