Anda di halaman 1dari 4

KOMITE KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT Kusnadi Jaya

Overview

Konsep mutu pelayanan kesehatan telah lama dipelajari. Sejak tahun 1966 Avedis
Donabedian mengembangkan suatu kerangka evaluasi mutu pelayanan, yang terdiri dari
struktur, proses dan
outcome
(Donabedian, 2003). Struktur adalah kondisi yang harus dipenuhi sebagai prasyarat untuk
menyediakan pelayanan. Proses merupakan berbagai aktivitas dan prosedur yang dilakukan
dalam memberikan pelayanan kesehatan, sedangkan
outcome
menunjukkan hasil dari suatu upaya, baik di tingkat individu ataupun populasi. Struktur yang
memadai diperlukan untuk melakukan proses pelayanan yang ideal, agar menghasilkan
outcome
yang optimal. Dengan pemahaman ini, mutu bukanlah suatu ketidaksengajaan (Christina,
2012). Saat ini dalam pelayanan kesehatan telah dikembangkan sistem untuk meningkatkan
mutu pelayanan klinis di rumah sakit (RS) yang disebut dengan tata kelola klinis (
clinical governance
). Tata kelola klinis timbul karena berbagai kenyataan buruk dalam sistem pelayanan
kesehatan seperti tingginya kasus malpraktik. Konsep dasar dari tata kelola klinis menurut
Djasri (2006), jika ditransformasikan dari pelayanan medik kedalam pelayanan keperawatan
mencakup : (1)
accountability
, yaitu bahwa setiap upaya keperawatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
etik, moral dan berbasis pada bukti terkini dan terpercaya (
evidence-based nursing practice
); (2)
continuous

quality

improvement
(CQI), yaitu bahwa upaya peningkatan mutu harus dilaksanakan secara sistematik,
komprehensif dan berkesinambungan; (3)
high quality standard of care
, yang mengisyaratkan agar setiap upaya kesehatan selalu didasarkan pada standar tertinggi
yang diakui secara profesional; dan (4) memfasilitasi dan menciptakan lingkungan yang
menjamin terlaksananya pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu (Hartati, Djasri, &
Utarini, 2014). Regulasi terkait dengan tata kelola klinis di Indonesia, antara lain : Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek kedokteran, Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite Medik di RS, dan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah
Sakit. Sedangkan tata kelola klinis yang sifatnya khas dan berlaku khusus di rumah sakit
tertentu diatur dalam
medical staff by law

Komite Keperawatan di Rumah Sakit


2
(untuk tenaga medis) dan
nursing staff by law
(untuk tenaga perawat dan bidan). Sedangkan perilaku profesional diatur dengan kode etik
masing-masing profesi. Pengaturan
clinical governance
sendiri dimaksudkan sebagai bagian dari manajemen resiko yang mana resiko itu melekat
pada setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini mengingat bahwa dalam
pelayanan kesehatan yang diukur adalah upaya yang dilakukan (
inspaning

verbentenis
), bukanlah hasil akhirnya (
resultante

verbintennis
). Resiko tersebut berupa Kejadian yang Tidak Diharapkan (KTD) atau dalam literarur
berbahasa Inggris dikenal dengan istilah
adverse

event
yaitu kondisi akibat pelayanan yang menimbulkan rasa tidak nyaman, tidak sembuh,
kecacatan bahkan kematian. KTD baru dikatakan malpraktik apabila terbukti nantinya upaya
yang dilakukan tersebut memang salah. KTD tidak dapat dikatakan malpraktik apabila
terbukti nantinya upaya yang dilakukan sudah benar walaupun kenyataannya hasil pelayanan
tersebut bisa saja menyebabkan kecacatan bahkan kematian (Idris, 2007). Gugatan terhadap
dugaan malpraktik adalah konsekuensi yang dapat terjadi akibat ketidakpuasan penderita atau
keluarganya terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya sehingga berakibat
memburuknya penyakit, kecacatan atau meninggal. Gugatan perkara malpraktik adalah salah
satu cara bagi penderita untuk mendapat kompensasi finansial akibat cedera yang
ditimbulkan oleh kejadian tak diharapkan (
medical

mishaps
), yang besarnya ditentukan dari berat ringannya cedera. Hal ini cukup memprihatinkan
karena keselamatan pasien sebenarnya tidak terletak dalam diri seseorang, alat atau
departemen secara individual, tetapi muncul dari interaksi komponen-komponen sebuah
sistem dan berada dalam konteks peningkatan kualitas. Salah satu risiko yang dapat
mengancam keselamatan pasien adalah kompetensi dan sikap tenaga kesehatan dalam
melakukan tindakan (Herkutanto, 2009). Adapun pihak-pihak yang harus bertanggung-jawab
terhadap gugatan yang dilayangkan atas tindakan kepada pasien adalah rumah sakit sebagai
korporasi dan tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagai profesional (Bawole, 2013). Salah
satu tonggak keselamatan pasien adalah akuntabilitas sumber daya manusia yang terlibat
dalam layanan kesehatan. Dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya dituntut untuk
memiliki kompetensi yang adekuat. Berpijak pada prinsip dasar gerakan keselamatan pasien
untuk ‘
non blaming culture
’ atau budaya tidak menyalahkan, jaminan kompetensi yang adekuat inipun berbasis pada
pendekatan sistem. Oleh karena itu, dalam tataran makro (sistem layanan kesehatan nasional),
dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengakomodasi kebutuhan jaminan kompetensi tersebut
(Herkutanto & Susilo, 2009) yang sudah diatur dalam regulasi yang berhubungan dengan tata
kelola klinis di atas.

Komite Keperawatan di Rumah Sakit


40
dibutuhkan untuk menilai kinerja Komite itu sendiri serta pihak-pihak yang terlibat dalam
proses audit tersebut. Meskipun dalam jangka waktu 5-10 tahun kedepan hal ini baru akan
terlaksana dengan baik, tetapi setidaknya Rumah Sakit harus mulai persiapan melaksanakan
hal itu sejak dini sehingga saat kebutuhan akreditasi meningkat hingga ke taraf Internasional
(akreditasi
Join Commite International for Accreditation
/ JCI), semua hal itu sudah dipersiapkan sejak dini.
J. Penutup
Mengingat begitu pentingnya asuhan yang berorientasi pada keselamatan pasien maka tenaga
keperawatan (perawat dan bidan) sebagai tenaga kesehatan dengan proporsi paling banyak di
Rumah Sakit untuk selalu dibina dan ditingkatkan profesionalismenya. Seiring dengan
semakin banyaknya regulasi yang berkaitan dengan praktik keperawatan dan kebidanan maka
manajemen Rumah Sakit perlu mengambil langkah untuk mulai memberdayakan Komite
Keperawatan dan Mitra Bestari sebagai mitra strategis Rumah Sakit dalam mengembangkan
profesionalisme tenaga keperawatan.
Pustaka
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5607)

Komite Keperawatan di Rumah Sakit


41
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 307; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5612) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan
Rumah Sakit (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1053) Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 938 Tahun 2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan Bawole, G.
Y. (2013). Rumah Sakit sebagai Badan Hukum bertanggung jawab atas tindakan medis yang
dilakukan dokternya.
Lex Crimen
,
II
(5), 130–139. Christina, M. (2012).
Mutu Pelayanan Kesehatan
. UGM. Hartati, K., Djasri, H., & Utarini, A. (2014). Implementasi tata kelola klinis oleh
komite medik di rumah sakit umum daerah di provinsi Jawa Tengah.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
,
17
(01), 51–59. Herkutanto. (2009). Profil Komite Medis di Indonesia dan Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kinerjanya dalam Menjamin Keselamatan Pasien.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
,
12
(01), 41–47. Herkutanto, & Susilo, A. P. (2009). Hambatan dan Harapan Sistem Kredensial
Dokter: Studi Kualitatif di Empat Rumah Sakit Indonesia.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
,
12
(03), 140–147. Idris, F. (2007).
Manajemen resiko dalam pelayanan kesehatan : konsep dalam sistem pelayanan kesehatan
. Palembang: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat-Kedokteran Komunitas. KARS. (2012).
Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012. Kornela, F., Hariyanto, T.,
& Pusparahaju, A. (2014). Pengembangan Model Jenjang Karir Perawat Klinis di Unit Rawat
Inap Rumah Sakit (Clinical Nursing Career Model Development in Inpatient Units of
Hospital).
Jurnal Kedokteran Brawijaya
,
28
(1), 58–63.

Komite Keperawatan di Rumah Sakit


42
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan RS.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 755 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Komite
Medik Di Rumah Sakit. Siregar, C. T. (2013). Perilaku Caring Perawat dalam
Melakukan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Tengku Mansyur
Tanjungbalai.
Asuhan Keperawatan
. Retrieved from http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39084/4/Chapter ll.pdf
STIKES Santo Borromeus. (2010). PELAKSANAAN STANDAR PROSEDUR
OPERASIONAL: IDENTIFIKASI RESIKO PASIEN JATUH DENGAN
MENGGUNAKAN SKALA JATUH MORSE DI RUMAH SAKIT “A” BANDUNG.
Stikes
,
1
, 1–12.

Anda mungkin juga menyukai