Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan abad 21 sedang digencarkan di semua belahan dunia. Fenomena

ini terjadi karena tuntutan yang diberikan kepada pendidikan sudah berubah. Abad

ke-21 ditandai sebagai abad keterbukaan atau abad globalisasi, artinya kehidupan

manusia pada abad ke-21 mengalami perubahan-perubahan yang fundamental.

Dikatakan abad ke-21 adalah abad yang meminta kualitas dalam segala usaha dan

hasil kerja manusia. Abad ke-21 meminta sumber daya manusia yang berkualitas.

Tuntutan-tuntutan yang serba baru tersebut meminta berbagai terobosan dalam

berfikir, penyusunan konsep, dan tindakan-tindakan. Dengan kata lain diperlukan

suatu paradigma baru dalam menghadapi tantangan-tantangan yang baru ( Daryanto

dan Karim: 2016).

Menurut Zubaidah (2016), apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi

dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha akan menemui

kegagalan. Tantangan yang baru menuntut proses terobosan pemikiran

(breakthrough thinking process) apabila yang diinginkan adalah output yang bermutu

yang dapat bersaing dengan hasil karya dalam dunia yang serba terbuka. Abad ke 21

ini, pendidikan menjadi semakin penting untuk menjamin peserta didik memiliki

keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media

informasi, serta dapat bekerja, dan bertahan dengan menggunakan keterampilan

untuk hidup (life skills). Abad 21 juga ditandai dengan banyaknya :

(1) informasi yang tersedia dimana saja dan dapat diakses kapan saja;

(2) komputasi yang semakin cepat;

(3) otomasi yang menggantikan pekerjaan-pekerjaan rutin; dan

1
(4) komunikasi yang dapat dilakukan dari mana saja dan kemana saja (Litbang

Kemdikbud, 2013).

Pendidikan dalam prosesnya bukanlah suatu hal yang mudah apalagi dalam

menghadapi abad 21. Peran guru menghadapi era ini sangat penting untuk

menghasilkan peserta didik yang bermutu. Pendidik merupakan faktor paling penting

dalam pelaksanaan pembelajaran. Oleh sebab itulah, para siswa harus dipersiapkan

dengan empat konsep keterampilan abad 21 yang dikenal dengan 4 C, yakni berpikir

kritis, kreatif, komunikasi dan kolaborasi. Tanpa mengabaikan berbagai kompetensi

lainnya, keempat kompetensi ini menjadi fokus yang jauh lebih kuat untuk tugas guru

di abad ke-21 ini. Pencapaian keterampilan abad ke-21 tersebut dilakukan dengan

memperbarui kualitas pembelajaran, membantu siswa mengembangkan partisipasi,

menyesuaikan personalisasi belajar, menekankan pada pembelajaran berbasis

proyek/masalah, mendorong kerjasama dan komunikasi, meningkatkan keterlibatan

dan motivasi siswa, membudayakan kreativitas dan inovasi dalam belajar,

menggunakan sarana belajar yang tepat, mendesain aktivitas belajar yang relevan

dengan dunia nyata, memberdayakan metakognisi, dan mengembangkan

pembelajaran student-centered (Zubaidah, 2016).

Kolaborasi merupakan bagian dari keterampilan 4 C, dapat dikembangkan melalui

pengalaman yang ada di dalam sekolah, antar sekolah, dan di luar sekolah Siswa

dapat bekerja bersama-sama secara kolaboratif pada tugas berbasis proyek yang

autentik dan mengembangkan keterampilannya melalui pembelajaran tutor sebaya

dalam kelompok. Keterampilan berkolaborasi di dunia kerja di masa depan, harus

diterapkan ketika menghadapi rekan kerja yang berada pada lokasi yang saling

berjauhan ( Daryanto dan Karim: 2016).

2
Menurut Munandar H (2016), dalam observasinya di SMA Negeri 1 Banda

Aceh, pembelajaran kimia lebih berpusat pada guru yaitu menerangkan, memberi

contoh, memberi latihan, memberi tugas sehingga mengakibatkan kebosanan dari

siswa dan proses pembelajaran terkesan monoton selanjutnya berdampak semangat

atau keaktifan siswa menurun.

Hal ini didukung oleh Jufri, W (2017: 113) yang menyatakan bahwa guru

pelajaran sains termasuk mata pelajaran kimia masih banyak yang membelajarkan

sains hanya dengan metode ceramah dan tugas-tugas membaca sebagai pola

pembelajaran pokok. Kalaupun ada kegiatan praktek, kegiatannya hanya berfokus

pada pengembangan kemampuan praktis dan menguji kebenaran teori-teori

terdahulu. Pengalaman dan kegiatan belajar kurang diarahkan pada bagaimana cara

mengkontruksi ide-ide atau gagasan ilmiah yang baru.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ariesta, N dkk (2013) dari hasil

wawancaranya dengan guru di SMA N 1 Karanganyar dimana gurunya masih

menggunakan metode ceramah dan hanya sesekali menggunakan metode

pembelajaran lain dalam menyampaikan materi pelajaran kimia. Guru masih belum

mengajak siswanya untuk aktif, siswa belum diajak untuk berdiskusi dan diajak untuk

menemukan konsep. Sehingga disini, guru bertindak sebagai sumber utama belajar

Menurut Jufri, W (2017), keberhasilan pembelajaran tercapai apabila materi

ajar dapat dipahami dengan baik sesuai dengan tujuan pembelajaran yang

diharapkan, siswa aktif dalam proses pembelajaran dan guru berperan sebagai

fasilitator, motivator, dinamisator serta mampu memanfaatkan teknologi digital maka

guru kimia profesional harus memfasilitasi proses pembelajaran sesuai dengan

pembelajaran abad 21 yang mengembangkan keterampilan 4 C.

3
Proses belajar mengajar, guru selalu mengacu pada standar kompetensi dan

kompetensi dasar yang tertuang dalam silabus. Hal ini perlu ditekankan bahwa yang

lebih penting adalah penguasaan kompetensi siswa, bukan hanya ketuntasan guru

dalam menyampaikan materi ajar, tetapi juga guru berupaya agar siswa menguasai

kompetensi yang telah ditentukan dan bagaimana guru menciptakan iklim

pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.

Salah satu usaha guru kimia dalam implementasi keterampilan 4C untuk

meningkatkan prestasi belajar siswa, yakni dengan menerapkan keterampilan

kolaborasi pada siswa dalam proses pembelajaran kimia. Keterampilan kolaborasi

dalam pembelajaran kimia adalah kegiatan yang diajarkan agar peserta didik

menunjukkan kemampuannya dalam kerjasama berkelompok. Kolaborasi adalah kata

sifat yang menyiratkan bekerja dalam kelompok yang terdiri dua atau lebih siswa untuk

mencapai tujuan bersama, dan menghormati kontribusi masing-masing individu untuk

utuh.

Untuk menerapkan keterampilan kolaborasi maka guru dapat menggunakan

banyak metode mengajar yang dipakai oleh guru, namun tidak ada metode

pembelajaran yang satu lebih baik daripada metode pembelajaran yang lain. Masing-

masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kekurangan suatu metode

dapat ditutupi oleh metode mengajar yang lain, sehingga guru dapat menggunakan

beberapa metode mengajar dalam melakukan proses belajar mengajar (Permana,

2012: 1). Namun, untuk pemilihan suatu metode mengajar perlu memperhatikan

karakteristik materi yang disampaikan, tujuan pembelajaran, waktu yang tersedia, dan

banyaknya siswa serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses belajar mengajar.

Menurut Afriono, D (2013) menyatakan bahwa pentingnya memiliki

keterampilan kerjasama, sejalan dengan pernyataan Johnson, Johnson & Holubec

4
(1998) bahwa sama seperti seorang pendidik harus mengajarkan keterampilan

akademis, keterampilan kolaborasi juga harus diberikan kepada peserta didik, karena

tindakan ini akan bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan kerja kelompok, dan

menentukan bagi keberhasilan hubungan sosial di masyarakat. Bordessa (2005) juga

menyatakan pentingnya seseorang peserta didik memiliki keterampilan kerjasama,

dengan mengatakan bahwa peserta didik benar-benar harus belajar untuk

bekerjasama menuju satu tujuan, yakni adanya pemahaman bahwa tidak ada satu

orangpun yang memiliki semua jawaban yang tepat, kecuali dengan bekerjasama

(Afriono, D :2013)

Merujuk pada Kemdikbud (2017), kemampuan berkolaborasi dalam

pembelajaran meliputi :

(a). Memiliki kemampuan dalam kerjasama berkelompok

(b). Beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif

dengan yang lain.

(c). Memiliki empati dan menghormati perspektif berbeda

(d).Mampu berkompromi dengan anggota yang lain dalam kelompok demi tercapainya

tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis mengangkat judul “Keterampilan

Kolaborasi Pembelajaran Kimia Menuju Literasi Sains Pada Abad 21 “

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembelajaran Abad 21

Tuntutan dunia internasional terhadap tugas guru memasuki abad 21 tidaklah

ringan. Guru diharapkan mampu dan dapat menyelenggarakan proses pembelajaran

yang bertumpu dan melaksanakan empat pilar belajar yang dianjurkan oleh UNESCO

untuk pendidikan yaitu Learning to know, Learning to do, Learning to how dan

Learning to be live together. Keempat pilar tersebut menuntut seorang guru untuk

kreatif, bekerja scara tekun dan harus mampu dan mau meningkatkan

kemampuannnya (c).

Menurut Jufri. W (2017) kemampuan guru untuk menerapkan empat pilar

pendidikan berarti bahwa proses pembelajaran memungkin peserta didik untuk

menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan

pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan berinteraksi secara aktif

sesama peserta didik sehingga dapat mngembangkan potensi diri dan menemukan

jati dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan

difasilitasi oleh guru profesional.

Menurut susanto (2010) dalam Sudirman dan Bokingo, A.H. (2016) terdapat 7

tantangan guru di abad ke 21.yaitu :

1) Teaching of multicultural society, artinya guru mengajar ditengah-tengah

masyarakat yang memiliki keragaman budaya dengan kompetensi berbagai

macam bahasa.

2) Teacing for constuction of meaning, artinya guru mengajar dengan

mengkonstruk makna atau konsep.

3) Teaching of active learning, artinya mengajar untuk pembelajaran aktif.


6
4) Teaching and technologi, artinya guru mengajar dengan berbasis teknologi.

5) Teaching with new view abaut abilities, artinya guru mengajar dengan

pandangan baru dengan kemampuan.

6) Teaching in choice, artinya guru mengajar dan pilihan.

7) Teaching and accounitability, artinya guru mengajar dan akuntabilitas

Tiga konsep pendidikan abad 21 telah diadaptasi oleh kementerian pendidikan

dan kebudayaan RI untuk mengembangkan kurikulum. Ketiga konsep tersebut

adalah 21st Century; Skills, scientific approach, dan authentic assesment (BSNP,

44:2004). Ketiga konsep tersebut dirangkum dalam sebuah skema yang disebut

pelangi keterampilan pengetahuan abad 21 atau disebut “21 st century knowledge-

skills rainbow” (Triling dan Fadel, 2009 ). Keterampilan pengetahuan abad 21 meliputi

:(1) life and career skills, (2) learning and innovation skills, dan (3)Information media

and technology skills. ( (Daryanto dan Karim S. 2017).

Gambar 1 : Pelangi keterampilan pengetahuan abad 21 ” 21 st century knowledge-skills


rainbow” (Triling dan Fadel, 2009 )

7
Berdasarkan “21st Century Partnership Learning Framework”, terdapat

beberapa kompetensi keahlian yang harus dimiliki oleh Sumber Daya Manusia di abad

21, antara lain:

1. Keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical-Thinking and

Problem-Solving Skills)– mampu berfikir secara kritis, lateral, dan sistemik,

terutama dalam konteks pemecahan masalah

2. Kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama (Communication and

Collaboration Skills) yaitu mampu berkomunikasi dan berkolaborasi secara

efektif dengan berbagai pihak

3. Kemampuan mencipta dan membaharui (Creativity and Innovation Skills) yaitu

mampu mengembangkan kreativitas yang dimilikinya untuk menghasilkan

berbagai terobosan yang inovatif

4. Literasi teknologi informasi dan komunikasi (Information and ommunications

Technology Literacy) yaitu mampu memanfaatkan teknologi informasi dan

komunikasi untuk meningkatkan kinerja dan aktivitassehari-hari

5. Kemampuan belajar kontekstual (Contextual Learning Skills) yaitu mampu

menjalani aktivitas pembelajaran mandiri yang kontekstual sebagai bagian dari

pengembangan pribadi

6. Kemampuan informasi dan literasi media (Information and Media Literacy Skills)

yaitu mampu memahami dan menggunakan berbagai media komunikasi untuk

menyampaikan beragam gagasan dan melaksanakan aktivitas kolaborasi serta

interaksi dengan beragam pihak.

8
Mengutip dari Daryanto dan Karim (2016), BNSP merumuskan 16 prinsip

pembelajaran yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan abad 21, sedangkan

Permendikbud No.65 Tahun 2013 mengemukakan 14 prinsip pembelajaran terkait

implementasi kurikulum 2013.

Jennnifer Nichols menyederhanakan dalam 4 prinsip pembelajaran yaitu :

1) Instruction should be student-centered (Pembelajaran Berpusat pada Siswa)

2) Education should be collaborative ( Pendidikan harus Berkolaborasi )

3) Learning should have context (Pembelajaran harus konstekstual)

4) Schools should be integrated with society (Sekolah terlibat dalam lingkungan

sosialnya)

Keempat Prinsip pembelajaran abad 21 yang digagaskan Jennnifer Nichols

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Instruction should be student centered (Pembelajaran Berpusat pada Siswa)

Pengembangan pembelajaran seyogyanya menggunakan pendekatan

pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa ditempatkan sebagai subyek

pembelajaran yang secara aktif mengembangkan minat dan potensi yang dimilikinya.

Siswa tidak lagi dituntut untuk mendengarkan dan menghafal materi pelajaran yang

diberikan, tetapi berupaya mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, sesuai

dengan kapasitas dan tingkat perkembangan berfikirnya, sambil diajak berkontribusi

untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terjadi di masyarakat.

Disini guru berperan sebagai fasilitator yang berupaya untuk mengaitkan

pengetahuan awal yang telah dimiliki peserta didik dengan informasi baru yang telah

dipelajarinya. Sealain itu guru berperan sebagai pembimbing, yang berupaya

membantu peserta didik ketika menemukan kesulitan dalam proses

mengkontruksikan pengetahuan dan keterampilannya.

9
2. Education should be collaborative ( Pendidikan harus Berkolaborasi)

Siswa harus dibelajarkan untuk bisa berkolaborasi dengan orang lain.

Berkolaborasi dengan orang-orang yang berbeda dalam latar budaya dan nilai-nilai

yang dianutnya. Dalam menggali informasi dan membangun makna, siswa perlu

didorong untuk bisa berkolaborasi dengan teman-teman di kelasnya. Dalam

mengerjakan suatu proyek, siswa perlu dibelajarkan bagaimana menghargai kekuatan

dan talenta setiap orang serta bagaimana mengambil peran dan menyesuaikan diri

secara tepat dengan mereka.

3. Learning should have context (Pembelajaran harus konstekstual)

Pembelajaran tidak akan banyak berarti jika tidak memberi dampak terhadap

kehidupan nyata sehari-hari siswa. Oleh karena itu, materi pelajaran perlu dikaitkan

dengan kehidupan sehari-hari siswa. Metode pembelajaran yang dikembangkan

memungkinkan siswa terhubung dengan dunia nyata (real word).

4. Schools should be integrated with society (Sekolah terlibat dalam

lingkungan sosialnya)

Upaya mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab,

seyogyanya siswa difasilitasi untuk terlibat dalam lingkungan sosialnya. Misalnya,

mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat, dimana siswa dapat belajar

mengambil peran dan melakukan aktivitas tertentu dalam lingkungan sosial. Siswa

dapat dilibatkan dalam berbagai pengembangan program yang ada di masyarakat,

seperti: program kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan sebagainya. Selain

itu, siswa perlu diajak pula mengunjungi panti-panti asuhan untuk melatih kepekaan

empati dan kepedulian sosialnya.

10
Sejalan dengan karateristik pembelajaran dalam Kurikulum 2013 seperti yang

tertuang dalam Permendikbud Nomor 103 Tahun 2015, maka karakteristik

pembelajaran Abad 21 dapat dijabarkan antara lain sebagai berikut.

1. Berpusat pada peserta didik; guru harus lebih banyak mendengarkan siswanya

saling berinteraksi, berargumen, berdebat, dan berkolaborasi. Fungsi guru dari

pengajar berubah dengan sendirinya menjadi fasilitator bagi peserta didik.

2. Mekanisme pembelajaran harus terdapat interaksi multi-arah yang cukup dalam

berbagai bentuk komunikasi serta menggunakan berbagai sumber belajar yang

kontekstual sesaui dengan materi pembelajaran. Guru harus berusaha

menciptakan pembelajaran melalui berbagai pendekatan atau metode atau model

pembelajaran, termasuk penggunaan TIK.

3. Peserta didik disarankan untuk lebih lebih aktif dengan cara memberikan berbagai

pertanyaan dan melakukan penyelidikan, serta menuangkan ide-ide, baik lisan,

tulisan, dan perbuatan.

4. Kegiatan pembelajaran yang dikembangkan harus dapat memfasilitasi peserta

didik untuk dapat bekerjasama antar sesamanya (kolaboratif dan kooperatif).

5. Semua kompetensi (KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4) harus dibelajarkan secara

terintegrasi dalam suatu mata pelajaran, sehingga peserta didik memiliki

kompetensi yang utuh.

6. Pembelajaran harus memperhatikan karakteristik tiap individu dengan

keuinikannya masing-masing, sehingga dalam perencana pembelajaran harus

sudah diprogramkan pelayanan untuk peserta didik dengan karakteristik masing-

masing (normal, remedial, dan pengayaan).

7. Guru harus dapat memotivasi peserta didik untuk memahami interkoneksi antar

konsep, baik dalam mata pelajarannya dan antar mata pelajaran, serta aplikasinya

11
dalam dunia nyata.

8. Sesuai dengan keterampilan pendidikan Abad 21 yaitu 4C, maka pembelajaran

yang dikembangkan harus dapat mendorong peserta didik untuk

mengembangkan kemampuan berpikir lebih tinggi.

Tujuan utama dari pembelajaran abad ke-21 adalah membangun kemampuan

belajar individu dan mendukung perkembangan mereka menjadi pembelajar

sepanjang hayat, aktif, pembelajar yang mandiri; oleh karena itu guru perlu menjadi

'pelatih pembelajaran' – sebuah peran yang sangat berbeda dari guru kelas

tradisional. Guru sebagai pelatih pembelajaran akan memberikan bimbingan untuk

membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan dan menawarkan berbagai

dukungan yang akan membantu siswa mencapai tujuan belajar mereka. Guru sebagai

pelatih pembelajaran akan mendorong siswa untuk berinteraksi dengan pengetahuan

untuk memahami, mengkritisi, memanipulasi, mendesain, membuat dan

mengubahnya (Zubaidah, 2016)

2.2 Pembelajaran Kimia Abad 21

Pelajaran Sains dalam hal ini mata pelajaran kimia merupakan salah satu rumpun

mata pelajaran IPA di jenjang tingkat atas (SMA dan SMK) yang mana mempunyai

hubungan yang erat dalam proses kehidupan manusia sehari-hari. sehingga

diharapkan dalam proses pembelajaran kimia di sekolah haruslah relevan dengan

kehidupan sehari-hari, untuk itu diperlukan guru yang siap menghadapi tantangan

tersebut.

Kemendikbud (2017) merumuskan bahwa salah satu tujuan mata pelajaran kimia

adalah memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya

dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan

teknologi. Oleh karena itu pembelajaran kimia menekankan pada pemberian

12
pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan

keterampilan proses dan sikap ilmiah (Depdiknas: 2006).

Menurut Chin, C & Chia, L, (2004) dalam Haryani S. dkk (2011), pembelajaran

kimia di SMA yang berlangsung selama ini, dimulai dengan penjelasan dari guru suatu

konsep tertentu, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab dengan sesekali praktikum

dan latihan. Pada kegiatan latihan, guru menugaskan siswa mengerjakan soal-soal

yang berada di bagian akhir dari suatu bab tertentu. Soal-soal ini sangat abstrak dan

tidak berkaitan dengan kehidupan nyata siswa, misalnya untuk materi stoikiometri

soal-soal yang diberikan di sesuaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh beberapa banyak energi yang dihasilkan dari suatu proses kimia

berdasarkan perhitungan stoikiometri dapat ditentukan. Penyelesaian soal-soal

utamanya soal yang terkait dengan hitungan seperti stoikiometri, derajat keasaman,

dan termokimia selalu menjadi target bagi guru agar siswanya terampil

menyelesaikan soal. Hal yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas adalah guru

memberikan berbagai contoh soal dan memberikan soal latihan sebanyak mungkin.

Hasil belajar yang diperoleh melalui pembelajaran ini hanya berupa peningkatan

pengetahuan, tidak sesuai karakteristik ilmu kimia sebagai proses dan produk.

Pembelajaran juga kurang menekankan pada pemberian pengalaman belajar

secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan

sikap ilmiah. Untuk memenuhi harapan tersebut, jelas bahwa pendekatan

pembelajaran yang dilakukan selama ini harus diubah agar siswa mempunyai

kesempatan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusaan terhadap isu-isu

yang berhubungan dengan sains (Gallagher, dkk., 1995) dalam Haryani S. dkk (2011).

13
Perubahan paradigma pembelajaran yang perlu dilakukan bukan menyangkut

perubahan konten kurikulum, tetapi menyangkut perubahan pedagogi. Siswa perlu

diberikan pengalaman belajar autentik dan keterampilan memecahkan masalah.

2.3. Karakteristik Guru Abad 21

Terdapat ungkapan bahwa, buku bisa digantikan dengan teknologi, tetapi

peran guru tidak bisa digantikan, bahkan harus diperkuat. Pada era sekarang, abad

21, guru harus mampu memanfaatkan teknologi digital untuk mendesain

pembelajaran yang kreatif. Oleh karena itu karakteristik guru dalam abad 21 dalam

Daryanto dan Karim S. 2017) antara lain:

1. Guru disamping sebagai fasilitator, juga harus menjadi motivator dan inspirator

Kemampuan guru dalam posisi sebagai fasilitator, ini berarti harus mengubah

cara berpikir bahwa guru adalah pusat (teacher center) menjadi siswa adalah

pusat (student center) sebagaimana dituntut dalam kurikulum 13. Ini berarti

guru perlu memposisikan diri sebagai mitra belajar bagi siswa, sehingga guru

bukan serba tahu karena sumber belajar dalam era digital sudah banyak dan

tersebar, serta mudah diakses oleh siswa melalui jaringan internet yang

terkoneksi pada gawai. Ini memang tidak mudah, karena berkait dengan

transformasi kultural baik yang masih berkembang dalam guru maupun siswa

itu sendiri, dan bahkan masyarakat.

2. Salah satu prasyarat paling penting agar guru mampu mentrasformasikan diri

dalam era pedagogi siber atau era digital, adalah tingginya minat baca. Tanpa

minat baca tinggi, maka guru pada era pedagogi siber sekarang ini akan

ketinggalan dengan pengetahuan siswanya, sehingga akan menurunkan

kredibilitas atau kewibawaan guru. Hilangnya kewibawaan guru akan

14
berdampak serius bukan saja pada menurunya kualitas pembelajaran, tetapi

juga bagi kemajuan sebuah bangsa.

3. Guru pada abad 21 harus memiliki kemampuan untuk menulis.

4. Guru abad 21 harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan metode belajar

atau mencari pemecahan masalah-masalah belajar, sehingga meningkatkan

kualitas pembelajaran berbasis TIK.

5. Harus mampu melakukan transformasi kultural

2.4 Keterampilan Kolaborasi

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang terus berusaha meningkatkan

keterbatasan dirinya, keterbatasan pikirannya dan keterbatasan tradisi yang

mengikatnya, dengan menolaknya sebagai suatu fakta dan sebagai satu kenyataan

Oleh karena itu manusia akan selalu melakukan interaksi dan kerjasama dengan

orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya. Lebih-lebih dalam era

globalisasi seperti saat ini, ada kecenderungan ketergantungan antar manusia dalam

segala hal.

Keterampilan kolaborasi dengan orang lain sangat dibutuhkan, dan merupakan

suatu aspek sosial yang harus dimiliki oleh setiap orang dalam kehidupannya (

Sumaatmadja, 2000). Keterampilan kolaborasi merupakan suatu hal yang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat dalam kehidupan dewasa ini, karena hampir semua

perilaku yang ada di masyarakat menunjukkan adanya kerjasama dari semua lapisan

masyarakat, tanpa memandang perbedaan suku, agama, ras, laki-laki dan

perempuan, serta golongan ( Apriono, D : 2013)

Menurut Ted Panitz (1996), istilah kolaborasi menunjuk pada filsafat interaksi dan

gaya hidup personal sedangkan John Myers (1991) menyatakan kata kolaborasi

berasal dari bahasa Latin dengan memfokuskan pada proses (Lasidos, P. A dan

15
Matondang. Z, 2015). Bordessa (2005) menyatakan pentingnya seseorang peserta

didik memiliki keterampilan kolaborasi, dengan mengatakan bahwa peserta didik

benar-benar harus belajar untuk bekerjasama menuju satu tujuan, yakni adanya

pemahaman bahwa tidak ada satu orangpun yang memiliki semua jawaban yang

tepat, kecuali dengan bekerjasama (Afriono, D :2013).

Pentingnya memiliki keterampilan kolaborasi dalam kehidupan manusia, sejalan

dengan pernyataan Johnson, Johnson & Holubec (1998), yang menyatakan bahwa

sama seperti seorang pendidik harus mengajarkan keterampilan akademis,

keterampilan kerjasama juga harus diberikan kepada peserta didik, karena tindakan

ini akan bermanfaat bagi mereka untuk meningkatkan kerja kelompok, dan

menentukan bagi keberhasilan hubungan sosial di masyarakat.

Bordessa (2005) juga menyatakan pentingnya seseorang peserta didik memiliki

keterampilan kerjasama, dengan mengatakan bahwa peserta didik benar-benar harus

belajar untuk bekerjasama menuju satu tujuan, yakni adanya pemahaman bahwa

tidak ada satu orangpun yang memiliki semua jawaban yang tepat, kecuali dengan

bekerjasama (Afriono,D :2013).

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, keterampilan kolaborasi

merupakan aspek kepribadian yang penting, dan perlu dimiliki oleh setiap orang. Oleh

karena itu keterampilan kolaborasi khususnya dalam pembelajaran perlu

mendapatkan perhatian khususnya dari pendidik untuk diberikan kepada peserta

didik, agar menjadi suatu kebiasaan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

Merujuk pada Kemdikbud (2017), keterampilan berkolaborasi dalam

pembelajaran adalah:

16
(a). Memiliki kemampuan dalam kerjasama berkelompok

(b). Beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif

dengan yang lain.

(c). Memiliki empati dan menghormati perspektif berbeda

(d).Mampu berkompromi dengan anggota yang lain dalam kelompok demi tercapainya

tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Zubaidah (2016) kolaborasi adalah trend pembelajaran abad ke-21

yang menggeser pembelajaran berpusat pada guru menjadi yang berpusat pada

siswa. Pengertian kolaborasi yang diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa

pengertian kolaborasi dalam pembelajaran adalah suatu strategi pembelajaran di

mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil

ke arah satu tujuan. Dalam kelompok ini para siswa saling membantu antara satu

dengan yang lain. Keterampilan kolaborasi harus diimplementasikan oleh guru dalam

proses pembelajaran sesuai pembelajaran abad 21. Kolaborasi dalam pembelajaran

dikenal dengan pembelajaran kolaboratif.

2.5 Pembelajaran Kolaboratif

Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep

belajar. Seseorang harus memiliki pasangan untuk dapat belajar kolaborasi. Dengan

demikian keterampilan bekerjasama dengan orang lain sangat dibutuhkan (Afriono,

D:2013). Menurut Deutch (Feng Chun, 2006), pembelajaran kolaboratif adalah

pembelajaran yang menggunakan kelompok-kelompok kecil siswa yang bekerja

sama untuk memaksimalkan hasil belajar mereka.

Lebih khusus, Gokhale (1995) mendefinisikan pembelajaran kolaboratif

sebagai pembelajaran yang menempatkan siswa dengan latar belakang dan

kemampuan yang beragam bekerja bersama dalam suatu kelompok kecil untuk

17
mencapai tujuan akademik bersama. Setiap siswa dalam suatu kelompok

bertanggung jawab terhadap sesama anggota kelompok. Dalam pembelajaran

kolaboratif, siswa berbagi peran, tugas, dan tanggung jawab guna mencapai

kesuksesan bersama (Afriono, D:2013).

Elizabert dkk, 2012:8) dalam Suryani N (2016) menyatakan bahwa

Pembelajaran kolaboratif adalah sebuah pedagogi yang pusatnya terletak dalam

asumsi bahwa manusia selalu menciptakan makna bersama dan proses tersebut

selalu memperkaya dan memperluas wawasan mereka. Menurut Smith & MacGregor

(1992) dalam Afriono, D (2016).

Pembelajaran kolaboratif membangun kapasitas untuk mentoleransi atau

menyelesaikan perbedaan dan membangun pendapat dalam sebuah kelompok.

Menurut Afriono lagi ciri-ciri pembelajaran kolaboratif itu adalah

a. Melibatkan siswa dalam ajang pertukaran gagasan dan informasi.

b. Memungkinkan siswa mengeksplorasi gagasan dan mencobakan berbagai

pendekatan dalam pengerjaan tugas.

c. Menata ulang kurikulum serta menyesuaikan keadaan sekitar dan suasana kelas

untuk mendukung kerja kelompok.

d. Menyediakan cukup waktu, ruang, dan sumber untuk melaksanakan kegiatan-

kegiatan belajar bersama.

e. Menyediakan sebanyak mungkin proses belajar yang bertolak dari kegiatan

pemecahan masalah atau penyelesaian proyek.

2.6 Urgensi Pembelajaran Kolaboratif

Menurut Daryanto dan Karim S. (2017), sebagian pendidik telah menyadari

bahwa pembelajaran yang memandang peserta didik menjadi cerdas, kritis, dan

kreatif serta mampu bekerjasama memecahkan masalah yang berkaitan dengan

18
kehidupan mereka sehari-hari adalah merupakan hal penting, karena proses belajar

yang diperoleh peserta didik selama ini lebih banyak pada “belajar tentang” (learning

about thing) daripada “belajar bagaimana” (learning how to be).

Pembelajaran yang hanya berorientasi pada hasil belajar kognitif tingkat rendah,

tentu akan memberikan dampak yang kurang positif pada peserta didik, karena

peserta didik cenderung individualistis, kurang bertoleransi dan jauh dari nilai-nilai

kebersamaan. Mereka belajar semata-mata hanya mencari nilai yang bagus, dan

mementingkan diri sendiri. Hal yang seperti ini akan terbawa hingga dewasa, sehingga

akan mengalami kesulitan dalam bergaul dan bekerjasama dengan orang lain atau

masyarakat.Hasil belajar hendaknya lebih beorientasi pada aspek kognitif tingkat

tinggi (analisis, sintesis, dan evaluasi), aspek afektif, dan psikomotor.

Hal tersebut akan terkait dengan perilaku peserta didik setelah mereka berada

di tengah-tengah masyarakat, di mana mereka akan dihadapkan pada masalah-

masalah riil yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam ( Suryani N : 2016)

2.7 Langkah-langkah Pembelajaran Kolaboratif

Salah satu cara yang relevan bagi peserta didik untuk belajar menghadapi

tantangan hidup yang semakin kompleks adalah mengalami dan menghadapi

tantangan permasalahan tersebut dengan cara bekerjasama dalam kelompok. Hal

tersebut menurut (Panitz, 1996) disebut dengan collaborative learning, yakni suatu

metode dalam pembelajaran yang melibatkan beberapa peserta didik secara

bersama-sama tergabung dalam kelompok yang mengakui adanya perbedaan

kemampuan dan sumbangan pemikiran tiap-tiap individu.

Smith & MacGregor (1992) menyatakan, pembelajaran kolaboratif membangun

kapasitas untuk mentoleransi atau menyelesaikan perbedaan dan membangun

pendapat dalam sebuah kelompok. Model kolaboratif dapat digambarkan sebagai

19
berikut. Ketika terjadi kolaborasi, semua peserta didik aktif. Mereka saling

berkomunikasi secara alami. Dalam sebuah kelompok yang terdiri atas 4 sampai 6

anak, disana pendidik sudah membuat rancangan agar peserta didik yang satu

dengan yang lain bisa berkolaborasi. Dalam kelompok yang sudah ditentukan oleh

pendidik, fasilitas yang adapun diusahakan anak mampu berkolaborasi (Suryani N :

2016)

Menurut Zulhajjrisman,R (2017), langkah- langkah model pembelajaran kolaboratif

adalah sebagai berikut :

a. Para siswa dalam kelompok menetapkan tujuan belajar dan membagi tugas

sendiri-sendiri

b. Semua siswa dalam kelompok membaca, berdiskusi, dan menulis.

c. Kelompok kolaboratif bekerja secara bersinergi mengidentifikasi,

mendemonstrasikan, meneliti, menganalisis, dan memformulasikan jawaban-

jawaban tugas atau masalah yang ditemukan sendiri.

d. Setelah kelompok kolaboratif menyepakati hasil pemecahan masalah masing-

masing siswa menulis laporan sendiri-sendiri secara lengkap

2. 8. Indikator Pembelajaran Kolaboratif

Keterampilan kolaboratif memiliki beberapa indikator yaitu

a. Bekerja produktif dengan menggunakan waktu secara efisien dalam

menyelesaikan tugas dengan bekerja sama;

b. Sikap menghargai setiap anggota dalam berpendapat dan diskusi antar

anggota;

c. berkompromi sesama anggota secara fleksibel demi mencapai tujuan utama

menyelesaikan masalah;

20
d. Serta tanggung jawab bersama dan setiap anggota berkontribusi dengan

melakukan yang terbaik dan mengikuti apa yang ditugaskan (Anantyart, P dkk

: 2017)

2.9. Keunggulan Pembelajaran Kolaborasi

Ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh melalui pembelajaran

kolaborasi. Keunggulan-keunggulan pembelajaran kolaborasi tersebut menurut Hill &

Hill (1993) dalam Suryani N (2016), berkenaan dengan:

1) prestasi belajar lebih tinggi

2) pemahaman lebih mendalam

3) belajar lebih menyenangkan

4) mengembangkan keterampilan kepemimpinan

5) meningkatkan sikap positif

6) meningkatkan harga diri

7) belajar secara inklusif

8) merasa saling memiliki; dan

9) mengembangkan keterampilan masa depan

21
BAB III
PEMBAHASAN
KETERAMPILAN KOLABORASI PEMBELAJARAN KIMIA
MENUJU LITERASI SAINS PADA ABAD 21

Pada abad ke-21, siswa harus turut berperan dalam kegiatan pendidikan.

Peran aktif siswa membantu mereka mengembangkan kompetensi dalam kehidupan

dan bekerja bersama dalam masyarakat yang memiliki keanekaragaman budaya dan

organisasi. Mereka harus belajar bahwa mereka tidak akan selalu dihargai, tetapi

mereka harus mencari dan menggunakan bakat dan ide-ide mereka di antara

beragam siswa lainnya. Ini merupakan keterampilan penting yang harus dilatih dan

sering digunakan oleh siswa.

Hal ini juga akan membangun kesadaran dan pengetahuan tentang perbedaan

yang ada di antara individu dan masyarakat. Lingkungan sekolah harus menawarkan

kemungkinan untuk merancang kegiatan pembelajaran yang dapat memberikan

kesempatan bagi peserta didik untuk menghargai, bergaul dengan baik dan hidup

berdampingan secara damai di lingkungan dengan kebudayaan yang sangat beragam

dan ini merupakan keterampilan hidup abad ke-21 yang sangat dihargai.

Guru dituntut untuk merancang kegiatan belajar sesuai dengan kehidupan

nyata yang dapat mengembangkan pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai siswa

untuk saling bekerjasama, menghargai dan menghormati orang lain yang disebut

keterampilan kolaborasi abad 21. Keterampilan kolaborasi ini merupakan suatu

kecakapan yang diperlukan dalam proses interaksi antara guru dengan siswa, siswa

dengan siswa untuk mencapai tujuan bersama, dan setiap anggota kelompok

bertanggung jawab untuk mencapai tujuan

22
Saat ini telah terjadi perubahan paradigma dalam pembelajaran. Pembelajaran

tidak diartikan lagi sebagai proses transfer pengetahuan dari guru kepada siswa,

melainkan sebagai upaya guru untuk membantu siswa dengan menyediakan sarana

dan situasi yang mendukung agar siswa dapat mengkonstruksi konsep atau

pemahamannya. Tanggung jawab belajar terdapat pada diri siswa, sedangkan guru

bertanggung jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi,

dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat. Dalam hal ini, guru lebih

berfungsi sebagai fasilitator. Guru harus memberikan kesempatan lebih kepada siswa

untuk berdikusi dan mengemukakan pendapat atau pemahamannya.

3.1 Keterampilan Kolaborasi dalam pembelajaran

Keterampilan kolaborasi dalam pembelajaran dapat dilakukan antara guru dengan

siswa, siswa dengan siswa melalui berbagai model pembelajaran. Mengutip dari

Karami, M dkk (2012) , bahwa saat ini pembelajaran kolaboratif memiliki peran penting

dalam metode pengajaran. Dalam metode ini, siswa melalui kerja sama satu sama

lain, berbagi pengalaman belajar dan mereka dapat meningkatkan banyak

keterampilan dan kemampuan mereka (Jacbs, Barbara Ott & Yvonne Ulrich, 1997).

Dikici & Yavuzer (2006) dalam Karami, M dkk (2012).

Output dari pembelajaran kolaboratif jauh lebih berkompetensi dari pembelajaran

secara individual. Hasil dari beberapa penelitian telah menunjukkan efek positif dari

pembelajaran kolaboratif pada keterampilan belajar dan tingkat kognitif siswa yang

tinggi (Jacbs, Barbara Ott & Yvonne Ulrich, 1997, Celuch dan Slama, 1999) dalam

Karami, M dkk (2012). Namun keterampilan ini sebagian besar diabaikan oleh guru

dalam proses pembelajaran.

23
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fahyuddin dkk (2015), menunjukkan

bahwa prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan dengan pendekatan belajar secara

kolaboratif (berpusat pada siswa). Metode belajar kolaboratif sangat

direkomendasikan dalam pendidikan kimia untuk meningkatkan aktifitas belajar siswa

(Arrington et al., 2008). Harskamp and Ding (2006) melaporkan bahwa belajar

memecahkan masalah secara kolaboratif dapat meningkatkan keterampilan

pemecahan masalah siswa dibandingkan belajar secara individu. Sama dengan hasil

studi Blaye et al. (1991), menyelidiki efektifitas metode kolaboratif dan belajar

individual secara tradisional dalam mengembangkan keterampilan pemecahan

masalah kimia

3.2 Hasil Pembelajaran Kolaboratif

Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang

berorientasi "transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang

pembelajaran sebagai dialogue antara peserta didik dengan peserta didik, peserta

didik dengan pembelajar, peserta didik dengan masyarakat dan lingkungannya. Para

peserta didik dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang

mengajar sebagai ”percakapan" di mana para pembelajar dan para peserta didik

elajar bersama-sama melalui suatu proses negosiasi.

Merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnama dan Hendrajaya (2016)

kepada sejumlah mahasiswa bahwa model pembelajaran computer supported

collaborative learning (CSCL) menunjukkan mahasiswa menyukai pembelajaran

kolaboratif dibandingkan secara individual, hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini :

24
Analisis Kebutuhan Pembelajaran dengan metode CSCL

No Indikator Jumlah Prosentase

1 Sangat membutuhkan pembelajaran 18 orang 51.4%


Kolaboratif
2 Sangat membutuhkan fitur daftar materi 8 orang 22.8%
pelajaran pembelajaran kolaboratif

Tabel 1 : Hasil Penilaian Angket Pembelajaran kolaboratif dengan metode


CSCL (Purnama dan Hendrajaya 2016)

Berdasarkan penelitian Primadya, A dkk (2017), yang meneliti tentang

kecakapan kolaboratif mahasiswa diperoleh bahwa pada keterampilan kolaboratif

mahasiswa untuk deskriptor bekerja produktif, diperoleh persentase pada sebesar

5% yang mana menyatakan mahasiswa terkadang bekerjasama, tetapi tidak semua

anggota berkontribusi dalam kerja kelompok sehingga sulit dalam menyelesaikan

pekerjaan, kemudian 35% menunjukkan bahwa anggota kelompok bekerjasama

dengan baik dan berfokus pada bagian tertentu dalam menyelesaikan tugasnya.

Bahkan setiap anggota hampir menyelesaikan seluruh tugasnya; 60% mahasiswa

menggunakan seluruh waktunya secara efisien untuk tetap fokus pada tugas dan

menyelesaikan pekerjaan. Setiap anggota mengerjakan tugas yang diberikan.

Pada deskriptor sikap menghargai, menunjukkan bahwa 15% anggota

kelompok mendengarkan dan berinteraksi dengan baik pada sebagian waktu tertentu;

85% menunjukkan bahwa setiap anggota menghargai pendapat dan diskusi yang

berlangsung.

Pada deskriptor kompromi, 35% menunjukkan bahwa anggota biasanya dapat

berkompromi untuk menyelesaikan masalah; 65% menunjukkan bahwa setiap

anggota fleksibel dalam bekerjasama untuk meraih tujuan utamanya.

25
Pada deskriptor tanggung jawab bersama diperoleh 35% kebanyakan

anggota mengerjakan tugasnya dan 65% setiap anggota tim melakukan yang terbaik

dan mengikuti apa yang telah ditugaskan.

No. Kecakapan Skor Jumlah

1 2 3 4

1 Bekerja Produktif - 5% 35% 60% 100%

2 Sikap Menghargai - - 15% 85% 100%

3 Kompromi ‘- - 35% 65% 100%

4 Tanggung Jawab Bersama - - 35% 65% 100%

Primadya et al. Keterampilan Kolaboratif

Berikut deskriptor dari tiap kecakapan pada tabel, antara lain kecakapan

bekerja produktif, skor 1 = tidak melakukan kerjasama, 2 = terkadang bekerjasama, 3

= anggota kelompok bekerjasama dengan baik dan berfokus pada bagian tertentu,

dan 4 = anggota menggunakan seluruh waktunya secara efisien untuk tetap fokus

pada tugas dan menyelesaikan masalah.

Pada kecakapan sikap menghargai memiliki descriptor dengan skor 1 =

anggota tidak mendengarkan ide anggota lain, 2 = beberapa anggota sulit menghargai

ide anggota lain, 3 = anggota mendengarkan dan berinteraksi dengan baik pada

sebagian waktu teretentu, dan 4 = setiap anggota menghargai pendapat dan diskusi.

Pada kecakapan kompromi memiliki descriptor dengan skor 1 = terdapat

banyak ketidaksetujuan dan beberapa individu tetap mempertahankan pendapat, 2 =

jika banyak yang berkompromi maka anggota akan bergerak ke depan kelas dengan

cepat, 3 = anggota terbiasa berkompromi untuk menyelesaikan masalah, dan 4=

setiap anggota fleksibel dalam bekerja sama.

26
Pada kecakapan bertanggung jawab bersama memiliki descriptor dengan skor

1 = tidak semua anggota dapat bertanggung jawab terhadap tugas, 2 = kesulitan

meminta anggota untuk mengerjakan tugas, 3 = sebagian besar anggota mengerjakan

tugas dan 4 = setiap anggota tim melakukan yang terbaik dan mengikuti apa yang

telah ditugaskan.

Berdasarkan grafik untuk masing-masing hasil kecakapan kolaboratif pada

pembelajaran kolaboratif dapat digambarkan sebagai berikut :

Bekerja produktif
0%
5%
35%
60%

1=Tidak melakukan kerjasama

2 = Terkadang bekerjasama

3 = anggota kelompok bekerjasama dengan baikdan berpokus pada bagian tertentu

4 = anggota menggunakan seluruh waktunya secara efisien untuk tetap fokus pada tugas dan
menyelesaikan masalah

Grafik 1 : Kecakapan pembelajaran Kolaboratif berdasarkan indikator


bekerja produktif

27
Sikap menghargai
0% 0%

15%

100%

85%

1= anggota tdak mendengarkan ide anggota lain


2=Beberapa anggota sulit mendengarkan ide anggota lain
3=anggota mendengarkan dan berinteraksi pada sebagian waktu tertentu
4=Setiap anggota menghargai pendapat dan diskusi

Grafik 2 : Kecakapan pembelajaran Kolaboratif berdasarkan indikator


Sikap menghargai

Kompromi
0% 0%

35%

65%

1=terdapat banyak ketidaksetujuan & beberpa individu mempertahankan pendapat


2=Banyak yang berkompromi anggota yang bergerak didepan kelas
3=anggota terbiasa berkompromi untuk menyelesaikan masalah
4= Setiap anggota fleksibel dalam bekerjasama

Grafik 3 : Kecakapan pembelajaran Kolaboratif berdasarkan indikator


Sikap kompromi

28
Tanggungjawab bersama

0%
35%
65%

1=Tidak semua anggota dapat bertanggungjawab


2=Kesulitan meminta anggota mengerjakan tugas
3=Sebagian besar anggota mengerjakan tugas
4 = setiap anggota tim melakukan yang terbaik dan mengikuti apa yang telah ditugaskan

Grafik 4 : Kecakapan pembelajaran Kolaboratif berdasarkan indikator


SikapTanggungjawab Bersama

Berdasarkan hasil tersebut maka keterampilan kolaboratif mahasiswa untuk

indikator sikap menghargai dengan deskriptor setiap anggota menghargai pendapat

dan diskusi diperoleh persentase yang tinggi.

Hal ini sejalan dengan (Zubaidah, 2016) bahwa salah satu keterampilan yang

dibutuhkan pada abad 21 adalah kolaboratif. Zubaidah (2016), mengemukakan

bahwa dengan pembelajaran yang menekankan hubungan saling belajar, akan

menjadikan siswa yang tidak paham menjadi paham karena bantuan teman sejawat.

Hubungan timbal balik yang positif akan mendatangkan manfaat. Siswa dapat saling

belajar untuk meningkatkan pemahaman masing-masing.

29
BAB IV
KESIMPULAN

Keterampilan kolaborasi merupakan salah satu keterampilan yang dibutuhkan

pada pembelajaran abad 21 dimana kolaboratif adalah saling bekerjasama, saling

menghargai dan saling berkontribusi sehingga dari keterampilan ini dapat ditanamkan

kebiasaan kepada peserta didik untuk memahami apa yang dipelajari, sikap ingin

melakukan sesuatu, dan keterampilan bagaimana melakukan sesuatu.

Keterampilan kolaborasi melalui pembelajaran kolaboratif sudah baik dalam

proses pembelajaran hal ini terlihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

beberapa orang peneliti dimana masing-masing indikator diperoleh persentase tinggi

yaitu bekerja produktif mencapai 60 %, sikap menghargai 85 %, kompromi 65 % dan

tanggungjawab bersama 65 %.

Adapun keunggulan keterampilan ini dalam proses pembelajaran adalah

1)prestasi belajar lebih tinggi; 2) pemahaman lebih mendalam; 3) belajar lebih

menyenangkan; 4) mengembangkan keterampilan kepemimpinan; 5) meningkatkan

sikap positif; 6) meningkatkan harga diri; 7) belajar secara inklusif; 8) merasa saling

memiliki; dan 9) mengembangkan keterampilan masa depan

30
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rasib, (2016) Pendekatan Kolaboratif Dalam Pembelajaran Tematik Terpadu


Di Kelas Iii Sekolah Dasar Negeri 21 Kuala Mandor,

Primadya, A, dkk : 2017, Keterampilan Kolaboratif Dan Metakognitif Melalui


Multimedia Berbasis Means Ends Analysis Collaborative And Metacognitive Skills
Through Multimedia Means Ends Analysis Based, Jurnal Biologi dan Pembelajaran
Biologi, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2017

Apriono, D (2013), Pembelajaran Kolaboratif: Suatu Landasan Untuk Membangun


Kebersamaan dan Keterampilan, Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
Daryanto dan Karim. S. Pembelajaran Abad 21. Yogyakarta :PY Gava Media

Fahyuddin, dkk ( 2015), Perbandingan Metode Kolaborasi Dengan Contoh Tugas Dan
Belajar Individual Dalam Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah Kimia,
Cakrawala Pendidikan, Februari 2015, Th. XXXIV, No. 1

Haryani, S, Prasetya, T.A, Wardani, S (2011), Upaya Meningkatkan Keterampilan


Guru-Guru Kimia Dalam Menerapkan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Melalui
Kegiatan MGMP,ABDIMAS Vol. 15 No. 2, Desember 2011

Jufri, W. (2017), Belajar dan Pembelajaran Sains. Bandung : Pustaka Reka Cipta

Karami, M, et.all ( 2012), Another view to importance of teaching methods in


curriculum: collaborative learning and students’ critical thinking disposition, Procedia
- Social and Behavioral Sciences 46 ( 2012 ) 3266 – 3270

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017), Panduan Implementasi


Keterampilan Abad 21 Kurikulum 2013 di SMA, Ditjen PSMA, Jakarta

Mahmudi, A. (2006). Pembelajaran kolaboratif . Seminar Nasional MIPA UNY,

Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 2006

31
Munandar, H (2016). Analisis Pelaksanaan Pembelajaran Kimia Di Kelas Homogen,

Lantanida Journal, Vol. 4 No. 2, 2016

Purnamawati dan Hendrajaya,)2016), Pengembangan Model Pembelajaran

Kolaboratif Melalui Pendekatan Cscl (Computer Supported Collaborative Learning)

Pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, Jurnal Mekom, Vol.3 No.2

Agustus 2016

Risman, Z (2017) Pengaruh Model Pembelajaran Kolaboratif Terhadap hasil Belajar


Ipa Peserta Didik , UIN, Makasar 2017

Sudirman dan Bakingo, H. A, (2016), Teachers Of The Year Kinerja Guru dalam
Bingkai Perkembangan Pendidikan Abad 21 , ISBN : 1978-602-361-102-7

Suryani N,(2016 ) Implementasi Model Pembelajaran Kolaboratif Untuk Meningkatkan


Ketrampilan Sosial Siswa, https://journal.uny.ac.id/index.php/mip/article/view/3654

Tiharita, R.S ( 2016),Pemanfaatan Teknik Kerjasama Kolaboratif Pada Mata


Pelajaran Ekonomi Guna Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa, SOSIO DIDAKTIKA:
Social Science Education Journal, 3 (1), 2016

Utomo, B.T ( 2003), Penerapan Pembelajaran Kolaboratif dengan Assesmen Teman


Sejawat, JP3. No1 Vol.1. 2003

Zubaidah. S.Keterampilan abad 21 :Keterampilan yang diajarkan dalam


Pembelajaran. https://www.researchgate.net/publication/: 2017

32

Anda mungkin juga menyukai