Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HADITS MUTAWATIR

GURU PEMBIMBING : NENGSIH, S.Pd.I.

NAMA KELOMPOK 6 :

MUHAMMAD KHAIDIR
MUHAMMAD RIDHO
MUHAMMAD RAYHAN F.
MONALISA MARSA S.
PUTRI HUMAIRAH

MADRASAH ALIYAH NEGERI 3 BANJAR


2018/2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh
Dengan segala kerendahan hati, izinkan penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam
kepada Allah SWT yang senantiasa membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang dalam
menegakakan agama-Nya serta makalah yang membahas tentang “Hadits Mutawatir” dapat penulis
selesaikan. Shalawat serta salam tak pernah putus kita sampaikan kepada pimpinan sekaligus guru
peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang banyak memberikan keteladanan dalam berfikir dan
bertindak.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak dan rekan-rekan yang membantu
penulis dalam memberikan masukan dan pendapat terhadap makalah ini.Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka
dari itu, kepada para pembaca dan para pakar di mohon saran dan kritikan yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah dan guna meningkatkan kualitas dari makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa, masyarakat dan bangsa.
Wasssalamu’alaikum Warohmatullah Wabarakatuh.

Gambt. 7 agt 2018

I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latarbelakang........................................................................ 1

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Mutawatir.................................................. 3
B. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir............................................. 4
C. Hukum Hadits Mutawatir...................................................... 6
D. Pembagian Hadits Mutawatir................................................. 6
E. Kedudukan Hadits Mutawatir................................................ 9
F. Kitab – Kitab Hadits Mutawatir.....…...................................... 9
G. Kehujjahan Hadits Mutawatir................................................ 9
H. Pengertian Hadits Ahad........................................................ 9
BAB III : PENUTUP
Kesimpulan................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat
diragukan lagi. Namun karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam
proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang membedakannya dengan Al-
Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir. Selain itu, dari sisi
kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-
Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan
pada sekitar tahun 22 Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an
telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan
selanjutnya para ulama hadist melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan
menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist
tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan dalam penetapan hukum
Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-
hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para filosof misalnya, sering
merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan
dari berbagai pendapat itu yang struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash
bahwa pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur transmisi hadits. Ulama demikian
ketat melakukan seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang menghasilkan
hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir.

BAB II
PEMBAHASAN
HADITS MUTAWATIR
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).
Adapun hadits mutawatir menurut istilah ulama hadits adalah:

ُ ‫طئِحِ ْم و اِجْ تِما ِع ِه ْم اِحالةُ العاد ِة في ِ ي ُِجبُ جم عدد رواهُ م ْح‬


‫س ْوس ع ْن خبْر ُحو‬ ِ ‫ْالك ِذ‬
ُ ‫ب على توا‬

Artinya: “Khabar yang di dasarkan pada pancaindera yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.”
Ada juga yang mengartikan hadits mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak
mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan
semacamnya.
B. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya
tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil
pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti
tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang
banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi
yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan
yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan
orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d) Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai Nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya,
bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena
persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang
ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang
dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-
kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir,
seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H),
Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani
(1345 H).
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam
meriwayatkan sebuah hadits, seperti kata: ‫( سمعنا‬kami telah mendengar), ‫( رأينا‬kami telah melihat), ‫لمسنا‬
(kami telah menyentuh) dan lain sebagainya. Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata,
seperti: pendapat tentang alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadits tersebut tidak
dinamakan mutawatir.

C. Hukum Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti
akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist
mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir.
Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber
dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist mutawatir tidak membutuhkan
proses. Cukup dengan bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah tersebut dapat diyakini kebenaran
khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang
bernama Umar bin Khattab, sekalipun kita belum pernah melihatnya namun kita tetap yakin bahwa
info tersebut benar.
D. Pembagian Hadits Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni Mutawatir Lafzi dan
Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi,
Ma’nawi, dan ‘Amali.
1. Hadits mutawatir lafzhi
Yang dimaksud hadits mutawatir lafzi adalah:
‫واحد لفظ على روايته تواترت ما‬
Artinya: “Hadits yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzhi.”
Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang makna dan lafadznya memang mutawatir. Contohnya :
‫ار مِ ْن م ْقعدهُ ف ْليتبوأْ علي كذب م ْن‬
ِ ‫الن‬
Artinya: “Barangsiapa berdusta atas namaku (Rasullah) secara sengaja, maka kehendaknya ia bersiap-
siap menempati tempatnya di neraka.”
Keterangan :
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut, diantaranya ada
yang berbunyi begini :
‫)ماجه ابن( النار من مقعده فليتبوأ اقل مالم علي تقول من‬
Artinya : “Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah
katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. (Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
‫)الحاكم( النار من مقعده فاليتبوأ اقل مالم علي قال ومن‬
Artinya : ”Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka
hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka”. (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya
beberapa kali.
Dari ketiga contoh itu, maka yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama
betul-betul.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari, Muslim,
Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
Berikut ini disebutkan enam hadits mutawatir lainnya:
‫)الترميذي رواه( وبلغها وحفظها فوعاها مقالتي سمع امرء هللا نضر‬
Artinya : “Mudah-mudahan Allah akan berbuat baik kepada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia
peliharanya dan menjaganya serta menyampaikannya (kepada manusia).” (HR. Turmidzi)
‫)النسائ رواه( احرف سبعة علي انزل القرﺁن ن إ‬
Artinya : “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf”. (HR. Nasai)
‫)التبراني رواه( ْالجن ِة فِى ب ْيتًا لهُ َللاُ بنى مس ِْجدًا ِلِلِ بنى م ْن‬
Artinya : ”Barang siapa mendirikan sebuah mesjid karena Allah, maka Allah akan mendirikan baginya
sebuah rumah di surga.” (HR. Thabarani)
‫)البخاري رواه( حرام فهو اسكر شراب كل‬
Artinya : Tiap-tiap minuman yang memabukkan , maka dia itu haram (HR. Bukhari)
‫)الدارمي رواه( غريبا وسيعوده غريبا االسالم إن‬
Artinya : “Sesungguhnya agama Islam itu timbul dengan keadaan asing dan akan kembali dengan asing
(juga)”. (HR. Darimi)
‫)البخاري رواه( له خلق لما ميسر كل‬
Artinya : “Tiap-tiap orang dimudahkan kepada apa yang sudah ditakdirkan baginya”. (HR. Bukhari)
Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu Hadist, karena rawi-rawi
yang menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida syarat Mutawatir 37
sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita akan benarnya dari Nabi SAW.
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian
Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadis mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi ialah:
‫لفظه دون معناه تواتر ما‬
Artinya: “Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”
hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam
menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.[9]
Contoh hadits ini adalah:
‫ابطيه بياض ورأيت يديه رفع ثم وسلم عله هللا صلى النبي دعا األشعرى موسى ابو وقال‬
Artinya: “Abu Musa Al-‘Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua tangannya
dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”
Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100 hadits.
Masing-masing hadits menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya ketika berdoa,
meskipun masing-masing (hadits) terkait dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-
masing perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa
itu termasuk mutawatir karena pertimbangan digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.
3. Hadits mutawatir ‘amali
Yang dimaksud dengan hadits ini ialah:
‫عليه ينطبق الذي وهو ذلك غير او امربه او فعله وسلم عليه هللا صلى النبي ان المسلمين بين وتواتر باالضرورة الدين من علم ما‬
‫صحيحا إنطباقا اإلجماع تعريف‬
Artinya: “Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah
mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya menyuruhnya, atau selain dari itu.
Dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif Ijma.”
Macam hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu
shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan
lain-lain.

E. Kedudukan Hadis Mutawatir.


Para ulama menegaskan bahwa hadis mutawatir menghasilkan pengetahuan yang pasti (ilmu
qaṭ’i), yakni pengetahuan yang pasti bahwa sumbernya berasal dari Rasulullah Saw.
Para ulama juga menegaskan bahwa hadis mutawatir membuahkan “ilmu daruriy”
(pengetahuan yang sangat memaksa untuk diyakini kebenarannya), yakni pengetahuan yang tidak dapat
dipungkiri bahwa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang disampaikan oleh hadis itu benar-benar
berasal dari Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, kedudukan hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam tinggi sekali.
Menolak hadis mutawatir sebagai sumber ajaran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi
Muhammad Saw. sebagai utusan Allah Swt.
F. Kitab-Kitab Hadits Mutawatir
Bebrapa hadits-hadits Mutawatir telah dikumpulkan dalam sebuah kitab tersendiri diantaranya:
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi
2. Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas
3. Al-La’ali’ Al-Mutanatsirah min Al-HaditsAl-Mutawatirah, karya Abu Abdillah Muhammad bin
Thulun Ad-Dimsyaqi
4. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani.

G. Kehujjahan Hadits Mutawatir


Hadits mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi al’dhururi), yakni keharusan
untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis tersebut, hingga
membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).
Ibnu Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian golongan
lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain.
Barang siapa yang telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadits, wajib baginya mempercayai
kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengetahui dan
meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadits
mutawatir yang disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum yang disepakati oleh imam.

H. Pengertian Hadits Ahad


Hadits Ahad, yaitu Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
Para imam berbeda pendapat kedudukan hadits ahad ini. Menurut Imam Hanafi (Abu Hanifah),
jika rawinya orang-orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah, bukan
pada bidang akidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan hukum-
hukum yang tidak dijumpai dalam Al-Qur’an dan harus didahulukan dari qias zhonni (tidak pasti).
Imam syafi’i menegaskan, hadits ini dapat dijadikan hujjah jika rawinya memiliki empat syarat:
– Berakal
– Dhobit (yakni memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan
itu kapan sajadikehendaki);
– Serta mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw; dan
– Tidak menyalahi pendapat ulama hadits.
Hadits Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga rawi atau lebih dengan sanad yang
berbeda. Contohnya, Muhammad Rasulullah Saw, bersabda, “Orang Islam ialah orang-orang yang tidak
mengganggu orang Islam lainnya , baik dengan lidah maupun dengan tangannya.” (HR.Bukhori,
Muslim, dan Tirmidzi)
Sanad Muslim, yaitu Muslim (mendengar ) dari Sa’id, dari Yahya, dari Burdah, dari Abu Musa,
dari Rasulullah Saw.
Sanad Tirmidzi, yaitu tirmidzi (mendengar) dari Qutaidah, dari al-Lais,dari al-Qo’qo, dari abu
Salih,dariabu Huroiroh,dari Nabi Saw.
Sedangkan yang dimaksud hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi,
walaupun setelah itu diriwayatkan oleh sejumlah perawi. Hadits ghorib adalah hadits yang dalam
sanadnya hanya ada satu orang rawi, dimanapun sanad itu terjadi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan. Sedangkan
mutawatir menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak
mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan
dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan
semacamnya.
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya
tangkap) pancaindera.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta.
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya.
4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam
meriwayatkan sebuah hadits.
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut yaitu memberikan informasi yang pasti
akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist
mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir.
Mengingkari hadist mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber
dari Rasulullah.
Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni Mutawatir Lafzi dan
Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain membagi menjadi tiga, yakni Hadits Mutawatir Lafzi,
Ma’nawi, dan ‘Amali.

o Pengertian Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad


1) Al-Mutawatir
§ Pengeritian mutawatir menurut ahli hadist adalah Hadis yang setiap tingkatan sanad diriwayatka
sejumlah banyak oran rawi yang menurut kebiasaan memustahilkan mereka untuk bersepakat di dalam
kebohongan dan dalam meriwayatkan mereka berdasarkan indera.

§ Syarat – syarat Hadist Mutawatir


1) Diriwayatkan banyak orang yang tidak mungkin melakukan kesepakatan berbohong. Para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayyib menentukan kekurang – krangnya 4 orang. Hal tersebut dianologikan dengan jumlah
saksi oleh hakim dalam pengadilan.
b. Ashhab al-Syafiy menentukan 5 orang. Hal tersebut dianologikan dengan jumlah para Nabi yang
mendapatkan gelar Ulu al-Azmi.
c. Sebagian ulama menentukan sekurang – kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan
yang telah difirmankan Allah tentang orang – orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan
orang – orang kafir sejumlah 200 orang.
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekuarang – kurangnya 40 orang.

2) Jumlah rawi yang banyak tadi ada dalam setiap tingkatan sanad, sejak sanad terbawah sampai sanad
teratas.
3) Materi kabar yang diriwayatkan berdasarkan pada panca indera, seperti ucapan mereka: saya
mendengar Rasullah saw bersabda demikian. Hadis Mutawatir tidak boleh terjadi dari hasil analisa atau
kesimpulan.
4) Jumlah rawi yang banyak ini harus terjadi di masa-masa periwayatan, yakni sebelum masa
pembukuan hadis.

§ Hukum Hadist Mutawatir


Hadist Mutawatir menghasilkan suatu kebenaran berita yang menyakinkan, seorang tidak bisa menolak
dan meragukan kebenaran berita yang diterimanya secara mutawatir. Seperti tentang adanya Masjidil-
Haram di makkah. Demikian pula seseorang yang mendapatkan hadist mutawatir, wajib langsung
menerima dan mengamalkan, tidak perlu lagi mempersoalkan keadaan sanad dan rawinya. Hukum hadis
mutawatir pasti shahih.
§ Macam – macam Hadist Mutawatir
1. Mutawatir lafdzy yaitu hadis yang mutawatir secara lafadh (teks) dan ma’na (pengertian) nya.
Semua rawi hadis meriwayatkannya dengan lafadh yang sama, contoh hadis:
‫ار مِ ن م ْقعدُهُ ف ْليتبوأْ ُمتع ِ ِّمدًا على كذب م ْن‬
ِ ‫الن‬
2. Mutawatir ma’nawi yaitu hadis yang mutawatir hanya dalam ma’nanya saja, sedangkan lafadh
hadisnya tidak mutawatir. Contohnya hadis Rasullah saw mengangkat tangan ketika sedang berdoa.
2) Ahad

§ Pengertian ahad menurut ahli hadis hadis yang diriwayatkan dari Rasullah saw oleh sejumlah orang,
tetapi tidak sampai pada tingkat mutawatir, atau hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir.

§ Pembagian hadis ahad berdasarkan rawinya

1. Masyhur

§ Pengertian hadis masyhur

Hadis yang di dalam tiap tingkatan (sanad) diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, namun mencapai
derajat mutawatir.
§ Hukum hadis masyhur

Faedah hadis masyhur ada yang shohih hasan dan dla’if, jika hadis masyhur itu shohih maka
kedudukannya lebih kuat dari pada hadis aziz dan ghorib. Hal ini di sebabkan oleh jumlah rawinya yang
lebih banyak.

§ Contoh hadis masyhur

‫ض ال هللا ِإن‬ ُ ‫عهُ اِ ْنتِزاعًا اْلع ِْلم ي ْق ِب‬


ُ ‫صد ُْو ِر مِ ْن ي ْنت ِز‬ ُ ‫ْض اْلع ِْلم ي ْق ِب‬
ُ ‫اْلعِبا ِد‬، ‫ض ولك ِْن‬ ِ ‫اْلعُلماءِ ِبقب‬، ‫ق لم ْْ ِإذا حتى‬
ِ ‫اس اِتخد عا ِل ًما ُي ْب‬
ُ ‫ُرؤسا ُء الن‬
ُ
ً‫ ُجهاال‬، ‫سئِلوا‬ ْ ُّ
ُ ‫عِلم بِغي ِْر ف‬، ‫واضل ْو فضلوا‬ ُّ

DAFTAR PUSTAKA
Ath-Thahan, Mahmud. Taisir Musthalah Al-Hadis.
-------------------, Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah; Abu Fuad. Bogor: Pustaka Thanqul Izzah. 2006.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.
-----------------------. Ilmu Hadis. .Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006.
Rahman, Fathur. Ikhtisar Musthathalah al Hadits. Al Ma’arif: Bandung. 1974.
Sumber lainnya:
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mutawatir/, Akses 3 Desember
2012, Pukul 16:02 WIB.
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2122366-pembagian-hadist-
mutawatir/#ixzz2DzxcFWmL, Akses 3 Desember 2012, Pukul 17:49 WIB.
http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html, akses, 3 Desember
2012, pukul 16:45 WIB.
[1] Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadis, hlm. 19.
[2] http://jacksite.wordpress.com/2007/07/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mutawatir/, Akses 3
Desember 2012, Pukul 16:02 WIB.
[3] http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2122366-pembagian-hadist-
mutawatir/#ixzz2DzxcFWmL, Akses 3 Desember 2012, Pukul 17:49 WIB.
[4] Fathur Rahman, Ikhtisar Musthathalah al Hadits. (Bandung: Al Ma’arif, 1974), hlm.79.

[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 87.
[6] Diriwayatkan oleh Bukhari I/434 No.1229, dan Muslim I/10 No.3).

[7] Diriwayatkan Muslim I/378 no.533, At-Tirmidzi II/135 no.319, dan Ahmad I/70 No. 506.
[8] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, Penerjemah; Abu Fuad, (Bogor: Pustaka Thanqul Izzah,
2006), hlm. 21-22.
[9] http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-ahad.html, akses, 3
Desember 2012, pukul 16:45 WIB.
[10]Munzier Supart, Ilmu...., hlm. 90.
[11] Mahmud Thahan, Ilmu Hadits.., hlm. 22.
[12] Munzier Suparta, Ilmu.... hlm. 90-91.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 106.
[14] Abdurrahman bin Qasim ibn Muhammad Al-Asimi, Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam Ibn
Taimiyah, (Riyad: Abd Aziz Al-Sa’ud, t.t), hlm. 51.

Anda mungkin juga menyukai