A. Tujuan Instruksional
1. Tujuan umum
Setelah dilakukan penyuluhan selama 1x60 menit diharapkan sasaran mampu
mengetahui tentang Gagal Ginjal Kronik.
2. Tujuan khusus
Setelah mendapat penyuluhan tentang “Gagal Ginjal Kronik”, diharapkan peserta
mampu:
a. Mengetahui pengertian Gagal Ginjal Kronik
b. Mengetahui tentang penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik
c. Mengetahui tentang patofisiologi (proses terjadinya) Gagal Ginjal Kronik
d. Mengetahui tanda dan gejala Gagal Ginjal Kronik
e. Mengetahui pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya Gagal Ginjal
Kronik
f. Mengetahui penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik
B. Materi Penyuluhan
1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
2. Penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik
3. Patofisiologi (proses terjadinya) Gagal Ginjal Kronik
4. Tanda dan gejala Gagal Ginjal Kronik
5. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui adanya Gagal Ginjal Kronik
6. Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik
7. Sasaran
Sasaran penyuluhan adalah Tn. S dan keluarga
8. Metode
Metode yang digunakan adalah ceramah, diskusi dan tanya jawab
9. Media
Media yang digunakan adalah leaflet, dan powerpoint
10. Kegiatan Penyuluhan
11. Evaluasi
1. Evaluasi proses:
a) Sasaran mengikuti kegiatan penyuluhan dengan baik
b) Sasaran terlibat aktif dan kooperatif dalam kegiatan penyuluhan
c) Sasaran aktif bertanya
d) Sasaran aktif dan antusias dalam mengikuti kegiatan penyuluhan
2. Evaluasi hasil:
a. Jumlah peserta penyuluhan minimal 5 peserta
b. Media yang digunakan adalah leaflet
c. Waktu penyuluhan adalah 60 menit
d. Tidak ada peserta yang meninggalkan ruangan saat kegiatan penyuluhan
berlangsung
e. Peserta aktif dan antusias dalam megikuti kegiatan penyuluhan
3. Hasil
a) Sasaran mampu memahami tentang pengertian Gagal Ginjal Kronik
b) Sasaran mampu memahami tentang penyebab terjadinya Gagal Ginjal Kronik
c) Sasaran mampu memahami tentang patofisiologi (proses terjadinya) Gagal Ginjal
Kronik
d) Sasaran mampu memahami tentang tanda dan gejala Gagal Ginjal Kronik
e) Sasaran mampu memahami tentang pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengetahui adanya Gagal Ginjal Kronik
f) Sasaran mampu memahami tentang penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik
12. Materi Penyuluhan (lampiran 1)
Lampiran 1
DEFINISI
Penyakit ginjal kronis (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal.1 Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria.(Usu, 2008).
ETIOLOGI
PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan tiap negara memiliki data etiologi PGK
yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab terbesar
ESRD. Hipertensi menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab gagal ginjal
yang menjalani hemodialisis. Sedangkan diabetes melitus insidennya 18,65% disusul
obstruksi / infeksi ginjal (12.85%) dan hipertensi (8.46%) (Firmansyah, 2010). Dari data yang
sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-
2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes
melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Usu, 2008).
1. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi
tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan
ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus
sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Usu, 2008).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat
medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Usu, 2008).
2. Diabetes melitus
Nefropati diabetik merupakan manifetasi mikroangiopati pada ginjal yang
ditandai dengan adanya proteinuri (mula-mula intermiten kemudian persisten),
penurunan GFR (glomerular filtration rate)peningkatan tekanan darah yang
perjalanannya progresif menuju stadium akhir berupa gagal ginjal terminal. Berbagai
teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan produk glikosilasi
dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced Glicosylation End
Products), Peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway), glukotoksisitas (oto-
oksidasi), dan protein kinase C memberikan kontribusi pada kerusakan
ginjal.Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena tingginya kadar
glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan/perubahan terjadi
pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan
ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga
terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang
ditandai dengan timbulnya albuminuria (Arsono, 2008).
3. Hipertensi
Hipertensi menyebabkan CKD karena pada pasien dengan hipertensi maka kerja
ginjal semakin berat, jika hal ini terus menerus terjadi maka akan terjadi gagal ginjal.
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada
fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai
daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (usu, 2008)
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik (CKD) pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Penyebab utama
perburukan fungsi ginjal adalah adanya hiperfiltrasi glomerulus. Penurunan jumlah nefron
(sebagai filter) dalam ginjal terjadi seiring perjalanan penyakit ginjal kronik. Nefron yang
tersisa akan mengalami adaptasi struktural dan fungsional. Adaptasi ini menyebabkan
perubahan hemodinamik dan non-hemodinamik yang akan menyebabkan glomerulosklerosis.
Kondisi akan merusak nefron yang tersisa (Firmansyah, 2010). Aktifitas jangka panjang aksis
renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming
growth factor β (TGF- β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik (CKD) adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial (Suwitra, 2006).
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik (CKD), terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reverse), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan serum kreatinin. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien
seperti, nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG dibawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG 15% akan terjadi gejala dan komplikasi
yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi penganti ginjal antara lain dialisis atau
transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai stadium gagal ginjal (Suwitra,
2006).
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida)
2) Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan krestinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremi, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic (Suwitra, 2006). Terdapat
penurunan bikarbonat plasma (15-25 mmol/liter), penurunan pH, dan peningkatan
anion gap. Konsentrasi natrium biasanya normal, namun dapat meningkat atau
menurun akibat masukan cairan inadekuat atau berlebihan. Hiperkalemia adalah
tanda gagal ginjal yang berat, kecuali terdapat masukan berlebihan, asidosi tubular
ginjal, atau hiperaldosteronisme. Terdapat peningkatan konsentrasi fosfat plasma
dan peningkatan kalsium plasma. Kemudian fosfatse alkali meningkat. Dapat
ditemukan peningkatan parathormon pada hiperparatiroidisme (Pernefri, 2010).
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria
(Suwitra, 2006).
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel
Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas
normal.Pemeriksaan mikroskopik urin menunjukan kelainan sesuai penyakit yang
mendasarinya.Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi glomerulus dan
turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada ginjal terminal. Dapat ditemukan
proteinuria 200-1.000 mg/hari.Permeriksaan biokimia plasma akan mengetahui
fungsi ginjal dan gangguan elektrolit, mikroskopik urin, urinalisa, tes serologi
untuk mengetahui penyebab glomerulonefritis, dan tes-ts penyaringan sebagai
persiapan sebelum dialisis (biasanya hepatitis B dan HIV) (Pernefri.2010).
3) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik (CKD) meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksis oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifiasi
(Suwitra, 2006). USG ginjal sangat penting untuk mengetahui ukuran ginjal dan
penyebab gagal ginjal, misalnya adanya kista atau obstruksi pelvis ginjal. Dapat
pula dipakai foto polos abdomen. Jika ginjal lebih kecil dibandingkan usia dan
besar tubuh pasien maka lebih cenderung ke arah gagal ginjal kronik (Pernefri,
2010).
e. Pemerikasaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
4) Biopsi dan pemeriksaan Histopatologi ginjal
Biposi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal kontra-indikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah
mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas (Suwitra, 2006).
:
PENATALAKSANAAN
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik (CKD) sesuai dengan
derajatnya
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana tatalaksana