Anda di halaman 1dari 30

Formalin, Doa-Doa Kita, dan Beternak Sapi

Sendiri
Oleh: Bahtiar HS
17 Jan 2006 13:51 WIB

Sang Primadona berita penutup tahun 2005 ini adalah formalin.

Zat itu meroket kembali namanya semenjak ditemukan (lagi) tidak saja untuk mengawetkan mayat
sebagaimana jamaknya, tetapi juga ditemukan pada mie basah, ikan asin, dan tahu. Padahal, penggunaan
formalin untuk pengawetan makanan sesungguhnya telah dilarang sejak tahun 1982, yang dikuatkan lagi
dengan Undang-Undang No. 7/1996. Sekarang bahkan ditemukan juga pada makanan yang lain: ikan
segar, empek-empek, berbagai makanan instant.

Siang itu, di meja makan kantin kantor saya, berlangsung perbincangan hangat seputar isu itu. Kebetulan
pas jam makan siang, dan TV di kantin sedang menayangkan berita tentang formalin di sebuah stasiun TV
swasta.

"Wah, jaman sekarang mau makan saja repot!" teriak saya, membuka wacana.

"Ya, benar. Coba lihat makanan kita saat ini," kata teman di sebelah saya.

Semua yang sedang berada di kantin menengok ransum makanan catering yang disediakan kantor. Ada
nasi bersayur "krawu" (seperti pecel bersambal parut kelapa pedas) dengan tahu oncom goreng sebagai
pendampingnya. Lauknya ayam goreng dan tempe goreng. Kalau mau nambah, teman-teman bisa
mengambil satu-dua kerupuk putih di toples.

"Tahu oncomnya ada kemungkinan mengandung formalin!" sahut saya.

"Ya, kerupuk itu jangan dikira nggak ada apa-apanya meskipun putih," timpal Nugroho, teman saya di
seberang meja. "Bagaimanapun, putih adalah sebuah warna. Kerupuk itu sangat mungkin menggunakan
zat pewarna untuk membuatnya menjadi putih menarik seperti ini!"

Yang lain mengangguk. Mengiyakan.

"Betul juga. Coba ayam gorengnya itu. Jangan-jangan ia mengandung virus flu burung?"

"Dan jangan lupa, sayurnya itu ketika mau dibawa ke kota, agar tidak layu dan dimakan serangga atau
ulat, disemprot dengan insektisida, lho!"

"Wah, repot kalau begitu," kata saya memperkeruh suasana. "Beras yang putih inipun sudah tidak
mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh. Kandungan organiknya sudah habis selama menjalani
pemrosesan."

"Belum lagi kalau kita makan daging, ada ancaman sapi gila."

"Makan daging kambing, awas antrax!"


"Makan buah-buahan, perhatikan insektisida yang menempel di kulitnya."

"Makan bakso, awas dagingnya mengandung boraks!"

"Atau daging tikus!"

"Ya, ya. Seperti ditayangkan TV kemarin!"

"Jangan-jangan kita disuruh kembali ke jaman nenek moyang?"

Semua tertawa. Tetapi, tak satu pun yang tak lahap makan siang hari itu!

***

Tidaklah salah jika Rasulullah, empat belas abad yang lampau sudah mengatakan bahwa sumber dari
segala penyakit itu ada di lambung. Maksudnya adalah makanan yang kita makan. Karenanya, di dalam
ajaran agama sangat ditekankan untuk makan dan minum yang halalan thayyiban. Halal diurutan pertama,
kemudian baru thayyib. Halal, artinya dibolehkan dikonsumsi oleh syariat, dan thayyib berarti
"dibolehkan" atau layak dilihat dari ukuran kualitas zat makanan atau minuman yang hendak dikonsumsi.

Islam meletakkan perhatian sangat serius di urusan makan ini karena sangat menyadari bahwa perkara
makan sangat berpengaruh terhadap jasmani dan rohani tubuh kita. Bahkan di samping pernyataan makan
dari sisi fisik seperti hadits di atas, pada banyak hadits yang lain Rasulullah menyatakan sisi-sisi
spiritualitas terkait dengan makanan ini. Bahwa barangsiapa makan makanan yang haram, maka jangan
berharap doanya akan maqbul (diterima). Janganlah memberikan makan dari makanan yang haram kepada
keluarga kita, karena itu tidak ubahnya seperti memasukkan bara api ke dalam mulut mereka. Dan
berbagai hadits yang lain.

Tidak hanya itu, Rasulullah mengajarkan pada kita bagaimana adab dan pola makan yang baik. Makanlah
ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Makanlah dengan komposisi sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga udara. Makanlah secara
berjamaah. Makanan untuk dua orang cukup untuk bertiga. Makanan untuk tiga orang cukup untuk
berempat. Berbukalah dengan yang manis-manis seperti kurma. Dan jangan lupa untuk berdoa sebelum
dan sesudah makan. Subhanallah, betapa lengkap sudah himbauan dan tata-aturan soal makan ini di dalam
Islam.

Susahnya, banyak dari kita yang tidak mengindahkannya. Satu hal saja: apakah kita setiap kali berdoa
sebelum makan dan sesudahnya? Kebanyakan kita berdoa hanya ketika anak kita yang baru masuk
playgroup atau TK sedang makan bersama kita.

***

Saya agak tersentak ketika surfing di internet menemukan kenyataan bahwa formalin itu merupakan merk
dagang dari senyawa jenuh formaldehyde (37%)
dicampur air (sekitar 50%) dan sisanya pelarut lainnya. Apa pelarut lainnya itu? Pelarut lainnya yang
dimaksud kebanyakan adalah methanol! Ia berfungsi sebagai stabilisator.

Methanol?
Setelah saya cek lagi ke wikipedia, methanol, atau dikenal juga dengan methyl alcohol atau wood alcohol
(CH3OH) merupakan keluarga alkohol yang paling sederhana, ringan, mudah menguap, tak berwarna, tak
berasa, mudah terbakar, dan cairan beracun dengan sedikit bau. Alkohol berasal dari kata bahasa Arab Al-
Khukul, di mana Al-berarti "the" dan Khukul berarti "spirit."
Tentu saja, Alkohol biasa digunakan sebagai campuran drug atau minuman keras. Al-Khamr dalam bahasa
agama. Al-Khamr adalah segala minuman yang memabukkan, yang memiliki efek menghilangkan "spirit"
si peminum dengan berkurangnya respon sistem syaraf pusatnya. Dan Al-khamr, termasuk alcohol,
terutama hasil proses kimia sintesis, banyak sedikitnya sudah jelas keharamannya (QS. Al-Baqarah: 195)

Nah, jika methanol adalah alcohol, maka mestinya ia haram juga jika dikonsumsi. Jika ini benar, maka
makanan yang mengandung formalin hukumnya menjadi haram untuk dikonsumsi! Dan jika formalin
sudah ditemukan disalahgunakan pada makanan sejak 1982, maka. amboi! Sudah berapa lama kita
memakan makanan yang mungkin mengandung formalin dengan pelarut methanol yang haram? 23 tahun?

Astaghfirullah!

Padahal lumayan susah untuk membedakan ikan segar yang diberi methanol pada kadar yang minimum
dengan ikan segar yang diawetkan secara alamiah dengan es. Jika penelitian penggunaan formalin secara
malpraktik ini sudah tersebar di seantero nusantara, dan sudah berlangsung bertahun-tahun, maka saya jadi
teringat dengan perkataan Rasulullah di atas. Maka, barangkali pantaslah kalau doa-doa kita terhambat
menyentuh 'arsy Allah dan karenanya menjadi bangsa yang tidak maqbul doanya, meski tongkat kayu bisa
jadi tanaman di bumi ini.

Masya Allah! Na'udzubillahi min dzaalik!

***

Oleh karena itu, mungkin ada baiknya kita mulai menanam sendiri sayuran di pekarangan rumah.
Membuat sendiri tahu tempe secara sederhana. Memelihara ayam, sapi, dan kambing di halaman belakang
rumah. Beternak lele, gurami,
baronang, tongkol di empang samping rumah. Menanam mangga, jeruk, jambu,
semangka, dan apel di tanah kita yang masih kosong. Kalau perlu menamam durian dan kelapa sendiri!

Saya yakin sebagian besar kita akan tertawa membaca ini. Mana mungkin? Rumah hanya sekotak; sudah
berdesakan dengan tetangga, full bangunan lagi! Mana sempat? Waktu kita sudah habis untuk berangkat
ke kantor pagi-pagi, kerja,
dan kemudian pulang larut malam. Macet membuat capek jiwa dan raga. Kapan mau menengok lele di
empang atau memberi makan sapi?

Ha ha ha!

Terus bagaimana solusinya? Itu yang penting!

Mungkin sudah saatnya ada sebagian kaum muslimin yang berkhidmat menyediakan kebutuhan makan
dan minum kaum muslimin lainnya dengan memperhatikan aspek halalan dan thayyiban itu. Sehingga
kaum muslimin tidak ragu lagi menyantap makanannya. Dan inilah barangkali pangkal diterimanya doa-
doa kita.
Bukankah pada sebuah hadits dikatakan, barangsiapa memberi kemudahan kepada saudaranya yang
sedang dirundung kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat?

Lepas dari kekurangan dan kelebihannya, mungkin kita perlu meniru konsep Darul Arqam. Dari kaum
muslimin, untuk kaum muslimin. Kenapa tidak?

Nah, siapa mau memulai?

***

)* Bahtiar HS, Ketua FLP Jatim 2004-2006

posted by sugeng priyono @ 7:44 AM 0 comments

Pejuang di Negeri Seberang


Oleh: Sus Woyo
18 Jan 2006 11:08 WIB

Perempuan itu bernama Karmiah. Setiap adzan subuh berkumandang di masjid, ia harus cepat-cepat
bangun. Ia memang harus bangun lebih awal ketimbang majikannya dan seisi rumah yang lain. Ia juga
harus tidur lebih ahir ketimbang lainnya. Dan ia tidak akan masuk ke kamar peraduan sebelum
majikannya tidur terlebih dahulu. Itulah nasib dia, sebagai seorang perempuan yang menjadi pembantu
rumah tangga di luar negri.

Ia sudah lama mengunci mulutnya. Alias tidak banyak berbicara kecuali yang penting-penting saja. Ia juga
dilarang untuk bicara dengan sesama PRT tetangga sebelah. Perempuan itu menurut saja. Sebab ia tidak
punya hak untuk melawan walau hanya sepatah katapun. Apa yang dikatakan majikan, harus ia turuti.

Pagi hari ia jarang makan nasi, seperti kebiasaannya di kampung. Ia hanya minum dan makan roti. Hari-
hari ia lalui dengan banyak kerja. Sedikit sekali waktu istirahat yang diberikan majikan padanya.

Sesak. Sesak sekali rasanya. Tapi apa boleh buat. Ibarat akan mengarungi lautan,
layar kapal sudah terkembang. Ia harus berani dan pantang menyerah. Dan akan terus melaju. Melaju
menuju pelabuhan yang dituju. Keberhasilan!

Perempuan 40-an itu banyak bercerita pada saya. Ia mencurahkan segala isi hatinya pada saya tentang apa
yang sedang ia alami. Ia yang begitu susah hidup di kampung, di negeri seberangpun ia harus bertemu
dengan sosok majikan yang sangat tidak manusiawi.

Ia belum satu tahun bekerja di Brunei. Padahal masa kontraknya dua tahun. Masih butuh waktu cukup
lama untuk menapaki hari-hari suramnya. Wajahnya makin sayu. Tubuhnya menampakkan ke-tidak segar-
an. Hatinya luka. Kedua matanya, makin rabun. Sehingga kalau melihat tulisan seolah huruf-hurufnya
berlainan. Mungkin terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sehingga, suatu saat dia minta tolong pada
saya untuk menuliskan sebuah surat untuk keluarganya di tanah air.

Tak hanya itu. Rupanya perempuan ini masih menjalani ujian berat dari Sang Maha Kasih. Kedua kakinya
bengkak sudah beberapa bulan. Sudah ke rumah sakit tiga kali -dengan biaya sendiri-, tapi belum juga
sembuh. Sungguh malang ibu dari empat orang anak ini. Melihat keadaan seperti itu, saya menyarankan
agar pulang saja. Jangan memaksakan diri di tengah derita yang begitu mencekam. Namun perempuan ini
menjawab tegas.

"Saya harus bertahan dulu di sini sebelum anak saya lepas dari sekolah, Mas. Saya tidak ingin anak saya
keluar sebelum tamat hanya kekurangan biaya, kasihan. Saya sakit sekali jadi orang bodoh, jadi orang
yang tidak sekolah. Saya ingin anak-anak saya tidak seperti bapak dan ibunya yang punya nasib sengsara."

Saya kaget. Luar biasa semangat perempuan ini. Saya malah justru menyesal mengeluarkan kata-kata
seperti itu. Saya tidak menyangka sama sekali di balik seorang yang tampak sangat lemah tapi ada
kekuatan juang yang luar biasa. Ia punya tujuan sangat mulia. Ingin mengasah empat 'mutiara' nya di
kampung menjadi orang-orang yang berilmu. Walaupun ia sendiri harus tertatih-tatih, merangkak
mempertahankan hidup di bawah aturan ketat sang majikan.

Rupanya ia sosok yang sangat tabah. Dalam hidupnya, ia tak pernah menyalahkan siapa-siapa. Ia tak
pernah menyalahkan suaminya yang hanya seorang buruh tani. Dan ia juga tak pernah peduli dengan
negrinya yang sampai saat ini belum bisa memberikan apa arti sebuah kemakmuran dan kesejahteraan.
Tapi ia hanya ingin menempa diri agar anak keturunannya punya nasib lebih baik dari dirinya. Itu saja.

Namun, lagi-lagi ia harus terhempas. Mau tidak mau ia harus menuruti kehendak Yang Maha Kuasa.
Kedua kakinya makin parah. Ahirnya ia memutuskan untuk pulang, sebelum masa kontraknya habis.

Di bandara Sukarno Hatta Jakarta, ia sudah tidak kuat lagi menahan derita sakitnya. Petugas bandara
segera melarikan ke rumah sakit. Namun malaikat maut keburu menyambutnya, untuk menghadap
Penguasa Alam ini. Semangat juang perempuan itu, hanya sampai di Jakarta, sebelum ia memasuki
kampung halamannya di sebuah desa kecil, di bagian barat Jawa Tengah.

Mendengar berita yaang dituturkan majikan perempuan itu, saya terkejut luar biasa. Tubuh ini laksana
mau terkulai. Ia bukan saudara saya. Ia bukan kerabat dekat saya. Tapi nasib di perantauan menjadikan
saya, seolah ia adalah bagian dari keluarga saya. Saya hanya bisa berucap: Inna lillahi wa inna ilaihi
raji'un.

Sekali lagi saya membayangkan sosok dia. Seorang yang tampak lahir berfisik lemah, tapi punya daya
juang, daya 'jihad' yang luar biasa. Saya jadi ingat kata-kata sahabat saya, seorang penulis, "Sosok seperti
itulah yang paling layak mewarisi kehidupan ini."

Terbayang pula bagaimana sedihnya keempat anaknya ketika melihat ibunya sudah terbujur kaku.
Bagaimana getirnya sang suami melihat sang istri yang sudah tak bernyawa lagi. Atau bagaimana
merananya kerabat keluarganya ketika melihat perempuan itu sudah pulang ke pangkuan-Nya.

Allah, maha segalanya. Tentu Dia tidak akan membiarkan sekecil apapun usaha positif mahluknya.
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun,
niscaya dia akan melihat balasannya." (Az Zalzalah: 7)

Harapannya ingin punya mutiara yang cemerlang, yang 'alat gosok' nya ia cari sampai ke luar negeri,
tentunya tidak akan diabaikan begitu saja oleh Yang Maha Perkasa. Tentu perjuangan perempuan itu akan
jadi cermin besar bagi ke empat anaknya untuk berjuang lebih keras dan keras lagi. Walaupun saat ini
mereka masih tertatih, dalam menyelesaikan pelajarannya di sekolah.
Selamat jalan Karmiah, selamat jalan pejuang di negeri seberang. Semoga Allah menempatkanmu dalam
tempat yang mulia. Amin.**

Brunei, Jan 2006

posted by sugeng priyono @ 7:41 AM 0 comments

Perempuan-Perempuan Teguh
Oleh: Adi J. Mustafa
19 Jan 2006 11:38 WIB

Kebanyakan kita tidak hidup di suasana perang, seperti pada generasi kakek-nenek kita yang melalui
masa-masa perang kemerdekaan, seperti masa-masa perjuangan di Afghanistan, seperti suasana di
Palestina hingga saat ini, dan seperti suasana di masa Rasulullah saw dan para sahabatnya hidup.

Dalam satu buku sirah yang memenangkan satu lomba penulisan Sirah Nabi Muhammad saw yang
diadakan Rabithah 'Alam Islamiy, dipaparkan bahwa dalam kurang lebih 10 tahun masa kehidupan Nabi
di Madinah, tidak kurang terjadi 83 kali peperangan dan ekspedisi pasukan. Artinya setiap tahun rata-rata
terjadi delapan kali peperangan atau ekspedisi atau setiap satu setengah bulan sekali.

Bayangkan bagaimana kekuatan jiwa para shahabiyyah dalam menghadapi suasana seperti itu. Setiap kali
melepaskan suami atau anak laki-laki mereka, para istri dan para ibu itu siap untuk menerima kepergian
orang yang dicintainya untuk selamanya. Setidaknya begitulah kesiapan yang mereka miliki dalam
dimensi kehidupan dunia. Begitu jiwa-jiwa para perempuan Palestina begitu teguh melepaskan suami dan
anak-anak mereka berjuang merebut kemerdekaan negerinya.

Allah swt. telah melebihkan mereka dengan momentum waktu yang membuat jiwa mereka teguh. Cita-
cita mendapatkan suami atau anak-anak yang pejuang dan menjadi syuhada, pahlawan yang gugur di jalan
Allah adalah cita-cita yang nyata bagi mereka. Cinta mereka kepada suami dan anak-anak tidaklah
dibatasi pada sentuhan fisik semata. Mereka telah melambungkan cintanya ke kehidupan yang lain, yang
kekal abadi. Mereka telah membingkai cintanya dalam fikrah yang tinggi, ideologi yang
menghantarkannya pada puncak kemanusiaan.

Fikrah yang diserap dari taujih Rabbani, pengajaran dan pengarahan dari Allah Yang Maha Tinggi dan
Maha Bijaksana Pada medan perjuangan bangsa Afghan saat mengusir agresor Rusia, seorang istri
pejuang pernah ditanya wartawan, "Apakah Ibu tidak takut, jika suami Ibu meninggal. Bagaimana Ibu
akan hidup dan menghidupi anak-anak kelak?" Si Ibu hanya tersenyum. Tapi dari sorot matanya terpancar
keyakinan yang dalam. Ia menjawab, "Suami saya hanyalah seorang pemakan rizki dan bukan Pemberi
Rizki!"

Dalam buku "Ghirah", Buya Hamka pernah berkisah. Salah satu perkampungan di Tanah Minang diserbu
Belanda. Pasukan mendapatkan seorang perempuan sedang menumbuk padi di depan sebuah rumah
gadang. Seorang tentara Belanda menghardiknya dan menanyakan apakah di rumah ada orang laki-laki.
Dengan tegas si perempuan menjawab,"Tidak ada!" Toh pasukan memeriksa rumah itu dan ternyata
didapati ada seorang lelaki bersembunyi di dalam rumah. Perempuan itu pun dihardik lagi oleh tentara
Belanda, "Kamu sudah berdusta ya... Tadi kamu bilang tidak ada orang laki-laki, ternyata ada!"
Perempuan itu tidak menunjukkan wajah gentar sedikitpun. Dia malah menjawab lantang, "Yang kalian
temukan itu bukan lelaki, sebab para lelaki adalah mereka yang berjuang di hutan-hutan. Bukan pengecut
yang bersembunyi di rumah!"

Bapak saya bercerita, bagaimana kondisi desanya di Kuningan sana saat dikabari akan ada serangan dari
Belanda [entah berapa kali Bapak menceritakan kisah ini]. Suara letusan dan desing peluru mulai
terdengar, pertanda tengah terjadi pertarungan seru antara para pejuang melawan penjajah Belanda tidak
jauh dari desa. Tapi kekuatan pasukan pejuang tak mampu menahan serbuan, hingga beberapa utusan
pejuang datang ke desa dan memerintahkan para perempuan dan anak-anak untuk meninggalkan desa.
Saat itu terlihat bagaimana Enin [panggilan saya untuk nenek yang tak pernah saya jumpai, karena wafat
saat Bapak masih remaja] begitu tenang dan teguh mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk
pergi mengungsi. Bapak saya adalah anak terbesar. Usianya baru sekitar 13-14 tahunan. Ia mesti
membantu Enin dengan sekuat tenaga. Di mana Engki, kakek saya? Saat itu ia tak ada di tengah keluarga,
karena tengah bergerilya di hutan-hutan. Enin telah berusaha mempersiapkan segalanya. Tak ada waktu
santai. Semua persiapan mesti dilakukan serba cepat. Serempak bersama anak-anaknya, termasuk Bapak
saya, Enin berjalan dan berlari meninggalkan desa. Ketika telah beberapa kilometer meninggalkan desa,
Enin tiba-tiba berteriak, "AstagfirulLaah... Ujang, si Otong tertinggal!" Bapak saya, si Ujang yang
dipanggil Enin, segera diperintahkan Enin untuk kembali ke desa, mengambil si Otong, yang tak lain adik
bungsunya. Paman saya Harits alias si Otong, alhamdulilLah, bisa temukan dan diselamatkan. Meskipun
Bapak menceritakan dengan sedih, bahwa seorang bapak di kampung yang menemaninya saat hendak
keluar desa lagi, di tengah jalan tertembak peluru Belanda yang meninggal. Bapak melihat langsung
kejadian ini.

Saya tidak bisa membayangkan betapa teguhnya perempuan-perempuan segenerasi Enin. Dalam kondisi
berat ditinggal suaminya yang lebih banyak bergerilya, ia tak pernah terlihat mengeluh kepada Engki.
Gambaran khidmat-nya pada suami digambarkan Bapak saya dalam kalimat, "Engki itu tak pernah makan
ikan, kecuali duri-durinya sudah Enin pisahkan..."

Saya membayangkan, jika perempuan-perempuan teguh seperti para shahabiyyah, seperti isteri para
pejuang di Palestina atau Afghanistan, seperti perempuan penumbuk padi di Tanah Minang, seperti
generasi Enin hadir di masa ini, maka mereka akan menjadi penyejuk dan penyemangat para suami yang
tengah berjuang.

Medan perjuangan saat ini memang bukan di tengah desingan peluru. Ada desingan-desingan lain yang
tak kalah dashyatnya, yaitu desingan peluru yang meluluhlantahkan moralitas. Peluru dusta dan peluru
penghianatan kepada kebenaran dan kepada orang banyak. Peluru yang membuat orang rakus dan lupa
kepada mereka yang papa. Tantangan yang dihadapi saat ini, bukanlah medan perang gerilya di hutan-
hutan. Medan perjuangan saat ini ada di dunia birokrasi, ada di dunia bisnis dan ada di tengah-tengah
masyarakat. Atau bahkan medan perjuangan itu ada dalam diri sendiri; Melawan segala nafsu jahat yang
setiap saat terus dihasut syaitan. Pada medan juang yang berbeda ini tetap dibutuhkan perempuan-
perempuan teguh. Mereka pandai memaknai medan juang kontemporer, sehingga jiwanya disiapkan untuk
berjuang. Mereka tak akan rela suaminya hanya menjadi pecundang peradaban materialisme. Mereka akan
dukung perjuangan suaminya, meskipun kehidupan yang dihadapi menjadi berat. Mereka akan besarkan
anak-anaknya untuk menghadapi tantangan zaman. Mereka harus cerdas, sekaligus sabar dan memiliki
jiwa kasih sayang yang besar. ***

Dipersembahkan secara khusus untuk para istri yang mesti terpisah jauh dari suami mereka yang tengah
merantau untuk satu misi mulia, bersabarlah. Semoga Allah mencatat kondisi ini sebagai kondisi
perjuangan.

Chiba, 18 Januari 2006 Adi J. Mustafa, Anggota FLP-Jepang E-mail: adijm2001 at yahoo dot com
posted by sugeng priyono @ 7:40 AM 0 comments

Mengendalikan Cinta dengan Jihad


Oleh: Vita Sarasi
20 Jan 2006 13:19 WIB

Pernahkah Anda merasa bahwa apa yang sedang Anda lakukan itu salah tapi masih juga dilakukan?
Pendeknya, sudah tahu keliru tapi terus saja maju.

Itulah yang dialami seorang teman saya. Orangnya cerdas dan kini dia mendapat beasiswa untuk belajar di
sebuah perguruan tinggi pendidikan agama terkenal di luar negeri. Kepiawaiannya sangat diakui rekan dan
para dosennya. Bahkan karya tulisnya mengenai agama menghiasi majalah dan surat kabar. Namun dia
mengeluh kepada saya, bahwa saat ini dia tak bisa konsentrasi belajar karena memikirkan hubungan cinta
jarak jauhnya. Ya, dia tengah menjalin cinta dengan seseorang yang sedang studi juga di negara lain sejak
beberapa bulan ini. Benang-benang asmara terajut lewat email, chatting, dan SMS, nyaris setiap hari. Ada
saja hal-hal yang saling dicurhatkan dan dilaporkan. Masya Allah!

Namun, konflik batin terus menggelayuti hati dan pikiran teman saya itu. Betapa tidak, dia tahu bahwa
semua itu mengganggu konsentrasi belajarnya, apalagi saat ini dia sedang mempersiapkan ujian akhirnya.
Terbayang jika gagal, maka orang tua yang siang malam mendoakannya pasti akan kecewa. Lebih-lebih
lagi, dia juga paham bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah dosa yang bisa dikategorikan
sebagai zina hati. Dia juga mengerti bahwa itu semua bisa terjadi karena godaan syaithan la’natullah, yang
makin menggila kala imannya sedang lemah. Namun apa daya, dia merasa tidak sanggup melawan arus
deras godaan cinta itu. Dia merasa terus terhanyut oleh buaian syaithan yang kali ini seakan berwajah
manis. Bayangan sang kekasih sungguh sulit untuk dihapuskan. Pikirannya yang cerdas dan pengetahuan
yang luas mengenai syariat Islam seakan berubah menjadi tumpul kala digunakan untuk mengatasi konflik
batin ini.

****

Alhamdulillah, suatu saat dia mendatangi majelis taklim dan mendengar lantunan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena
sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS Fathir: 6). Suara hafidz yang tartil itu sungguh merasuk dalam qalbunya dan
menjadi media penghantar Nur Hidayah-Nya.

“Jihad...!!!” teriaknya tanpa sadar.

Benar sekali, jihadun nafs (jihad melawan hawa nafsu diri-sendiri) dan jihadusy syaithan (jihad melawan
syaithan). Dua istilah yang intinya satu yakni jihad ini menggetarkan hati dan pikirannya. Teringat
tausyiah salah seorang gurunya: “Kata Al-Jihad di-kasrah huruf jim secara bahasa bermakna kesulitan,
kesukaran, kepayahan. Sedangkan secara syar’i bermakna mencurahkan segala kemampuan dalam
memerangi musuh, khususnya orang-orang kafir.”

Kuncinya adalah “Mengerahkan segala kemampuan, baik materi atau bahkan nyawa kita, untuk membela
agama Allah dan melawan musuh Allah dan Rasul-Nya”. Jadi, jika usaha kita biasa-biasa saja atau sambil
lalu belumlah dikatakan sebagai jihad.
Menurut Ibnul Qayyim ra., jihadun nafs adalah jihad seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam
ketaatan kepada Allah SWT, dengan melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan Allah. Sedangkan jihadusy syaithan ada dua tingkatan,
pertama berjihad untuk menghalau segala sesuatu yang dilontarkan syaithan pada manusia berupa syubhat
dan keraguan yang dapat membahayakan perkara iman. Orang yang mampu mengerjakannya akan
membuahkan keyakinan. Kedua, berjihad untuk menghalau segala apa yang dilemparkan syaithan berupa
kehendak buruk dan syahwat. Orang yang mampu melakukannya akan membuahkan kesabaran. Sabar
akan menolak syahwat dan kehendak buruk, keyakinan akan menolak keraguan dan syubhat.

Dua jenis jihad inilah yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebelum jihadul kuffar (jihad melawan
orang kafir yang menyerang aqidah Islam) dan jihadul munafiqin (jihad melawan orang munafiq yang
yang menyerang aqidah Islam).

****

“Jadi... tunggu apa lagi”, pikir teman saya itu, “Musuh sudah jelas walaupun tidak tampak, yaitu syaithan.
Jalan sudah ada, yaitu jihad. Saya akan mulai dengan berniat lilLaahi Ta’ala, sebab amal perbuatan akan
sia-sia di mata Allah jika tidak dilandasi dengan niat yang benar, Innamal a’malu bin niyyaat”. Beberapa
program jihadun nafs dan jihadusy syaithan dia canangkan dan dia jalankan dengan penuh kesungguhan
dan keyakinan. Genderang perang melawan hawa nafsu dan syaithan ditabuhnya dengan menggelegar.
Hatinya ikhlas, jika memang sang kekasihnya itu adalah jodohnya, Insya Allah akan dipertemukan
dengannya dalam pernikahan yang syar’i.

Untuk mewujudkannya, tidak perlu komunikasi hotline 24 jam sehari dengan sang kekasih seperti yang
sudah-sudah. Yang penting, amanah belajar harus dituntaskan dulu. Namun dalam masa belajar ini, adalah
rugi di mata Allah jika hanya mempelajari pengetahuan duniawi tanpa mendasarinya dengan pengetahuan
ukhrawi. Oleh sebab itu, jika suatu saat dia akan mengajak kekasihnya untuk menikah maka diniatkan
sebagai ajakan untuk beribadah.

Jika godaan nafsu datang, dia hadapi dengan memperbanyak puasa, istighfar, dan zikir. Untuk
meneguhkan hati dan fisiknya, dia perbanyak tilawatil Qur’an dan Qiyamul Lail. Jika ada perkara
meragukan, apakah tergolong kebaikan atau justru keburukan, dia ingat sabda Rasulullah SAW:
“Kebaikan itu adalah akhlaq yang baik. Dan dosa adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan engkau
tidak suka dilihat orang lain dalam melakukan hal itu.” (HR Muslim).

Teman saya itu senyum-senyum kecut jika ingat apa saja yang pernah dia lakukan selama ini. Kebodohan
atau kekurang pengetahuannya memang berbuah kejahilan; menjahili apa-apa yang menjadi ketentuan
Allah SWT, yaitu: apa yang disuruh-Nya dilalaikan, apa yang dilarang-Nya justru dijalankan sebaik-
baiknya. Astaghfirullah...

Kini teman saya sangat bahagia karena merasa tidak dibiarkan oleh Allah SWT bergelimang dalam
kesesatan dan maksiat. Ia merasa sangat bersyukur karena telah mendapat taufiq dan hidayah-Nya dalam
mengendalikan cintanya dengan jihad.

Frankfurt am Main, 11 Januari 2006 Vita Sarasi


vitasarasi at yahoo.com

posted by sugeng priyono @ 7:40 AM 1 comments


Bersihkan Mushola Berhadiah Gratis Sekolah
Oleh: Bayu Gawtama
24 Jan 2006 14:07 WIB

Jangan kaget atau heran, kalau suatu hari Anda melihat seorang gadis belia tengah membersihkan mushola
di kawasan Depok, Jawa Barat. Anda hanya perlu mendekat dan tanyakan kepadanya perihal yang
dikerjakannya. "Saya membersihkan mushola agar bisa gratis sekolah," ujar Rani tanpa malu-malu.

Ya, Rani memang tak pernah malu untuk mengerjakan hal itu. Baginya, membersihkan mushola adalah
pekerjaan mulia. Selain, Insya Allah, mendapatkan pahala, Rani juga mendapatkan apa yang selama ini
menjadi rintangan terbesar dirinya untuk mengenyam pendidikan. Dengan pekerjaan itulah Rani
mendapatkan imbalan yang membuatnya sering bersyukur, ia dibebaskan dari kewajiban membayar uang
sekolah. Karena mushola tersebut adalah mushola milik sekolah tempat ia belajar.

Rani, 16 tahun, gadis kecil yang mampu menyingkirkan rasa malunya dari teman-teman sekolahnya
lantaran menjadi pembersih mushola sekolah. Berbeda dengan teman-temannya yang masih mendapat
sokongan dari orangtuanya baik uang sekolah maupun uang saku untuk jajan, Rani tak pernah
mencicipinya. Rani sadar betul, orangtuanya tergolong tak mampu, maka untuk tetap bersekolah, ia harus
melakukan sesuatu. Awalnya Rani tak tahu, sampai akhirnya pihak sekolah menawarkan satu pekerjaan
dengan imbalan gratis biaya sekolah. Jadilah Rani sang pembersih mushola. Dan ia senang melakukannya.

Jangan pernah tanya berapa uang saku Rani untuk jajan di sekolah. Karena untuk ongkos pulang pergi ke
sekolah yang berjarak 5 km dari rumahnya pun Rani tak punya. Ia harus berangkat lebih awal agar tak
terlambat berjalan kaki ke sekolahnya. Alhasil, tidak jarang pakaian seragamnya basah oleh peluh
setibanya di sekolah. Pulang ke rumah pun demikian. Setelah membersihkan mushola, ia kembali ke
rumah tetap dengan berjalan kaki.

Rani tak pernah bersedih, apalagi menyesali nasibnya. Ia merasa harus tetap berjuang. Mungkin Rani tak
pernah tahu, bahwa jalan yang tengah ditempuhnya kini adalah jalan yang pernah dilalui orang-orang
sukses terdahulu. Tak pernah ada orang sukses tanpa mengarungi derasnya ombak kehidupan, dan tak
satupun orang meraih sukses tanpa peluh.

Kelak, jika Rani menuai kesuksesannya. Pastilah sulit baginya melupakan terminal-terminal perjalanan
hidupnya. Mushola dan sepanjang jalan menuju sekolahnya, juga baju seragam yang sering bersimbah
peluh itu, akan senantiasa menjadi kenangan terindah yang tak mungkin terhapus.***

posted by sugeng priyono @ 7:39 AM 0 comments

Asisten Pribadi
Oleh: Lizsa Anggraeny
25 Jan 2006 09:24 WIB

Tak terasa jam di tangan sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Bergegas saya turuni tangga stasiun
Mabashi dengan tergesa-gesa. Beberapa tugas di tempatkerja yang semula ada di kepala secara
otomomatis saya hapus, berganti dengan beberapa tugas rumah tangga. Urutan daftar pekerjaan rumah
mulai melayang-layang di kepala. Belanja, cuci piring, masak makan malam, bersih-bersih dan beberapa
tugas rutin lainnya yang siap menanti.

Seperti hari ini, sebelum menuju rumah, saya paksa kedua kaki untuk berlari menuju salah satu toko
terdekat. Beberapa daftar belanjaan yang harus dibeli bertumpuk di kepala. Beras, gula, telur....

***

Tiga tahun menemani suami bertugas di negeri asing, saya mulai terbiasa dengan tugas-tugas rutin
tersebut. Pekerjaan rumah tangga yang dulu di Indonesia biasa saya serahkan sepenuhnya pada asisten
pribadi. Jika mulai `bete` dengan tugas-tugas tersebut, pikiran saya pasti akan berlari mengenang beberapa
orang asisten pribadi yang telah datang dan pergi secara bergantian dengan memberi kenangan berupa
kebaikan. Pahlawan tanpa piagam penghargaan yang telah berjasa begitu banyak bagi saya secara pribadi.

Asisten pribadi, begitulah saya lebih senang memanggil mereka dibandingkan dengan panggilan sebagai
pembantu rumah tangga (PRT) atau penata laksana rumah tangga (PLRT). Tugasnya memang membantu
meringankan pekerjaan rumah tangga, tapi jika ditelusuri lebih dalam tugas mereka tidak hanya sampai di
situ saja. Bagi saya pekerjaannya sama seperti asisten pribadi-pegawai rumah tangga. Seorang tangan
kanan yang dapat diandalkan saat saya sibuk dengan beberapa urusan pekerjaan di luar rumah.

Terkadang mereka berperan sebagai asisten pribadi saya dalam urusan logistik dapur. Dari tangannya
yang kreatif, beberapa hidangan penggugah selera selalu siap terhidang di atas meja makan. Dari
kegesitannya tumpukan piring kotor akan bersih dalam sekejap, tumpukan baju kotor dalam ember akan
bersih terlipat rapi ketika saya kembali dari tempat kerja.

Terkadang mereka pun berperan sebagai asisten pribadi dalam hal `general affair` antar tetangga.
Beberapa informasi penting sekitar warga lingkungan setempat akan mudah saya dapatkan jika bertanya
padanya. Terutama jika bertanya mengenai harga barang yang di jual di warung-warung atau di pasar,
mereka akan memberikan usulan di warung mana atau barang apa yang harganya sedang murah. Sesekali
asisten pribadi ini pun berperan sebagai teman curhat yang baik. Ia menjadi pendengar setia untuk semua
perkataan saya.

Coba perhatikan alasan kenapa mereka ingin bekerja. Sebagian besar alasannya pasti karena ingin
meringankan biaya keluarga di kampung halaman. Mereka dengan sukarela, mengirimkan hasil keringat
dan kerja kerasnya setiap bulan untuk keluarga yang sedang menunggu uluran tangan. Entah itu untuk
tambahan biaya hidup, biaya sekolah anak-anak atau adik-adiknya, biaya berobat serta beberapa biaya
keperluan lainnya yang tak pernah kita ketahui. Secara tidak langsung dari mereka, saya pun belajar
mengenai jiwa sosial.

Rasanya, tidak pernah ada keluhan dari bibir mereka ketika upah yang telah dinanti-nanti selama kurang
lebih 30 hari, harus dikirimkan pada keluarga di kampung. Mereka justru merasa bangga dan gembira
dapat membantu keluarga di kampung dengan uang tersebut.

"Ada semacam kebahagiaan yang tak tergambarkan di sini, Bu."

Sambil menunjuk dada, begitu perkataan yang pernah saya dengar dari salah satu asisten pribadi tentang
alasan jiwa sosialnya dalam membantu keluarga di kampung.
Menjalankan tugas rutin ibu rumah tangga all in tanpa bantuan asisten pribadi, semakin dapat saya
merasakan begitu berjasa dan berharganya tenaga mereka. Saya pernah membaca bahwa salah satu
organisasi di Singapura yang bernama Transient Workers Count Too (TWC2), telah memberikan sertifikat
penghargaan kepada PRT atau PLRT asli Indonesia yang bernama Sajiem (50 tahun) asal Kranji, Ciputat,
Jakarta sebagai ucapan terima kasih karena telah bekerja selama sepuluh tahun pada satu majikan. Ia
dipandang telah ikut berjasa untuk kemajuan ekonomi keluarga dan ekonomi Singapura. Membaca berita
tersebut membuat saya teranguk-angguk ikut menyetujui.

Memang, kadang kita lupa mereka pun sama, manusia yang perlu dihargai, dihormati dan diperlakukan
secara layak. Sudah sepantasnya kita menghargai jerih payah dan keinginannya untuk memberi bantuan
pada kita mengerjakan tugas rumah tangga meski tanpa adanya limitasi pekerjaan, waktu kerja yang tidak
jelas serta gaji yang kecil.

Kesalahan, kekhilafan dalam pekerjaan yang kadang dilakukan para asisten pribadi ini, tak lebih karena
mereka pun sama seperti kita, mahluk ciptaan Allah swt. Bukankah tidak ada manusia yang luput dari
kesalahan? Berlapang dada memafkan dan membimbingnya ke arah yang lebih baik merupakan hal yang
terbaik. Mereka adalah salah satu amanah yang kelak akan kita pertanggungjawabkan di depan mahkamah
Allah swt.

Atas semua jasa dan pengabdian para `asisten pribadi-pegawai rumah tangga` di manapun adanya, saya
ucapkan terima kasih disertai penghargaan yang mendalam. Hanya Allah swt yang dapat membalas semua
kebaikan yang telah diberikan dengan tulus. Jazaakumullah khairan katsiran.

Sepenggal catatan, Aishliz et FLP-Jepang

posted by sugeng priyono @ 7:38 AM 0 comments

Usang Sudah Nyanyian Cinta


Oleh: Bayu Gawtama
27 Jan 2006 10:01 WIB

“Waktuku kecil hidupku


amatlah senang
senang dipangku-dipangku dipeluknya
serta dicium-dicium dimanjanya
namanya kesayangan...”

Masihkah lagu itu dinyanyikan anak-anak sekarang? Jika pertanyaan itu diajukan ke setiap anak di seluruh
pelosok negeri ini, saya yakin tidak sedikit anak-anak yang tak mampu menyanyikannya. Bukan karena
mereka tak pernah mendengar lagu itu sebelumnya, atau tak pernah diajarkan oleh guru di taman kanak-
kanak. Tapi lebih karena lagu tersebut selama ini hanya akan membuat batin mereka menjerit.

“Lagu itu hanya mimpi, yang menciptakan juga sedang bermimpi, apalagi yang menyanyikannya, pastilah
para pemimpi”. Kalimat ini pantaslah diucapkan oleh Riska Rosdiana, gadis kecil yang mati mengenaskan
di kamar tidurnya setelah berkali-kali diperkosa paman dan dipukuli ibu tirinya. Bolehlah juga dilontarkan
oleh Indah Sari yang kini telah berbahagia di sisi Allah, setelah berhari-hari menahan pedihnya luka bakar
perbuatan sang ibu. Tinggal Lintar Syahputra, sang adik yang masih tak mengerti mengapa ibu tega
membakar dirinya.
Risman pun boleh sekeras-kerasnya berteriak demikian, agar kakek yang telah menganiayanya dengan
siraman air panas dan sundutan rokok mendengar. Kakek Risman mungkin sudah lupa, ia dipercaya untuk
menjaga cucunya, bukan justru mengurung Risman dalam kamar tanpa makan dan minum. Siti Ihtiatus
Sholehah bukan satu-satunya yang pernah merasakan lempengan setrika dengan suhu di atas 100 derajat
celcius. Adalah ayahnya sendiri yang membuat Siti meringis kepanasan dan kulitnya melepuh luka bakar.

Di tahun 80-an, kita pernah mendengar kisah memilukan Ari Hanggara. Bahkan karena penganiayaan
anak terbilang langka pada saat itu, kasus Ari pun sempat dibuat filmnya. Jika semua kasus penganiayaan
anak saat ini dianggap luar biasa, entah sudah berapa judul dan episode film yang harus dibuat. Atau bisa
jadi, sutradara dan penulis skenario pun akan kesulitan untuk lebih dulu menulis kasus yang mana.
Mungkin juga dibutuhkan ribuan anak untuk melakukan casting sebagai pemeran anak-anak malang itu.
Ah, jangan-jangan film-film itu takkan pernah selesai dibuat. Sebab belum selesai satu skenario ditulis,
sudah ada puluhan kasus lain yang terjadi.

Akankah suatu saat penganiayaan anak menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini? Sehingga anak-anak tak
lagi mengerti kenapa mereka harus dilahirkan jika hanya untuk disakiti. Mulut-mulut kecil mereka takkan
lagi mampu menyanyikan lagu cinta yang selama ini mereka dengar dan atau diajarkan guru di taman
kanak-kanak. Haruskah mereka bernyanyi, “pok ame-ame/ belalang kupu-kupu/ siang dipukuli/ kalau
malam disundut rokok/...”

Begitu banyak anak-anak yang tak lagi mendapat kasih sayang selayaknya anak-anak lain. Cinta dan kasih
sayang adalah hak mereka, dan kewajiban orang tualah memenuhinya. Mereka butuh belaian, bukan
pukulan. Butuh sentuhan, bukan cubitan melintir atau sundutan rokok. Butuh kata-kata manis, bukan
makian dan bentakan lengkap dengan kata kasar. Butuh kecupan, bukan tempelengan. Butuh arahan,
bukan tendangan yang menyakitkan.

Anak-anak memerlukan seorang ibu, bukan penjahat tak berperasaan yang terus menerus membuat
mereka menderita. Anak-anak butuh seorang ayah, bukan gladiator yang akan membunuhnya. Mereka
juga membutuhkan lingkungan dan saudara-saudara yang baik dan penuh kasih, bukan para perampok
kebebasan.

Telinga mereka yang teramat lembut itu untuk mendengar ungkapan sayang, bukan makian kasar. Mata
indahnya semestinya mendapatkan tatapan teduh ayah dan bunda. Kulit halus punya mereka itu untuk
mendapat sentuhan lembut, bukan untuk dilukai. Rambut tipis terurainya untuk dibelai, tak untuk
dijambak. Dan mereka butuh pelukan untuk menghangatkan tubuh kecilnya, bukan air mendidih atau api
menyala-nyala.

Bermimpikah mereka untuk bisa disisiri setiap pagi oleh sang ibu? Salahkah mereka berharap ayah
memangku dan mendongengkan cerita indah setiap malam? Atau bermimpi pun mereka tak boleh?

“Satu-satu, aku sayang ibu


dua-dua, juga sayang ayah tiga-tiga, sayang adik kakak
satu-dua-tiga, sayang semuanya...”

Haruskah mereka menyanyikannya?

Bayu Gautama
http://gawtama.blogspot.com
posted by sugeng priyono @ 7:38 AM 0 comments

Nikmat, Begitu Banyak yang telah Terlewatkan


tanpa Mensyukurinya
Oleh: Bunda Shafiya
30 Jan 2006 12:53 WIB

Saat itu kami; aku, bapak dan Shafiya sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami baru saja
pulang dari menikmati semangkuk Soto Lamongan Cak Har *slruup* yang terkenal itu. Tepat di traffic
light menuju ke arah Margorejo, mobil berhenti karena traffic light menunjukkan warna merah. Aku
melayangkan pandangan ke seberang jalan. Nampak olehku sosok ibu pengemis dan anaknya yang sedang
mesra bersenda gurau. Si anak rupanya haus dan alhamdulillah saat itu sang ibu ada rezeki untuk
membelikan sekantung plastik es teh bagi si anak.

Dengan penuh rasa kasih sayang kantung plastik es teh itu dibuka dari ikatannya dan diminumkan ke si
anak dengan menggunakan sedotan. Tampak si anak sangat menikmatinya, kehausan barangkali. Setelah
si anak puas, ibu itu pun mencicipi es teh itu sedikit dan ternyata walaupun es teh itu hanya bersisa sangat
sedikit, mungkin hanya satu tegukan lagi sisanya, sang ibu itu tetap menyimpan sisa itu dengan hati-hati
dengan mengikat kembali kantung plastik es teh itu.. Subhanallah! Betapa orang seperti mereka sangat
menghargai dan mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mereka serta menjaganya dengan sangat
hati-hati.

Dadaku terasa sesak, bersamaan dengan itu air mata mulai menetes.. Teringat akan percakapanku dengan
Shafiya di depot soto itu, "Nak, udah deh, ice tea-nya nggak usah dihabiskan. Ayo.. cepetan, Bapak sudah
menunggu di mobil." Betapa bodohnya aku yang malah mengajarkan anakku untuk berbuat suatu hal yang
mubazir yang mencerminkan rasa tidak bersyukur padaNya. Astagfirullah.

Bagi orang lain, peristiwa ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Tapi saya
memaknainya lain. Alhamdulillah.Allah memberi saya petunjuk untuk selalu mensyukuri nikmatNya
dalam ketaatan kepadaNya. Syukur Alhamdulillah. Ibu pengemis itu telah mengajarkan kepada saya cara
untuk menghargai nikmatNya.

Fabiayyi aalaa rabbikumaa tukadzdzibaan? Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang engkau dustakan?
Pertanyaan retoris ini membuat saya tertunduk malu tiap kali mendengarnya. Betapa tidak! saya sering
kali iri dengan nikmat yang ada pada orang lain. Saya memang tidak pernah sampai dalam tahap merasa
dengki dan menginginkan agar nikmat orang lain itu hilang. Naudzubillah min Dzalik.. Tapi rasa iri saya
membawa saya menjadi orang yang kufur nikmat. Padahal Allah selalu baik kepada saya. Dalam studi dan
karir insya Allah saya selalu lancar. Ketika saya berdoa agar mendapat pendamping hidup yang sholeh,
Allah dengan cepat mengabulkan permintaan saya. Ketika saya berdoa agar dikarunai anak yang
menyejukkan pandangan orang tuanya, Allah dengan berbaik hati mengabulkan permohonan saya itu..
Namun.dari banyak nikmat yang ada, sedikit sekali saya mampu menyentuhkan dahi bersujud pada Allah
untuk menyampaikan rasa terima kasih saya.

Nikmat.. begitu banyak yang saya lewatkan tanpa mensyukurinya. Ya Allah.. janganlah golongkan saya
menjadi orang-orang yang merugi karena kufur terhadap nikmatMu... (Tuhan) yang Maha Pemurah, yang
telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan
bulan beredar menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk
kepadaNya. Dan Allah meninggikan langit dan Dia melektakkan neraca keadilan. Supaya kamu jangan
melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu
mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluknya, di bumi itu ada buah-buahan
dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bungaan
yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? (Surat Ar Rahman: 1-13)

posted by sugeng priyono @ 7:37 AM 0 comments

Tengoklah ke "Dalam" sebelum Bicara


Oleh: Sus Woyo
1 Peb 2006 10:23 WIB

Ada sebuah kisah kecil, ketika saya masih aktif bersama teman-teman di organisasi remaja masjid
kampung saya. Namun kisah kecil ini telah menjadi 'prasasti' indah dalam kehidupan saya sampai
sekarang.

Waktu itu kami sedang giat-giatnya menggelar usaha keagamaan. Tiba-tiba di belakang masjid kami,
salah seorang warga membuka rumahnya untuk dijadikan tempat judi togel.

Setiap malam orang-orang ramai berkumpul di situ. Karena dari pihak desa tidak ada reaksi apa-apa
terhadap judi itu, maka kami bersepakat untuk negosiasi dengan warga itu. Agar kegiatan yang banyak
merugikan masyarakat itu dihentikan saja.

Dengan semangat, kami bersepakat untuk mendatangi tempat tersebut. Namun sebelum berangkat, ada
salah satu senior kami yang mengingatkan. Ia berkata pada kami. "Ini kerja besar.Ini perjuangan berat.
Jangan gegabah kita melangkah. Kita harus lebih siap lagi untuk maju ke medan 'jihad' ini. Ada sesuatu
yang harus kita laksanakan dulu sebelum kita maju kesana."

Senior kami itu menyarankan agar kami mengoreksi diri dulu. Sudah sejauh mana ibadah harian kita
kepada Allah. Sudah sejauh mana komitmen kita terhadap apa yang diperintahNya dan apa yang
dilarangNya.

Ahirnya, selama beberapa hari, kami disarankan untuk sebisa mungkin sholat wajib berjamaah. Kita juga
harus bangun malam untuk qiamullail. Yang biasanya jarang puasa Senin Kamis, sekarang amalan Nabi
itu harus dilaksanakan dengan intensif. Pokoknya, senior kami itu menyarankan agar sebisa mungkin
mengaplikasikan bentuk ketakwaan dan keimanan kepada Allah SWT. Tidak hanya bentuk "amar ma'ruf"
saja, tapi mesti diiringi juga dengan "nahi mungkar." Seperti yang masih merokok untuk segera
meninggalkan perbuatan mubah itu.

Beberapa hari kemudian, saat hari 'H' sudah tiba, kami berkumpul lagi. Namun kami tidak jadi menemui
bandar togel itu. Sebab, dengan izin Allah, orang itu sudah menutup total usahanya. Rupanya ia sudah
kembali berprofesi seperti biasa, yaitu sebagai kuli bangunan. Kami merasa gembira sekali. Dan semua ini
sudah jelas merupakan pertolongan dariNya. Entah apa yang terjadi seandainya kami menyikapi perbuatan
salah seorang warga di dekat masjid itu dengan emosional pada waktu itu, tanpa mengindahkan nasehat
senior kami.
Apakah ini sebuah kemenangan sebelum bertanding? Tidak juga. Sebab kami telah berjuang dulu,
berjuang menaklukan napsu diri. Bukankah ini juga jihad besar?

Pantas, jika sahabat Umar ra. sebelum berangkat perang dengan orang kafir, selalu memeriksa pasukannya
sedetil mungkin. Mereka yang malamnya tidak qiamullail, sementara jangan ikut ke medan jihad dulu.
Kata Khalifah kedua itu: "Saya tidak takut dengan musuh yang banyak, tapi saya lebih takut kepada
banyaknya dosa yang kita bawa. Sehingga kita akan kesulitan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT."

Dan sejarah juga mencatat gemilangnya perang Badar bagi kaum muslimin. Padahal erbandingan jumlah
pasukan antara kaum muslimin dan kafir sama sekali tidak seimbang. Tentu sudah bisa dipastikan bahwa
salah satu faktor kemenangan kaum muslimin adalah karena kwalitas iman orang muslim masa itu yang
sangat prima. Dan tentunya sangat minim dengan dosa-dosa. Tidak seperti kami di jaman ini.

Saya hanya bisa berpikir, seandainya saya, keluarga saya, lingkungan saya, atau skup yang lebih luas lagi
negri saya, dalam mengatasi masalah berkiblat dengan cara mereka, mungkin Allah pun akan memberi
kemudahan dalam mengatasi berbagai masalah.

Ya, tentunya harus dimulai dari pribadi masing-masing. Sebab tak mustahil, bahwa saya, kita-kita inipun
ternyata ada dalam barisan orang-orang yang menghambat pertolongan Allah.

Sampai sekarang pesan senior kami di organisasi remaja masjid bertahun-tahun lalu itu, selalu terngiang
ditelinga saya, manakala ada sesuatu pekerjaan yang harus berhubungan dengan orang banyak. Pesan yang
pendek, namun sangat berarti: "Bacalah dirimu! Sebelum kau baca orang lain!" Atau dalam bahasa
populer penyanyi ballada Ebiet G Ade: "Tengoklah ke 'dalam', sebelum bicara."

# woyo72@yahoo.com #

posted by sugeng priyono @ 7:36 AM 0 comments

Silaturahmi itu....
Oleh: Azimah Rahayu
3 Peb 2006 09:15 WIB

Hujan di bulan Januari benar-benar telah menjadi hujan sehari-hari. Seperti hari itu, sebuah ahad dengan
langit yang pekat. Mendung menggantung di setiap ujung langit, menghias segala lintas cakrawala.
Sepanjang waktu ia menumpahkan bebannya. Beberapa saat merintik, kemudian menderas dan kadang
mengguyur. Namun laki-laki itu tetap tak jeri. Tenang dan mantap dia mengendarai motornya, dengan
kecepatan rata-rata, meski sesekali digebernya juga. Sesosok perempuan yang menggelendot di
punggungnya tak sekalipun membuatnya mengeluh pegal dan sejenisnya. Istrinya. Ini adalah perjalanan
berikutnya, setelah sebelumnya mereka menyusuri jalanan Jakarta nyaris 1,5 jam lamanya. Ini adalah
perjalanan ke tujuan selanjutnya, setelah sebelumnya bercengkerama selama hampir dua jam bersama
sebuah keluarga salah satu kerabatnya.

Hujan di bulan Januari sungguh memang berarti hujan sehari-hari. Seperti siang itu, sebuah siang dengan
mendung gelap. Genangan air meriak di sepanjang jalan. Angin basah berkesiur, menebarkan hawa dingin
menggigilkan. Suasana yang membuat nyaris semua orang enggan meninggalkan rumah. Namun laki-laki
itu tak merasa perlu untuk membatalkan perjalanan selanjutnya. Sejak matahari belum lagi sepenggalah,
mereka telah meninggalkan rumah. Di rumah keluarga pertama, mereka telah sekalian beristirahat sejenak
sambil mengeringkan badan serta shalat dzuhur dan makan siang. Maka kini tiba saatnya mereka menuju
tempat berikutnya, 45 menit lamanya naik motor dengan kecepatan rata-rata.

Perempuan di boncengan motor itu termenung. Betapa adil Allah yang mempertemukan dirinya dengan
laki-laki ini. Di masa lajangnya, ia amat jarang bertandang ke kaum kerabatnya. Bukan, bukan karena ia
tak punya kerabat di Jakarta, namun aktifitasnya yang sangat padat telah membuatnya nyaris tak punya
waktu untuk bersilaturahmi, bahkan untuk dirinya sendiri. “Kapan terakhir kali kau berkunjung ke rumah
bude-mu (sepupu ibunya) di Tebet?” pernah suaminya bertanya. “Hmm, mungkin dua atau tiga tahun
lalu,” jawab perempuan itu ragu. “Kalau begitu, bude-mu mendapat jatah giliran silaturahmi pertama,
oke?” saran sang suami.

Air kembali tumpah saat mereka tiba di sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Sepasang anak
kembar berceloteh riang menyambut mereka, bahkan kemudian menantang sang suami bermain catur.
Seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu, bercengkerama dan bercanda gembira. Kadang-kadang,
cengkerama itu diselingi diskusi seru tentang pekerjaan dan kondisi Indonesia kontemporer. Selesai shalat
‘asar, mereka kembali memacu kendaraan ke tujuan ketiga. Lagi-lagi, rintik hujan kembali menghalangi
pandangan mata. Kali ini, tak sampai tiga puluh menit mereka telah sampai di tujuan. Sayang, sang tuan
rumah sedang jalan-jalan ke mall. “Kita tunggu saja, paling sebentar lagi pulang!” demikian simpul si
laki-laki. Sang istri tak terkejut. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa pekan sebelumnya mereka pernah
mengunjungi seorang kerabat di Pasar Rebo yang jauhnya lebih dari dua puluh kilo meter dari rumah
mereka. Sayang sekali, rumah yang mereka kunjungi tak berpenghuni. Mereka kembali pulang dalam
gerimis, setelah menitip pesan ke tetangga. Pekan depannya, laki-laki itu kembali mengajak sang istri
untuk mengunjungi keluarga itu. ‘Kemarin kan kita belum ketemu mereka?” demikian alasannya. Meski
merasa aneh, sang istri hanya mengangguk saja. Ini adalah pelajaran untuk sebuah ketulusan, demikian
batinnya.

Air bagai dicurahkan dari langit ketika keluarga yang dikunjungi tiba di rumah. Sesosok balita laki-laki
menghambur ke pelukan istri pria itu dan berceloteh riang, ”Tante, tadi aku ke Ramayana!” Hingga
setelah shalat magrib dan hujan tak lagi mengguyur, mereka kembali menyusuri jalanan, menempuh jarak
nyaris 40km. Pulang. Namun belum jauh mereka meninggalkan rumah yang dikunjungi, laki-laki itu
membelokkan motornya ke jalan yang berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. “Kita mampir
sebentar ke kost-an temenku. Sudah lama dia tak berkabar dan belum juga memenuhi janjinya berkunjung
ke rumah kita,” tanpa ditanya, dia menjelaskan kepada istrinya.

Malam telah cukup jauh beranjak saat mereka tiba kembali di istana mungil mereka. Masih dengan
kostum lengkap, sang istri langsung merebahkan diri di pembaringan. “Aku meluruskan badan sebentar,
ya. Punggungku pegal sekali dan pantatku panas,” seringainya lucu. Dia bertanya-tanya jika ia yang hanya
membonceng di belakang saja secapek itu, seperti apa lelah suaminya yang menyetir di depan dengan
beban dirinya di punggung, plus terpaan angin dan hujan dari depan? Tapi laki-laki itu hanya tersenyum,
mengusap keningnya dan berkata,”Pekan depan kita ke rumah Bulik Nur di Tambun, yuk, Dek?”

Dalam deraan penat dan dengan mata tertutup, perempuan itu mengangguk mantap. Di benaknya
terbayang sambutan hangat kaum kerabat dan sahabat-sahabat suaminya saat ia dan suaminya
mengunjungi mereka. Di telinganya terngiang kembali komentar beberapa kerabat lain,”Suamimu itu dari
dulu terkenal kenceng silaturahminya, makanya dia disayang oleh saudara-saudaranya.” Dia membuka
mata saat sang suami menyentuh lengannya. “Kita sudah seminggu lebih nggak main ke rumah Mbak Nik,
ya Dek?” tanya suaminya retoris. “Besok malam, insyaAllah,” jawabnya pendek. Padatnya pekerjaan telah
melewatkan jadwal mingguan mereka berkunjung ke salah satu kerabat yang rumahnya hanya terpisah
jarak dua gang dari rumah mereka itu. Perempuan itu kembali mengatupkan kelopak matanya. Di
benaknya kini terlintas kata bijak para ulama, silaturahmi itu memanjangkan umur dan melapangkan rizki.
Di benaknya kini terlintas sabda rasul agar setiap anak menjaga silaturahmi dengan kerabat dan sahabat
orang tuanya. (@Azimah Rahayu)

# Lt. 8, hujan sore-sore, 26/01/06

posted by sugeng priyono @ 7:36 AM 0 comments

Karena Mereka Cinta


Oleh: DH Devita
8 Peb 2006 11:43 WIB

Being annoyed by others, mungkin itu yang sebagian besar dialami oleh anak-anak remaja, atau mereka
yang berusia dewasa dini. Sepertinya orang-orang di sekitar yang lebih dewasa, terutama mungkin orang
tua dan anggota keluarga lain, selalu mengatakan hal-hal yang ‘mengganggu’ semangat keremajaan kita.
Entah itu memprotes pilihan model pakaian, kegiatan luar sekolah, teman-teman, sampai pilihan jalan
hidup. Mungkin tidak semua orang mengalami hal ini, tapi saya sendiri mengalaminya. Memang sih,
sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang orang-orang dewasa itu katakan. Mungkin hanya
caranya saja yang kurang pas atau waktu yang tidak tepat. Tapi, dengan emosi seorang remaja atau usia
tanggung seperti itu, mana mungkin mau bersabar-sabar meladeni. Bagi mereka yang lost control, bisa
jadi akan menghadapi pertengkaran atau hubungan yang renggang dengan keluarga, oleh sebab hanya
masalah-masalah yang seharusnya bisa dibicarakan. Kalau ditanya alasan mengapa bersikap demikian,
just being annoyed dan tak ingin dicampuri, mungkin itu jawaban gampangnya.

Suatu kali, saya mengalami kesulitan dalam memilih jurusan ketika hendak lulus dari SMU. Saya
menyadari betul minat yang sejak kecil sudah muncul, tetapi dengan beragam aktivitas dan kurangnya
arahan, saya belum benar-benar menyadari bahwa saya menginginkan minat saya itulah yang akan
menjadi profesi saya kelak. Dan sayangnya, hal ini pun tak disadari oleh keluarga saya. Dan akhirnya,
saya mengalami sedikit perbedaan pendapat dengan orang tua dalam memutuskan apa yang akan saya
pilih. Pada akhirnya, saya mengalah juga. Dan meninggalkan minat saya tersebut. Tapi setiap kali salah
satu anggota keluarga saya menyinggung urusan pekerjaan, masa depan, dan pilihan hidup (dan tentu saja
mereka menawarkan berbagai bidang yang menurut mereka baik), saya menjadi super malas
menanggapinya. Saya lebih suka berkata, “Ya … ya, itu memang bagus.” Ketimbang menjelaskan apa
yang benar-benar saya mau. Suatu sikap yang salah, belakangan saya sadari. Atau bila di lain kesempatan
mereka melakukannya lagi, dan saya sedang dalam kondisi ‘tidak siap’ dan mood yang jelek, akhir dari
percakapan itu akan menjadi tidak enak. Dan saya benar-benar merasa terganggu dengan kejadian yang
terus berulang itu.

Pada masa-masa lepas dari bangku SMU hingga masuk dunia perkuliahan, saya masih saja menghadapi
situasi tersebut. Dan lucunya, saya tidak benar-benar berusaha untuk memahami permasalahan, dan
mencari jalan keluar dalam berdialog yang baik. Supaya saya tidak lagi merasa tidak nyaman ketika topik
tersebut dibahas kembali. Supaya saya tidak terus mengatakan, “Mereka benar-benar pengganggu
terhebat.” Lagipula, apa enaknya menjalani hubungan yang seperti demikian dengan orang-orang yang
paling dekat dengan diri kita? Bukankah masalah ini harusnya bisa menjadi pelajaran untuk bersikap lebih
dewasa? Seharusnya. Tapi saya sungguh lambat mempelajarinya dan akhirnya mengubah sikap.
Daripada bersusah-susah meyakinkan apa yang saya mau kepada keluarga, saya malah mengambil sikap:
Ya sudahlah, ikuti saja arusnya. Dan saya pun berusaha menyukai bidang yang saya pilih dalam
perkuliahan, walau sebenarnya itu saya pilih hanya karena mendekati minat saya dalam dunia psikologi.
Padahal cita-cita saya bukanlah menjadi seorang psikolog. Saya hanya menyukai ilmu tersebut. Dan itu
tidak cukup untuk menjadi dasar semangat dalam menjalani fase kehidupan berikutnya. Begitulah, saya
berkubang dalam kesalahan berkali-kali. Dan setiap kali membicarakan masalah profesi, dunia kerja, dan
semacamnya, saya tetap merasa being annoyed by my own family. Bayangkan saja! Betapa
menyedihkannya perasaan itu.

Entah bagaimana akhirnya saya memutuskan untuk memperbaiki semuanya. Harus! Bila saya tak ingin
cita-cita idaman saya itu terkubur dalam. Saya menyelesaikan kuliah dengan baik, dan menemukan hal-hal
positif yang Allah karuniakan pada saya dalam bidang kuliah yang saya pilih. Dan saya pun kembali
berusaha meraih cita-cita saya itu. Berusaha mengenal dan terlibat dalam komunitas yang akan
mengantarkan saya pada impian itu, berusaha menghasilkan karya-karya yang lebih baik dengan target:
harus dipublikasikan di media massa, dan belajar dari siapa saja yang saya temui.

Tahun 2004, mungkin bisa dikatakan bahwa itu tahun ‘kebangkitan’ diri saya. Saya ‘menemukan’ kembali
gairah itu! Cita-cita saya: ingin menjadi penulis. Dan itu yang saya tanam kuat-kuat dalam benak saya
sampai kapanpun. Saya lulus dari bangku kuliah, bekerja, dan berusaha untuk tetap menulis dan
menghasilkan karya yang lebih baik. Publikasi karya saya di media, walau belum banyak, sedikitnya
membuktikan hal itu. Dalam hati, saya merasa senang sekali.

Still being annoyed? Hm, saya rasa itu hanya salah satu ion negatif yang berterbangan di pikiran dan hati
saya selama ini. Saya merasa demikian sebab saya menyadari ketidakmampuan saya untuk memberi
penjelasan dengan cara yang bisa mereka terima. Atau pada saat itu, saya belum benar-benar yakin dapat
membuktikan bahwa cita-cita ini adalah sebuah jalan hidup yang saya pilih.

Apapun pandangan orang tentang itu. Membuat orang lain mengerti, sepertinya memang tidak bisa hanya
melalui kata-kata atau bahkan angan-angan saja.
Pada akhirnya, walau belum sepenuhnya yakin dan mendukung, saya tahu bahwa mereka hanya ingin
yang terbaik terjadi pada diri saya. Bila mereka tidak mengerti apakah hal itu, maka kewajiban saya untuk
menjelaskan. Semua mereka katakan tentu tidak pernah bermaksud mencampuri atau mengganggu hidup
saya, melainkan karena mereka cinta. Ya. Cinta.

Bukankah dengan memandang suatu hal dengan pandangan positif jauh lebih menyenangkan?

posted by sugeng priyono @ 7:35 AM 0 comments

Belajar Bersabar
Oleh: Rubina Qurratu'ain Zalfa'
9 Peb 2006 10:59 WIB

Pagi, saat akan berangkat menuju tempat kerja, aku sudah disuguhi pemandangan yang sungguh tidak
mengenakkan, paling tidak buatku. Di tengah kemacetan lalu lintas pagi, dari dalam angkot yang aku
tumpangi, aku melihat dua orang pengendara motor, keduanya bapak-bapak bersitegang. Entah bagaimana
awal kejadiannya, bapak pengendara motor yang satu membentak bapak pengendara motor lainnya, dari
raut wajahnya kelihatan sekali si bapak sangat marah dengan bapak yang satunya lagi. Untunglah si bapak
yang dibentak, entah karena merasa bersalah atau tidak ingin ribut, berusaha tidak melayani kemarahan si
bapak tadi. Ia mengelus pundak si bapak yang membentaknya, sambil berkata dengan cara yang halus dan
sopan. Sayup-sayup dari kaca jendela yang terbuka, aku dengar si bapak yang sabar itu mengucapkan kata
maaf. Tapi ungkapan maaf itu ternyata tidak direspon dengan baik, si bapak yang marah tetap membentak-
bentak bahkan menendang motor bapak yang minta maaf tadi, sambil ngeloyor pergi. Meski tidak sampai
jatuh, bapak yang sabar itu, jadi kelihatan kesal dan tidak terima dengan perlakuan tadi. Ia pun bergegas
hendak mengejar orang yang sudah memperlakukannya dengan kurang baik itu. Untunglah pengendara
motor lainnya yang menyaksikan adegan itu, mencegah dan memintanya untuk bersabar. Si bapak tadipun
mengurungkan niatnya, tidak jadi mengejar bapak yang sudah membentak-bentaknya dengan kasar.

Bukan aku saja yang lega melihat kesabaran si bapak itu, tapi aku lihat seluruh penumpang di angkot yang
aku tumpangi tanpa sadar juga bernafas lega. Ah.... sebuah pemandangan yang tidak indah sama sekali
untuk mengawali hari, kataku dalam hati.

Sepanjang perjalanan, adegan barusan terus bermain-main di benakku. Pertanyaan-pertanyaan yang


mengusik hatiku, mengapa orang bisa sedemikian kasar pada orang lain bahkan hanya untuk hal-hal yang
sepele, mengapa orang menjadi begitu cepat hilang kesabaran, mengapa begitu sulit memaafkan pada
orang yang sudah meminta maaf. Dalam hati aku memuji sikap sabar si bapak yang minta maaf tadi
dengan tetap berkata halus meski sudah dibentak-bentak. Inilah gambaran orang yang hidup di kota
Metropolitan, pikirku. Di tengah kehidupan kota Jakarta yang penuh dengan persaingan, ditambah lagi
tuntutan hidup yang makin tinggi, setiap orang bergerak serba ingin cepat, ingin saling mendahului,
pokoknya siapa cepat dia dapat. Kondisi semacam ini membuat orang tertekan, sehingga mudah marah,
stress, bersikap individualistis dan jadi tidak sabaran. Hampir setiap pagi aku melihat pengendara motor
yang malas antri macet sampai nyelip-nyelip bahkan menggunakan trotoar yang diperuntukkan buat
pejalan kaki, pengendara mobil yang membunyikan klaksonnya berulang-ulang karena tidak sabar
menunggu di belakang metromomini yang sedang berhenti karena menurunkan penumpang, sopir
angkotan umum yang kebut-kebutan karena tidak sabar ingin mengejar setoran, dan masih banyak contoh
lagi.

Tapi.... saya jadi teringat pengalaman saya sendiri beberapa hari ini. Pekerjaan yang menumpuk, dikejar
tenggat waktu dan sejumlah persoalan pribadi yang belum terselesaikan, membuat saya sering ngedumel,
mudah tersinggung dan hilang kesabaran. Hanya menunggu antrian di kamar mandi saja sudah membuat
saya kesal, menunggu mesin foto kopi yang sedang diperbaiki saja, cukup membuat saya cemberut
seharian. Saya betul-betul jadi orang yang tidak sabaran.

Melihat kejadian di jalan tadi, saya tiba-tiba sadar bahwa akibat sikap saya itu ada orang yang secara tak
sengaja sudah saya dzalimi. Saya masih ingat, bagaimana ekspresi wajah kecewa ponakan saya yang
masih berusia dua tahun, ketika dengan nada ketus saya bilang 'capek' ketika ia merengek-rengek
mengajak saya bermain-main dengan mobil-mobilan kecilnya sepulangnya saya dari kantor. Saya seperti
tersadar mengapa keponakan saya yang lucu dan manis itu, tiba-tiba saja menolak saya peluk, mungkin
kerena sikap saya kemarin. Astaghfirullah...... saya merasakan ada air hangat di pelupuk mata saya dan
rasa penyesalan yang dalam. Sedikit tekanan dan persoalan saja ternyata telah mengalahkan kesabaran
saya.....bagaimana jika saya menghadapi cobaan dan tekanan hidup yang lebih besar lagi? Apakah saya
masih mampu bersabar menghadapinya?

Saya merasa menjadi orang yang kalah. Kalah memerangi hawa nafsu dan mempertahankan kesabaran
saya. Padahal sabar adalah salah satu ciri orang yang beriman dan bertaqwa. Saya kembali teringat sebuah
artikel di koran yang pernah saya baca. Dalam artikel itu disebutkan, Rasulullah, Nabi Muhammad Saw
yang mulia pernah mengatakan bahwa sabar adalah bagian dari iman. Lalu, saya buka lagi buku catatan
kecil yang selalu saya bawa dalam tas saya, di sana ada catatan sejumlah firman Allah dalam Al-Quran
tentang perntingnya memiliki sifat sabar.

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS Az-
Zumar,10)

''Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.'' (QS Ali Imran: 200).

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah ) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang khusyu." (QS Al-Baqarah,45)

Aku meresapi kembali ayat-ayat Al-Quran itu. Ah... bersikap sabar itu memang tidak mudah, apalagi
ketika menghadapi persoalan berat atau merasa didzalimi oleh orang lain. Tapi itulah ujian bagi umat
manusia. Ujian atas keimanannya. Bukankah Allah Swt juga mengatakan, belum sempurna iman
seseorang sebelum Ia mengujinya.

Wajah keponakanku yang polos itu kembali terbayang di mataku, wajah bapak pengendara motor yang
meminta maaf dalam keributan kecil tadi kembali melintas, betapa kerdil sikapku dan lemahnya imanku
belakangan hari ini. Sabar... sungguh sebuah kata yang mudah diucapkan tapi kadang sulit dilakukan,
kecuali orang-orang yang memiliki kadar keimanan dan ketaqwaan yang tinggi pada Allah Swt, yaitu
orang-orang yang khusyu'.

Sesampainya di kantor, aku segera berwudhu, menuju mushola kecil di belakang gedung dan menunaikan
sholat Dhuha. Aku memohon ampunan pada Allah yang Maha Rahmah dan aku memohon agar senantiasa
diberi kekuatan dan kesabaran dalam menjalani kehidupan yang penuh ujian dan cobaan ini.

" Robbanaa afrigh 'alaina shabraw wa tawaffanaa muslimin."


(Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah
diri (kepadaMu ).

Jakarta, 8 Februari 2006

rubina_zalfa at yahoo dot com

posted by sugeng priyono @ 7:35 AM 0 comments

Berbagi Kata
Oleh: Indah Prihanande
10 Peb 2006 09:26 WIB

Ketika dukungan manusia tidak kita dapatkan, pun untuk secuil kata motivasi. ketika diri membutuhkan
kata penyemangat dan teman berbagi untuk menegakan pijakan kaki, yang terkadang terasa kurang kokoh
dalam mengarungi dakwah dengan segala macam tanggung jawab dalam menjalankan berbagai peran
sekaligus. Dia, sebagai seorang ibu dari empat orang anak yang tengah menjalani kehamilan yang kelima
dan juga beliau sebagai seorang anggota legislative daerah yang mewakili partai dakwah Islam, plus
sebagai seorang bidan dan juga mahasisiwi di sebuah perguruan tinggi.
Semua itu tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Awalnya dia hanya seorang ibu tiga anak dan
berprofesi sebagai bidan di desanya. Keaktifan dia disebuah partai diniatkannya untuk bisa eksis
membangun umat. Interaksinya sebagai bidan dan sikap lembutnya dalam setiap menangani pasien telah
mengantarkannya sebagai sosok bidan yang dikenal sangat baik oleh lingkungannya. Bukan hanya
ditempat dia tinggal, namun juga sampai ke desa-desa lain yang cukup jauh. Dia tidak segan untuk datang
jam berapapun pasien memanggil. Dia juga akan membantu pasien sampai tuntas. Tak jarang pasien yang
harus ditangani di rumah sakit, diantarkannya bersama suaminya menggunakan mobil pribadi mereka.
Mereka jugalah yang memberikan uang muka sebagai jaminan di RS tersebut jika pasien yang mereka
antar tidak mampu untuk membayar. Sering juga kain, popok dan celana anaknya diberikan kepada pasien
yang memang tidak membawa apa–apa ketika datang untuk melahirkan. Jangan tanya untuk harga jasa
yang dipasangnya dalam proses membantu kelahiran. Semuanya terserah pasien.

Maka, ketika kesempatan menjadi caleg menghampirinya, dia jalankan kesempatan itu dengan suatu
kesungguhan yang tidak main–main. Jika Allah mengizinkan, dia ingin menorehkan suatu catatan amal
kebaikan yang ingin dia sumbangkan untuk umat, karena kemungkinan ide dan suaranya didengar
pemerintah akan lebih terbuka.

Ketika itu kehamilannya berusia 4 bulan. Tugas sebagai bidan yang tak kenal waktu, kesibukan sebagai
ibu dan ibu yang sedang menjalani kehamilan, juga amanat yang dipikulnya sebagai seorang caleg dapat
dijalaninya dengan baik. Tak lama setelah kelahiran anak yang ke empat, Allah memberikan amanah baru,
dia pun terpilih menjadi anggota legislative.

Kini, setelah setahun lebih menjadi anggota dewan, diputuskannya untuk meneruskan pendidikannya
untuk menambah pengetahuannya sebagai seorang bidan. Jika dia pergi keluar daerah, anak–anak selalu
dibawanya pula. Kadang saya begitu iri melihat gerakannya yang amat produktif itu. Shalat tahajud, puasa
Senin Kamis, belum acaranya dalam mengisi ceramah di lingkungannya seolah jelas dia mempunyai
ketahanan fisik dan mental yang lebih dari yang lain.
Tanpa diduga dan direnencanakannya, sekarang ketika anak keempatnya baru berusia 1 tahun, dia hamil
lagi. Semua di luar dugaan. Kuliah sudah dimulai, rasanya tidak mungkin untuk dibatalkan. Di saat
demikian, teman – teman seperjuangan dalam dakwah agak kecewa walaupun tidak tersirat jelas. Tidak
ada dukungan moril yang menguatkannya untuk menapaki jejak langkah di tengah beban tugas yang
berhimpit.

Ketegarannyanya dalam setiap kegiatan, keteguhannya dalam bersikap adalah cerminan manusia yang
kokoh dalam mengemban tugas dakwah. Akan tetapi dia juga sebagai manusia, sebagai wanita yang lebih
sensitif dalam menyikapi kejadian.

Ketika lama saya tidak bertemu, saya mencoba untuk menghubunginya lewat telepon. Dia berterus terang
bahwa dia tengah membutuhkan motivasi dari sesama rekan, beratnya medan dakwah yang diembannya
bukanlah suatu masalah, tetapi hatinya pun butuh bicara, dia butuh semangat yang ekstra untuk menjalani
ini semua. Bukan, bukan ingin berkeluh kesah, dia hanya ingin bicara, ingin mengungkapkan
kekhawatirannya dalam mengemban amanah ini. Khawatir tentang pendidikan anak nya, khawatir tentang
kehamilannya. Saya mendengarkan dengan sepenuh perhatian, mencoba menyelami dari sisi keibuan.
Saya turut merasakan kegelisahannya.

Kemudian saya sebagai seorang yang awam, yang malah terbiasa berkonsultasi untuk meminta
nasehatnya, mencoba memberikan kata–kata. Saya mengatakan bahwa “Allah sudah mempunyai skenario,
takdir sedang berjalan, Allah telah mengatur semuanya dengan amat sempurna. Kehamilan ini adalah
anugerah.
Mungkin melalui perhitungan kita sebagai manusia, kita menduga akan berat menjalani semua itu, tapi
Allah maha kuasa dalam setiap perhitunganNya, Dia maha tahu apa yang terbaik bagi hambanya. Insya
Allah semuanya akan bisa dilewati dengan baik. Bukankah selama ini mbak bisa melewati berbagai
terjalnya masalah dengan baik?”

Agak lama kami bicara, ada kelegaan dari nada bicaranya. Dia berterima kasih pagi ini atas motivasi
untuknya.
Motivasi? Saya tercenung, padahal barusan saya tidak melakukan apapun. Saya hanya mendengarkan dia
berbicara dan sedikit memberikan semangat untuknya. Ini sudah biasa saya lakukan untuk rekan di kantor.
Namun memang saya tidak pernah melakukanhal yang sama untuknya. Malah lebih sering saya hanya
meminta saran dan jawaban atas setiap permasalahan saya. Saya merasa tidak punya kapasitas untuk
memberikan beliau semacam kata–kata penyemangat.

Egois sekali saya, di latar belakangi dari pola pikir yang salah tersebut, saya justeru telah mengabaikan
makna silaturahmi dari sisi yang tidak pernah terfikirkan. Saya tadi hanya berniat silaturahmi
“alakadarnya” ingin menanyakan kabar, sedikit bercerita dan alurnya adalah seperti rutinitas biasa.
Ternyata tidak demikian, betapa pembicaraan yang sederhana itu mempunyai arti dan makna yang teramat
dalam bagi yang tengah membutuhkan untuk didengar. Ternyata hanya dengan mendengar dan berbagi
kata, bisa membuat beliau merasa “hidup” kembali.

Ternyata juga satu hikmah yang saya dapatkan, saya jangan hanya bisa meminta, sesekali saya harus
berbagi, harus belajar memberi walaupun hanya sekadar kata. Jika kata itu bisa membawa kebaikan bagi
kita, kenapa tidak?

posted by sugeng priyono @ 7:34 AM 0 comments

Selamat Pagi
Oleh: Cahaya Afiati
14 Peb 2006 07:54 WIB

Ada tiga penghuni di rumah kami saat ini: saya, suami dan anak pertama kami berusia 2 tahun. Dari
ketiganya, yang terbiasa menyambut pagi dengan semangat tinggi (kecuali jika sedang sakit). Adalah anak
kami, usianya baru 2 tahun, tapi semangat menyambut pagi yang ditunjukkannya perlu jadi teladan.
Begitu bangun, dia segera bangun dan bergerak. Pergi ke tempat mainannya biasa diletakkan, atau pergi
ke tempat lain di mana ada orang lain yang sudah melakukan aktivitas.

Saya dan suami punya kebiasaan yang lain lagi dalam menyambut pagi. Saya biasanya dilanda
kebingungan akan menu makanan yang akan saya masak hari ini, khususnya jika daftar menu lupa saya
susun sebelumnya. Tidak jarang, melihat tumpukan baju kotor yang harus dicuci, juga tumpukan peralatan
makan di dapur, rasanya badan ini malas bergerak. Apalagi musim hujan nan dingin seperti sekarang. Tak
perlu melihat tumpukan cucian pun, pagi hari biasa disambut dengan bermalas-malasan. Ingin rasanya
kembali ke balik selimut, menunggu matahari yang masih malu-malu muncul. Suami saya, seringkali
lebih semangat menyambut hari baru di pagi hari, tapi juga tidak jarang bermalas-malasan di pagi hari
yang dingin.

Jika melihat anak pertama kami sudah bangun dan melakukan aktivitasnya sendiri dengan semangat,
rasanya malu juga. Seharusnya saya memberi contoh yang lebih baik. Bukannya memilih bermalas-
malasan daripada segera melakukan aktivitas yang menjadi tanggung jawab saya. Tapi seringnya, malu itu
dikalahkan rasa malas. Padahal, dalam pagi hari ada keberkahan. Seperti pepatah di kalangan orang Arab
yang menyebutkan bahwa berkah itu ada di waktu pagi, albarakatu fi bukuriha.

Waktu pagi, memang menyimpan banyak keutamaan. Salah satunya adalah keutamaan zikir pagi yang
dianjurkan untuk memperoleh banyak rahmat Allah SWT. “Dan sebarkanlah dirimu bersama orang-orang
yang menyeru Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang untuk mengharapkan keridhaan-Nya” (Al-
Kahfi; 28).

Waktu pagi adalah waktu pergantian tugas malaikat malam dan siang. Rasulullah menjelaskan dalam
haditsnya bahwa waktu shubuh adalah masa di mana para malaikat malam naik ke langit digantikan
dengan malaikat siang. Sungguh terasa indah jika saat-saat pergantian malaikat itu, kita sedang berada
dalam kondisi taat kepada Allah swt.

Namun apa yang terjadi? Biasanya saya lebih memilih untuk bermalas-malasan. Menjalankan sholat
shubuh dengan terkantuk-kantuk kemudian bermalas-malasan menunggu matahari muncul adalah hal
yang tidak jarang saya lakukan. Astaghfirullahaladziim..

Waktu-waktu shubuh di pagi hari adalah waktu yang oleh para ulama dianggap sebagai waktu terbaik
untuk mendalami suatu ilmu. Suasana pagi yang tenang membuat konsentrasi dan kemampuan memahami
meningkat. Ibnu Jarir Ath Thabari, yang mampu menulis sebanyak empat puluh halaman setiap hari
selama empat puluh tahun terakhir masa usianya, melakukan murajaah akan ilmu dan ide-ide yang akan
dituangkan dalam tulisannya di awal-awal shubuh. Lukman Al-Hakim pun mengingatkan anaknya tentang
kemuliaan pagi dan mudahnya akal menyerap ilmu dengan mengatakan, “Jangan sampai ayam jantan
lebih cerdas darimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari
terbit.”

Lihatlah! Pagi tak pernah bosan menyapa kita kecuali Allah menentukan takdirnya yang lain. Suasana
pagi tetaplah penuh dengan kesegaran dan kesejukan. Suasana pagi selalu membawa harapan bagi diri.
Selamat pagi! Saya ingin selalu menyapa pagi dan menjadikannya momen yang baik untuk memperbaiki
diri. Mudah-mudahan..

Wallahu’alam bishshowab

-satu episode dalam Menikmati Peran Ibu-


ummuhafiz at gmail dot com

posted by sugeng priyono @ 7:34 AM 0 comments

Berbagi Semangat
Oleh: Anisakuffa
20 Peb 2006 11:07 WIB

“Sa, kamu lagi sibuk nulis apa sekarang ini?”

Blarr! Seolah ada sebuah petir menyambar di telingaku manakala kudengar pertanyaan temanku di siang
hari kemarin.
Aku bingung mau menjawab apa. Padahal temanku hanyalah menanyakan pertanyaan sederhana dan biasa
saling kami lontarkan manakala bertemu. Sebuah kalimat sederhana yang seringkali menjadi penggugah
semangat di antara kami.

Lalu, mengapa sekarang pertanyaan itu membuatku bingung? Tidak lain adalah karena ketika temanku
bertanya, aku sedang dalam kondisi mandeg menulis. Memang ada banyak keinginan dan ide dalam
kepala, namun belum ada satupun yang terealisasikan. Semuanya masih dalam bayang-bayang dan
semuanya belum nyata adanya.

Padahal dalam target harianku, selalu ada alokasi waktu untuk menulis. Dan aku selama ini selalu
berusaha menetapinya walau kadang mood tidak mendukung. Apalagi jika sedang banyak masalah di
kampus. Apabila moodku lagi bagus, aku bisa menulis beberapa halaman dalam waktu 60 menit yang
selalu kusediakan setiap hari. Tetapi ada kalanya aku hanya bisa menuliskan beberapa baris dalam waktu
yang sama. Bahkan terkadang tidak bisa sama sekali.

Jika kemandegan itu hadir, dan aku tidak bisa menulis sama sekali, aku berusaha membuka file dan
membaca tulisan apapun terutama tulisan-tulisan yang menggugah semangat. Ada kalanya usaha ini
berhasil dan membuatku kembali bisa menulis. Namun pernah juga usaha ini tidak berhasil.

Kemudian, akupun berhenti sejenak dan mengganti suasana. Tetapi dalam perjalanannya seringkali
kemudian justru aku disibukkan dengan aktivitas yang lain dan lupa bahwa aku harus kembali menulis. Di
saat seperti inilah aku banyak membutuhkan pengingat. Dan seringkali aku mendapatkannya ketika
berkumpul dengan teman-teman dalam 1 komunitas.

Inilah salah satu keuntungan bergabung dengan komunitas yang mempunyai ketertarikan di bidang yang
sama. Aku merasa bisa saling berbagi dan saling menyemangati. Lalu sebuah kalimat sederhana itupun
menjadi pemicu semangat kembali. Barulah kusadari sekarang sudah berapa lama aku tidak menghasilkan
tulisan. Bahkan kesibukan di kampus pun menjadi kambing hitam. Padahal sudah jelas-jelas ada alokasi
waktu untuk masing-masing kegiatan tersebut.

Kesadaran lain yang timbul adalah bahwa ternyata manusia itu memang saling membutuhkan satu dengan
yang lain. Niat dalam diri yang kuat-pun ternyata terkadang tidak cukup. Masih dibutuhkan suatu
lingkungan luar yang kondusif, yang mendukung dari niatan pribadi tersebut. Hal ini berlaku dalam
aktivitas apapun. Karena kita sebagai manusia seringkali mempunyai sifat jenuh dan ketika kita sedang
jenuh maka sebaiknya kita berhenti sejenak dan mencari pemicu semangat untuk kemudian kembali lagi.

Dalam melakukan ibadah, hal di atas juga berlaku. Sudah sewajarnya jika dalam hidup ini kita ingin
beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Kita ingin melakukan perintah Allah yang wajib maupun
yang sunnah. Kalau ibadah wajib sudah tidak perlu kita pertanyakan, apakah keadaan kita semangat atau
jenuh kita tetap harus melaksanakannya. Namun kadangkala godaan itu datang dari ibadah sunnah. Hal ini
sangat kurasakan pada pribadiku sendiri.

Ketika sedang semangat, melakukan ibadah sunnahpun menjadi hal yang ringan. Bangun di tengah malam
untuk sholat lail, melakukan sholat dhuha sebelum berangkat ke kampus, tilawah Al-Qur’an beberapa ayat
setelah sholat dan ibadah sunnah yang lain. Tetapi jangan ditanya manakala sedang jenuh. Ibadah-ibadah
sunnah itu bukan hanya berkurang, tetapi bisa terkikis habis. Mulai dari enggan melakukan sholat rawatib,
tidak terbangun tengah malam untuk sholat lail. Yang lebih parah adalah sudah bangun tengah malam
tetapi karena malas lalu tertidur lagi.
Jika berada dalam keadaan jenuh seperti di atas, akupun berhenti sejenak. Hanya sejenak. Biasanya aku
menggantinya dengan ibadah yang lain atau dengan memperbanyak muamalah. Misalnya bisa sementara
diganti dengan memperbanyak puasa sunnah, bersodaqoh, bersilaturahmi ke saudara atau teman dan
kegiatan positif yang lain. Berbarengan dengan kegiatan itu, biasanya aku menghubungi teman-teman
yang bisa menyemangatiku untuk kembali.

Aku dan teman-teman juga punya agenda pertemuan rutin di dekat tempat tinggalku. Ketika bertemu,
kami melakukan kegiatan bersama. Mulai dari membaca al-Qur’an bersama, mengecek hafalan surat
pendek, membahas materi ke-Islaman yang bisa memperbaiki akhlaq dan menambah semangat, juga
saling berbagi tentang pengalaman keseharian. Dari sinilah perlahan semangat itu kembali tumbuh.

Pengalaman menghadapi kejenuhan tersebut membuatku berfikir, rupanya kontrol niatan itu harus
berbarengan antara satu dengan yang lain. Niatan dari dalam diri saja tidak cukup kuat jika tidak ditunjang
dnegan lingkungan yang mendukung. Begitupula sebaliknya. Lingkungan yang baik saja juga tidak akan
bisa membuat kita berubah jika kita tidak mempunyai niat yang kuat dari dalam diri. Karena itulah kedua
hal ini harus bersinergi dan saling mendukung.

Jika dengan sebuah kalimat sederhana saja temanku bisa menyadarkanku dan membuatku menulis
kembali, maka akupun ingin melakukan hal yang serupa. Aku juga ingin membagi semangatku dengan
teman yang lain. Maka segeralah ku sms salah seorang teman yang akhir-akhir ini jarang berbagi tulisan
dan jarang muncul di komunitas kami. Aku hanya ingin berbagi semangat menulis dengannya. Walaupun
aku sendiri sedang berusaha keras untuk menumbuhkan semangat dalam diriku sendiri.

Cempakaputih, senin 6 februari 2006

posted by sugeng priyono @ 7:33 AM 0 comments

Hati yang Lembut


Oleh: Adi Junjunan Mustafa
21 Peb 2006 12:46 WIB

Sudah sekitar empat tahun saya mengenalnya. Pembawaannya amat tenang. Akan tetapi senyum lembut
senantiasa tersungging setiap kali ia mendapatkan kabar gembira dari sahabat-sahabatnya. Sesekali
senyum lebar ia tebarkan, ketika salah seorang sahabatnya menyampaikan cerita lucu. Ya, senyum lebar
saja dengan suara yang rendah. Tak pernah ada tawa nyaring keluar dari mulutnya. Ia bukanlah seorang
orator. Bahkan ia seorang yang amat pendiam. Sepertinya setiap kalimat yang ia ucapkan telah melalui
perenungan yang mendalam. Tak ada yang ia katakan kecuali kalimat yang bermanfaat.

Ada satu waktu pada masa perkenalan, di mana saya merasa tidak bisa bersabar dengan sifat pendiamnya.
Waktu juga yang membuka hati saya untuk mengenalnya lebih dekat. Pada diamnya saya seolah
menemukan pesan Rasulullahu saw: ”Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaknya
mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.”

Saya tidak menemukan sifat “senang tampil” pada dirinya. Jika duduk pada sebuah majelis, maka ia lebih
cenderung duduk di belakang. Ketika dimintakan untuk berbicara pada forum umum, selalu saja ia
cenderung mempersilakan yang lain terlebih dahulu. Ketika dalam halaqah tarbiyah (lingkaran pengajian
Islam) diadakan evaluasi tentang prestasi kerja profesi masing-masing peserta, ia cenderung
menyembunyikannya. Kalau bukan karena tuntutan muhasabah kerja da’wah, saya yakin ia tidak akan
pernah menceritakan prestasinya. Akan tetapi, ketika ada tugas-tugas da’wah dilimpahkan kepadanya, ia
akan laksanakan tugas-tugas itu tanpa pernah ada protes sedikitpun.

Begitu mudah ayat-ayat Quran menyentuh lubuk hatinya. Suaranya selalu bergetar ketika ia membaca
ayat-ayat Quran. Tidak jarang saya melihat matanya berkaca-kaca dan menangis pada saat bertilawah atau
ketika sedang saling mengecek hafalan Quran. Menyaksikan kelembutan hatinya terhadap Quran
mengingatkan saya pada ucapan Aisyah ra ketika Nabi Muhammad saw meminta Abubakar ash-Shiddiq
ra. mengimami kaum muslimin saat beliau sakit, ”Ya Rasulullah janganlah Abubakar diminta mengimami,
sebab ia gampang menangis kalau membaca Quran.”

Salah satu rangkaian ayat yang saya duga amat menyentuh hatinya adalah: “Dan hanya kepunyaan Allah-
lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas
ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah
dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah
Yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (QS. 53:31-32). Pada satu tadzkirah singkatnya
saya amat merasakan pesan yang kuat menghujam ke dalam hati,” … maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci.”

Barangkali pesan itulah yang senantiasa ia bisikan ke dalam jiwanya sendiri, sehingga ucapannya dengan
nada rendah terdengar nyaring pada hati saya. Ketika ada sahabatnya yang ditimpa duka, ia dengarkan
dengan seksama kisahnya. Lalu tampaklah wajahnya menyimpan duka yang sama. Lalu ia akan berikan
bantuan sebesar yang ia bisa berikan, terkadang dengan bantuan yang amat besar. Sahabat yang
dibantunya sedikitpun tak merasakan perubahan sikapnya setelah ia membantu. Seolah tak ada kejadian
apapun yang telah terjadi. Dan seolah ia ingin mengucapkan,“Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari
yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. (QS. 76:9-10) ***

Ya Allah, berikanlah kebaikanMu kepadanya. Peliharalah ia dalam keimanan yang istiqamah. Terima
kasih ya Allah, Engkau telah mempertemukan saya dengan sahabat-sahabat yang baik, maka jadikanlah
saya bagian dari mereka. Ya Allah, apapun kenikmatan yang sampai kepada saya atau kebaikan dari salah
seorang ciptaanMu, maka itu semua dariMu semata; Tiada sekutu bagiMu. Maka bagimu segala pujian
dan bagimu segala ungkapan terima kasih.

Chiba, 19 Muharram 1427

posted by sugeng priyono @ 7:32 AM 0 comments

Man Propose, Allah Dispose


Oleh: Lizsa Anggraeny
22 Peb 2006 14:12 WIB
"Siapapun berhak kecewa manakala keinginan dan cita-citanya tidak tercapai. Perasaan kecewa adalah
bagian dari gharizatul baqa" (naluri mempertahankan diri) yang Allah ciptakan pada manusia."

Tulisan di atas tanpa sengaja saya temukan dalam salah satu artikel media elektronik. Saya yang akhir-
akhir ini memang tengah dilanda kecewa, merasa sedikit terhibur dengan membaca kalimat tersebut.
Ternyata rasa kecewa pun adalah bagian dari sifat manusia, yang merupakan selingan antara rasa gembira
dan rasa senang yang telah Allah karuniakan.

***

Beberapa hari yang lalu, saya sedang merasa tidak betah dengan kondisi tempat kerja. Tepatnya, di sana
saya sedang merasakan kekecewaan terhadap penolakan-penolakan atas ide pribadi yang secara emosional
mempengaruh semangat kerja. Jangankan untuk masuk kerja, melihat bangunannya saja rasanya saya
ingin berlari jauh untuk menghindar.

Saya sempat berbeda pendapat dengan seseorang yang ditunjuk sebagai team leader dan beberapa rekan
kerja, tentang suatu cara bagaimana memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Saya yang merasa
memilki dalil pemecahan masalah yang jitu, dengan penuh percaya diri mengungkapkan ide-ide yang ada.
Ternyata tak disangka, ide-ide tersebut dianggap kurang cocok atau tepatnya ditolak oleh team leader
tersebut - yang tentu saja mendapat dukungan dari rekan lainya.

Dari situ saya merasa kecewa berat. Saya menjadi tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya, malas
bekerja dan mulai berpikir negatif. "Buat apa mengeluarkan ide kalau toh pada akhirnya pasti pendapat
tersebut akan ditolak." Tentu saja hal ini membuat suasana antara saya dan teman-teman kerja menjadi
dingin serta kaku dengan adanya jarak yang saya berikan.

Di waktu yang bersamaan, tiba-tiba saya mendapat surat dari salah seorang sahabat yang berisi curhat
tentang rasa kecewa. Di akhir tulisan, ia meminta saya untuk membantunya mencari jalan mengatasi rasa
kecewa. Saya yang tadinya hanya bisa tersenyum-senyum membaca surat tersebut, tiba-tiba harus putar
otak untuk membalas surat tersebut yang nantinya `wajib` membahas tentang kecewa dan
penanggulangannya.

Setelah merenung beberapa lama, akhirnya saya berkesimpulan seperti ini: Kecewa adalah salah satu
bentuk dari emosi jiwa manusia. Sesuatu yang muncul dirasakan jika harapan tidak berjalan sesuai
kenyataan. Adanya over self confident tanpa dibentengi kata `siap gagal` merupakan salah satu penyebab
kekecewaan hadir.

Sebetulnya perasaan kecewa tidak selamanya pertanda negatif. Ia akan mendatangkan hikmah jika
dikelola dengan baik. Salah satunya adalah meningkatkan kepekaan kita akan kematangan emosi.
Ambilah sikap bahwa kecewa adalah awal dari sesuatu bukan akhir dari segalanya. Awal untuk lebih
mengenal diri sendiri dan memahami ekspetasi-ekspetasi orang lain. Ternyata sikap inilah yang selama ini
tidak konsisten saya jalankan yaitu berusaha memahami ekspetasi atau harapan orang lain. Saya
cenderung berpikir tentang `keinginan saya` yang tentunya bukan merupakan komitmen bersama.

Saya mendapat kesimpulan bahwa bersiap diri untuk menjadi senang dan sekaligus siap gagal merupakan
salah satu cara mengatasi kekecewaan yang akan terjadi. Dengan siap gagal, saat kecewa karena mendapat
penolakan ataupun harapan yang tidak terkabul, akan muncul keikhlasan disertai hati yang lapang. Saat
mendapatkan kegembiraan tidak disalurkan dengan sikap meledak-ledak. Selain itu, membuat catatan
tentang beberapa kesuksesan dan kebahagiaan yang telah diraih, merupakan salah satu cara mengurangi
kekecewaan yang sedang dialami.

Bersyukur saat kecewa merupakan sikap mengakui bahwa kita adalah manusia seutuhnya yang tidak
terlepas dari qadha Allah swt. Di atas semuanya, yang tidak boleh kita lupakan adalah man propose, Allah
dispose.

Sepenggal catatan, aishliz et yahoo.com.sg


- FLP Jepang -

posted by sugeng priyono @ 7:32 AM 0 comments

Thursday, February 16, 2006

Dicintai Anak Yatim


Oleh: Bayu Gawtama
23 Peb 2006 08:47 WIB

"Kalau Ibu sudah nggak ada, tetap santuni anak yatim ya." Kalimat tersebut terucap belasan tahun lalu dari
bibir tipis nan berkerut nenek saya kepada ibu. Wajar bila nenek berpesan demikian, sebab terhitung sejak
tahun 1970an bersama sang suami ia rajin menyantuni anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Setidaknya,
setiap tahun di bulan Muharam acara santunan anak yatim digelar di rumahnya.

Ketika kakek meninggal tahun 1984, ratusan pasang mata anak yatim menangis. Saya yakin mereka
mencintai kakek dan khawatir kehilangan orang yang selama ini menyantuninya. Ternyata kekhawatiran
mereka tak berlangsung lama, karena nenek berjanji untuk tetap melanjutkan tradisi keluarga itu.
Sayangnya, sejak seluruh keluarga nenek pindah dari Jakarta ke Tangerang, entah siapa yang melanjutkan
menyantuni anak-anak yatim di Jakarta itu. Nenek tetap menyantuni anak yatim, tentu anak-anak yatim di
Tangerang, di sekitar rumahnya.

Puluhan pasang mata anak yatim pun menangis sedih saat nenek meninggal di tahun 1998. Sebelumnya,
nenek berpesan kepada semua anak-anaknya agar tetap menyantuni anak yatim. “Jika kita tak punya uang,
ajak orang lain untuk menyantuni anak yatim. Dicintai anak yatim itu salah satu kunci pintu surga,” salah
satu pesan terakhirnya. Tentu saja, tak satupun anak-anak nenek berani mengabaikan pesan tersebut. Dan
hingga kini, tradisi ini masih terus berlangsung meski kami sering tak tahu harus mendapat bantuan dari
mana untuk menyantuni anak-anak yatim, janda tua dan kaum dhuafa di sekitar rumah.

Tahun lalu, menjelang bulan Muharram tiba, biasanya ibu mulai direpotkan dengan meminta anak-
anaknya membuat proposal permohonan bantuan. Semakin dekat bulan Muharram ibu semakin panik,
terlebih jika belum satu pun permohonan mendapat jawaban. Saya tahu persis kekhawatiran ibu, ia tak
ingin malu kepada anak-anak yatim dan janda tua itu jika mereka datang ke rumah dan tak mendapatkan
apa pun. Karena tanpa diundang pun, mereka sudah tahu jadwal pemberian santunan itu, yakni tepat
tanggal 10 Muharram setiap tahunnya. “Ibu tak ingin membuat mereka kecewa. Biar sedikit yang penting
tetap ada,” harapnya.
Muharram tahun ini sudah tiba. Seperti biasa, ibu pun tetap sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Memang tidak pernah ada seremoni dan adegan foto pemberian santunan. Anak-anak yatim itu hanya
datang untuk mengambil “haknya”, sudah itu pulang. Namun ibu masih terlihat resah, belum banyak
bantuan yang didapatnya untuk membeli sembako dan sedikit untuk mengisi amplop kosong. Semua anak-
anak ibu sudah membantu, bahkan membawa proposal permohonan bantuan itu ke kantor masing-masing.

Dalam keresahannya itu, ibu berujar, “Cuma satu keinginan ibu, yakni dicintai anak-anak yatim. Ibu ingin
saat meninggal nanti ada anak-anak yatim yang menangis. Itu berarti mereka mencintai ibu”. Dan sambil
menghitung dana yang ada ia pun berpesan persis seperti dulu nenek berpesan kepadanya, “Jangan putus
amal keluarga, tetap santuni anak yatim”.

Saya bisa menangkap kekhawatiran ibu dalam dua hal. Pertama, ibu khawatir tahun ini tidak banyak
bantuan yang didapat, sehingga tidak banyak pula yang bisa diberikan kepada anak-anak yatim. Kedua,
nampaknya ibu pun khawatir anak-anaknya tak melanjutkan tradisi ini. Ah ibu, doakan anakmu ini
diberikan rezeki yang cukup, agar ada yang terbagi untuk mereka. Tentu saya juga punya keinginan yang
sama, mendapatkan salah satu kunci surga karena dicintai anak yatim.***

Anda mungkin juga menyukai