Encephalopathy Dengue
Oleh:
Nurrokhmah Kurniasih
G4A017059
Pembimbing:
dr. Agus Fitrianto, Sp.A
2018
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Encephalopathy Dengue
Oleh:
Nurrokhmah Kurniasih
G4A017059
Pembimbing
B. Epidemiologi
Dengue tersebar luas pada daerah tropis, dengan faktor risiko
dipengaruhi oleh variasi lokal dari curah hujan, suhu, kelembaban
relatif, urbanisasi dan kualitas kontrol vektor pada area-area
pemukiman. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami
epidemi severe dengue. Kini, penyakit ini endemik pada lebih dari
100 negara di Afrika, Amerika, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan
daerah Pasifik. Gambar menunjukan distribusi dengue di seluruh
dunia berdasarkan laoran tahun 2016
Gambar 3. Distribusi dengue
C. Patogenesis/Patofisiologi
Setelah terinokulasi pada host (manusia), virus dengue memiliki
periode ikubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari) sementara
terjadi replikasi pada sel-sel dendritik target. Infeksi sel-sel target
terutama sel-sel pada sistem RES seperti sel dendritik, makrofag,
hepatosist, dan endotel akan menginisiasi produksi mediator imun
yang menentukan kuantitas, tipe dan durasi respon imun seluler dan
humoral terhadap infeksi virus pertama (initial) ataupun infeksi
lanjutan.
Infeksi virus dengue seringkali tidak memunculkan gejala. Pada
sebagian besar kasus, terutama pada anak-anak usia <15 tahun,
infeksi bersifat asimtomatik atau hanya menimbulkan demam non
spesifik yang berlangsung selama 5-7 hari. Demam dengue klasik
utamanya diderita oleh orang dewasa dan anak-anak dan bersifat
self-limiting, dengan recovery pada 7-10 hari. Severe dengue
(DHF/DSS) biasanya muncul pada sekitar hari ketiga sampai
ketujuh pada infeksi dengue kedua pada pasien dengan imunitas
tehadap serotipe virus dengue, baik dari infeksi sebelumnya maupun
imunitas yang didapat secara pasif dari ibu (maternal). dengue
menimbullka gejala non spesifik, mirip dengan infeksi virus ataupun
bakteri lain. Demam utamanya dimulai pada hari ketiga dan
bertahan selama 5-7 hari, menurun dengan penurunan viremia.
Demam dapat mencapai 41 C. Pada anak seringkali demam menurun
selama satu hari dan kemudian muncul kembali dengan pola seperti
pelana kuda (saddleback fever). Pola demam ini labih umum ditemui
pada kasus DHF.
Leukopenia, lympophenia pada akhir fase demam, dan
trombositopenia sering ditemui pada demam dengue akibat adanya
destruksi aktif sel-sel prekursor di sumsum tulang oleh vius.
Replikasi virus dan destruksi seluler pada sumsum tulang diyakini
menyebabkan nyeri pada tulang. Sekitar sepertiga pasien demam
dengue dapat mengalami gejala hemoragik ringan, seperti petechiae,
perdarahan gusi, dan tes torniket positif (>20 petechiae dalam area
2.5 x 2.5 cm). Demam dengue jarang fatal.
Severe dengue seringkali diawali dengan manifestasi awal demam
dengue. Demam akut (suhu ≤40 C) sperti pada demam dengue,
bertahan sekitar 2-7 hari. Namun pada severe dengue, demam
muncul kembali, memunculkan pola bifasik atau saddleback fever.
Selain demam bifasik, pasien dengan severe dengue mengalami
rombositopenia progresif, peningkatan hematokrit (peningkatan
absolut 20% dari baseline) dan kadar albumin rendah (tanda
hemokonsentraasi sebelum syok), manifestasi perdarahan yang
lebih jelas ( >50 pasien memiliki hasil tes torniket positif) dan efusi
progresif (pleural atau peritoneal). Limfositosis 9seringkali dengan
adanya limfosit atipik) muncul sebelum defervescence atau sebeum
onset syok. Kadar transaminase dapat meningkat pada kondisi
hepatomegali pada pasien dengan hepatitis akut.
Tanda kritis pada severe dengue adalah plasma leakage. Plasma
leakage diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler dan
dapat termanifestasi sebagai hemokonsentrasi, efusi pleura dan
ascites. Perdarahan diakibatkan oleh peningktan fragilitas kapiler
dan trombositopenia dan dapat termanifestasi dalam berbagai
bentuk, dari munculnya petechiae pada kulit hingga perdarahan
gastrointestinal yang dapat mengancam nyawa.
Kerusakan hepar termanifestasi sebagai peningkatan kadar alanin
aminotransferase dan aspartat aminotransferase, kadar albumin
rendah, dan profil koagulasi yang memanjang (PT, APTT). Severe
dengue shock merupakan DHF yang berlanjut pada kegagalan
sirkuasi, dengan adanya hipoetnsi, tekanan nadi endah (<20 mmHg),
dan pada akhirnya syok dan kematian apabila tidak tertangani.
Gejala klinis yang umumnya muncul sebelum syok diantaranya
adalah hipotermia, nyeri abdomen, muntah, dan gelisah.
Infeksi sekunder
Imunipatologi dari severe dengue hingga kini masih belum dipahami
sepenuhnya. Sebagian besar pasien yang mengalami severe dengue
pernah mengalami infeksi satu atau lebih serotipe dengue
sebellumnya. Ketika seseorang terinfeksi dengan serotipe lain
(infeksi sekunder) dan memproduksi antibodi dalam kadar rendah,
antibodi ini (yang ditargetkan pada satu dari dua protein permukaan
(protein membran prekursor dan protein pembungkus), ketika terikat
oleh makrofag dan reseptor Fc monosit, diasumsikan gagal untuk
menetralisir virus, alih-alih membetuk kompleks antigen-antibodi.
Hal ini kemudian meningkatkan entry virus ke makrofag yang
memiliki reseptor IgG, memungkinkan terjadinya replikasi virus
dengan titer viral lebih tinggi dan peningkatan produksi sitokin serta
aktivasi komplemen, suatu fenomena yang disebut [antibody-
dependent enhancement].
Makrofag yang terlibat kemudian melepaskan mediator-mediator
vasoaktif yang meningkatkan permeabilitas vaskular, menyebabkan
leakage, hipovolemia, dan syok. Mekanisme ini beserta variasi pada
individu serta genomevirus, berperan aktif dalam patogenesis
penyakit. Bayi yang lahir dari ibu yang pernah menderita dengue,
juga diperkirakan berisiko untuk terkena dengue severe, karena IgG
dengue yang diturunkan secara maternal berkurang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunopatologi sel T
berperan dalam patogenesis penyakit, dengan peningkatan aktivasi
dan apoptosis sel T. Peningkatan konsentrasi interferon telah
ditemukan pada 1-2 hari setelah onset demam selama infeksi dengue
sekunder simtomatik. Aktivasi sitokin, termasuk TNF-alfa, reseptor
TNF, CD8, reseptor IL2, telah dikorelasikan dengan keparahan
penyakit.
Penelitian di Cuba telah menunjukkan bahwa analisis sampel serum
menunjukkan penurunan progresif dari antibodi yang cross-reactive
terhadap DENV-2 seiring bertambahnya interval waktu sejak infeksi
DENV-1. Ditambah lagi, beberapa strain dengue, utamanya DENV-
2, telah diperkirakan lebih virulen, sebagian karena lebih banyak
epidemi DHF dihubungkan dengan DENV-2 daripada serotipe lain.
Trombosit yang teraktivasiDENV-2 difagositosis dalam jumlah
besar ketika prostasiklin, suatu inhibitor aktivasi platelet
ditambahkan.
Beberapa penelitian terbaru telah menginvestigasi penyebab
trombositopenia pada dengue. Penelitian laboratoris dan klinis telah
menunjukkan adanya korelasi langsung antara aktivasi dan deplesi
platelets, dengan penurunan tajam terjadi pada hari ke4 demam.
Sejumlah besar kopi genome virus dengue ditemukan pada platelet-
platelet teraktivasi ini. Peningkatan ikatan komplemen C3 dan IgG
juga ditemukan pada permukaan platelet teraktivasi. Di samping
aktivasi platelet, infeksi dengue juga mengaktivasi jalur intrinsik
dari apoptosis, dengen peningkatan paparan phosphatidylserine
permukaan, deplesi mitokondria, dan aktivasi caspase 3 dan 9.
Komplikasi neurologis
Komplikasi neurologis utamanya dikarenakan adanya invasi
langsung ke sistem saraf pusat oleh virus, reaksi autoimun, dan
gangguan metabolik. Virus dengue awalnya dianggap bersifat non-
neurotropik. Namun, laporan terbaru menghubungkan dengue
dengan komplikasi neurologis mengubah pandangan ini. Beberapa
kasus melaporkan adanya temuan virus pada LCS sejak dua dekade
lalu. Invasi virus diperkirakan terjadi akibat adanya kerusakan sawar
darah otak selama periode infeksi virus dengue. Reaksi autoimun
dan gangguan metabolik diperkirakan tejadi pada sebagian besar
komplikasi neurologis dari demam dengue.
Hingga tahun 2012, komplikasi neurologis dari infeksi virus dengue
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Murthy et al, 2010) :
(1) Gangguan metabolik, misalnya ensefalopati
(2) Invasi virus seperti encephalitis, meningitis, myositis, dan
myelitis
(3) Reaksi autoimun seperti acute disseminated encephalomyelitis,
neuromyelitis optica, neuritis optik, myelitis, ensefalopati, dan
sindrom Guillain-Barre.
Encephalitis dan encephalopathy merupakan komplikasi neurologis
yang paling umum ditemui pada kasus infeksi dengue. Encephalitis
disebabkan karena adanya invasi virus secara langsung ke sistem
saraf pusat. Entry virus ke dalam sistem saraf pusat diduga akibat
rusaknya sawar darah otak. Setelah masuk ke sistem saraf pusat,
virus
Kerusakan sawar darah otak diduga akibat aksi virus dengue yang
merusak pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan bahwa
infeksi DENV pada sel endotel mengarah pada pelepasan sitokin
seperti IL6 dan IL8, menginduksi apoptosis dan mengubah
transkriptome sel dan mengubah ekspresi gen. Proses selular dan
molekular yang berujung pada gangguan fisiologis utama pada sel
endotel yang menyebabkan perdarahan dan plasma leakage masih
belum sepenuhnya dipahami.
Patofisiologi utama dari plasma leakage pada DSS adalah akibat
adanya gangguan integritas dari junctional barrier sel inter-endotel.
Pada kondisi normal, junction antara sel endotel diregulasi melalui
jaringan kompleks pathway yang melibatkan Fyk, Syn, FAK knase
dan aktivitas kanal ion. Pada infeksi DENV, penelitian in vitro
menunjukkan bahwa gangguan pada biologi integrin beta dari
HMEC-1, suatu endothelial cell line, dapat melewati integritas
paraseluler. Tsunami sitokin yang dihubungkan dengan severe
dengue dapat pula menyebabkan peningkatan resistensi trans-
endotel dan meningkatkan permeabilitas sel endotel. Perubahan
permeabilitas endotelium mikrovaskular merupakan faktor dari
pasma leakage pada infeksi DENV, dan β3-integrin berperan
penting dalam mempertahankan integritas kapiler dan meregulasi
sitokin-sitokn vasoaktif yang mengatur permeabilitas vaskular
seperti IL-8 dan TNF-alpha.
Ensefalopati diduga merupakan hasil dari gangguan multisistem yang terjadi pada
infeksi severe dengue, dengan gagal liver, syok, dan koagilopati mengakibatkan
gangguan pada cerebral (Rao et al, 2013).
Pada infeksi dengue sekunder dengan serotipe yang berbeda, dapat terjadi
mekanisme ADE (antibody-dependent enhanced). Pada kasus semacam itu,
antibodi heterotipik non-neutralizing berinteraksi denngan virus dengue, [favoring]
infeksi sel host. Konsekuensinya, replikasi virus meningkat, kemungkinan DHF
pun meningkat. Kecepatan replikasi virus yang tinggi juga diduga berpengaruh
pada perkembangan gangguan neurologis pada infeksi dengue (Puccioni-Sohler &
Rosada, 2015).
.
D. Penegakan Diagnosis
Studi oleh Carod-Artal, et al mengajukan kriteria diagnosis untuk encephalitis
dengue sebagai berikut :
1) Keterlibatan dengue pada sistem saraf pusat
2) Ditemukannya RNA virus dengue, IgM, atau antigen NS1 pada LCS
3) Pleositosis LCS tanpa adanya patogen neuroinvasif lain.
1) Demam
2) Tanda keterlibatan cerebral akut seperti gangguan kesadaran atau
kepribadian dan/atau kejang dan/atau tanda neurologis fokal
3) Antibodi IgM dengue reaktif, antigen NS1 atau PCR dengue positif ada
serum dan/atau LCS. Pilihan salah satu uji laboratorium harus dilakukan
sesuai waktu onset infeksi
4) Eksklusi penyebab lain encephalitis dan encephalopathy.
1. Anamnesis
Anamnesa pada pasien ensefalitis dengue pada umumnya
meliputi anamnesa pada pasien infeksi dengue, yang harus
melibatkan :
Onset demam/penyakit
Kuantitas intake cairan per oral
Diare
Output urin (frekuensi, volume dan waktu BAK terakhir)
Penilaian warning signt
Perubahan kondisi mental/kejang/pusing
Riwayat infeksi dengue sebelumnya
Riwayat infeksi dengue pada keluarga, tetangga
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus melibatkan :
Penilaian status mental
Penilainan status hidrasi
Penilaian status hemodinamik
Pemeriksaan takipneu/napas asidosis/efusi pleura
Pemeriksaan abdominal tenderness/hepatomegali/ascites
Pemeriksaan ruam dan manifestasi perdarahan
Tes torniquet
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus dengue dipaparkan pada
tabel berikut :
Seluruh pasien dengan severe dengue harus dirawat ke rumah sakit dengen akses
ke fasilitas transfusi darah. Resusitasi intravena merupakan hal yang paling
dibutuhkan. Cairan kristaloid harus isotonik dan volumenya cukup untuk
mempertahankan sirkulasi efektif selama periode plasma leakage, kehilangan
pasma harus secepatnya diganti dengan cairan kristaloid isotonik: pada kasus syok
hipotensif, cairan koloid lebih disukai. Jika memungkinkan, periksa kadar
hematokrit sebelum dan setelah resusitasi cairan.
Ensefalopati dengue
Prinsip utama dalam penanganan ensefalopati adalah untuk mencegah peningkatan
tekanan intrakranial. Berikut adalah rekomendasi terapi suportif untuk kondisi
ensefalopati dengue (WHO 2011) :
F. Prognosis
Kasus demam berdarah dengue disertai komorbid berupa gangguan sistem
saraf pusat memiliki prognosis yang buruk.
III. DAFTAR PUSTAKA