Anda di halaman 1dari 65

AR RAHMAH

ULAMA

DOELU KUMPULAN ULAMA


SEKARAMG
Arrahmah book 2
KUMPULAN ULAMA

Syaikh Nawawi al-


BANTANI

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1):


Guru Para Ulama Indonesia Waman Walaah amma
ba’du… Ada beberapa nama
yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning
Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-
Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh
Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani,
Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan
Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-
Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang
diakui tidak hanya di kalangan pesantren di
Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar
negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh
Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh
utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan
Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak
menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi
rujukan utama berbagai pesantren di tanah air,
bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu
Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar
al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak
kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 2


Arrahmah book 3
KUMPULAN ULAMA

menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung


putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi
penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi
kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai
dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya
kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika
berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya,
Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan
ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak
langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut
ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah
untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar
kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam
Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul
Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi,
Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan,
Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul
Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali
ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal
ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia
lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi
tanah air agaknya tidak menguntungkan
pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua
ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah
Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati
Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di
negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar.
Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia
menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil
Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur
menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 3


Arrahmah book 4
KUMPULAN ULAMA

menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam


Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-
Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar
dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi
murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan
dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang
pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885
menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul
07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan
sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara
muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH.
Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus
Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH.
Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang
kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di
tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya,
Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku.
Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk
mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam
melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan
agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat
dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya
Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah
menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100
judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid,
ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di
antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui
secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar
al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam,
al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih
Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah
Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 4


Arrahmah book 5
KUMPULAN ULAMA

Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad,


dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut
juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan
karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai
Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal
sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan
dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat
konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan
umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi
pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki
caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak
agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum
penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan
mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras
kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia
lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu
dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka
menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi
mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti
Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan
qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri
Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai
ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran),
Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk
mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i,
Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu,
katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka
wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam
mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak
berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai
pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 5


Arrahmah book 6
KUMPULAN ULAMA

Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang


keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam
kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah
memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti
Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang
tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di
Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-
Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li,
sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25
Syawal 1314H/1879 M

Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-


Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional,
lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan
Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun
pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah
Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan
di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya
di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama
Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925
dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh
Keluarga Saud).

Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke


Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan
Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab
karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir,
seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya
dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana
penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk
hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab
beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 6


Arrahmah book 7
KUMPULAN ULAMA

agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan


Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara
di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam
menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab)
hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi
kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat
Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun
demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi
bukan Imam Nawawi.

Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak


dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah
membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang
berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-
Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga,
berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa
Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai
yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain
sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih
(syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat
Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin
Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah
(penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus
Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal
kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab
Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain
yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang
beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian
oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan
(dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 7


Arrahmah book 8
KUMPULAN ULAMA

radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah


dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah


kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali),
lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang
dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun
tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur).
Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan
bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada
Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan
menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan
api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis
syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol
tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz
memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena
badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena
adanya bekas api di jempol tadi.

Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun


setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh
pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya
dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain
(sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para
petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh
Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun
sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi
ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan
makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak
juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas
peninggalan beliau di Serang, Banten.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 8


Arrahmah book 9
KUMPULAN ULAMA

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih


banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik
Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf
yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam
formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat
upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih
Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat
Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era
modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi
fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari
pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam
batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses
ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga
mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat
diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan
musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim
yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi
juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu
batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika
(Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa
penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus
dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu
lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya
tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika
atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari
sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya.
Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya
oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang
menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 9


Arrahmah book 10
KUMPULAN ULAMA

tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan


“sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman
ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi
dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh
pemerintah Belanda sebagai penggerak
pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati
Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa
menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab
Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami
kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan
dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat
langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya
banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang
dikembangkan di pesantren mulai berkembang.
Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen
dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok.
Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg
dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di
bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu
bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut
mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di
atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia
yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten
sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan
bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang
telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh
dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat,
dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa
dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya
Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di
seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 10


Arrahmah book 11
KUMPULAN ULAMA

seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan


Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok
tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya
Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di
Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut
Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi
Islam, University of Philippines, pada sekitar 40
sekolah agama di Filipina Selatan yang masih
menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu
Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi
Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar
karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di
Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di
kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen
yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di
46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di
Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi
memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai
saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990
diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang
masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang
dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di
pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya
Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di
Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-
tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan
selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan
nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari
dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri
organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari
Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 11


Arrahmah book 12
KUMPULAN ULAMA

Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi,


Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung,
Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan
KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint
Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari
Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari
Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten,
KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec.
Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari
Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di
sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran
Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat
pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki
rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran
modernis dan tradisionalis yang berkembang di
Haramain seiring dengan munculnya gerakan
pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat
soliditas ulama tradisional di Indonesia yang
sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan
Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di
sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat
diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama
yang sangat menentukan warna jaringan intelektual
pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib
Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H.
Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H.
Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim
Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru
dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam
menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-
karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren,

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 12


Arrahmah book 13
KUMPULAN ULAMA

tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari,


salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang,
sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan
kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa.
Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali
kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam,
misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung
untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya
Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya
ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab
tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir,
Muhammad Abduh, tetapi karena menurut
penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama
klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan
ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh
murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya.
Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya
di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam
penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan
Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan
Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng.
Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki
Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di
daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi
pesantren yang satu sama lain terkait juga turut
mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi,
sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan
untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan
sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai
tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren
setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin
pondok pesantren dalam memperkenalkan karya

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 13


Arrahmah book 14
KUMPULAN ULAMA

Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai


pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi
keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H
Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam
mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga
memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam
bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia
banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di
Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana
penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain
menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan
tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan
wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan
pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan
tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang
tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai
dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini
Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua
kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik
beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung
rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren
memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari
generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun
bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika
kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang
berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa
Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama
pesantren membentuk sebuah komite yang disebut
dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama
pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab
Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 14


Arrahmah book 15
KUMPULAN ULAMA

perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan


negosiasi dengan raja Saudi yang akan
memberlakukan kebijakan penghancuran makam-
makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan
usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya
komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu
politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah
politik praktis secara intens organisasi ini kemudian
mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan
(NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi
merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang”
dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik
pola pemikirannya merupakan representasi
kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di
tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan
pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk
membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran
intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap
khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr
tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan
kembali) oleh para ulama NU sebagai garis
perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan
dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan
bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut
institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi
Banten. TAMMAT
al-Habib Umar bin Muhammad bin
Salim bin Hafidz
yang dilahirkan pada hari Senin, 27 Mei 1963 M
[Kalender Hijriyah: 4 Muharram 1383][1], adalah seorang

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 15


Arrahmah book 16
KUMPULAN ULAMA

ulama dunia era modern. al-Habib ‘Umar kini tinggal


di Tarim, Yaman di mana dia mengawasi
perkembangan di Dar-al Musthafa dan berbagai
sekolah lain yang telah dibangun di bawah
manajemennya. Dia masih memegang peran aktif
dalam dakwah agama Islam, sedemikian aktifnya
sehingga dia meluangkan hampir sepanjang tahunnya
mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi
melakukan kegiatan-kegiatan mulianya itu[2].

Kehidupan awal
Dia terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota
tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di
seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan
dan para alim-ulama yang dihasilkan kota ini selama
berabad-abad[2]. Dia dibesarkan di dalam keluarga
yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran
moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang
martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i
Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh
Abu Bakr bin Salim[2]. Ayahnya adalah salah seorang
ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidupnya
demi penyebaran agama Islam dan pengajaran
Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam[2].
Ia secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan
diperkirakan telah meninggal[2]. Demikian pula kedua
kakek dia, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib
Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para
intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama
dan intelektual Muslim pada masanya[2].

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 16


Arrahmah book 17
KUMPULAN ULAMA

Nasab [2][3].
Dia adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad
putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-
Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous
putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr
putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari
‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari
al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari
Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali
putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam
Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad
Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera
dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari
‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam
al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera
dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera
dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir
putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain
sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera
dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari
Rasul Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Masa Kecil [2]


Dia telah mampu menghafal Al-Qur'an pada usia
yang sangat muda dan juga menghafal berbagai teks
inti dalam fikih, hadits, Bahasa Arab dan berbagai
ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk
dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh
begitu banyak ulama-ulama tradisional seperti

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 17


Arrahmah book 18
KUMPULAN ULAMA

Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh


Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di
Ribat, Tarim. Dia pun mempelajari berbagai ilmu
termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya
yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin
Salim, yang darinya didapatkan cinta dan
perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan
bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara
Allah SWT. Ayahnya begitu memperhatikan sang
‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di
dalam lingkaran ilmu dan zikir.

Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang


menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya
diculik oleh golongan komunis dan sang ‘Umar kecil
sendirian pulang ke rumahnya dengan masih
membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu
ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan
‘Umar muda menganggap bahwa tanggung-jawab
untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya
dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal
sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya
di masa kecil sebelum ia mati syahid. Sejak itu,
dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia
memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh
perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk
Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan
usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan
ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai
dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-
mesjid setempat di mana ditawarkan berbagai

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 18


Arrahmah book 19
KUMPULAN ULAMA

kesempatan untuk menghafal Al-Qur’an dan untuk


belajar ilmu-ilmu tradisional.

Dikirim ke kota Al Bayda [2]


Dia sesungguhnya telah benar-benar memahami
Kitab Suci sehingga dia telah diberikan sesuatu yang
khusus dari Allah meskipun usianya masih muda.
Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran
akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan untuk
mengirimnya ke kota Al-Bayda’ yang terletak di
tempat yang disebut Yaman Utara yang
menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang
ingin mencelakai sang sayyid muda.

Di sana dimulai babak penting baru dalam


perkembangannya. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’
dia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional di bawah
bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad
bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah
mengampuninya, dan juga di bawah bimbingan
ulama mazhab Syafi‘i al-Habib Zain bin Sumait,
semoga Allah melindunginya. Janjinya terpenuhi
ketika akhirnya dia ditunjuk sebagai seorang guru tak
lama sesudahnya. Dia juga terus melanjutkan
perjuangannya yang melelahkan dalam bidang
Da‘wah.

Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota


serta desa-desa di sekitarnya. Tiada satu pun yang
terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 19


Arrahmah book 20
KUMPULAN ULAMA

cinta kasih Allah dan Rasul-Nya (shallahu 'alaihi


wasallam) ke dalam hati-sanubari mereka semua.
Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai
dan orang-orang dibimbing. Usahanya yang demikian
gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat
mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka
yang tersentuh dengan ajarannya, terutama para
pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam
kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini
telah mengalami perubahan mendalam hingga
mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan. Mereka
bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang
Islam, mengenakan serban/selendang Islam dan
mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih
sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh
Allah SWT

Perjuangan Da'wah

Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang


telah mendapat sentuhan dakwahnya mulai
berkumpul mengelilinginya dan membantunya dalam
perjuangan da‘wah maupun keteguhannya dalam
mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di
Yaman Utara. Pada masa ini, dia mulai mengunjungi
banyak kota-kota maupun masyarakat di seluruh
Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar
ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin
Yahya yang mulai menunjukkan padanya perhatian
dan cinta yang besar sebagaimana dia mendapatkan
perlakuan yang sama dari Shaikh al-Habib
Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 20


Arrahmah book 21
KUMPULAN ULAMA

puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa


dalam dirinya terdapat sifat-sifat kejujuran dan
kepintaran yang agung.

Ibadah haji

Tak lama setelah itu, dia melakukan perjalanan


melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah
dan untuk mengunjungi makam Rasulullah s.a.w di
Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, dia
diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa
kitab dari para ulama terkenal di sana, terutama dari
al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang
menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda,
terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh
tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan
terhadap sesama umat manusia sehingga ia dicintai
al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya.
Begitu pula dia diberkahi untuk menerima ilmu dan
bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni
al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib
'Attas al-Habashi.

Awal dikenal dunia [2]


Setelah Perjalanan ke Hijaz, nama al-Habib Umar bin
Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan
kegigihan usahanya dalam menyerukan agama Islam
dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang
tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 21


Arrahmah book 22
KUMPULAN ULAMA

besar ini tidak sedikit pun mengurangi usaha


pengajarannya. Bahkan sebaliknya, ini
menjadikannya mendapatkan sumber tambahan di
mana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat
dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia,
setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam
berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi
dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang
mendalam terhadap membangun keimanan terutama
pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi
salah satu dari perilakunya yang paling terlihat jelas
sehingga membuat namanya tersebar luas bahkan
hingga sampai ke Dunia Baru.

Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam


pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah
menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim
yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk
menerima manfaat dari ajarannya, dia meninggalkan
tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga
beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan
kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman
timur, kota pertama yang disinggahinya ketika
kembali ke Hadramaut, Yaman. Di sana ajaran-ajaran
dia mulai tertanam dan diabadikan dengan
pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik
balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu
jalan, dalam hal melengkapi aspek teoretis dari usaha
ini dan menciptakan bukti-bukti konkrit yang dapat
mewakili pengajaran-pengajaran pada masa depan.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 22


Arrahmah book 23
KUMPULAN ULAMA

Pulang ke Tarim
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah
perubahan mendasar dari tahun-tahun yang dia
habiskan untuk belajar, mengajar, membangun
mental agamis orang-orang di sekelilingnya,
menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar
serta melarang yang salah[2]. Pada tahun 1993 M atau
sekitar 1414 H, al-Habib Umar mengabadikan ajaran-
ajarannya dengan membangun Dar-al Musthafa atau
Pondok Pesantren Darul Musthafa[4]. Pesantren ini
didirikan dengan tiga tujuan :

1. Mengajarkan berbagai disiplin ilmu keislaman


secara bertatap muka(talaqqi) dan para
pengajarnya adalah para ahli yang memiliki
sanad keilmuan yang dapat
dipertanggungjawabkan.[4]
2. Menyucikan diri dan memperbaiki akhlaq[4]
3. Menyebarkan ilmu yang bermanfaat serta
berdakwah menyeru kepada jalan yang dirihai
Allah swt dan sesuai dengan apa-apa yang
diajarkan oleh Rasulullah SAW serta para
salafunassahlihin[4]

Dar-al Musthafa menjadi hadiah dia bagi dunia, dan


di pesantren itu pulalah ajaran para salafusshalihin
diserukan, hingga menyebar ke seluruh penjuru
dunia[4]. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian
singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan
berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang
jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 23


Arrahmah book 24
KUMPULAN ULAMA

ketika masih dikuasai para pembangkang


komunis[2][4]. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia,
Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya,
Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan
Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara
bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh al-
Habib Umar[2][4]. Mereka ini akan menjadi
perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah
menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran
Islam tradisional pada abad ke-15 setelah hari
kebangkitan[2]. Berdirinya berbagai institusi Islami
serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah
manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah
tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku
mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-
orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya
telah dirampas dari mereka[2].

MBAH MA'RUF KEDUNGLO

Ketinggian ilmunya diakui secara international,


terbukti pada pendirian NU (Nahdatul Ulama) yang
pertama, beliau terpilih menjadi Mustasyar NU
bersama ulama bertaraf international lainnya. Di
zamannya, keampuhan doanya tak tertandingi. Beliau

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 24


Arrahmah book 25
KUMPULAN ULAMA

adalah “Profesor Do’a” yang memiliki ribuan do’a


untuk segala macam kebutuhan. Serta memadukan
antara bahasa Arab dan Jawa untuk do’anya. Dari
bumi pilihannya Kedunglo, beliau telah berhasil
melahirkan ulama-ulama keramat yang menyebar di
pulau Jawa. Beliau juga memberi semangat para
santri dan tentara dengan do’anya sehingga mereka
selamat di medan pertempuran. Dan dari bumi
Kedunglo pula, terlahir Shalawat ampuh, shalawat
yang dibutuhkan seluruh ummat “Shalawat
Wahidiyah”, buah taklifan putra beliau.

I. KH. MOHAMMAD Ma’roef RA ; Masa Kecil


Mbah KH. Mohammad Ma’roef RA. dilahirkan di
dusun Klampok Arum Desa Badal Ngadiluwih
Kabupaten Kediri pada tahun 1852. Beliau, berasal
dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Mbah
Yahi Abdul Madjid adalah pendiri pondok Klampok
Arum selatan Masjid Badal dan seorang yang sangat
dihormati dan ditokohkan di daerahnya. Konon
ayahnya mempunyai kebiasaan tirakat dengan hanya
makan kunir saja. Mbah Yahi Madjid menurut
penuturan Mbah Yahi Ma’roef kepada murid-
muridnya mempunyai kesabaran yang luar biasa.
Ibunya yang ingin tahu bagaimana murahnya si
suami sampai-sampai membuatkan sayur tom(sayur
yang rasanya sangat pahit dan apabila sayur tersebut
digosokkan ke kambing yang cacingan, seketika
cacingnya mati) kemudian dihaturkan kepada
suaminya. Tapi dengan lahap seolah merasa tidak
kepahitan Mbah Yahi Madjid malah tersenyum manis
sembari berkata “Segar sekali sayur buatanmu ini

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 25


Arrahmah book 26
KUMPULAN ULAMA

besok buatkan sayur seperti ini lagi, ya?” Pintanya


kepada istrinya.
Mbah Ma’roef RA. Merupakan putra kesembilan dari
sepuluh bersaudara. Tiga perempuan dan tujuh laki-
laki. Saudara-saudaranya itu adalah:
Nyahi Bul Kijah, KH. Muhajir, Kyai Ikrom, Kyai
Rohmat, Kyai Abdul Alim, Kyai Jamal, Nyahi
Muntaqin, Kyai Abdullah, KH. Moh. Ma’roef dan
Nyahi Suratun.
Mbah Ma’roef tidak lama merasakan kasih sayang
ibunya, sebab ibunya sudah wafat ketika beliau masih
kecil, sebagai gantinya, beliau mendapat kasih
sayang dari ayah dan saudara-saudaranya. Akan
tetapi tidak lama berselang, ayahnya juga menyusul
ibunya sowan kehadirat Allah. Setelah itu Mbah
Ma’roef diasuh oleh Mbah Yahi Bul Kijah, mbak
ayunya yang sulung.
Karena kondisi ekonomi mbak ayunya yang juga pas-
pasan, tak heran kalau di usia wajib belajar beliau
belum bersekolah. Mbah Ma’roef hanya belajar
mengaji Al Qur’an yang diajari sendiri oleh mbak
ayunya. Itupun mbak ayunya sering mengeluh karena
Mbah Ma’roef kecil belum bisa apa yang telah
diajarkan seakan tidak ada yang nyantol di otak
Mbah Ma’roef. Saking jengkelnya, akhirnya mbak
ayunya menyuruh adiknya agar sering puasa Senin-
Kamis. Saran tersebut dilaksanakan oleh Mbah
Ma’roef.
Tidak lama setelah menjalankan puasa Senin-Kamis
beliau bermimpi seekor ikan Mas meloncat masuk
kedalam mulutnya. Sejak saat itu beliau langsung
bisa membaca Al Qur’an sampai khatam. Beliau

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 26


Arrahmah book 27
KUMPULAN ULAMA

kemudian menemui mbak ayunya. “Mbak, aku sudah


khatam al Qur’an.” Dilapori demikian Mbah Nyahi
Bul Kijah kaget dan tidak percaya. “Kemarin saya
ajari sulitnya minta ampun kok sekarang sudah
khatam Qur’an.” Mbah Ma’roef kemudian berkata;
“Kalau ndak percaya, akan saya baca sampeyan yang
nyimak.” Mbah Ma’roef lantas membaca Al-Qur’an
hingga khatam.

II. BELAJAR DENGAN TIRAKAT

Suatu ketika beliau dimarahi dan dipukul uleg-uleg


(alat untuk menghaluskan bumbu) oleh mbak ayunya
lalu beliau memutuskan menyusul kakak-kakaknya
yang terlebih dahulu mondok di Cepoko Nganjuk
dengan berjalan kaki.
Selama mondok di Cepoko keadaan beliau sangat
memprihatinkan. Konon, beliau hanya makan
seminggu sekali itupun makanan pemberian orang-
orang sekitar pondok yang setiap malam Jum’at
mengirim makanan ke pondok. Pada hari-hari biasa,
apabila beliau merasa lapar beliau hanya makan
intip(nasi hangus) yang masih melekat di panci dan
tidak dimakan oleh pemiliknya. Atau makan buah
Pace yang pohonnya beliau tanam sendiri di
lingkungan pondok. Pernah juga beliau mengajak
kakaknya mengemis ke desa-desa untuk biaya
mondok dan hidup selama di pondok. Beliau juga
pernah menjadi buruh panjat kelapa dengan upah
sebutir kelapa yang bagus. Bahkan oleh pemilik
pohon kelapa beliau diberi tanah dan oleh Mbah
Ma’roef tanah tersebut ditanami pohon kelapa.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 27


Arrahmah book 28
KUMPULAN ULAMA

Untuk menghilangkan rasa lapar karena jarang


makan, beliau sampai menyumpahi perut dan
mulutnya setiap hari Jum’at di dekat
blumbang(kolam) buatan beliau sendiri. “Hai perut,
jangan minta makanan jika belum hari Jum’at tiba.
Mulut, jangan minta minum jika belum hari jum’at
tiba, beliaupun makan dan minum sepuasnya. Setelah
makan beliau juga menyumpahi duburnya, “Dubur,
jangan kenthut-kenthut jika belum hari Jum’at tiba.”
Kondisi yang cukup memprihatinkan selama nyantri
membuat Mbah Ma’roef mempunyai kebiasaan puasa
dan munajat kepada Allah SWT. Karena itulah Allah
menganugrahkan beliau ilmu laduni di bidang ilmu
Fiqih yang bermula dari mimpi beliau mengajar kitab
Kuning di pondok. Setelah kejadian mimpi tersebut,
beliau yang sudah mondok selama tujuh tahun dan
baru kelas satu tsanawiyah tiba-tiba bisa membaca
kitab kuning yang biasa diajarkan Kyai nya.
Beliaupun lantas sowan pada Kyai Muh gurunya,
melaporkan bahwa beliau mendapat ilmu laduni dan
bisa membaca kitab.
Kyai Muh kemudian mengumumkan kepada seluruh
santrinya kalau besok beliau tidak mengajar, yang
mengajar adalah Mbah Ma’roef dari Kediri.
Mendengar pengumuman tersebut seluruh santri
mengejek Mbah Ma’roef. Terutama santri senior
yang memang tidak senang dan merasa iri dengan
keberadaan Mbah Ma’roef di Cepoko. Sehingga
muncul komentar-komentar bernada miring.
“Mondok saja belum tamat, ndak bisa ngaji kok mau
ngajari ngaji.”
Keesokan harinya Mbah Ma’roef memukul

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 28


Arrahmah book 29
KUMPULAN ULAMA

kentongan pertanda pelajaran akan dimulai. Tapi


karena para santri tahu kalau hari itu yang
menggantikan gurunya adalah Mbah Ma’roef, maka
hanya beberapa orang saja yang berkumpul di masjid.
Mbah ma’roef tidak peduli dengan ketid

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 29


Arrahmah book 30
KUMPULAN ULAMA

ak hadiran para santri senior yang alim-alim, beliau


tetap membuktikan kemampuannya mengajar kitab
yang biasa diajarkan oleh Kyai Muh kepada santri-
santrinya.
Ternyata benar, Mbah Ma’roef bisa mengajar bahkan
hafal isi kitab milik gurunya tersebut. Tentu saja
peristiwa ini menggemparkan seisi pondok. Mbah
Ma’roef santri miskin yang semula diremehkan dan
dibenci teman-temannya seketika di sanjung dan
dihormati. Bahkan katanya, Kyai Muh gurunya
akhirnya berbalik berguru pada beliau. Sementara itu,
para santri senior yang suka mengejek Mbah Ma’roef
saat itu juga meninggalkan Pondok Cepoko.
Namun beliau tidak lama di Cepoko, kemudian
beliau melanjutkan mencari ilmu di Semarang pada
Kyai Sholeh, Ndarat. Genap dua tahun mondok di
Ndarat, beliau pindah nyantri pada Kyai Sholeh
Langitan Tuban.
Dalam perjalanannya menuju pesantren yang beliau
tempuh dengan jalan kaki tak jarang di tengah jalan
beliau dihadang para perampok. Namun karena
beliau punya ilmu penglimunan para begal itu tidak
bisa melihat Mbah Ma’roef yang berlalu
dihadapannya.
Genap setahun di Langitan, beliau pulang ke
rumahnya. Namun tidak lama beliau yang waktu itu
sudah memasuki usia 30 tahun langsung diambil
menantu oleh Kyai Shaleh Banjar Mlati di
peruntukkan putri sulungnya yaitu nyahi Hasanah.
Sekitar dua tahun saja Mbah Ma’roef menemani
istrinya, karena setelah putra pertama lahir, beliau
pergi ke Bangkalan untuk menimba ilmu pada Kyai

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 30


Arrahmah book 31
KUMPULAN ULAMA

Khalil yang masyhur sebagai auliya keramat yang


dibiayai oleh Kyai Shaleh mertuanya yang terkenal
kaya raya.
III. BERGURU PADA KYAI KHALIL
BANGKALAN
Setelah menyeberangi selat Madura dengan
berenang, ada yang mengatakan beliau tidak
berenang melainkan langsung berjalan di atas selat
Madura hingga tiba di daratan Madura. Beliau
langsung menuju Demangan pondok Kyai Khalil, dan
beliau sendiri yang menerima Mbah Ma’roef.
“Hai, anak Jawa, tampaknya kamu lapar, ini saya beri
makan harus dihabiskan.” Perintah Kyai Khalil
sembari menyerahkan nasi satu nampan besar dengan
lauk ikan bandeng sebesar betis orang dewasa.
“Ya, Kyai,” jawab Mbah Ma’roef. Beliau pun mulai
makan yang porsinya untuk beberapa orang dengan
niat menyerap ilmunya Kyai Khalil. Selama Mbah
Ma’roef makan, Kyai Khalil terus mengawasi calon
muridnya dengan berdiri disamping Mbah Ma’roef
dengan tongkat di tangannya yang siap beliau
ayunkan apabila Mbah Ma’roef tidak menghabiskan
makanan yang telah beliau berikan.
Mbah Ma’roef yang telah terbiasa puasa dan
berlapar-lapar tentu saja merasa tidak mampu
menghabiskan nasi sebanyak itu. Namun karena
beliau mempunyai do’a yang membuat perut tidak
merasa kenyang walau sudah kemasukan makanan
berapapun banyaknya, yang beliau baca sebelum
makan. Alhasil, nasi senampan pemberian Kyai
Khalil dengan lahap dihabiskan tanpa sisa.
Mengetahui hal itu, Kyai Khalil seketika berkata, “Ini

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 31


Arrahmah book 32
KUMPULAN ULAMA

orangnya yang akan menghabiskan ilmuku.”


IV. RIYADHAH DI MAKAM AULIYA MADURA
Riyadhah sudah menjadi bagian hidup Mbah
Ma’roef. Selama nyantri pada Kyai Khalil,
kegandrungannya dalam hal riyadhah semakin
menjadi-jadi. Selama nyantri di Bangkalan ini pula
beliau mempunyai kebiasaan baru yaitu berziarah ke
makam-makam keramat para auliya se-Madura. Di
makam tersebut, beliau bukan sekedar ziarah biasa
tetapi makamnya disowani dan ditirakati sehingga
beliau bisa berdialog langsung dengan si penghuni
makam. Tujuan beliau riyadhah di makam-makam
keramat tersebut tiada lain karena beliau ingin
memiliki ilmu “Sak mlumahe bumi lan sak
mengkurepe langit” yaitu ingin memiliki ilmu seluas
bumi dan langit tanpa harus belajar. Artinya, beliau
ingin mendapat ilmu laduni.
Sudah demikian banyak makam keramat yang beliau
datangi, namun kesemuanya memberikan jawaban
kalau ingin alim harus belajar dulu. Jawaban tersebut
mengecewakan Mbah Ma’roef. Lha wong ingin dapat
ilmu tanpa harus belajar kok disuruh belajar.
Terakhir, beliau riyadhah di makam yang berada di
Bujuk Sangkak. Sebagaimana yang sudah-sudah di
sana beliau juga tirakat hingga bisa ditemui oleh
penghuni makam.
“Hai, anak muda mengapa kamu tirakat di sini?”.
“Saya santri Bangkalan ingin jadi orang alim.
Do’akan saya agar diberi ilmu laduni.” Pinta Mbah
Ma’roef. Jawaban penghuni makam tersebut lain dari
pada yang lain.
“Bisa, kamu bisa mendapat ilmu laduni tapi

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 32


Arrahmah book 33
KUMPULAN ULAMA

tirakatmu masih kurang.” Mbah Ma’roef langsung


menangis sedih dan putus asa. “Saya sudah tirakat
seperti ini kok ya masih kurang.” Dengan rasa putus
asa beliau kembali ke pondok dan terus menangis.
Kyai Khalil mengetahui apa yang dirasakan
muridnya kemudian beliau bertanya kepada Mbah
Ma’roef. “Ma’roef, sudah berminggu-minggu kamu
tidak berada di pondok, pergi kemana saja kamu?”
Tanya Kyai Khalil.
“Saya riyadhah di kuburan wali-wali, mereka semua
tidak bisa memberi saya ilmu laduni. Terakhir saya
riyadhah di Bujuk Sangkak, katanya saya bisa
mendapatkan ilmu laduni, tapi riyadhah saya masih
kurang. Riyadhah yang bagaimana lagi yang mesti
saya lakoni, padahal semua riyadhah sudah saya
jalankan.”
“Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi
yakni makam Mbah Abu Syamsuddin di Batu
Ampar. Beliau wali besar. Semalam saya bertemu
Mbah abu Syamsuddin, beliau menyuruh saya
menulis di kuburannya. “Siapa yang bisa
mengkhatamkan al-Qur’an sekali duduk, apapun
keinginannya akan tercapai. “Mbah Ma’roef
langsung berangkat ke Batu Ampar dan
mengkhatamkan al-Qur’an dari Shubuh sampai Ashar
sekali duduk.
Selesai mengkhatamkan qur’an seketika datang angin
Lysus menerjang tubuh beliau. perasaan beliau, saat
itu kepalanya dipegang dan ditumpahi nasi kuning
hingga beliau muntah berak.
Sepulang riyadhah di makam Mbah Abu
Syamsuddin, segala kitab yang ada di pondok Kyai

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 33


Arrahmah book 34
KUMPULAN ULAMA

Khalil beliau kuasai. Tercapailah sudah keinginan


Mbah Ma’roef untuk memiliki ilmu seluas bumi dan
langit tanpa harus belajar.

V. MENDIRIKAN PONDOK KEDUNGLO

Suatu ketika beliau disuruh mertuanya mencari tanah


untuk dijadikan pondok pesantren. Mbah Ma’roef
tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, beliau
lantas tirakat sambil membaca Shalawat Nariyah
sebanyak 4444 kali. Akhirnya beliau mendapat
alamat, bahwa tanah yang cocok untuk didirikan
pondok adalah tanah yang berada di sebelah barat
sungai Brantas di antara dua jembatan kembar.
Alamat tersebut lalu dihaturkan kepada mertua
berliau. Tetapi mertua dan semua orang kurang setuju
dengan tanah pilihan Mbah Ma’roef yang dikenal
sebagai tanah supit urang yaitu tanah yang bewujud
perairan semacam danau/rawa tidak berupa daratan.
Namun Mbah Ma’roef tetap pada pendirianya
memilih tanah tersebut dengan mengungkapkan
beberapa alasan yaitu Pondok ini nanti akan memiliki
beberapa keistimewaan, pertama dekat pasar, kedua
dekat sungai, ketiga apabila ke timur sedikit kota.
Maka alasan tersebut diterima dan jadilah tanah
tersebut dibeli.
Setelah tanah tersebut dibeli, maka didirikan sebuah
pondok pesantren pada tahun 1901 yang bertempat di
sebelah utara (kini lokasi Miladiyah). Pondok
tersebut diberi nama Kedinglo. Nama Kedunglo
berasal dari kondisi tanah yang waktu itu berupa
kedung semacam danau dan disana terdapat pohon

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 34


Arrahmah book 35
KUMPULAN ULAMA

Lo yang besar.
Setelah beliau tinggal di Kedunglo maka berduyun-
duyunlah para santri ingin menimba ilmu pada
beliau. Namun karena beliau tidak suka memiliki
banyak santri, maka sebagian santri beliau serahkan
kepada Kyai Abdul Karim Lirboyo yang saat itu baru
mempunyai beberapa santri saja.
Ketika ditanya mengapa tidak suka mempunyai
banyak santri? Beliau menjawab.”Aku emoh
memelihara banyak santri. Disamping repot, kalau
punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena
itu saya mohon kepada Allah, agar santri saya tidak
lebih dari 50 orang. Kalau lebih dari lima puluh, ada
yang ndugal akhirnya pondok ini jadi rusuh. Memang
benar setelah diteliti santri beliau tidak pernah lebih
dari 40 orang. Kalau lebih dari empat puluh orang
pasti ada yang pulang.
Di pondok Kedunglo disamping sebagai pengasuh,
beliau adalah guru tunggal. Jadi beliau tidak
mempunyai guru pembantu yang mengajar santri-
santrinya. Karena santri-santrinya beliau tangani
sendiri, tak heran kalau sepulang mondok di
Kedunglo santri-santri beliau menjadi orang-orang
alim dan ampuh. Sedangkan santri beliau yang
menjadi orang besar antara lain : Mbah Yahi Dalhar
Watu Cengo Magelang, Kyai Manab Lirboyo(konon
meski sudah memiliki banyak santri masih ngaji di
Kedunglo), Kyai Musyafak Kaliwungu Kendal, Kyai
Dimyati Tremas, Kyai Bisri Mustof Rembang, Mbah
Yahi Mubasyir Mundir, Kyai Marzuqi Solo dan para
Kyai Kediri kesemuanya pernah nyantri pada Mbah
Ma’roef RA.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 35


Arrahmah book 36
KUMPULAN ULAMA

Karena beliau adalah seorang alim alamah dan


menguasai berbagai macam disiplin ilmu, maka
kitab-kitab yang diajarkan beliau adalah kitab-kitab
yang tinggi. Bahkan cara beliau mengajar tidak
sebagaimana guru-guru sekarang. Untuk mengajar
Syarah Al-fiyah saja disamping menerangkan
syarahnya beliau juga membahas arudnya
(balaghohnya), maka satu pelajaran yang beliau
bahas sudah termasuk atau meluas ke mata pelajaran
yang lain.

VI. BERORGANISASI

Pada tahun 1926, Mbah KH. Moh. Ma’roef RA mulai


menerjunkan diri dalam oragnisasi kemasyarakatan
karena diajak oleh sahabatnya yaitu KH. Moh.
Hasyim Asy’ari yang pada waktu itu akan
mendirikan Nahdhatul Ulama(NU). Maka setelah NU
berdiri sebagaimana yang tertulis di Qonun Asasi
(AD/ART) pendirian NU yang pertama, Mbah
ma’roef duduk di Mustasyar NU. Selain Mbah
Ma’roef ada pula nama Syekh Ghonaim Al-Misri
seorang ulama dari Al-Azhar Mesir yang juga
menjabat di Mustasyar. Sedangkan KH. Hasyim
Asy’ari sendiri pada waktu itu menjabat sebagai Rais
Akbar Syuriah NU.
Melihat kedudukan Mbah Ma’roef di organisasi NU
saat itu menunjukkan bahwa tingkat keilmuan beliau
bertaraf internasional. Karena hanya beberapa ulama
tertentu saja yang dapat menduduki jabatan tersebut.
Sebagai penasihat di NU, beliau sering menghadiri
muktamar-muktamar NU yang diadakan didaerah-

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 36


Arrahmah book 37
KUMPULAN ULAMA

daerah. Dan pada acara tersebut, beliau yang sangat


makbul do’anya, langsung didaulat untuk memimpin
do’a. Biasanya, jika para ulama NU mengadakan
Bahtsul Masail lalu menemui jalan buntu, mereka
sowan pada Mbah Ma’roef RA untuk meminta
petunjuk pada beliau. dalam hal ini beliau hanya
mengatakan, “Masalah itu ada di kitab anu…”. Tanpa
menjelaskan detail masalah.

VII. ISTRI-ISTRI DAN PUTRA-PUTRI BELIAU

Menurut riwayat, beliau mempunyai banyak istri, ada


yang mengatakan beliau mempunyai istri 22 orang,
bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu.
Kebiasaan beliau menikah ini konon karena beliau
kerap bepergian dalam waktu yang lama dan ingin
menebar bibit yang baik. Karena itu hampir setiap
daerah yang beliau singgahi, beliau melangsungkan
ijab qobul dengan gadis setempat. Ada pula yang
mengatakan kalau pernikahan beliau melebihi
ketentuan syariat hanya ijab saja, karena orang tua si
gadis ingin mengalap berkah pada Mbah Ma’roef
Allahu’alam.
Namun dari sekian istri-istri beliau yang diketahui
berjumlah lima orang dan yang dikaruniai putra
hanya tiga orang saja. Para istri dan putra-putri beliau
adalah : pertama nyahi Hasanah binti Shaleh dari
Banjar Mlati. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai
sembilan putra yaitu: Nyahi Musthoinah, KH. Moh.
Yasin, Nyai Aminah, Nyahi Siti Saroh, Siti Asiyah,
Nyahi Romlah, KH. Abdul Madjid, Kyai Ahmad
Malik, Qomaruzzaman (wafat ketika masih kecil).

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 37


Arrahmah book 38
KUMPULAN ULAMA

Istri kedua, Nyahi Maunah dari Klampok Arum


Badal mempunyai putri bernama Fatimah. Istri
ketiga, Nyahi Masyrifah dari Sanggrahan mempunyai
dua putra, yakni : Moh. Zainuddin (wafat ketika
masih kecil) dan Maimunah. Istri keempat dan
kelima tidak diketahui namanya namun diketahui
berasal dari Prambon Nganjuk dan Gampeng Kediri.
Riwayat lain mengatakan beliau juga mempunyai
istri dan keturunan di Bangkalan Madura.

VIII. KEPRIBADIANNYA

Konon Mbah Yahi Ma’roef RA terkenal memiliki


temperamen yang keras, menurut Kyai Baidhawi,
temperamen Mbah Ma’roef menurun kepada cucunya
yaitu KH. Abdul Latif Madjid. Kalau Mbah Ma’roef
sedang marah pada seseorang ya marah betul.
Bahkan kalau beliau sedang marah dan sempat
mengeluarkan kata-kata celaka, maka orang yang
dimarahi akan celaka betul.
Temperamen yang keras barangkali disebabkan
karena sejak kecil beliau sudah yatim piatu dan
kurang kasih sayang dari orang tuanya. Apalagi
untuk bertahan hidup beliau harus bekerja keras
dibarengi tirakat. Sehingga dapat dipastikan beliau
lebih banyak puasa dari pada tidak.
Mbah Ma’roef Ra semasa hidupnya senang
bersilahturahmi. Karena itulah beliau sering
meninggalkan pondok Kedunglo untuk mengunjungi
sahabat-sahabatnya, murid-muridnya bahkan orang-
orang biasa dalam waktu yang lama.
Sifat-sifat yang lain, beliau adalah orang yang

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 38


Arrahmah book 39
KUMPULAN ULAMA

terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada beliau


hampir semua diceritakan pada keluarga beliau dan
murid-murid kesayangannya mengetahui perjalanan
hidup gurunya dari yang sifatnya umum sampai yang
pribadi.
Kepada para santrinya, beliau sangat perhatian.
Karena itu seluruh santri-santri beliau, beliau sendiri
yang mendidiknya hingga si santri menjadi orang.
Kedekatan beliau dengan para santri tak ubahnya
seperti seorang ayah kepada anaknya. Karena itu
beliau sangat dihormati dan disayangi oleh para
santrinya.
Mbah Ma’roef juga dikenal sangat dermawan.
Dermawan dalam hal harta maupun do’a-do’a. dapat
dipastikan semua orang yang meminta harta maupun
do’a kepada beliau tidak pernah ditolaknya. Pernah
suatu ketika beliau memberi ongkos kepada orang
yang ingin pergi haji. Padahal di waktu yang sama
putra beliau Gus Madjid berada dalam kemiskinan.
Ketika ditanya, mengapa uang untuk ongkos naik haji
itu tidak diberikan saja kepada putranya? Dengan
penuh makna beliau menjawab. Madjid itu anak
shaleh. Dia ditanggung langsung oleh Allah. Para
tamu yang kelaparan, beliau beri makan hingga
kenyang. Yang jelas, siapapun yang pernah hidup di
zamannya dan meminta tolong pada beliau
merasakan betapa beliau seorang yang sangat
perhatian pada sesamanya.
Meski beliau mempunyai ilmu seluas bumi dan
langit, serta terkenal doanya di-ijabahi seketika dan
beliau sendiri sangat sering mendemontrasikan
kekeramatannya, namun beliau ternyata seorang yang

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 39


Arrahmah book 40
KUMPULAN ULAMA

sangat tawadhu dan menjaga anak keturunannya agar


juga memiliki sifat tawadhu dalam arti tidak
membangga-banggakan keturunannya. Beliau pernah
berkata pada salah seorang santri kepercayaannya,
“Aku ini punya catatan silsilah keluargaku, namun
karena aku khawatir nanti anak turunku
membanggakan nasabnya, maka catatan itu aku
titipkan pada Kyai Abu Bakar (Bandar Kidul).”
Lalu bagaimana hubungan beliau dengan
keluarganya? Beliau dalan hal mendidik putra-
putrinya sangat keras dan disiplin. Karena itu beliau
menangani sendiri pendidikan putra-putrinya. Beliau
juga sangat menekankan kepada putra-putrinya untuk
senantiasa membaca shalawat “Shallallahu ala
muhammad”. Tak terkecuali putra beliau yang baru
bisa bicara dan masih cendal juga diwajibkan
membaca shalawat sebanyak 100x. Bagi putranya
yang sudah lancar bicara harus membaca shalawat
sebanyak 1000x, dan sejumlah 10.000x bagi yang
sudah baligh. Karena mendapat bimbingan langsung
dari Mbah Ma’roef, tak pelak putra-putri beliau
tumbuh menjadi seorang yang cerdas, alim dan
ampuh.
Utnuk mendekatkan hubungan batin antara ayah dan
anak juga cucu, beliau sering mendongengi putra dan
cucu-cucunya kisah-kisah teladan sebelum tidur.
Beliau juga mengajari mereka do’a-do’a lain
menjelang tidur. Namun setelah mbah Nyahi
Hasanah wafat dan Mbah Ma’roef menikah lagi,
seakan ada jarak antara ayah dan anak. Konon putra
dan putri beliau tidak berani mendekat kalau tidak
dipanggil. Mbah Ma’roef juga berpesan kepada Mbah

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 40


Arrahmah book 41
KUMPULAN ULAMA

Ruba’i santri kesayangannya apabila para putranya


menginginkan sesuatu agar disampaikan melalui
Mbah Ruba’i. Maka kalau putra beliau mau minta
uang kepada beliau Mbah Ruba’i lah yang diminta
tolong agar menyampaikan kepada ayahnya. Dan
melalui Mbah Ruba’i itu pula para putra
mendapatkan uang. Hanya satu putra beliau yang
tidak pernah meminta tolong kepada Mbah Ruba’i
untuk meminta sesuatu kepada ayahnya, yaitu Agus
Abdul Madjid.

IX. PERGI HAJI BERSAMA ISTRI

Pada tahun 1918, Mbah Yahi Ma’roef RA


menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya dengan
mengajak Mbah Nyahi Hasanah RA yang saat itu
sedang mengandung putra ketujuh. Karena naik haji
pada masa itu ditempuh dalam waktu setengah tahun
lebih, maka kelahiran putra lelaki yang tampan dan
sehat di tempat yang mulia dan mubarokah
disambutnya dengan penuh rasa syukur dan bahagia.
Maka Mbah Ma;roef lantas memberikan nama bayi
tersenut “Abdul Madjid”.
(sedangkan menurut penuturan Mbah Nyahi Romlah
Ma’roef. Mbah Yahi Madjid QS wa RA di lahirkan
di Kedunglo. Dan diajak ke Makkah saat beliau baru
berusia 1,5 tahun).
Setiap memasuki jam dua belas malam, Mbah
Ma’roef menggendong bayinya yang masih merah ke
Baitullah dibawah Talang Mas. Di sana, beliau
memanjatkan do’a agar bayi dalam gendongannya
kelak menjadi orang besar yang shaleh hatinya.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 41


Arrahmah book 42
KUMPULAN ULAMA

Selama berada di Makkah, Agus Madjid yang juga di


khitan disana akan diadopsi oleh salah satu ulama
Makkah. Akan tetapi Mbah Nyahi Hasanah tidak
mengizinkan sehingga Agus Madjid tetap berada
dalam asuhan kedua orang tuanya sendiri.

X. BERJUANG DENGAN KEAMPUHAN DO’A


NYA

Sumbangsih Mbah Ma’roef kepada negara di zaman


perjuangan mengusir penjajah amatlah besar. Hal ini
beliau tunjukkan saat pertempuran 10 Nopember
1945 di Surabaya meledak. Bersama Mayor
Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah (ayah Mbah
Nyahi Shafiyah RA) beliau turut ke medan
pertempuran walau berada di garis belakang sebagai
tukang do’anya. Berkat do’a Mbah Ma’roef, tak
jarang bom yang meledak berubah menjadi butiran-
butiran kacang hijau. Sebagaimana pula diriwayatkan
oleh murid-muridnya yang juga turut berperang, para
tentara dan santri yang ikut berjuang kebal dengan
berbagai senjata setelah diasmai oleh Mbah Ma’roef.
Cara beliau mengisi kekebalan pasukan tergolong
unik. Pertama setelah pasukan dibariskan, beliau
menyuruh mereka agar minum air jeding di utara
serambi Masjid. Selanjutnya beliau berdo’a yang
diamini oleh pasukan pejuang. Di antara do’anya,
“Allahumma salimna minal bom wal bunduq, wal
bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Do’a beliau
yang kedengarannya nyeleneh ternyata sangat
manjur. Terbukti pada semua tentara yang sudah
beliau isi kebal aneka senjata.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 42


Arrahmah book 43
KUMPULAN ULAMA

Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur


punggungnya terkena martil. Tapi beliau tidak apa-
apa malah punggungnya ngecap martil sebesar
ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga
mengikuti pertempuran di Surabaya. Kabarnya kaki –
nya juga terkena bom tapi tidak apa-apa.
Kyai Bisri Mustofa (ayah Kyai Mustofa Bisri)
Rembang, di zaman itu pernah di kejar-kejar penjajah
Jepang. Beliau kemudian lari ke Kedunglo minta
perlindungan kepada Mbah Ma’roef. Kemudian
Mbah Ma’roef mengijazahi sebuah do’a, setelah
diamalkan beliau selamat dari incaran orang Jepang.
Berkat jasa Kyai Kedunglo, beliaupun lalu
mewasiatkan kepada anak cucunya agar terus
mengamalkan do’a pemberian Mbah Ma’roef, doa
tersebut oleh Kyai Bisri Musthafa diabadikan dalam
buku terjemah Burdah. Itulah Mbah Ma’roef,
memanfaatkan keampuhan do’anya dalam mengusir
penjajah dari bumi pertiwi.

XI. KEKERAMATANNYA

Berbicara mengenai kekeramatan Mbah Yahi


Ma’roef RA seakan tidak ada habisnya. Orang-orang
yang hidup sezaman dengan beliau dan pernah
bergaul dengan beliau dipastikan pernah
menyaksikan dan merasakan langsung kekeramatan
beliau. dan siapapun tidak akan menyangkal bahwa
kekeramatan beliau terletak pada keampuhan do’anya
yang di-ijabahi dalam waktu sekejab, ucapannya
“sabda pandhito ratu” dan firasatnya tak pernah
meleset.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 43


Arrahmah book 44
KUMPULAN ULAMA

Hebatnya lagi meski Mbah Yahi Ma’roef RA sudah


wafat tapi orang-orang sepeninggal beliau, yang
mujahadah di makam beliau juga turut pula
merasakan kekeramatan beliau. berikut ini adalah
sebagian kecil kekeramatan Mbah Yahi Ma’roef RA:
Diriwayatkan oleh Ibu Nurul Ismah Madjid dari pak
Pardi dari Kyai Ridwan santri Mbah Ma’roef yang
berasal dari Pagu Kediri. Beliau bercerita, “Suatu hari
Mbah Ma’roef RA mengajak Kyai Ridwan ke
Dhoho. Kebetulan saat itu sungai Brantas banjir
hingga airnya meluap dan tidak ada rakit buat
menyeberang. Hendak berjalan lewat utara terlalu
jauh. Akhirnya Mbah Ma’roef berkata kepada
santrinya, “Yakh…terpaksa kita menyeberangi
sungai. Ridwan berdirilah dibelakangku dan pegangi
jubahku.” Kemudian keduanya berjalan diatas
permukaan sungai hingga tiba di tepi sebelah timur.
Ajaibnya meski kaki Mbah Ma’roef menyentuh air
tapi sama sekali tidak basah. Sedangkan Kyai
Ridwan hanya basah sampai mata kaki.
Dikisahkan oleh Mbah Yusuf santri Mbah Ma’roef
dari Tawansari Tulung Agung (paman Mbah Nyahi
Shofiyah RA). Suatu hari datang seorang tamu
mengantar surat untuk Mbah Ma’roef RA.
Sepeninggal tamu tersebut, Mbah Ma;roef membalas
surat tersebut dengan menyuruh salah satu santrinya
agar menghanyutkan surat itu ke sungai berantas.
Mendapat perintah aneh si santri berkata, “Lho kok
dimasukkan ke sungai Kyai?”, “Sudah kerjakan
perintahku!” Meski tidak mengerti si murid itu
melaksanakan juga perintah Mbah Ma’roef
memasukkan surat ke dalam sungai. Anehnya, begitu

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 44


Arrahmah book 45
KUMPULAN ULAMA

surat tersebut ditaruh di atas air, surat itu berjalan


diatas permukaan air. Lebih aneh lagi surat itu
berjalan melawan arus sungai. Akhirnya surat
tersebut tiba juga pada alamat yang dituju dalam
keadaan utuh tidak basah apalagi rusak karena air.
Diriwayatkan dari Kyai Baidhawi. Dulu semasa
Mbah Ma’roef masih sugeng. Nabi Khidir sering
datang ke Kedunglo menjumpai Mbah Ma’roef, dan
kerap Nabi Khidir bermalam di panggung utara.
Diriwayatkan oleh Mbah Yahi Makhsun dari Mojo
Kediri. Mbah Makhsun adalah salah satu santri Mbah
Ma’roef RA, namun setelah Mbah Ma’roef wafat
beliau lalu nyantri ke pondok lain, ibunya bingung
ditinggal Mbah Makhsun. Mau disuruh pulang, tetapi
si ibu tidak tahu kemana perginya sang putra.
Akhirnya si ibu mujahadah dimakam Mbah Ma’roef
RA. “Mbah Ma’roef…..tolong, kembalikan putra
saya.“ Ratap si ibu di depan makam. Sementara si ibu
sedang meratap di depan makam. Di pondok barunya,
Mbah Makhsun menerima sepucuk surat dari Kyai
Ma’roef Kediri yang isinya menyuruh Mbah
Makhsun pulang. Sontak para pengurus keheranan,
lalu surat tersebut dihaturkan kepada Kyainya.
Barulah mereka tahu, kalau ternyata Mbah Makhsun
pernah menjadi santri kesayangan Mbah Ma’roef ini
bukanlah orang sembarangan.

Kh hasan genggong

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 45


Arrahmah book 46
KUMPULAN ULAMA

KH. Mohammad Hasan Genggong


Nama : Mohammad Hasan (KH. Mohammad Hasan)
Nama Masa Kecil : Ahsan
Nama Akrab : Kiai Hasan, Kiai Hasan Sepuh.
Tanggal Lahir : Probolinggo, 27 Rajab 1259 h / 23 Agustus
1843 m
Tanggal Wafat : Probolinggo, 11 Syawal 1374 h / 1 juni
1955 m
Alamat Asal : Desa Sentong Kecamatan Krejengan
Kabupaten Probolinggo
Alamat Tinggal : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan
Kabupaten Probolinggo
Nama Ayah : Syamsuddin (Kiai Syamsuddin / Kiai Miri)
Nama Ibu : Khadijah (Nyai Khadijah / Nyai Miri)
KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh
kita di naskah ini. Di masa kecil, beliau bernama Ahsan.
Beliau lahir di sebuah desa bernama Sentong. Sentong
terletak 4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong
masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini
Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.
Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang
suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang
lelaki bernama Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak
genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk
mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, seperti wanita
pada umumnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang
patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut
membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan
hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu adalah
keluarga yang bahagia.
Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya
ia melihat istrinya merenggut bulan purnama
kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 46


Arrahmah book 47
KUMPULAN ULAMA

Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna


mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun
belum ada jawaban yang dapat memuaskan rasa
penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa
bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu
merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Aktifitas
mereka berdua kembali seperti biasa. Suatu hari Khadijah
merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya.
Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan
bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.
Syamsuddin adalah orang yang rajin bersedekah, begitu
pula Khadijah istrinya. Setiap mendapat hasil kerja, tak
lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang
berhak. Suami istri ini adalah keluarga yang taqwa kepada
Allah SWT. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam
keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini adalah salah
satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami
istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan
mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah
Khadijah. Namun masyarakat lebih akrab memanggil
mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri.
Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini
memiliki 5 orang putra.
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan
Nyai Khadijah ini adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara dari
suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman
sebenarnya adalah nama sang ibu, sedangkan nama ayah
Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz
Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan
anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.
Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya,
lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu.
Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 47


Arrahmah book 48
KUMPULAN ULAMA

bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri,


putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin
Syamsuddin.
Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di
bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan
bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak
bertahan lama karena sang ayah, Kiai Miri, meninggal
dunia pada saat Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya
diasuh oleh sang ibunda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu
keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara
dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu
tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri Ahsan.
Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang
sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk
anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap
hafalannya serta kuat daya ingatnya, merupakan sifat-
sifat yang memang dimiliki sejak kecil. Pergaulannya
sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik.
Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang
pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu
Kiai Syamsuddin.
Pamannya ini mempunyai seorang putra bernama
Asmawi. Asmawi berusia lebih tua dari Ahsan sehingga
Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak.
Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan
Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil
hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati,
ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada
siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan
menganggap bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk
senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 48


Arrahmah book 49
KUMPULAN ULAMA

moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam,


akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal.
Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang
ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan,
terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu
berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan
santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula.
Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan
aksen kasar pada siapapun. Kelak, akhlak beliau itu tetap
merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga
wafat. Hal ini tak lepas dari ajaran yang diberikan oleh
ibunda beliau dan pamannya itu yang mengajarkan
akhlakul karimah dan makna iman dan taqwa pada Allah
SWT.
Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah
adalah sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah
adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam
kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan
semacam ini mampu diterapkan dalam diri setiap muslim,
maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah
adalah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam
berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi
atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada
di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak
positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin
memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula
sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap
Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju
kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik.
Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin
menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 49


Arrahmah book 50
KUMPULAN ULAMA

menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau


aktifitas kesehariannya, ia memiliki rasa tanggung jawab
atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu
yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk
tanggung jawab yang tidak boleh ia hindari. Ahsan sadar
betul bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas
kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang
dijalaninya dengan perasaan ikhlas dan ridha. Semuanya
merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan
tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim.
Apabila telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan
segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5
waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk
kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan
senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat
kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya
mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya
melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah
yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya
yang sederhana.
Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya
ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif.
Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik
Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah orang yang
paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan
Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak
dan ibu. Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada
ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu
menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang
diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan
penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh
karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 50


Arrahmah book 51
KUMPULAN ULAMA

orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika


yang baik terhadap mereka.
Ahsan kecil belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan
keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi
dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada
Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan
Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas,
keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar,
terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran,
keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan
hafalannya tetap kuat diingat meski telah lama
dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan mudah sekali
dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang
lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah
mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di
depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak remaja
nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari
selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian
menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah
berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang
ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal
yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa
depan mereka. Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus
pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama
Asmawi mereka ingin mengembangkan wawasan dan
ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun.
Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang
lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan
Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok
Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke
pondok tersebut 70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu
berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 51


Arrahmah book 52
KUMPULAN ULAMA

menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua abad


lampau.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok ini,
pengasuhnya ialah seorang kiai bernama KH. Mohammad
Tamim. Keduanya adalah santri yang tekun dan rajin di
setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa kecilnya
dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas
teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan
hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka
teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu
waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah
menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung.
Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di
kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika
tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim
sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik
pesantren. Saat itu muncullah keinginan beliau untuk
memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang
rusak. Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-
masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang
dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk
perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi
keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya
tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.
Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai
Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para
santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap
jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya
tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai
pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya
santri beliau tak seorang pun yang memberikan
tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 52


Arrahmah book 53
KUMPULAN ULAMA

sedikit kecewa karena beliau tahu bahwa di antara santri-


santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang
mampu secara ekonomi.
Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi.
Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud beliau dan
majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar.
Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil
tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua
bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan
semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya
langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada
Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap
kembalinya uang itu.
Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu.
Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena sikap mulia
itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam
kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang
dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas
memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.
Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan
dan Asmawi menyampaikan keinginannya kepada Kiai
Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok
Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan bangga dan
terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke
madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang
remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan
jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali
berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian
kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura.
Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar
menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan
wawasan kehidupan. Kurang lebih nama beliau adalah
KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 53


Arrahmah book 54
KUMPULAN ULAMA

Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari


beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau
Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak
yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren
besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan
bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau
memanggil Ahsan. Ahsan lalu menghadap beliau,
kemudian Kiai Kholil menyampaikan maksud tersebut,
yaitu meminta pertolongan Ahsan agar ikut berdoa
kepada Allah memohon kemudahan dalam
menyelesaikan urusan yang meresahkan Kiai Kholil.
Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya,
kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Pertanyaan
yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil
memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)
Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil,
Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan
juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang
bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan
Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan.
Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di
mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi.
Pada referensi terdahulu atau di sumber pendukung
lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi adalah
guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan
pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya
untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga
kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum.
Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru
pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.
Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika
Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 54


Arrahmah book 55
KUMPULAN ULAMA

hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa


Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap
pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi
menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui
kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang
dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham.
Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan
seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk
menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya
berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah
pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di
tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat
itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka
pastilah dirinya akan lebih mampu dan lebih pintar
dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan
cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!
Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun
1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul
Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping
akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan
Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas
keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga
memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati
kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul
saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul
berangkat asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit.
Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar
dapat menyusul saudaranya itu.
Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil
pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah,
Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk
berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika
hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 55


Arrahmah book 56
KUMPULAN ULAMA

mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah,


maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa
tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya
keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun
melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah
SWT. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk
dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan.
Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan
kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa
bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan
tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah
guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah
menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk
meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali
menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap
kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut
sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah
segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci
dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun
mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan
kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali
menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah,
Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah
sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos
perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan
dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya
tersebut. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad
Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya
tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai
Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 56


Arrahmah book 57
KUMPULAN ULAMA

Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya,


Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga
ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di
Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati
kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam
menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang
tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah,
selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian
mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu
temannya yang bernama Abdul Qohar. Setelah bertemu
ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk
bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan
hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan
dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui
kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah
perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa
dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji
kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan
itu hanyalah ajang musyawarah.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki
kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu
masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut.
Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk
bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan
Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40
tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan
yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada
siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu
pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud
pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang
sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan
mujadalah. Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah
sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 57


Arrahmah book 58
KUMPULAN ULAMA

berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan


berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah
kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang
dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama
itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama
itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah,
Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab
oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat
dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh
dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Pertemuan pun selesai setelah kedua pemuda jawa itu
pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya
itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi?
Asmawi kemudian menyampaikan maksudnya
mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan
kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi
mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika
tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar
permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan
mengulangi hal tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh
terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang
ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka
selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad
Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH.
Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad
Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain
Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali
bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan
ketika sempat bermukim di Madinah.
Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok,
kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri
Ahsan. Selama di Pondok beliau tak pernah makan

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 58


Arrahmah book 59
KUMPULAN ULAMA

makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda


beliau jika berada di rumah serta makanan pemberian
guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali
mencampurnya dengan pasir.
Hal ini dilakukan agar pada saat makan, beliau bisa
makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi,
juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang
bercampur dengan nasinya itu.
Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai
tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan
yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti.
Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi
memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan
Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh
dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan
Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah,
Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak
lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari
Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH.
Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz
Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien
Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi,
KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman
Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan
Habib Alwie Besuki.
Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak
memiliki kedekatan seperti dengan Habib Hasyim Al-
Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang,
Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib
Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-
Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember,
Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 59


Arrahmah book 60
KUMPULAN ULAMA

Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib


Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib
Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.
KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam
23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 m.

Salah satu karomah Al-Marhum waliyullah KH.


Moh. Hasan Genggong diceritakan oleh KH.
Akhmad Mudzhar, Situbondo. Beliau bercerita
bahwa pada suatu hari selepas sholat Jum’at
Almarhum KH. Moh. Hasan Genggong (atau yang
dikenal dengan kiai sepuh) turun dari Masjid jami’
Al-Barokah Genggong menuju dalem
(rumah/kediaman) beliau. Dalam perjalanan antara
masjid dan kediamannya, beliau (kiai sepuh) berjalan
sambil berteriak mengucap “Innalillah, Innalillah”
sambil menghentak-hentakkan tangannya yang
kelihatan basah. Pada waktu itu jam menunjukkan
jam 13.00.
Setelah itu, tepat pada hari Senin pagi, ketika Alm.
Kiai sepuh menemui tamunya yang juga terdapat KH.
Akhmad Mudzar (salah seorang santrinya dan perawi
kisah ini), datang dua orang tamu menghadap kiai
sepuh yang merautkan paras kelelahan seakan-akan
baru mengalami musibah yang begitu hebat. Tatkala
dua orang tersebut bertemu dan melihat wajah
almarhum kiai sepuh, terlontarlah ucapan dari salah
seorang dari keduanya. “ini orang yang menolong
kita tiga hari yang lalu” ujarnya.
Bersamaan dengan itu, Alm. Kiai sepuh mengucap
kata “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali dengan
wajah yang berseri.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 60


Arrahmah book 61
KUMPULAN ULAMA

Dari kejadian tersebut membuat heran KH. Mudzhar


dan beliau mengambil keputusan untuk bertanya
kepada kedua tamu tersebut, sehingga bercerita tamu
tersebut:
“tiga hari yang lalu, yaitu hari Jum’at kami berdua
dan beberapa teman yang lain menaiki perahu
menuju Banjarmasin, tiba-tiba perahu oleng akibat
angin topan dan perahu kami tak tertolong lagi.
Namun kami sempat diselamatkan berkat kehadiran
dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang
tidak kami kenal, waktu itu menunjukkan sekitar jam
13.00 atau ba’da Jumat, setelah itu kami sudah tidak
sadar lagi apa yang terjadi hingga kami terdampar di
tepi pantai Kraksaan (Kalibuntu)”.
Lalu (lanjut cerita tamu tersebut) setelah kami sadar,
kami merasa sangat gembira dan bersyukur karena
masih terselamatkan dari bencana itu. Dan kami ingat
bahwa yang menolong kami dari malapetaka tiga hari
yang lalu itu adalah orang tua yang nampaknya
sangat alim. Hingga hati kami terdorong untuk sowan
atau bersilaturrahim kepada kiai yang sepuh yang
dekat dengan tempat kami terdampar. Setelah kami
bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai,
“adakah disekitar tempat ini seorang kiai yang
sepuh?”. Lalu kami disuruh menuju ke tempat ini
(Genggong). Setelah sampai disini ternyata orang
yang menolong kami waktu itu adalah orang ini.
(bersamaan dengan itu
KH. Abdul Karim

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 61


Arrahmah book 62
KUMPULAN ULAMA

(lahir di dusun
Banar, Kawedanan, Mortoyudan, Magelang, 1858 -
meninggal di Lirboyo,Kediri, 1910 pada umur antara
97-98 tahun) dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan
Nyai Salamah. Manab adalah nama kecilnya dan
merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat
usia 14 tahun, mulailah ia melalang dalam menimba
ilmu agama dan saat itu ia berangkat bersama sang
kakak (Kiai Aliman).[1]

Pesantren yang pertama ia singgahi terletak di desa


Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian ia meneruskan
pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan
Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun.
Setalah dirasa cukup ia meneruskan ke Pesantren
Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur,
disinilah ia memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran.
Lalu ia melanjutkan pengembaraan ke Pesantren
Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang
terkenal dengan ilmu Shorof-nya. 7 tahun lamanya ia
menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya ia
nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang,
Surabaya. Hingga akhirnya, ia kemudian meneruskan

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 62


Arrahmah book 63
KUMPULAN ULAMA

pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di


pulau Madura, asuhan Ulama’ Kharismatik;
Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama ia
menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.

Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan


pencarian ilmu di Pondok Pesantren Tebu Ireng,
Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya
semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari.
Hingga pada akhirnya KH. Hasyim asy’ari
menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai
Sholeh dari Banjarmlati Kediri, pada tahun1328 H/
1908 M.

KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah


binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan
nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH.
Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat
baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun
1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok
Pesantren Lirboyo.

Kemudian pada tahun 1913 M, KH. Abdul karim


mendirikan sebuah Masjid di tengah-tengah komplek
pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa
taalum bagi santri.

Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok


yang sederhana dan bersahaja. Ia gemar melakukan
Riyadlah; mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga
seakan hari-harinya hanya berisi pengajian dan
tirakat. Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 63


Arrahmah book 64
KUMPULAN ULAMA

Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya -


sebelumnya ia melaksanakan ibadah haji pada tahun
1920-an- kondisi kesehatannya sudah tidak
memungkinkan, namun karena keteguhan hati
akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya
untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani
sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang
dermawan asal Madiun H. Khozin.

Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat


istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan
dalam segala kondisi apapun dan keadaan
bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala ia menderita
sakit, ia masih saja istiqomah untuk memberikan
pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski
harus dipapah oleh para santri. Akhirnya, pada tahun
1954, tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadhan 1374
H, KH. Abdul Karim berpulang kerahmatullah, ia
dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.

Pendidikan
Pesantren yang pertama ia singgahi terletak di desa
Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian ia meneruskan
pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan
Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun.
Setalah dirasa cukup ia meneruskan ke Pesantren
Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim,
disinilah ia memperdalam pengkajian ilmu Al-
Quran]]. Lalu ia melanjutkan pengembaraan ke
Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 64


Arrahmah book 65
KUMPULAN ULAMA

pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya, 7


tahun lamanya ia menuntut ilmu di Pesantren ini.
Selanjutnya ia nyantri di Pondok Pesantren
Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya,
ia kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah
satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan
Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama ia
menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.

Pada usia 40 tahun, KH. Abdul Karim meneruskan


pencarian ilmu di Pondok Pesantren Tebu Ireng,
Jombang, Jatim, yang diasuh oleh sahabat karibnya
semasa di Bangkalan Madura, KH. Hasyim Asy’ari.
Hingga pada akhirnya KH. Hasyim Asy’ari
menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai
Sholeh dari Banjarmlati Kediri, pada tahun1328 H/
1908 M

Perjuangan
Dua tahun setelah menikah dengan Siti Khodijah
Binti KH. Sholeh (Nyai Dlomroh), KH. Abdul karim
bersama istri tercinta hijrah ke sebuah desa yang
bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal
tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo, yang kelak
menjadi salah satu pesantren terbesar di Jawa dan
dikenal luas hingga mancanegaratangan tamu tersebut
menunjuk ke arah Alm. KH. Moh. Hasan Genggong.

PENERBIT BUKU. KHOIRONZ Page 65

Anda mungkin juga menyukai