Anda di halaman 1dari 23

TUGAS REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

Encephalopathy Dengue

Oleh:
Nurrokhmah Kurniasih
G4A017059

Pembimbing:
dr. Agus Fitrianto, Sp.A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO

2018
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

Encephalopathy Dengue

Oleh:
Nurrokhmah Kurniasih
G4A017059

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, Januari 2019

Pembimbing

dr. Agus Fitrianto, Sp. A


I. LAPORAN KASUS
Pasien anak perempuan usia 12 tahun datang ke IGD RSMS pada
12/12/2018 dengan penurunan kesadaran. 1 hari sebelumnya pasien
mengalami demam yang meningkat bertahap, terus menerus, tanpa
kejang, batuk pilek, BAB BAK normal. Esok harinya pasien mengalami
BAB cair sebanyak >5x dalam sehari, warna kuning kecoklatan, ampas
(+), lendir (-), darah (-), bau amis (-), bau asam (-). Pasien juga
mengalami mual dan muntah sebanyak 2 x isi makanan dan cairan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut. 8 jam sebelum masuk rumah sakit
pasien mulai lemas, gelisah, tidak mau minum, dan semakin lama pasien
mengalami penurunan kesadaran, tidak ada kontak mata dan tidak
merespon ketika diajak komunikasi. Pasien kemudian dibawa ke IGD
RSMS dalam keadaan somnolen dan mendapatkan resusitasi cairan
berupa RL dan membaik. Pasien kemudian dirawat dengan diagnosis
obs penurunan kesadaran dan GEA. Pasien dirawat di bangsal biasa
selama 2 hari kemudian pasien mengalami muntah-muntah dan pasien
mengalami kesulitan untuk berbicara dan kemudian kesadaran menurun
menjadi delirium, sehingga pasien dipindah rawat di PICU selama 6 hari
dengan diagnosis DSS (HS IV), ensefalopati dengue, Upper GIT
bleeding, imbalance elektrolit. Selama dirawat di PICU pasien
mendapat terapi IVFD RL 5cc/kgBB 20 tpm + D10% 12 tpm
makro,Inj Ceftriaxone 2 x1 gr, Inf PCT 500 mg/6-8 jam jika suhu >38
C, Inj Dexametasone 3 x 5 mg iv, Inj Ranitidine 3 x 50 mg iv, Inj
Omeprazole 1 x 20 mg iv, Inj Diazepam 3x 5 mg iv pelan jika gelisah,PO
Zinc 1 x 20 mg, PO Sucralfat 3 x 2 cth, diet 8 x 150cc susu.
Pada hari keenam perawatan di PICU pasien masih kesulitan untuk
berbicara namun kondisi kesadaran membaik dan pasien dipindah ke
bangsal Aster. Keesokan harinya pasien dipulangkan dengan kondisi
kesadaran membaik dan sudah mulai berlatih bicara.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi


Ensefalitis adalah peradangan pada jaringan parenkim otak.
Peradangan dapat disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa. Pada kasus
ensefalitis dengue, radng disebabkan karena infeksi virus dengue.
Virus dengue merupakan virus RNA rantai tunggal dengan
nucleocapsid berbentuk icosahedral yang diselubungi dengan lipid.
Virus ini merupakan famili Flaviridae genus Flavivirus. Terdapat
empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV 3,
dan DENV-4. Seluruh serotipe dapat menyebabkan demam dengue
dan demam berdarah dengue.Setiap serotipe memiliki genotip yang
berbeda-eda, dan infeksi lanjutan[sequence ] dengan serotipe yang
berbada mempengaruhi keparahan penyakit yang diderita. Pada
perjalanan penyakit demam dengue, ensefalopati merupakan
komplikasi neurologis yang cukup umum ditemui. Ensefalopati
dengue biasanya merupakan kondisi sekunder dari gangguan
multisistem seperti syok, hepatitis, gangguan fungsi koagulasu, dan
infeksi bakteri sekunder [concurrent]. Sementara ensefalitis dengue
merupakan kondisi yang berbeda, di mana hal ini terjadi akibat
adanya infiltrasi neuronal secara langsung oleh virus dengue
(Borawake, et al., 2011). Manifestasi neurologis pada infeksi dengue
utamanya disebabkan oleh serotipe DENV-2 dan DENV-3. Kedua
serotipe ini berhubungan dengan kasus-kasus ensefalitis, meningitis
dan myelitis. Namun, DENV-1 dan DENV-4 juga teridentifikasi
pada kasus-kasus ensefalitis (Puccioni-Sohler & Rosada, 2015).
Klasifikasi dengue

Gambar 1. Klasifikasi dengue menurut WHO (2009)


Gambar 2. Klasifikasi dengue menurut WHO (2011)

B. Epidemiologi
Dengue tersebar luas pada daerah tropis, dengan faktor risiko
dipengaruhi oleh variasi lokal dari curah hujan, suhu, kelembaban
relatif, urbanisasi dan kualitas kontrol vektor pada area-area
pemukiman. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami
epidemi severe dengue. Kini, penyakit ini endemik pada lebih dari
100 negara di Afrika, Amerika, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan
daerah Pasifik. Gambar menunjukan distribusi dengue di seluruh
dunia berdasarkan laoran tahun 2016
Gambar 3. Distribusi dengue

C. Patogenesis/Patofisiologi
Setelah terinokulasi pada host (manusia), virus dengue memiliki
periode ikubasi selama 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari) sementara
terjadi replikasi pada sel-sel dendritik target. Infeksi sel-sel target
terutama sel-sel pada sistem RES seperti sel dendritik, makrofag,
hepatosist, dan endotel akan menginisiasi produksi mediator imun
yang menentukan kuantitas, tipe dan durasi respon imun seluler dan
humoral terhadap infeksi virus pertama (initial) ataupun infeksi
lanjutan.
Infeksi virus dengue seringkali tidak memunculkan gejala. Pada
sebagian besar kasus, terutama pada anak-anak usia <15 tahun,
infeksi bersifat asimtomatik atau hanya menimbulkan demam non
spesifik yang berlangsung selama 5-7 hari. Demam dengue klasik
utamanya diderita oleh orang dewasa dan anak-anak dan bersifat
self-limiting, dengan recovery pada 7-10 hari. Severe dengue
(DHF/DSS) biasanya muncul pada sekitar hari ketiga sampai
ketujuh pada infeksi dengue kedua pada pasien dengan imunitas
tehadap serotipe virus dengue, baik dari infeksi sebelumnya maupun
imunitas yang didapat secara pasif dari ibu (maternal). dengue
menimbullka gejala non spesifik, mirip dengan infeksi virus ataupun
bakteri lain. Demam utamanya dimulai pada hari ketiga dan
bertahan selama 5-7 hari, menurun dengan penurunan viremia.
Demam dapat mencapai 41 C. Pada anak seringkali demam menurun
selama satu hari dan kemudian muncul kembali dengan pola seperti
pelana kuda (saddleback fever). Pola demam ini labih umum ditemui
pada kasus DHF.
Leukopenia, lympophenia pada akhir fase demam, dan
trombositopenia sering ditemui pada demam dengue akibat adanya
destruksi aktif sel-sel prekursor di sumsum tulang oleh vius.
Replikasi virus dan destruksi seluler pada sumsum tulang diyakini
menyebabkan nyeri pada tulang. Sekitar sepertiga pasien demam
dengue dapat mengalami gejala hemoragik ringan, seperti petechiae,
perdarahan gusi, dan tes torniket positif (>20 petechiae dalam area
2.5 x 2.5 cm). Demam dengue jarang fatal.
Severe dengue seringkali diawali dengan manifestasi awal demam
dengue. Demam akut (suhu ≤40 C) sperti pada demam dengue,
bertahan sekitar 2-7 hari. Namun pada severe dengue, demam
muncul kembali, memunculkan pola bifasik atau saddleback fever.
Selain demam bifasik, pasien dengan severe dengue mengalami
rombositopenia progresif, peningkatan hematokrit (peningkatan
absolut 20% dari baseline) dan kadar albumin rendah (tanda
hemokonsentraasi sebelum syok), manifestasi perdarahan yang
lebih jelas ( >50 pasien memiliki hasil tes torniket positif) dan efusi
progresif (pleural atau peritoneal). Limfositosis 9seringkali dengan
adanya limfosit atipik) muncul sebelum defervescence atau sebeum
onset syok. Kadar transaminase dapat meningkat pada kondisi
hepatomegali pada pasien dengan hepatitis akut.
Tanda kritis pada severe dengue adalah plasma leakage. Plasma
leakage diakibatkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler dan
dapat termanifestasi sebagai hemokonsentrasi, efusi pleura dan
ascites. Perdarahan diakibatkan oleh peningktan fragilitas kapiler
dan trombositopenia dan dapat termanifestasi dalam berbagai
bentuk, dari munculnya petechiae pada kulit hingga perdarahan
gastrointestinal yang dapat mengancam nyawa.
Kerusakan hepar termanifestasi sebagai peningkatan kadar alanin
aminotransferase dan aspartat aminotransferase, kadar albumin
rendah, dan profil koagulasi yang memanjang (PT, APTT). Severe
dengue shock merupakan DHF yang berlanjut pada kegagalan
sirkuasi, dengan adanya hipoetnsi, tekanan nadi endah (<20 mmHg),
dan pada akhirnya syok dan kematian apabila tidak tertangani.
Gejala klinis yang umumnya muncul sebelum syok diantaranya
adalah hipotermia, nyeri abdomen, muntah, dan gelisah.
Infeksi sekunder
Imunipatologi dari severe dengue hingga kini masih belum dipahami
sepenuhnya. Sebagian besar pasien yang mengalami severe dengue
pernah mengalami infeksi satu atau lebih serotipe dengue
sebellumnya. Ketika seseorang terinfeksi dengan serotipe lain
(infeksi sekunder) dan memproduksi antibodi dalam kadar rendah,
antibodi ini (yang ditargetkan pada satu dari dua protein permukaan
(protein membran prekursor dan protein pembungkus), ketika terikat
oleh makrofag dan reseptor Fc monosit, diasumsikan gagal untuk
menetralisir virus, alih-alih membetuk kompleks antigen-antibodi.
Hal ini kemudian meningkatkan entry virus ke makrofag yang
memiliki reseptor IgG, memungkinkan terjadinya replikasi virus
dengan titer viral lebih tinggi dan peningkatan produksi sitokin serta
aktivasi komplemen, suatu fenomena yang disebut [antibody-
dependent enhancement].
Makrofag yang terlibat kemudian melepaskan mediator-mediator
vasoaktif yang meningkatkan permeabilitas vaskular, menyebabkan
leakage, hipovolemia, dan syok. Mekanisme ini beserta variasi pada
individu serta genomevirus, berperan aktif dalam patogenesis
penyakit. Bayi yang lahir dari ibu yang pernah menderita dengue,
juga diperkirakan berisiko untuk terkena dengue severe, karena IgG
dengue yang diturunkan secara maternal berkurang.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunopatologi sel T
berperan dalam patogenesis penyakit, dengan peningkatan aktivasi
dan apoptosis sel T. Peningkatan konsentrasi interferon telah
ditemukan pada 1-2 hari setelah onset demam selama infeksi dengue
sekunder simtomatik. Aktivasi sitokin, termasuk TNF-alfa, reseptor
TNF, CD8, reseptor IL2, telah dikorelasikan dengan keparahan
penyakit.
Penelitian di Cuba telah menunjukkan bahwa analisis sampel serum
menunjukkan penurunan progresif dari antibodi yang cross-reactive
terhadap DENV-2 seiring bertambahnya interval waktu sejak infeksi
DENV-1. Ditambah lagi, beberapa strain dengue, utamanya DENV-
2, telah diperkirakan lebih virulen, sebagian karena lebih banyak
epidemi DHF dihubungkan dengan DENV-2 daripada serotipe lain.
Trombosit yang teraktivasiDENV-2 difagositosis dalam jumlah
besar ketika prostasiklin, suatu inhibitor aktivasi platelet
ditambahkan.
Beberapa penelitian terbaru telah menginvestigasi penyebab
trombositopenia pada dengue. Penelitian laboratoris dan klinis telah
menunjukkan adanya korelasi langsung antara aktivasi dan deplesi
platelets, dengan penurunan tajam terjadi pada hari ke4 demam.
Sejumlah besar kopi genome virus dengue ditemukan pada platelet-
platelet teraktivasi ini. Peningkatan ikatan komplemen C3 dan IgG
juga ditemukan pada permukaan platelet teraktivasi. Di samping
aktivasi platelet, infeksi dengue juga mengaktivasi jalur intrinsik
dari apoptosis, dengen peningkatan paparan phosphatidylserine
permukaan, deplesi mitokondria, dan aktivasi caspase 3 dan 9.
Komplikasi neurologis
Komplikasi neurologis utamanya dikarenakan adanya invasi
langsung ke sistem saraf pusat oleh virus, reaksi autoimun, dan
gangguan metabolik. Virus dengue awalnya dianggap bersifat non-
neurotropik. Namun, laporan terbaru menghubungkan dengue
dengan komplikasi neurologis mengubah pandangan ini. Beberapa
kasus melaporkan adanya temuan virus pada LCS sejak dua dekade
lalu. Invasi virus diperkirakan terjadi akibat adanya kerusakan sawar
darah otak selama periode infeksi virus dengue. Reaksi autoimun
dan gangguan metabolik diperkirakan tejadi pada sebagian besar
komplikasi neurologis dari demam dengue.
Hingga tahun 2012, komplikasi neurologis dari infeksi virus dengue
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Murthy et al, 2010) :
(1) Gangguan metabolik, misalnya ensefalopati
(2) Invasi virus seperti encephalitis, meningitis, myositis, dan
myelitis
(3) Reaksi autoimun seperti acute disseminated encephalomyelitis,
neuromyelitis optica, neuritis optik, myelitis, ensefalopati, dan
sindrom Guillain-Barre.
Encephalitis dan encephalopathy merupakan komplikasi neurologis
yang paling umum ditemui pada kasus infeksi dengue. Encephalitis
disebabkan karena adanya invasi virus secara langsung ke sistem
saraf pusat. Entry virus ke dalam sistem saraf pusat diduga akibat
rusaknya sawar darah otak. Setelah masuk ke sistem saraf pusat,
virus
Kerusakan sawar darah otak diduga akibat aksi virus dengue yang
merusak pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan bahwa
infeksi DENV pada sel endotel mengarah pada pelepasan sitokin
seperti IL6 dan IL8, menginduksi apoptosis dan mengubah
transkriptome sel dan mengubah ekspresi gen. Proses selular dan
molekular yang berujung pada gangguan fisiologis utama pada sel
endotel yang menyebabkan perdarahan dan plasma leakage masih
belum sepenuhnya dipahami.
Patofisiologi utama dari plasma leakage pada DSS adalah akibat
adanya gangguan integritas dari junctional barrier sel inter-endotel.
Pada kondisi normal, junction antara sel endotel diregulasi melalui
jaringan kompleks pathway yang melibatkan Fyk, Syn, FAK knase
dan aktivitas kanal ion. Pada infeksi DENV, penelitian in vitro
menunjukkan bahwa gangguan pada biologi integrin beta dari
HMEC-1, suatu endothelial cell line, dapat melewati integritas
paraseluler. Tsunami sitokin yang dihubungkan dengan severe
dengue dapat pula menyebabkan peningkatan resistensi trans-
endotel dan meningkatkan permeabilitas sel endotel. Perubahan
permeabilitas endotelium mikrovaskular merupakan faktor dari
pasma leakage pada infeksi DENV, dan β3-integrin berperan
penting dalam mempertahankan integritas kapiler dan meregulasi
sitokin-sitokn vasoaktif yang mengatur permeabilitas vaskular
seperti IL-8 dan TNF-alpha.

Tabel 1. Mekanisme dengue encephalopathy

Ensefalopati diduga merupakan hasil dari gangguan multisistem yang terjadi pada
infeksi severe dengue, dengan gagal liver, syok, dan koagilopati mengakibatkan
gangguan pada cerebral (Rao et al, 2013).

Pada infeksi dengue sekunder dengan serotipe yang berbeda, dapat terjadi
mekanisme ADE (antibody-dependent enhanced). Pada kasus semacam itu,
antibodi heterotipik non-neutralizing berinteraksi denngan virus dengue, [favoring]
infeksi sel host. Konsekuensinya, replikasi virus meningkat, kemungkinan DHF
pun meningkat. Kecepatan replikasi virus yang tinggi juga diduga berpengaruh
pada perkembangan gangguan neurologis pada infeksi dengue (Puccioni-Sohler &
Rosada, 2015).

Gambar 4 Antibody-dependent enhancement (ADE) in dengue


virus infection.

Neuropatogenesis infeksi DENV harus diklarifikasi. Kerusakan SSP dapat


merupakan hail dari empat mekanisme berbeda :
a) Imbalans metabolik
b) Gangguan hemoragik (trombositopenia)
c) Reaksi autoimun post-infeksi
d) Infeksi SSP oleh virus dengue.
Neuroinvasi merupakan kemampuan mikroorganisme untuk menginvasi sistem
saraf. Rute invasi DENV diduga melalui hematogen. Invasi virus diawali dengan
keadaan viremia. Virus dapat tersebar sebagai partikel bebas atau berada di dalam
sel terinfeksi (mekanisme entry Trojan-horse). Penelitian pada mencit
menunjukkan bahwa DENV dapat merusak sawar darah otak. Sawar darah otak
tersusun oleh sel-sel endotel dari mikrovessel otak. Selama infeksi, terdapat
ekspresi sitokin yang berlebih, sehingga mengganggu permeabilitas endotel
melaui gangguan pada tight junction. Kerusakan sawar darah otak pada infeksi
dengue berhubungan dengan kadar tinggi dari plasmatic metalloproteinase 9
(MMP-9). MMP akan mecerna lamina basalis dari unit neurovaskular,
melemahkan interaksi antara sel endotel dan elemen lain pada unit neurivaskular.
Sehingga enzim ini memfasilitas entry dari partikel virus bebas dan leukosit
teronfeksi ke dalam jaringan serebral. Terlebih lagi, monosit yang terinfeksi
DENV-2 mengekspresikan MCP-1, protein yang dapat meningkatkan
permeabilitas dan mengganggu tight junction. Sehingga DENV dapat masuk ke
dalam SSP.

Gambar 5. Neuroinvasivess of DENV in central nervous system.


A. Invasi virus setalah gigitan nyamuk. B. Invasi Blood-brain barrier
C. Invasi Blood-CSF barrier

.
D. Penegakan Diagnosis
Studi oleh Carod-Artal, et al mengajukan kriteria diagnosis untuk encephalitis
dengue sebagai berikut :
1) Keterlibatan dengue pada sistem saraf pusat
2) Ditemukannya RNA virus dengue, IgM, atau antigen NS1 pada LCS
3) Pleositosis LCS tanpa adanya patogen neuroinvasif lain.

Namun beberapa kasus ensefalitis dengue seringkali tidak menunjukkan


adanya pleositosis. Sehingga Soarez dan mengajukan kriteria baru untuk
mendefinisikan encephalitis dengue sebaga berikut :

1) Demam
2) Tanda keterlibatan cerebral akut seperti gangguan kesadaran atau
kepribadian dan/atau kejang dan/atau tanda neurologis fokal
3) Antibodi IgM dengue reaktif, antigen NS1 atau PCR dengue positif ada
serum dan/atau LCS. Pilihan salah satu uji laboratorium harus dilakukan
sesuai waktu onset infeksi
4) Eksklusi penyebab lain encephalitis dan encephalopathy.

Table 2. Case definition for dengue encephalitis (Varataraj, 2010)

1. Anamnesis
Anamnesa pada pasien ensefalitis dengue pada umumnya
meliputi anamnesa pada pasien infeksi dengue, yang harus
melibatkan :
 Onset demam/penyakit
 Kuantitas intake cairan per oral
 Diare
 Output urin (frekuensi, volume dan waktu BAK terakhir)
 Penilaian warning signt
 Perubahan kondisi mental/kejang/pusing
 Riwayat infeksi dengue sebelumnya
 Riwayat infeksi dengue pada keluarga, tetangga

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus melibatkan :
 Penilaian status mental
 Penilainan status hidrasi
 Penilaian status hemodinamik
 Pemeriksaan takipneu/napas asidosis/efusi pleura
 Pemeriksaan abdominal tenderness/hepatomegali/ascites
 Pemeriksaan ruam dan manifestasi perdarahan
 Tes torniquet

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus dengue dipaparkan pada
tabel berikut :

Tabel 3. Pemeriksaan penunjang pada infeksi dengue


Menurut Vatharaj (2010), meskipun uji laboratorium tetap
seabagai alat diagnostik definitif, imaging otak dapat menambah
informasi terhadap investigasi suspek ensefalitis viral. MRI
merupakan modalitas pilihan dibanding CT karena MRI dapat
menunjukkan substansi otak dan fossa posterior dengan definisi
yang lebih jelas. Temuan umum yang konsisten dengan
ensefalitis viral diantaranya adalah edema cerebral, perubahan
white matter, dan nekrosis serta atrofi otak (lanjut). Infark dan
perdarahan mungkin ditemukan. Kerusakan sawar darah otak
dapat tervisualisasi sebagai peningkatan sinyal pada MRI
dengan kontras gadolinium. Namun, seringkali scanning tampak
normal pada awal penyakit. Pada investigasi pasien dengan
suspek infeksi SSP, abnormalitas fokal pada imaging otak
mengarah pada ensefalitis daripada ensefalopati.
E. Tatalaksana
Penatalaksanaan infeksi dengue secara umum dibagi sesuai dengan
derajat keparahannya sesuai Gambar 6.
Gambar 6. Management infeksi dengue

Berdasarkan WHO 2011, ensefalitis dengue termasuk ke dalam kategori severe


dengue, sehingga penanganan ensefalitis/ensefalopati dengue adalah penanganan
kelompok C, yakni penanganan untuk pasien-pasien severe dengue yang
memerlukan penanganan emergensi dan rujukan segera karena berada pada fase
kritis penyakit dan memiliki :

 Severe plasma leakage yang berujung pada syok dengue


dan/atau akumulasi cairan dengan distres pernapasan
 Perdarahan hebat
 Kerusakan organ hebat (kerusakan hepar, kardiomiopati,
ensefalopati atau ensefalitis)

Seluruh pasien dengan severe dengue harus dirawat ke rumah sakit dengen akses
ke fasilitas transfusi darah. Resusitasi intravena merupakan hal yang paling
dibutuhkan. Cairan kristaloid harus isotonik dan volumenya cukup untuk
mempertahankan sirkulasi efektif selama periode plasma leakage, kehilangan
pasma harus secepatnya diganti dengan cairan kristaloid isotonik: pada kasus syok
hipotensif, cairan koloid lebih disukai. Jika memungkinkan, periksa kadar
hematokrit sebelum dan setelah resusitasi cairan.

Lanjutkan penggantian plasma untuk mempertahankan sirkulasi efektif selama 24-


48 jam. Untuk pasien-pasien obese atau overweight, perhitungan cairan
menggunakan berat badan ideal. Transfusi darah diberikan hanya pada kasus
dengen perdarahan hebat, atau suspek perdarahan hebat dengan hipotensi yang
belum diketahui sebabnya.

Resusitasi cairan memiliki goal sebagai berikut :

 Meningkatkan sirkulasi sentral dan perifer – penurunan takikardi,


peningkatan tekanan darah dan nadi, akral hangat dan tidak pucat, CRT <2
detik
 Meningkatkan perfusi end-organ – tercapai tingkat kesadaran stabil (lebih
sadar atau tidak gelisah), dan urine output ≥0.5 ml/kg/jam atau penurunan
asidosis metabolik

Ensefalopati dengue
Prinsip utama dalam penanganan ensefalopati adalah untuk mencegah peningkatan
tekanan intrakranial. Berikut adalah rekomendasi terapi suportif untuk kondisi
ensefalopati dengue (WHO 2011) :

 Pertahankan oksigenasi airway dengan pemberian oksigen. TIK diturunkan


dengan cara:
- Berikan cairan IV minimal utk mempertahankan volume intravaskular
adekuat; idealnya total cairan IV tidak lebih dari 80% cairan
maintenance.
- Ganti dengan cairan koloid jika hematokrit tetap meningkat dan cairan
parenteral dibutuhkan dalam jumlah banyak untuk penanganan plasma
leakage hebat
- Berikan diuretik sesuai indikasi pada kasus dengan tanda dan gejala
overload cairan
- Posisi head up 30 derajat
- Intubasi untuk menghindari hiperkarbia dan menjaga jalan napas
- Pertimbangkan steroid untuk menurunkan TIK. Dexamethasone 0.15
mg/kg/dosis IV tiap 6-8 jam
 Kurangi produksi amonia
- Berikan lactulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk nduksi diare osmotik
- Antibiotik lokal tidak perlu diberikan jika sudah diberikan antibiotik
sistemik karena dapat mematikan flora normal usus
 Pertahankan kadar gula darah pada 80-100mg/dl. Infus glukosa yang
direkomendasikan adalah antara 4-6mg/kg/jam
 Koreksi imbalans asam-basa dan elektrolit seprti hipo/hipernatremia,
hipo/hiperkalemia, hipokalsemia dan asidosis
 Berikan vit K1 secara IV dengan dosis :
- 3 mg untuk usia <1 tahun
- 5 mg untuk usia <5 tahun
- 10 mg untuk usia >5 tahun dan dewasa
 Antikonvulsan diberkan untuk mengontrol kejang. Dapat diberikan
fenobarbital, dilantin dan diazepam IV sesuai indikasi
 Transfusi darah, terutama PRC sesuai indikasi. Komponen darah lain seperti
platelet dan FFP sebaiknya jangan diberikan karena overload cairan dapat
meningkatkan TIK
 Terapi antibiotik empiris dapat diindikasikan jika terdapat suspek infeksi
bakteri superimposed.
 H2 blocker atau PPI (proton pump inhibitor) dapat diberikan untuk
menangani perdarahan gastrointestinal
 Hindari obat-obatan yang tidak diperlukan karena sebagian besar obat akan
dimetabolisasi oleh hepar.
 Pertimbangkan plasmapheresis atau haemodialisis atau terapi pengganti
renal pada kasus dengan perburukan klinis.
Dengue encephalitis, di sisi lain, menunjukkan kelainan yang pada dasarnya
amat berbeda, sehingga dapat memerlukan menajemen yang berbeda pula.
Penanganan umum untuk ensefalitis viral meliputi monitoring dan
maintenance jalan napas dan oksigenasi, hidrasi, dan nutrisi adekuat. Kejang
dapat dikontrol dengan obat anti-epileptik standar, dan peningkatan tekanan
intrakranial ditangani dengan perawatan head up, mannitol, dan steroid.
Penanganan spesifik untuk ensefalitis viral memerlukan terapi antiviral.
Namun tidak ada terapi antiviral untuk dengue. Penelitian tentang patogenesis
infeksi dengue mungkin akan menghasikan terapi baru, dan hasil terkini
menunjukkan adanya inhibisi replikasi dengue pada sel kultur oleh berbagai
agen, termasuk ribavarin, morpholino oligomers, geneticin, dan blocker protein
amplop virus. Bila mempertimbangkan immunopatogenesis pada infeksi
dengue, immunosupresi mungkin dapat berperan dalam terapi dengue
(Varatharaj, 2010).

F. Prognosis
Kasus demam berdarah dengue disertai komorbid berupa gangguan sistem
saraf pusat memiliki prognosis yang buruk.
III. DAFTAR PUSTAKA

Aditya Singh Kutiyal et al., Dengue Haemorrhagic Encephalitis: Rare Case


Report with Review of Literature Journal of Clinical and Diagnostic
Research. 2017 Jul, Vol-11(7)
Bharath Naidu, Pradeep M. Venkategowda, Ashwini Murthy, Pramod MN. A
Rare Case of Isolated Dengue Encephalitis. International Journal of
Advances in Case Reports, 5(1), 2018, 5-7.
Christo, Paulo P. Encephalitis by dengue virus and other Arboviruses. Arq
Neuropsiquiatr 2015;73(8):641-643
Deepak Madi et al. Asian Pac J Trop Biomed 2014; 4(Suppl 1): S70-S72
Li G-H, Ning Z-J, Liu Y-M and Li X-H (2017) Neurological Manifestations of
Dengue Infection. Front. Cell. Infect. Microbiol. 7:449.
Malik, Rupali Arun Gogna, Jhasketan Meher, Kumud Kumar Singh, Susheel
Kumar Sharma. Dengue encephalopathy – still an enigma? J Infect Dev
Ctries 2014; 8(8):1076-1078
Rampengan, Novie Homenta, Mulya Rahma Karyanti, Sri Rezeki Hadinegoro.
Ensefalopati Dengue pada Anak. Sari Pediatri 2011;12(6):419-25.
Soarez C. Puccioni-Sohler M. Diagnostic criteria for dengue encephalitis. J
Neurol Sci 2013;263
Varatharaj A. Encephalitis in the clinical spectrum of dengue infection. Neurol
India 2010;58:585-91
WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Denge
and Dengue Haemorrhagic Fever. SEARO Technical Publication Series
No. 60.
WHO. 2012. Handbook for Clinical Management of Dengue.
WHO. 2016. Dengue Buletin 2016; Vol 39

Anda mungkin juga menyukai