Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan
dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau
lebih) dalam satu hari (Depkes, RI 2011).
B. Klasifikasi Diare
C. Patifisiologi
a. Diare adalah kondisi ketidakseimbangan absorpsi dan sekresi air dan
elektrolit.
b. Terdapat 4 mekanisme patofisiologi yang menganggu keseimbangan air
dan elektrolit yang mengakibatkan terjadinya diare yaitu :
1. Perubahan transport ion aktif yang disebabkan oleh penurunan
absorbsi natrium atau peningkatan sekresi klorida.
2. Perubahan motilitas usus.
3. Peningkatan osmolaritas luminal.
4. Peningkatan tekanan hidrostatik jaringan.
c. Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokan diare secara klinik,
yaitu :
1. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip
(contoh : vasoactive Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri)
meningkatkan sekresi atau menurunkan absorbsi air dan elektrolit
dalam jumlah besar.
2. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorbsi zat-zat yang
memperahankan cairan intestinal.
3. Eksudativ diarrhea, disebabkan oleh absorbsi penyakit infeksi
saluran pencernaan yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke
dlaam saluran pencernaan.
4. Mortalitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di
usus halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan
bakteri yang berlebihan (Yulinah, Retnosari dkk, 2013).
D. Manifestasi Klinis
1. Diare dikelompokan menjadi akut dan kronis. Umunya episode diare akut
hilang dalam waktu 72 jam dari onset. Diare kronis melibatkan serangan
yang lebih sering selama 2-3 periode yang lebih panjang.
2. Penderita diare akut umumnya mengeluhkan onset yang tak terduga dari
buang air besar yang encer, gas-gas dalam perut, rasa tidak enak, dan nyeri
peurt. Karakteristik penyakit usus halus adalah terjadinya internittent
periumbilical atau nyeri pada kuadran kanan bawah disertai kram dan
bunyi pada perut. Pada diare kronis ditemukan adanya penyakit
sebelumnya, penurunan berat badan dan nafsu makan.
3. Diare dapat disebabkan oleh bebrapa senyawa termasuk antibiotik dan
obat lain, selain itu penyalahgunaan pencahar untuk menurunkan berat
badan juga dapat menyebabkan diare.
4. Pada diare pemeriksaan fisik abdomen dapat mendeteksi hiperperistaltik
dengan borborygymi (bunyi pada lambung). Pemeriksaan rektal dapat
mendeteksi massa atau kemungkinan fecal impaction, penyebab utama
diare pada usia lanjut.
5. Pemeriksaan turgor kulit dan tingkat keberadaan saliva oral berguna dalam
memperkirakan status cairan tubuh. Jika terdapat hipotensi, takikardia,
denyut lemah, diduga terjadi dehidrasi. Adanya demam mengindikasikan
adanya infeksi.
6. Untuk diare yang tidak dapat dijelaskan terutama pada situasi kronis dapat
dilakukan pemeriksaan parasit dan ova pada feses, darah, mukus dan
lemak. Selain itu juga dapat diperiksa osmolaritas feses, ph, dan elektrolit
(Yulinah, Retnosari dkk, 2013).
E. Terapi
a. Tujuan Terapi
Tujuan terapi pada pengobatan diare adalah untuk mengatur diet ;
mencegah pengeluaran air berlebihan, elektrolit, dan gangguan asam basa;
menyembuhkan gejala; mengatasi penyebab diare; dan mengatur
gangguan sekunder yang menyebabkan diare.
b. Pendekatan Umum
Pengaturan diet merupakan prioritas utama untuk penmgobatan diare.
Klinisi merekomendasikan untuk menghentikan makanan padat selama 24
jam dan menghindari produk-produk yang mangandung susu.
Apabila terjadi mual dan muntah tingkat sedang, diberikan diet residu
rendah yang mudah dicerna selama 24 jam.
Jika terjadi muntah dan tidak dapat dikontrol dengan pemberian
antiematik tidak ada yang diberikan melalui mulut. Pemberian diet
makanan lunak dimulai seiring adanya penurunan gerakan usus.
Pemberian makanan sebaiknya diteruskan pada anak-anak dengan diare
akibat bakteri akut.
Rehidrasi dan perbaikan air dan elektrolit adalah perawatan primer sampai
diare berakhir. Apabila muntah dan dehidrasi tidak parah, pemberian
makanan enteral merupakan metode yang terpilih (Yulinah, Retnosari
dkk, 2013).
TERAPI FARMAKOLOGI
Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan diare dikelompokkan
manjadi beberapa kategori yaitu antimotilitas, adsorben, antisekresi,
antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Obat-obatan tesebut tidak
menyembuhkan tetapi hanya meringankan.
Obat-obat antidiare
1. Opiat dan turunan opioid menunda transit isi intraluminal atau
meningkatkan kapasitas saluran cerna, memperpanjang waktu kontak
kontak dan absorbsi keterbatasan penggunaan opiat adalah potensi
terjadinya adikasi dan memperburuk penyakit pada diare yang
disebabkan oleh infeksi.
2. Loperamid sering direkomendasikan untuk terapi diare akut dan
kronis.
3. Adsorben (seperti kaolin peptin) digunakan untuk meringankan gejala,
tetapi kerjanya tidak spesifi, sehingga dapat mengabsorbsi nutrisi,
toksin, obat dan getah pencernaan. Pemberian bersama dengan obat
lain akan mengurangi bioavailabilitas.
4. Bismut subsalisilat sering digunakan untuk pengobatan atau
pencegahan diare dan memiliki efek antisekresi, antiinflamsi, dan
antibakteri.
5. Sediaan lactobacillus merupakan pengobatan kontroversional yang
diharapkan dapat mengganti koloni mikrofag. Hal ini diduga dapat
mengembalikan fungsi usus dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme patogen. Diet produk susu yang mengandung laktosa
200-400 g atau dekstrin, efektif dalam rekolonisasi mikroflora.
6. Obat-obat antikolinergik seperti antropin, dapat menghambat vagal
tone dan memperpanjang waktu transit saluran cerna.
7. Antibiotik dapat menyembuhkan diare apabila organisme
penyebabnya peka terhadap antibiotik tersebut, tetapi infeksi diare
sangat terbatas dan diobati dengan terapi pendukung.
8. Oktreotida, suatu analog oktapeptid sintetik dari somatostatin yang
diresepkan untuk pengobatan genjala tumor karsinoid dan tumor
sekresi VIP. Oktreopeptid menghambat pelepasan seratonin dan
ppetida aktif lain serta efektif dalam mengontrol diare. Interval dosis
untuk penanganan diare yang disertai tumor karsinoid adalah 100-600
nm/hari dalam 2-4 dosis terbagi secara subkutan (Yulinah, Retnosari
dkk, 2013).