ULAMA
Kehidupan awal
Dia terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota
tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di
seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan
dan para alim-ulama yang dihasilkan kota ini selama
berabad-abad[2]. Dia dibesarkan di dalam keluarga
yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran
moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang
martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i
Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh
Abu Bakr bin Salim[2]. Ayahnya adalah salah seorang
ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidupnya
demi penyebaran agama Islam dan pengajaran
Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam[2].
Ia secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan
diperkirakan telah meninggal[2]. Demikian pula kedua
kakek dia, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib
Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para
intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama
dan intelektual Muslim pada masanya[2].
Nasab [2][3].
Dia adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad
putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-
Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous
putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr
putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari
‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari
al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari
Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali
putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam
Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad
Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera
dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari
‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam
al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera
dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera
dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir
putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain
sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera
dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari
Rasul Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Perjuangan Da'wah
Ibadah haji
Pulang ke Tarim
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah
perubahan mendasar dari tahun-tahun yang dia
habiskan untuk belajar, mengajar, membangun
mental agamis orang-orang di sekelilingnya,
menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar
serta melarang yang salah[2]. Pada tahun 1993 M atau
sekitar 1414 H, al-Habib Umar mengabadikan ajaran-
ajarannya dengan membangun Dar-al Musthafa atau
Pondok Pesantren Darul Musthafa[4]. Pesantren ini
didirikan dengan tiga tujuan :
Lo yang besar.
Setelah beliau tinggal di Kedunglo maka berduyun-
duyunlah para santri ingin menimba ilmu pada
beliau. Namun karena beliau tidak suka memiliki
banyak santri, maka sebagian santri beliau serahkan
kepada Kyai Abdul Karim Lirboyo yang saat itu baru
mempunyai beberapa santri saja.
Ketika ditanya mengapa tidak suka mempunyai
banyak santri? Beliau menjawab.”Aku emoh
memelihara banyak santri. Disamping repot, kalau
punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena
itu saya mohon kepada Allah, agar santri saya tidak
lebih dari 50 orang. Kalau lebih dari lima puluh, ada
yang ndugal akhirnya pondok ini jadi rusuh. Memang
benar setelah diteliti santri beliau tidak pernah lebih
dari 40 orang. Kalau lebih dari empat puluh orang
pasti ada yang pulang.
Di pondok Kedunglo disamping sebagai pengasuh,
beliau adalah guru tunggal. Jadi beliau tidak
mempunyai guru pembantu yang mengajar santri-
santrinya. Karena santri-santrinya beliau tangani
sendiri, tak heran kalau sepulang mondok di
Kedunglo santri-santri beliau menjadi orang-orang
alim dan ampuh. Sedangkan santri beliau yang
menjadi orang besar antara lain : Mbah Yahi Dalhar
Watu Cengo Magelang, Kyai Manab Lirboyo(konon
meski sudah memiliki banyak santri masih ngaji di
Kedunglo), Kyai Musyafak Kaliwungu Kendal, Kyai
Dimyati Tremas, Kyai Bisri Mustof Rembang, Mbah
Yahi Mubasyir Mundir, Kyai Marzuqi Solo dan para
Kyai Kediri kesemuanya pernah nyantri pada Mbah
Ma’roef RA.
VI. BERORGANISASI
VIII. KEPRIBADIANNYA
XI. KEKERAMATANNYA
Kh hasan genggong
(lahir di dusun
Banar, Kawedanan, Mortoyudan, Magelang, 1858 -
meninggal di Lirboyo,Kediri, 1910 pada umur antara
97-98 tahun) dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan
Nyai Salamah. Manab adalah nama kecilnya dan
merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat
usia 14 tahun, mulailah ia melalang dalam menimba
ilmu agama dan saat itu ia berangkat bersama sang
kakak (Kiai Aliman).[1]
Pendidikan
Pesantren yang pertama ia singgahi terletak di desa
Babadan, Gurah, Kediri. Kemudian ia meneruskan
pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan
Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun.
Setalah dirasa cukup ia meneruskan ke Pesantren
Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim,
disinilah ia memperdalam pengkajian ilmu Al-
Quran]]. Lalu ia melanjutkan pengembaraan ke
Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah
Perjuangan
Dua tahun setelah menikah dengan Siti Khodijah
Binti KH. Sholeh (Nyai Dlomroh), KH. Abdul karim
bersama istri tercinta hijrah ke sebuah desa yang
bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal
tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo, yang kelak
menjadi salah satu pesantren terbesar di Jawa dan
dikenal luas hingga mancanegaratangan tamu tersebut
menunjuk ke arah Alm. KH. Moh. Hasan Genggong.