Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan
kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin
lebih dari 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sering
ditemukan pada minggu pertama setelah lahir terutama pada bayi dengan
berat badan kurang dari 2500 gram dan pada bayi <37 minggu
(Kosim,2007 )
Pada beberapa penyakit seperti hemolitik, kelainan metabolik dan
endokrin, kelainan hati dan infeksi, kadar bilirubin yang lebih dari 20
mg/dL akan menyebabkan bilirubin yang belum dikonjugasi di hati atau
unconjugated bilirubin dapat menembus sawar darah otak (blood brain
barrier) dan bersifat toksik terhadap sel otak (Kosim, 2007).
Suatu penelitian menunjukkan dari 90 pasien dengan hiperbilirubi-
nemia, 71 pasien (78, 9%) mempunyai kadar bilirubin >10 mg/dL dan 19
pasien (21, 1%) mempunyai kadar bilirubin <10 mg/dL, 18 pasien (20%)
pada umur <72 jam, 72 pasien (80%) pada umur ≥ 72 jam, 53 pasien (58,
9%) BBLR, 50 (55, 6%) preterm dan 54 (60%) lahir spontan (Kosim,
2007). Penelitian lain menunjukkan pada 68 bayi baru lahir dengan
inkompatibilitas ABO, 30 bayi (44%) diantaranya mengalami
hiperbilirubinemia (Dharmayani, 2009).

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini penulis ingin mengetahui “ Apakah ada perubahan kadar
bilirubin pada Bayi yang menderita Hiperbilirubin yang di lakukan terapi
non farmakologi ( insiasi menyusui dini ) oleh perawat?”

1
2

C. TUJUAN
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Mengidentifikasi peran perawat tentang terapi non farmakologi pada
Bayi dengan Hiperbilirubin
2. Mengidentifikasi pengetahuan orang tua tentang Bayi dengan resiko
Hiperbilirubin
3. Mengidentifikasi Terapi Non Farmakologi oleh perawat pada Bayi
dengan Hiperbilirubin
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 HIPERBILIRUBIN PADA BAYI
2.1.1 Pengertian
Hiperbilirubin merupakan keadaan bayi baru lahir, dimana
kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg /dl pada minggu pertama
yang ditandai berupa warna kekuningan pada bayi atau disebut
dengan icterus. Keadaan ini terjadi pada bayi baru lahir yang sering
disebut icterus neonatorum yang bersifat patologis atau yang lebih
dikenal dengan hyperbilirubin. ( Hidayat, 2005 ).
Hiperbilirubin merupakan suatu istilah yang mengacu
terhadap kelainan akumulasi bilirubin dalam darah. Karekteristik
dari hiperbilirubin adalah jaundice dan icterus. ( Wong, 2007 )
2.1.2 Penyebab Hiperbilirubin pada Bayi
Menurut Ganong ( 2003 ) Hiperbilirubin merupakan akibat dari
bilirubin bebas atau terkonjugasi menumpuk dalam darah, warna
kuning, sklera dan membrane mukosa menjadi kuning. Biasanya
dapat terdeteksi apabila bilirubin plasma lebih besar dari pada 2
mg/dl.
Penyebab Hiperbilirubin terdiri dari :
2.1.2.1 Pembentukan bilirubin berlebihan ( anemiahemolitik )
2.1.2.2 .Penurunan Ambilan bilirubin oleh sel – sel hati
2.1.2.3. Gangguan konjugasi bilirubin

2.1.3 Manifestasi Klinis Berdasarkan Jenis Kanker


Bayi baru lahir ( Neonatus ) tampak kuning apabila kadar
bilirubin serumnya kira – kira 6 mg/dl ( Mansjoer at al. 2007 )
Icterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada
kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda
atau jingga. Sedangkan icterus obstruksi ( bilirubin direk )
memperlihatkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor.
4

Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada icterus yang berat.


( Nelson, 2007 ).

4.2 PERAWATAN NON FARMAKOLOGI


2.2.1 Pengertian
Farmakologi (pharmacology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu
pharmacon adalah obat dan logos adalah ilmu. Obat adalah setiap zat kimia
yang dapat mempengaruhi proses hidup pada tingkat molekular.
Farmakologi sendiri dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari interaksi obat dengan konstituen (unsur pokok) tubuh untuk
menghasilkan efek terapi (therapeutic).
Banyak definisi tentang farmakologi yang dirumuskan oleh para
ahli, antara lain: Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap
bahan-bahan yang berinteraksi dengan sistem kehidupan melalui proses
kimia, khususnya melalui pengikatan molekul-molekul regulator yang
mengaktifkan atau menghambat proses-proses tubuh yang normal (Betran
G. Katzung). Ilmu yang mempelajari mengenai obat, mencakup sejarah,
sumber, sifat kimia dan fisik, komponen, efek fisiologi dan biokimia,
mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan
penggunaan obat (Farmakologi dan Terapi UI).  Dengan demikian,
farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang sangat luas cakupannya.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa bagian dari
farmakologi ini telah berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam
ruang lingkup yang lebih sempit, tetapi tidak terlepas sama sekali dari
farmakologi, misalnya farmakologi klinik, farmasi, toksikologi, dan lain-
lain.
Umumnya, para ahli farmakologi menggabungkan antara
farmakologi kedokteran atau farmakologi medis (ilmu yang berkaitan
dengan diagnosis, pencegahan, dan pengobatan penyakit) dengan
toksikologi (ilmu yang mempelajari efek-efek yang tidak diinginkan dari
suatu obat dan zat kimia lain).
5

Klasifikasi Farmakologi:
2.2.1.1 Farmakognosi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat
tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat.
2.2.1.2 Farmakokinetik
Cabang Ilmu farmakologi yang mempelajari perjalanan
obat dalam tubuh.
2.2.1.3 Farmakodinamik
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari tentang efek
obat terhadap fisiologi dan biokimia dari sel jaringan/organ
tubuh beserta mekanisme kerjanya(fisiologis)
2.2.1.4 Farmakologiklinik
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari efek obat pada
manusia(morfologi)
2.2.1.5 Farmakoterapi
Cabang ilmu farmakologi yang berhubungan dengan
penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan
penyakit.
2.2.1.6 Toksikologi
Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia. Zat kimia
yang dimaksud tersebut termasuk obat atau zat yg
digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun
lingkungan hidup lain (contoh: insektisida, pestisida, zat
pengawet, dll)
2.2.1.7 Farmakoekonomi
Cabang ilmu yang khusus mempelajari hubungan antara
obat dan nilai ekonomis yg dapat dihasilkan oleh obat
tersebut.
Hubungan antara dosis suatu obat yang diberikan pada seorang pasien dan
penggunaan obat dalam pengobatan penyakit digambarkan dengan dua
bidang khusus farmakologi yaitu: farmakokinetik dan farmakodinamik.
6

Farmakodinamik mempelajari apa pengaruh obat pada tubuh.


Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek obat, bagaimana mekanisme
kerjanya dan organ-organ apa yang dipengaruhi. Farmakokinetik
mempelajari proses apa yang dialami obat dalam tubuh. Farmakokinetik
berkaitan dengan absorpsi, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi obat-
obat. Faktor-faktor ini dirangkaikan dengan dosis, penentuan konsentrasi
suatu obat pada tempat kerjanya, dan penentuan intensitas efek obat sebagai
fungsi dari waktu paruh. Banyak prinsip biokimia, enzimologi, fisik, dan
kimia yang menentukan transfer aktif dan pasif, serta distribusi zat melewati
membran-membran biologi yang dapat dipakai untuk dapat mengerti aspek
penting dalam farmakoogi. Farmakodinamik berkaitan dengan efek-efek
biokimia, fisiologi, dan mekanisme kerja obat-obatan. Farmakodinamik dan
farmakokinetik akan dijelaskan sebagai berikut:
 Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang
mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta
mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari farmakodinamik
adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui
interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respons yang terjadi.
 Mekanisme Kerja Obat
kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi
dengan reseptornya pada sel organism. Interaksi obat
dengan reseptornya dapat menimbulkan perubahan dan
biokimiawi yang merupakan respon khas dari obat tersebut.
Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut
agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas intrinsik
sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja
suatu agonis disebut antagonis.
7

 Reseptor Obat
Protein merupakan reseptor obat yang paling penting.
Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang
penting, misalnya untuk sitotastik. Ikatan obat-reseptor
dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik,
vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul
obat, misalnya perubahan stereoisomer dapat menimbulkan
perubahan besar dalam sifat farmakologinya.
 Transmisi Sinyal Biologis
Penghantaran sinyal biologis adalah proses yang
menyebabkan suatu substansi ekstraseluler yang
menimbulkan respon seluler fisiologis yang spesifik.
Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas
reseptor dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya
berfungsi dalam pengaturan fisiologis dan biokimia, tetapi
juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic
lain. Bila suatu sel di rangsang oleh agonisnya secara terus-
menerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan
efek perangsangan.
 Interaksi Obat-Reseptor
Ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari
berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofilik),
mirip ikatan antara subtract dengan enzim dan jarang
terjadi ikatan kovalen.
 Farmakokinetik
Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi
distribusi metabolisme dan ekskresi, yaitu :
1) Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari
tempat pemberian ke dalam darah. Bergantung pada
cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
8

saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru,


otot, dan lain-lain. Yang terpenting adalah cara
pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat
absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki
permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200
meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm,
disertai dengan vili dan mikrovili ). Obat yang
diserap oleh usus halus ditransport ke hepar
sebelum beredar ke seluruh tubuh. Hepar
memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke
sirkulasi. Hal ini yang disebut dengan efek first-
pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat
menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat
yang sampai ke sirkulasi sistemik, jadi dosis obat
yang diberikan harus banyak.
2) Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari
sirkulasi sistemik ke jaringan dan cairan tubuh,
meliputi: aliran darah, permiabilitas kapiler, dan
ikatan kovalen.
3) Metabolisme
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah
proses tubuh merubah komposisi obat sehingga
menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar
tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa
cara yaitu: metabolisme inaktif kemudian
diekskresikan dan metabolisme aktif yang memiliki
kerja farmakologi tersendiri dan dimetabolisme
lanjutan.
9

4) Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi obat dari tubuh.
Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal
dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui
paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara),
kulit dan taraktusintestinal.
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik, meliputi:
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan
sehingga setengah dari obat dibuang dari tubuh.
Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah
absorpsi, metabolism dan ekskresi. Waktu paruh
penting diketahui untuk menetapkan berapa sering
obat harus diberikan. Onset, puncak, and durasi.
Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga
obat terasa kerjanya. Sangat tergantung rute
pemberian dan farmakokinetik obat. Puncak adalah
setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka
konsentrasinya di dalam tubuh semakin meningkat.
Durasi adalah kerja lama obat menghasilkan suatu
efek terapi.

4.3 INISIASI MENYUSUI DINI


2.3.1 Pengertian
Inisiasi Menyusui Dini ( IMD ) merupakan permulaan
kegiatan menyusui dalam satu jam pertama setelah bayi lahir.
Insiasi dini juga bias diaertikan sebagai cara bayi menyusui satu
jam pertama setelah lahir dengan usaha sendiri. Cara bayi
melakukan inisiasi menyusui dini ini dinamakan The Breast
Crawl atau merangkak mencari payudara. (Maryunani, 2012 )
Inisiasi Menyusui Dini merupakan proses membiarkan bayi
dengan nalurinya sebdiri dapat menyusu segera dalam satu jam
10

pertama setelah lahir, bersamaan dengan kontak kulit antara bayi


dengan kulit ibunya, bayi dibiarkan setidaknya selama satu jam
di dada ibu, sampai bayi menyusu sendiri. ( Depkes, 2008 )
2.3.2 Prinsip Inisiasi Menyusui Dini
Prinsip dasar IMD adalah tanpa harus dibersihkan dulu,
bayi diletakkan pada dada ibunya dengan posisi tengkurap
dimana telinga dan tangan bayi berada dalam sat ugaris sehingga
terjadi kontak kulit dan secara alami bayi mencari payudara ibu
dan mulai menyusui. ( Rosita,2008 )
2.3.3 Manfaat Inisiasi Menyusui Dini
Menurut Roesli, ( 2008), menyampaikan bahwa IMD
bermanfaat bagi ibu dan bayi baik secara fisiologis maupun
psikologis, yaitu sebagai berikut :
2.3.3.1 Ibu
Sentuhan dan hisapan payudara ibu mendorong keluarnya
oksitosin.
2.3.3.2 Bayi
Bersentuhan dengan ibu memberikan kehangatan,
ketenangan sehingga napas dan denyut jantung bayi menjadi
teratur.
2.3.3.3 Manfaat secara Psikologis :
a) Adanya ikatan emosi
1. Hubungan ibu – bayi lebih erat dan penuh kasih
saying
2. Ibu merasa lebih bahagia
3. Bayi lebih jarang menangis
b) Perkembangan : anak menunjukkan uji kepintaran
yang lebih baik dikemudian hari.
11

2.3.4 Faktor – factor mempengaruhi pelaksanaan Inisiasi Menyusui


Dini
Menurut Roesli, (2008 ), menjelaskan ada beberapa factor yang
mendukung pelaksanaan IMD yaitu :
2.3.4.1 Kesiapan fisik dan psikologis ibu
Fisik dan psikologis ibu harus sudah dipersiapkan dari awal
kehamilannya, konseling dalam pemberian informasi
mengenai IMD bias diberikan selama pemeriksaan
kehamilan.
2.3.4.2 Tenaga pelayanan kesehatan
Untuk keberhasilan pelaksanaan IMD, konsultasi dengan
dokter ahli kandungan diperlukan untuk membantu proses
IMD.
2.3.4.3 Kolostrom tidak keluar atau jumlah kolostrom tidak
memadai sehingga diperlukan cairan lain.kolostrom cukup
dijadikan makanan pertama untuk bayi baru lahir.
12

BAB III

RUMUSAN MASALAH

Tema mengurangi risiko hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir.


PICO yang saya rumuskan adalah dibawah ini :
P : ibu dan bayi baru lahir
I : Terapi non farmakologi
C :-
O : ibu dan anak dapat mengurangi resiko hiperbilirubin dengan terapi non
farmakologi

Keywoard untuk jurnal adalah


- Hyperbilirubinemia,
- Early Initiation,
- Neonates.
Ditemukan dua jurnal rentang tahun 2011 – 2018 dari Nur Ade Oktaviyanti dan
Rochayati , yaitu :
1. Inisiasi Menyusu Dini Menurunkan Risiko Kejadian Hiperbilirubinemia
Fisiologis
2. Perbedaan Rerata Kadar Bilirubin Pada Neonatus Yang Mendapat Asi
Eksklusif Dan Tidak Eksklusif
Selanjutnya penulis memilih membhasa jurnal yang pertama.
13

BAB IV
ISI JURNAL DAN ANALISIS PEMBAHASAN

4.1 ISI JURNAL


Pada review jurnal berikut, penulis mengangkat jurnal yang berjudul “ Inisiasi
Menyusui Dini Menurunkan Resiko Kejadian Hiperbilirubinemia Fisiologis”
sebagai jurnal utama .
Dengan ulasan jurnal sebagai berikut :

4.1.1 Pendahuluan
Ikterus fisiologis terdapat pada 25–50 % bayi baru lahir cukup bulan
dan lebih tinggi lagi pada BBL kurang bulan. Timbul pada hari kedua
atau ketiga, tidak punya dasar patologis, kadarnya tidak
membahayakan, dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologis adalah ikterus yang punya dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubunemia.
Dasar patologis yang dimaksud yaitu jenis bilirubin, saat timbul dan
hilangnya ikterus, serta penyebabnya. Pemberian ASI secara dini dan
ekslusif akan meningkatkan kekebalan pada bayi baru lahir sehingga
berdampak pada penurunan angka kematian bayi (AKB) dan balita
sejalan dengan usaha pemerintah melalui Millenium Development
Goals (MDG’S). bagi tumbuh kembang dan daya tahan tubuh bagi bayi.
Oleh karena pemberian ASI sedini mungkin harus diberikan dari ibu
yang baru melahirkan. Produksi ASI selama hari pertama kelahiran
mengandung kolustrum yang dapat melindungi bayi dari berbagai
penyakit infeksi. Kolustrum bermanfaat untuk kekebalan tubuh bayi
juga bermanfaat untuk mempercepat pengeluaran tinja pertama bayi
(mekonium). Warna kas mekonium adalah hijau kecoklatan yang
disebabkan oleh pigmen empedu, dengan semakin banyaknya
mekonium yang dikeluarkan makin berdampak pada berkurangnya
kejadian ikterik pada bayi. Saputra (2012) menggambarkan bahwa
14

pemberian IMD pada bayi baru lahir sangat efektif untuk menurunkan
derajat hiperbilirubinemia fisiologis dibandingkan dengan yang tidak
dilakukan IMD dengan nilai 1 banding 2

4.1.2 Metode
Penelitian ini merupakan penelitian Kuasi eksperimen observasional
(quasi experiment post test only designs) dengan menggunakan
kelompok kontrol atau pembanding. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan purposive sampling, sehingga jumlah
sampel ditetapkan 30 responden sebagai kelompok intervensi dan 30
responden sebagai kelompok kontrol. Alat pengumpul data berupa
instruksi kerja inisiasi menyusu dini, lembar observasi, lembar hasil
laboratorium kadar bilirubin serum, dan formulir-formulir lain yang
berkaitan dengan pencatatan data. Data dianalisis secara univariat dan
bivariat (uji Mann-Whitney Test ).

4.1.3 Hasil
Hal ini dapat terjadi karena bayi-bayi yang dilakukan IMD atau yang
disusui dalam satu jam pertama kelahiran dan terus disusui secara
teratur akan cenderung lebih awal mengeluarkan mekonium dan
mengalami kejadian sakit kuning fisiologi yang lebih rendah. Bayi yang
berhasil IMD akan lebih dulu mendapatkan kolostrum dari pada yang
tidak IMD. Kolostrum adalah cairan pertama yang kaya akan kekebalan
tubuh terutama IgA, bagi pertumbuhan bayi, dan untuk ketahanan
infeksi. Bayi yang lahir normal dan diletakkan diatas perut ibu segera
setelah lahir, kulit bayi melekat pada perut ibu sekurangnya selama 50
menit akan berhasil menyusu, sedangkan bayi lahir normal yang
dipisahkan dari ibunya cenderung tidak bias menyusu sendiri. Salah
satu manfaat IMD dan kontak kulit dengan kulit untuk bayi adalah
selain bonding juga menjaga kolonisasi kuman yang aman dalam perut
bayi sehingga memberi perlindungan terhadap infeksi, kadar bilirubin
15

serum akan cepat menjadi normal dan mekonium lebih cepat keluar
sehingga menurunkan risiko kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir. Penerapan IMD akan meningkatkan keberhasilan bayi baru lahir
untuk menyusu kemudian. Keberhasilan IMD yang dilanjutkan dengan
keteraturan menyusu bayi akan lebih awal mendapatkan kolostrum.
Kolustrum adalah air susu ibu yang keluar pertama kali, dan merupakan
laksatif alami yang berfungsi sebagai pencahar. Kolustrum akan
merangsang percepatan pengeluaran mekonium, didalam mekonium
atau feses yang pertama kali dikeluarkan bayi mengandung zat-zat sisa
dan bilirubin sehingga dengan IMD akan menurunkan kejadian
hiperbilirubinemia fisiologis

4.1.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan pembahasan tentang
pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap kejadian hiperbilirubinemia
fisiologis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Ada perbedaan
yang signifikan terhadap kadar bilirubin serum total pada bayi baru
lahir yang dilakukan IMD, yaitu bayi kelompok intervensi dengan ρ
value = 0,000. Ada perbedaan yang signifikan terhadap kadar bilirubin
serum total pada bayi baru lahir yang tidak dilakukan IMD, yaitu bayi
kelompok kontrol dengan ρ value = 0,000. Ada perbedaan yang
bermakna antara kadar bilirubin serum total pada bayi baru lahir yang
dilakukan IMD atau kelompok intervensi dengan yang tidak dilakukan
IMD atau kelompok kontrol dengan ρ value = 0,000.

4.2 ANALISIS
Berdasarkan jurnal yang didapatkan, diketahui bahwa perawat memiliki
peranan yang cukup penting dalam pemberian terapi non farmakologi tentang
inisiasi menyusui dini. WHO merekomendasikan inisiasi menyusu dini (IMD)
yaitu meletakkan bayi di dada ibu segera setelah lahir dengan metode skin to
skin, kepala bayi diletakan diantara payudara ibu kemudian membiarkan bayi
16

dengan nalurinya sendiri mencari papila mamae ibunya (Kemenkes, 2010).


IMD merupakan intervensi sederhana yang mampu meningkatkan neonatal
outcome secara signifikan yaitu mengurangi risiko kematian neonatal
(Edmond et al., 2006). IMD sangat membantu dalam keberlangsungan
pemberian ASI eksklusif dan periode lama menyusui (Depkes, 2008) IMD
merupakan kunci kesuksesan menyusui yang dipengaruhi oleh sikap,
pengetahuan dan motivasi bidan/dokter penolong persalinan, didukung oleh
suami, keluarga, dan masyarakat. Informasi dan dukungan sangat diperlukan
bagi ibu dan keluarga dimulai sejak kehamilan (UNICEF, 2013; Debes et al.,
2013). Hiperbilirubinemia sebagian besar adalah fisiologis dan tidak
membutuhkan terapi khusus namun ada beberapa kasus yang dapat
berhubungan dengan beberapa penyakit hemolitik, kelainan metabolik, dan
endokrin, kelainan hati serta infeksi. Pada kadar > 20mg/dl bilirubin indirek
dapat menembus sawar darah otak dan bersifat toksik terhadap sel otak.
Penanganan primer hiperbilirubinemia yang di rekomendasikan adalah inisiasi
menyusu dini atau pemberian air susu ibu segera setelah lahir (Pohlman,
M.N., Nursanti, I., & Anto, Y.V., 2015). Menurut Mathindas (2013) usia
gestasi dibawah 37 minggu akan berpengaruh pada kadar bilirubin serum yang
cenderung tinggi. Umumnya fenomena peningkatan kadar bilirubin serum ini
ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Peningkatan kadar bilirubin
serum ini tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kumpulan dari berbagai
faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Karena
peningkatan kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru
lahir disebabkan oleh peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan
klirens bilirubin. Menurut Saputra (2015), dengan dilakukannya IMD bayi
biasanya akan cenderung berhasil dalam menyusu kemudian, dan
mendapatkan kolustrum lebih awal. Dengan mendapatkan kolustrum lebih
awal akan mempercepat pengeluaran mekonium yang didalamnya terdapat
banyak bilirubin dan zat sisa lainnya. Kolustrum yang didapatkan bayi pada
saat IMD mengandung kadar laksansia lebih tinggi. Salah satu manfaat IMD
adalah meningkatkan produksi ASI, sehingga pada kelompok yang
17

mendapatkan IMD dilanjutkan dengan ASI eksklusif akan memiliki volume


ASI lebih banyak sehingga dapat meningkatkan motilitas usus yang berakibat
pengeluaran mekonium yang berwarna gelap lebih cepat. Penerapan IMD
akan meningkatkan keberhasilan bayi baru lahir untuk menyusu kemudian
Keberhasilan IMD yang dilanjutkan dengan keteraturan menyusu bayi akan
lebih awal mendapatkan kolostrum. Kolustrum adalah air susu ibu yang keluar
pertama kali, dan merupakan laksatif alami yang berfungsi sebagai pencahar.
Kolustrum akan merangsang percepatan pengeluaran mekonium, didalam
mekonium atau feses yang pertama kali dikeluarkan bayi mengandung zat-zat
sisa dan bilirubin sehingga dengan IMD akan menurunkan kejadian
hiperbilirubinemia fisiologis.
18

BAB V
IMPLIKASI KEPERAWATAN

6.1 Bagi Pendidikan Keperawatan


Berdasarkan beberapa hasil penelitian, didapatkan bahwa perawat yang
memberikan terapi non farmakologi dapat mengurangi resiko hiperbilirubin
pada neonatus. Selain itu ibu dan keluarga juga merasa mendapatkan cara
dalam menghadapi neonates dengan hiperbilirubin. Masih ada beberapa
masalah yang dihadapi perawat dalam menerapkan terapi non farmakologi,
yaitu kurangnya pengetahuan ibu dan keluarga dalam melaksanakan tindakan
unutk mengurangi resiko hiperbilirubin pada neonatus tersebut. Bila
dipersiapkan dari awal, sejak dalam masa pendidikan keperawatan atau
kesehatan dimana pendidikan merupakan awal mula institusi yang
menghasilkan perawat untuk aktif di berbagai setting pelayanan. Informasi
melalui kurikulum pendidikan kesehatan atau keperawatan tentang terapi non
farmakologi dapat mendorong perawat untuk lebih mengembangkan terapi
tersebut baik secara kuantitas maupun kualitas.

6.2 Bagi Pelayanan Keperawatan


Terapi non farmakologi difokuskan untuk mengatasi resiko pada neonatus
yang muncul dengan mengurangi resiko hiperbilirubin pada neonatus
menggunakan insiasi menyusui dini. Bebrapa data penelitian diatas
menunjukkan bahwa tempat pelayanan yang menerapkan terapi non
farmakologi terutama insisasi menyususi dini masih terbatas, sedangkan
naonatus dengan resiko hiperbilirubin masih banyak yang memerlukan terapi
non farmakologi tersebut, maka diharapkan akan lebih banyak lagi perawat
yang melaksanakan insiasi menyusui dini segera setelah bayi lahir lebih
banyak dilaksanakan di ruangan atau tempat pelayanan kesehatan.
19

6.3 Bagi Penelitian


Di makalah diharapkan dapat memberikan gambaran tentang terapi non
farmakologi terutama dalam inisiasi menyusui dini untuk mengurangi resiko
hiperbilirubin pada neonatus. Inisiasi menyusui dini ini merupakan suatu cara
yang lebih efektif untuk mengurangi resiko hiperbilirubin pada neonatus
dengan menerapkan inisiasi menyusui dini tidak hanya dilaksanakan di rumah
sakit tapi dapat dilaksanak di rumah maupun dalam komunitas.
20

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini
diantaranya adalah :
a. Focus perawatan non farmakologi pada neonatus adalah mengurangi
hingga mencegah resiko hiperbilirubin yang terjadi.
b. Penatalaksanan yang dilakukan yaitu dengan inisiasi menyusui dini yang
dilakukan oleh perawat segera setelah bayi lahir. Inisiasi menyusui dini
dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan motovasi dari perawat/dokter
dengan didukung oleh suami, keluarga dan masyarakat.
c. Hasil yang didapatkan keluarga dari perawatan non farmakologi yang
dilaksanakan oleh perawat dapat diterima dengan baik dan dilaksanakan
sesuai dengan instruksi dari perawat kepada ibu dan keluarga untuk
mengurangi hingga mengatasi resiko hiperbilirubin pada bayi.
d. Pada perawat yang bertugas dapat memberikan asuhan keperawatan
berbasis Evidence Based Practice secara holistik melalui penerapan terapi
non farmakologi yaitu metode Inisiasi Menyusu Dini sesuai instruksi
kerja yang berlaku untuk mengurangi risiko hiperbilirubinemia fisiologis
pada bayi baru lahir. Hasil penelitian ini diharapkan bias memberi
manfaat dan masukan tentang pentingnya membekali tenaga kesehatan
dengan pendidikan dan keahlian, khususnya untuk mengurangi
hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi dengan menggunakan terapi non
farmakologi yaitu metode Inisiasi Menyusu Dini. Diharapkan adanya
tindak lanjut dengan menggunakan metode yang berbeda sehingga dapat
menghasilkan hal baru yang lebih baik.
21

6.2 SARAN
a. Bagi Institusi Pelayanan
Perawat perlu memberikan sosialisasi dan informasi yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya hiperbilirubin pada bayi sehingga keluarga
dapat dengan mudah menerima dan bekerjasama dengan perawat.
b. Bagi Perawat
Perlu meningkatkan pengetahuan dan keahlian dalam mencegah
terjadinya hiperbilirubin pada bayi terutama dalam asuhan keperawatan
yang berbasis Evidence Based Practice secara holistik melalui penerapan
terapi non farmakologi. Perlu meningkatkan kolaborasi dengan tenaga
kesehatan lainnya sehingga mendapatkan hasil atau perawatan yang lebih
baik.
22

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia. (2004).


Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or more
weeks of gestation. Pediatrics, 114(1), 297.

Depkes. (2008). Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif 6 Bulan.

Edmond, K. M., Zandoh, C., Quigley, M. A., Amenga-etego, S., & Owusu-agyei,
S. (2006). Delayed breastfeeding initiation increases risk of neonatal
mortality. Pediatrics, 117(3). http://doi.org/10.1542/peds.2005-1496

Kemenkes. (2010). Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.


Retrieved from http://www.gizikia.depkes.go.id/wp
content/uploads/downloads/2011/09/Buku-Saku-Pelayanan-Kesehatan
Neonatal-Esensial.pdf

Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia pada


Neonatus.Jurnal biomedik, 5(1). Diakses pada tanggal 5 Juli 2017.

Pohlman, M.N., Nursanti, I., & Anto, Y.V. (2015). Hubungan Inisiasi Menyusu
Dini dengan Ikterus Neonatorum di RSUD Wates Yogyakarta. Media Ilmu
Kesehatan, 4(2), 96-103. Diakses pada tanggal 12 Juli 2017.

Saputra, N.P.K., & Lasmini, P.S. (2016). Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini
terhadap Waktu Pengeluaran dan Perubahan Warna Mekonium serta
Kejadian Ikterik Fisiologi.JIK (Jurnal Ilmu Kedokteran), 9(2), 87-94.
Diakses pada tanggal 12 Juli 2017.

Anda mungkin juga menyukai