Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS PADA PENYAKIT EPILEPSI

DISUSUN OLEH :

FRESILIA YUNITA
PUSPITA AGUSTINA
RANDY PRATAMA
YOHANES PENGKI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN EKA HARAP


PALANGKA RAYA
2014/2015
LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang-
ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.

1.2 Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),


sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum


2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama,
ialah epilepsi idopatik, remote simtomatik epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut,
dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau
antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi
idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang
berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.

Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,


definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai
prediksi sebagai berikut:

Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12
bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah
75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan
pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko
40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang.
Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian
besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni
pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan
pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa
menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan
yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak
janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi. Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan
pada otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga
memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
 

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
  Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )
Alkoholisme
 

1.3 Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus


merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami


pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

1.4 Klasifikasi Kejang

Kejang umum terbagi atas:


1) Tonic-clonic convulsion = grand mal Merupakan bentuk paling banyak terjadi
pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur bisa terjadi
sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian
diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala.
2) Abscense attacks/ petit mal yaitu jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada
masa anak-anak atau awal remaja penderita tiba-tiba melotot, ataumatanya
berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya cuma beberapa detik, dan
bahkan sering tidak disadari.
3) Myoclonic seizure yaitu biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur
pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik)
bisa terjadi pada pasien normal.
4) Atonic seizure yaitu jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot
jatuh, tapi bisa segera recovered.
5) Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak. Kejang parsial
terbagi menjadi :
a. Simple partial seizures yaitu pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi
sentakan-sentakan pada bagian tertentu daritubuh
b. Complex partial seizures yaitu pasien melakukan gerakan-gerakan tak
terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran (Ali, 2001). 
1.5 Manifestasi Klinis dan Perilaku
1) Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan
2) Kelainan gambaran EEG
3) Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen
4) Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura
dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak
enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya)
5) Napas terlihat sesak dan jantung berdebar
6) Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat
7) Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang
tidak normal seperti pada keadaan normal
8) Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang
individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat
9) Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba- tiba
10) Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
menendang
11) Gigi geliginya terkancing
12) Hitam bola matanya berputar- putar.
13) Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

Di saat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba.


Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada
respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan, maupun
rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya
kejang, sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam
bola mata berputar-putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung
berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti
dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat
sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan
muatan listrik. Zainal Muttaqien (2001) mengatakan keadaan tersebut bisa
dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis maupun perubahan
biokimiawi pada sel-sel di otak sendiri atau pada lingkungan sekitar otak. Terjadinya
perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh trauma fisik, benturan, memar pada
otak, berkurangnya aliran darah atau zat asam akibat penyempitan pembuluh darah
atau adanya pendesakan/rangsangan oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh
sekelompok sel-sel otak yang nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi
diakibatkan oleh berbagai faktor.
1.6 Pemeriksaan Diagnostik
1) CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral.
Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan
otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal
dengan defisit neurologik yang jelas
2) Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
3) Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
a. mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
b. menilai fungsi hati dan ginjal
c. menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menunjukkan
adanya infeksi).
d. Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak
1.7 Penatalaksanaan

Manajemen Epilepsi :

1) Pastikan diagnosa epilepsi dan mengadakan explorasi etiologi dari epilepsy


2) Melakukan terapi simtomatik
3) Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan
yang dicapai, yakni:
a. Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
b. Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang
normal.
c. Penderita dpat memiliki kualitas hidup yang optimal.

Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan. Jika


penyebabnya adalah akibat gangguan metabolisme (hipoglikemia, hipokalsemia),
perbaikan gangguan metabolism ini biasanya akan ikut menghilangkan serangan itu.
Pengendalian epilepsi dengan obat dilakukan dengan tujuan mencegah serangan. Ada
empat obat yang ternyata bermanfaat untuk ini: fenitoin (difenilhidantoin),
karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproik. Kebanyakan pasien dapat dikontrol
dengan salah satu dari obat tersebut di atas.

Cara menanggulangi kejang epilepsi :

1) Selama Kejang
a. Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
b. Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
c. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d. Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk
mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e. Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien
melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi
jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
f. Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg
biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun pada
saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
g. Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka
berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
2) Setelah Kejang
a. Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
b. Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
c. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
d. Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
e. Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
f. Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang
dan biarkan penderita beristirahat.
g. Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein
yang lembut
h. Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.

Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan


medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.

1.8 Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan
obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan
terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan
pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program
yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu
tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi
akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita
dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak
atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari
rencana pencegahan ini.

1.9 Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan


diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan.
Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah
dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping yang
mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama


pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-
3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian
pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya.


Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau
bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi
yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.

Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama pengobatan
adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine, fenobarbital, primidone,
tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan sebagai pengobatan lini kedua.
Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila plasma konsentrasi obat
di ambang atas tingkat terapeutis namun penderita masih kejang dan AED tak ada
efek samping, maka dosis harus ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2
atau lebih AED, bila tak mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.
a. Fenitoin (PHT)
Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan
mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na
peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada
pelepasan neurotransmitter.
b. Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke
dalam membran sinaptik.
c. Fenobarbital (PB)
Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif
dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan
cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl - pada GABAA. Pada tingkat
selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan
penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl - dan
menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti
fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang
diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal
saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.11
d. Asam valproat (VPA)
VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-
transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan
kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase. VPA bekerja pada saluran
Na peka voltase, dan menghambat letupan frekuensi tinggi dari neuron. VPA
memblokade rangsangan frekuensi rendah 3Hz dari neuron thalamus.
e. Gabapentin (GBP
Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na
peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.
f. Lamotrigin (LTG)
Cara kerja: Menghambat saluran Na  peka voltase
g. Topiramate (TPM)
Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.11
h. Tiagabine (TGB)
Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.
Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek
jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin,
primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan
fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis
frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati
perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.
1.10 Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.
2.1 ASUHAN KEPERAWATAN
2.1.1 Pengkajian
1. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
2. Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
3. Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi. Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum
alcohol (alcoholic)
4. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara
tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh
anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga
mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila
diajak bicara.
5. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
6. Riwayat penyakit dahulu:
- Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
- Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
- Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
- Tumor Otak
- Kelainan pembuluh darah
- Demam,
- Stroke
- Gangguan tidur
- Penggunaan obat
- Hiperventilasi
- Stress emosional
7. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat
dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor keturunan.
8. Riwayat psikososial
- Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
- Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
9. Pemeriksaan fisik
1)  B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, salah interpretasi
informasi, kurang mengingat. 
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman,
tidak ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
Observasi: Barang- barang di sekitar pasien dapat
membahayakan saat terjadi kejang
Identivikasi faktor lingkungan yang
memungkinkan resiko terjadinya cedera
Pantau status neurologis setiap 8 jam Mengidentifikasi perkembangan atau
penyimpangan hasil yang diharapkan
Mandiri  

Jauhkan benda- benda yang dapat  Mengurangi terjadinya cedera seperti


mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
Pasang penghalang tempat tidur pasien Penjagaan untuk keamanan, untuk
mencegah cidera atau jatuh
Letakkan pasien di tempat yang rendah Area yang rendah dan datar dapat
dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
Tinggal bersama pasien dalam waktu Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali
Menyiapkan kain lunak untuk mencegah Lidah berpotensi tergigit saat kejang
terjadinya tergigitnya lidah saat terjadi karena menjulur keluar
kejang
Tanyakan pasien bila ada perasaan yang Untuk mengidentifikasi manifestasi awal
tidak biasa yang dialami beberapa saat sebelum terjadinya kejang pada pasien
sebelum kejang
Kolaborasi:  

Berikan obat anti konvulsan sesuai  Mengurangi aktivitas kejang yang


advice dokter berkepanjangan, yang dapat mengurangi
suplai oksigen ke otak
Edukasi:  

Anjurkan pasien untuk memberi tahu jika  Sebagai informasi pada perawat untuk
merasa ada sesuatu yang tidak nyaman, segera melakukan tindakan sebelum
atau mengalami sesuatu yang tidak biasa terjadinya kejang berkelanjutan
sebagai permulaan terjadinya kejang.
Berikan informasi pada keluarga tentang Melibatkan keluarga untuk mengurangi
tindakan yang harus dilakukan selama resiko cedera
pasien kejang

 
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak
ada dispnea

Intervensi Rasional
Mandiri  

1. Anjurkan klien untuk mengosongkan 1. Menurunkan resiko aspirasi atau


mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase aura faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang terjadi tanpa
ditandai gejala awal.
2. Letakkan pasien dalam posisi miring, 2. meningkatkan aliran (drainase) sekret,
permukaan datar mencegah lidah jatuh dan menyumbat
jalan nafas
3. Tanggalkan pakaian pada daerah 3. Untuk memfasilitasi usaha bernafas /
leher / dada dan abdomen ekspansi dada
4. Mengeluarkan mukus yang berlebih, 
4. Melakukan suction sesuai indikasi
menurunkan resiko aspirasi atau
asfiksia.
Kolaborasi 1. Membantu memenuhi kebutuhan
oksigen agar tetap adekuat, dapat
1. Berikan oksigen sesuai program
menurunkan hipoksia serebral sebagai
terapi
akibat dari sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap spasme
vaskuler selama serangan kejang.
3. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai kondisi dan aturan
pengobatan berhubungan dengan kurang pemahaman, salah interpretasi
informasi, kurang mengingat.

Intervensi Rasional
Mandiri

1. Kaji tingkat pengetahuan pasien


3. Mengetahui sebatas kemampuan klien
terhadap jenis penyakitnya
dalam memahami jenis penyakitnya
agar lebih kooperatif akan
pemahaman klien pentingnya
pencegahan,pengobatan dan
sebagainya.
4. memberikan kesempatan untuk
2. Jelaskan kembali mengenai
mengklarifikasi kesalahan persepsi
patofisiologi atau prognosis penyakit,
dan keadaan penyakit yang diderita.
pengobatan, serta penenganan dalam
5. Akan menambah pemahaman klien
jangka waktu panjang sesuai
terhadap kondisi kesehatan yang
prosedur.
diderita
3. Tinjau kembali obat-obatan, dosis,
6. Diskusikan manfaat dari keehatan
petunjuk, serta penghentian
umum yang baik, seperti diet yang
penggunaan obat-obatan sesuai
adekuat, istirahat yang cukup, serta
instruksi dokter.
latihan olah raga yang sedang dan
4. Tinjau kembali obat-obatan, dosis,
teratur, serta hindari makanan adan
petunjuk, serta penghentian
minuman yang mengandung zat yang
penggunaan obat-obatan sesuai
berbahaya.
instruksi dokter.
2.2.4 Implementasi Keperawatan
Merupakan komponen dari proses keperawatan (Potter & Perry, 2005) adalah
kategori dari perilaku keperawatan di mana tindakan yang di perlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan keperawatan di lakukan dan
di selesaikan. Sudut pandang teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan
mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di
banyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara
langsung setelah pengkajian. Sebagai contoh, implementasi segera diperlukan ketika
perawat mengidentifikasi kebutuhan klien yang mendesak, dalam situasi seperti henti
jantung, kematian mendadak dari orang yang dicintai, atau kehilangan rumah akibat
kebakaran.
2.2.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan mengukur respon klien terhadap
tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan (Potter & Perry,
2005). Evaluasi terjadi kapan saja perawat berhubungan dengan klien. Perawat
mengevaluasi apakah perilaku atau respon klien mencerminkan suatu kemunduran
atau kemajuan dalam diagnose keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat.
Selama evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya telah efektif dengan menelaah respon klien dan membandingkannya
dengan perilaku yang disebutkan dalam hasil yang diharapkan.
1) Pasien tidak mengalami cedera, tidak jatuh, tidak ada memar
2) Tidak ada obstruksi lidah, pasien tidak mengalami apnea dan aspirasi
3) Pasien dapat berinteraksi kembali dengan lingkungan sekitar, pasien tidak
menarik diri (minder)
4) Pola napas normal, TTV dalam batas normal
5) Pasien toleran dengan aktifitasnya, pasien dapat melakukan aktifitas sehari- hari
secara normal
6) Organ sensori dapat menerima stimulus dan menginterpretasikan dengan
normal
7) Ansietas pasien dan keluarga berkurang, pasien tampak tenang
8) Status kesadaran pasien membaik
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E. Moorhouse M.F., Geissler A.C., (2000) Rencana Asuhan


Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, EGC.

Mansjoer, A,.Suprohaita, Wardhani WI,.& Setiowulan, (2000). Kapita Selekta


Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Potter & Perry. (2006). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4 vol 1. Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
vol 3. Jakarta: EGC

Resa B. (2010). Epilepsi http://www.scribd.com diakses pada tanggal 17 juli 2010

Ikhsan, T (2009) http://pengobatanpenyakitepilepsi.blogspot.com


diakses pada tanggal 18 juli 2010.

Anda mungkin juga menyukai