Makalah Hadist Mutawatir 2
Makalah Hadist Mutawatir 2
HADITS MUTAWATIR
NAMA KELOMPOK 6 :
MUHAMMAD KHAIDIR
MUHAMMAD RIDHO
MUHAMMAD RAYHAN F.
MONALISA MARSA S.
PUTRI HUMAIRAH
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latarbelakang........................................................................ 1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Mutawatir.................................................. 3
B. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir............................................. 4
C. Hukum Hadits Mutawatir...................................................... 6
D. Pembagian Hadits Mutawatir................................................. 6
E. Kedudukan Hadits Mutawatir................................................ 9
F. Kitab – Kitab Hadits Mutawatir.....…...................................... 9
G. Kehujjahan Hadits Mutawatir................................................ 9
H. Pengertian Hadits Ahad........................................................ 9
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat
diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam
proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-
Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi
kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-
Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan
pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an
telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan
selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan
menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist
tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum
Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-
hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para filosof misalnya, sering
merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan
dari berbagai pendapat itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash
bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadits. Ulama demikian
ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan
hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir.
BAB II
PEMBAHASAN
HADITS MUTAWATIR
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah:
Artinya: “Khabar yang di dasarkan pada pancaindera yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.”
Ada juga yang mengartikan hadits mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak
mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan
semacamnya.
B. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya
tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil
pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti
tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi
yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan
yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan
orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai Nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya,
bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang
ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang
dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-
kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir,
seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H),
Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani
(1345 H).
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam
meriwayatkan sebuah hadits, seperti kata: ( سمعناkami telah mendengar), ( رأيناkami telah melihat), لمسنا
(kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata,
seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadits tersebut tidak
dinamakan mutawatir.
2) Jumlah rawi yang banyak tadi ada dalam setiap tingkatan sanad, sejak sanad terbawah sampai sanad
teratas.
3) Materi kabar yang diriwayatkan berdasarkan pada panca indera, seperti ucapan mereka: saya
mendengar Rasullah saw bersabda demikian. Hadis Mutawatir tidak boleh terjadi dari hasil analisa atau
kesimpulan.
4) Jumlah rawi yang banyak ini harus terjadi di masa-masa periwayatan, yakni sebelum masa
pembukuan hadis.
§ Pengertian ahad menurut ahli hadis hadis yang diriwayatkan dari Rasullah saw oleh sejumlah orang,
tetapi tidak sampai pada tingkat mutawatir, atau hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.
1. Masyhur
Hadis yang di dalam tiap tingkatan (sanad) diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun mencapai
derajat mutawatir.
§ Hukum hadis masyhur
Faedah hadis masyhur ada yang shohih hasan dan dla’if, jika hadis masyhur itu shohih maka
kedudukannya lebih kuat dari pada hadis aziz dan ghorib. Hal ini di sebabkan oleh jumlah rawinya yang
lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Ath-Thahan, Mahmud. Taisir Musthalah Al-Hadis.
-------------------, Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah; Abu Fuad. Bogor: Pustaka Thanqul Izzah. 2006.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.
-----------------------. Ilmu Hadis. .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006.
Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung. 1974.
Sumber lainnya:
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mutawatir/, Akses 3 Desember
2012, Pukul 16:02 WIB.
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2122366-pembagian-hadist-
mutawatir/#ixzz2DzxcFWmL, Akses 3 Desember 2012, Pukul 17:49 WIB.
http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html, akses, 3 Desember
2012, pukul 16:45 WIB.
[1] Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadis, hlm. 19.
[2] http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mutawatir/, Akses 3
Desember 2012, Pukul 16:02 WIB.
[3] http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2122366-pembagian-hadist-
mutawatir/#ixzz2DzxcFWmL, Akses 3 Desember 2012, Pukul 17:49 WIB.
[4] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthathalah al Hadits. (Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm.79.
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 87.
[6] Diriwayatkan oleh Bukhari I/434 No.1229, dan Muslim I/10 No.3).
[7] Diriwayatkan Muslim I/378 no.533, At-Tirmidzi II/135 no.319, dan Ahmad I/70 No. 506.
[8] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah; Abu Fuad, (Bogor: Pustaka Thanqul Izzah,
2006), hlm. 21-22.
[9] http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html, akses, 3
Desember 2012, pukul 16:45 WIB.
[10]Munzier Supart, Ilmu...., hlm. 90.
[11] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits.., hlm. 22.
[12] Munzier Suparta, Ilmu.... hlm. 90-91.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 106.
[14] Abdurrahman bin Qasim ibn Muhammad Al-Asimi, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn
Taimiyah, (Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t), hlm. 51.