Anda di halaman 1dari 11

Perbandingan Kepemimpinan Islam dan

Kepemimpinan Barat

Wahyu Surya P. N. 13311024

Dosen Pembimbing : Titik Nurbiyati

Universitas Islam Indonesia


Fakultas Ekonomi/Manajemen 2014/2015
Yogyakarta
Kiblatnya peradaban masa kini adalah ke dunia barat (western). Apa-apa yang berasal dari
barat selalu dianggap sesuatu yang modern. Termasuk di dalamnya pemikiran-pemikiran
mengenai teori kepemimpinan. Kesuksesan peradaban barat, membuat semua teori kepemimpinan
berkiblat ke arah sana.

Bagi pemikir kepemimpinan modern, kepemimpinan secara umum bisa dipelajari, dan
dilakukan oleh siapa saja. Kemampuan kepemimpinan seseorang diyakini bisa ditingkatkan
melalui serangkaian pembelajaran dan simulasi. Teori kepemimpinan yang dirumuskan oleh
pemikir-pemikir modern dikemas dalam suatu sistem penyusunan yang menarik, seolah-olah bisa
dilakukan oleh semua orang yang memiliki kepentingan dalam kepemimpinan.

Berikut adalah beberapa definisi mengenai pemimpin atau leader dari pemikir-pemikir era
modern.

Kepemimpinan menurut George R. Terry: “Leadership is the relationship in which one


person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that
which the leader desires”. Kepemimpinan adalah sebuah hubungan dimana satu orang atau
pemimpin, mempengaruhi yang lainnya untuk bekerja bersama dengan penuh hasrat dalam
pekerjaan yang saling berhubungan untuk mencapai apa yang diinginkan oleh pemimpin.

Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan
antusias guna mencapai tujuan (Keith Davis, 1985).

John C. Maxwell mengatakan bahwa inti kepemimpinan adalah mempengaruhi atau


mendapatkan pengikut.

Leadership is the art of getting someone else to do something you want done because he
wants to do it. -- Kepemimpinan adalah seni membuat orang lain melakukan sesuatu yang kamu
inginkan karena dia menginginkan melakukannya.(Dwight D. Eisenhower).
Jadi ada dual hal pokok dalam konsep kepemimpinan modern ala barat, yaitu
MEMPENGARUHI ORANG LAIN dan MENCAPAI TUJUAN. Kepemimpinan merupakan
sarana untuk mencapai tujuan dari seorang pemimpin atau tujuan organisasi. Sedangkan, proses
pencapaian tujuan adalah dilakukan pemimpin dengan memberikan pengaruh kepada orang lain.

Sementara itu, gaya kepemimpinan dalam Islam adalah seperti yang dilakukan Nabi
Muhammad SAW. Gaya kepemimpinan Nabi Muhammad adalah sesuai dengan ayat-ayat Allah
SWT (Al Qur’an). Seperti diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa akhlak Rasulullah SAW itu adalah
Al Qur’an. Artinya setiap tindakan Nabi SAW adalah sesuai dengan petunjuk Al Qur’an atau
tindakan Nabi itu adalah manifestasi dari Al Qur’an.

Kepemimpinan Nabi Muhammad adalah kepemimpinan Islam yang ideal. Hal ini karena
beliau adalah seorang yang maksum atau bebas dari kesalahan. Apa-apa yang dilakukan Rasulullah
adalah berasal langsung dari wahyu Allah. Beliau adalah sebaik-baiknya suri teladan bagi umat
manusia. Allah telah menegaskan bahwa setiap umat Islam wajib untuk mengikuti segala perilaku,
anjuran, dan perintah Nabi Muhammad. Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah
pemimpinnya seluruh umat islam. Nabi Muhammad adalah figur utama dan sentral dalam
kepemimpinan Islam.

Selain itu, Nabi Muhammad juga merupakan pemimpin dari semua Nabi dan Rasul.
Dimana ini berarti, ketika Nabi Muhammad telah diutus ke tengah muka bumi, maka pengikut
Nabi yang lain harus mengikuti Nabi Muhammad, sebagai utusan yang terakhir dan ajaran-ajaran
Beliau harus terus diikuti sampai akhir zaman.

Dari sini dapat dilihat perbedaan pokoknya. Apabila dalam konsep kepemimpinan barat,
kepemimpinan merupakan sarana untuk mencapai tujuan dan proses kepemimpinan dilakukan
dengan mempengaruhi orang lain, maka dalam Islam, kepemimpinan merupakan sarana dakwah
bahwa islam adalah rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta alam), sedangkan proses
kepemimpinan dilakukan melalui cara-cara yang sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Al Hadis,
sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, Nabi Muhammad SAW.
Firman Allah SWT ; Artinya : “Dan Kami jadikan di antara mereka imam-imam
(pemimpin) yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar, dan adalah
mereka yakin kepada ayat-ayat Kami”. (As Sajdah : 24)

Konsep kepemimpinan modern sebenarnya telah tercakup dalam konsep kepemimpinan


Islam. Nabi Muhammad juga memberikan pengaruh dan ajakan sesuai petunjuk Allah kepada
masyarakat Quraisy dengan tujuan agar mereka meninggalkan kemusyrikan menyembah berhala,
dan masuk dalam Islam. Namun peranan kepemimpinan dalam Islam tidak hanya sampai di sini
saja, karena tujuannya adalah lebih jauh dan lebih luas, yaitu untuk menjadikan Islam sebagai
rahmatan lil 'alamin. Agar Islam didakwahkan ke seluruh penjuru negeri dengan pesan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna dan cinta damai. Islam adalah The best choice of the way of
life, jalan hidup terbaik yang diridhoi oleh Allah. Proses pencapaian syiar ini dilakukan oleh
seorang pemimpin dengan menjalanakan segala aspek kepemimpinannya sesuai dengan tuntunan
Al Quran dan Al Hadis.

Mereka yang dipimpin diperintahkan untuk selalu taat dan patuh kepada pemimpin yang
menegakkan proses kepemimpinannya sesuai tuntunan Allah dan rasulnya. Ini adalah dalam
rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam satu sistem kepemimpinan. Jadi bukan hanya si
pemimpin yang dituntut untuk melakukan proses kepemimpinan secara baik, akan tetapi yang
dipimpin juga dibebani tanggung jawab untuk taat dan patuh. Apabila ada perselisihan pendapat
maka dicarilah jalan penyelesaian yang paling sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Al Hadis.

Firman Allah SWT; Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah
dan ta’atlah kamu kepada Rasul dan kepada pemangku kekuasaan di antaramu. Maka jika kamu
berselisih dalam sesuatu (urusan), kembalikanlah ia kepada (Kitab) Allah dan (Sunnah) Rasul, jika
kamu benar-benar beriman terhadap Allah dan hari kemudian. Itulah yang lebih baik dan lebih
bagus kesudahannya” (An Nisaa’ : 59)

Setiap orang berkewajiban untuk selalu tetap menjaga ukhuwah (persatuan) di tengah-
tengah sistem kepemimpinan, apapun yang terjadi. Pemimpin menghormati yang dipimpin dan
yang dipimpin menghormati yang memimpin.
Sesuai sabda Nabi SAW : “Barangsiapa tidak menyukai sesuatu dari tindakan pemimpin
maka hendaklah bersabar. Sesungguhnya orang yang meninggalkan jama’ah walaupun hanya
sejengkal maka wafatnya tergolong jahiliyah”. (HR. Bukhari, Muslim)

Melalui sistem kepemimpinan yang sesuai dengan tuntunan syariat, dimana dibingkai
dalam kerangka saling beramar makruf nahi mungkar, maka akan terbentuk sistem kepemimpinan
yang saling melengkapi. Tidak ada pemimpin yang yang sempurna, (terkecuali Nabi Muhammad
SAW) dan juga tidak ada rakyat yang sempurna. Inilah tujuan dari perlunya beramar makruf nahi
munkar, untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan, dan saling mencegah untuk berbuat
kemungkaran. Melalui sistem yang demikian, maka akan terbentuk rasa saling mencintai dan
tercipta hubungan pemimpin dan rakyat yang sehat.

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai
kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin
kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka
dan mereka pun melaknat kalian". (HR. Imam Muslim dari 'Auf bin Malik Al-Asyja'i).

Proses beramar makruf nahi munkar ini dapat dicontohkan dari sebuah kisah dalam masa
kepemimpinan Umar bin Khatab. Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA suatu hari menunggang
keledainya ke tengah kota. Tiba-tiba, seorang nenek menghentikan keledai yang ditumpangi Umar.
Nenek itu langsung menceramahinya. "Hei Umar, aku dulu mengenalmu sewaktu kau dipanggil
Umair (Umar kecil), yang suka menakuti-nakuti anak-anak di pasar Ukadz dengan tongkatmu.
Maka hari-hari pun berlalu hingga kau disebut Umar, dan kini engkau Amirul Mukminin",
kemudian nenek itu melanjutkan, "Maka bertakwalah engkau kepada Allah atas rakyatmu! Barang
siapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa
yang takut akan kematian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, dan barang siapa yang yakin
akan al-hisab (hari penghitungan), ia akan menghindari azab (Allah)."

Umar hanya terdiam mendengar perkataan sang nenek tua itu. Tak satu kata pun terucap
dari mulutnya. Al Jarud Al Abidy yang menemani Umar merasa terganggu dengan sikap nenek
tua itu. Al Jarud berkata, "Hei Nenek, Engkau telah berlebihan atas Amirul Mukminin."

"Biarkanlah ia…" cegah Umar Ra kepada Al-Jarud, "Apa engkau tidak mengenalnya?
Dialah Khaulah yang perkataannya didengar oleh Allah dari atas tujuh lapis langit maka Umar
lebih berhak untuk mendengarnya", tutur Amirul Mukminin.

Bahkan dalam riwayat lain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ia tidak
meninggalkanku sampai malam tiba, aku akan terus mendengarkannya sampai ia menunaikan
keinginannya. Kecuali jika datang waktu shalat, aku akan shalat lalu kembali padanya, sampai ia
menuntaskan keinginannya."

Umar RA selalu setia mendengarkan keluhan rakyatnya. Begitulah Umar memberikan


keteladanan kepada kita semua. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pendengaran yang
peka terhadap keluhan, bahkan kritikan rakyatnya. Ia menyadari betul, kekuasaannya hanyalah
amanah yang harus ia tunaikan kepada para pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.

Seorang Pemimpin haruslah menyadari bahwa dia juga tidak lebih baik daripada yang
dipimpinnya. Seorang pemimpin juga perlu untuk diingatkan ketika lalai, dan perlu diluruskan
ketika salah. Kita bisa melihat contoh ini dalam masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar, dimana
beliaulah yang menggantikan kepemimpinan Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Ini tentunya
adalah beban kepemimpinan yang sangat berat karena resikonya adalah perpecahan umat islam
pasca meninggalnya Nabi Muhammad.

Pesan mengenai beratnya amanah dari kepemimpinan yang pernah Beliau emban,
disampaikan oleh Abu Bakar Ra saat dilantik menjadi Khalifah, "Sesungguhnya dalam posisi ini
aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Ketahuilah kadang-kadang syaitan menguasai diriku.
Bila aku baik bantulah aku. Bila aku salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian tidak wajib menaatiku."
(Khutbah ini diungkapkan dengan bermacam-macam redaksi pada Ibn Hiyam (4 : 340), Al-Tabari
(3 : 303), Al-Imamah wa Al-Syiyasah (16); Ibn Katsir (5 : 248); Tarikh Al-Khulafa' (47); Al-
Halabiyah (3 : 397); dan Kanz Al-Ummal (3 : 129)
Namun sayangnya, tidaklah demikian yang sering kita jumpai di era "modern" ini. Tidak
semua pemimpin mau diluruskan ketika salah, dan tidaklah semua pemimpin merasa dirinya tidak
lebih baik dari siapapun.

Kepemimpinan bukanlah sebuah amanah yang main-main. Tanggung jawabnya sungguh


besar, sehingga tidak semua orang bisa memikul semua derajat kepemimpinan. Setiap orang punya
kemampuan memikul amanah kepemimpinan yang berbeda-beda. Ada yang mampu memikul
yang paling berat, tapi ada juga yang hanya mampu memikul beban yang ringan-ringan. Setiap
tingkatan kepemimpinan yang dipikul merupakan suatu amanah yang suatu saat nanti akan
dimintai pertanggung jawabannya.

Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup dan menjadi pemimpin umat islam, Beliau
tidak serta merta memberikan posisi dan jabatan kepemimpinan pada sembarang orang, sekalipun
mereka yang meminta jabatan adalah sahabat Beliau, terlebih lagi keluarga Beliau sendiri.

Riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “ Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar
permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda: “Ya Abu Dzar, engkau seorang
yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan
menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan
apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain dikisahkan bahwa Rasulullah saw pernah menasehati sahabat
bernama Abdurrahman bin Samurah r.a Beliau bersabda, "Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya
engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik pada kebenaran). Namun, jika diserahkan
kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)."

Kepemimpinan bukanlah alat yang dijadikan sarana sehingga seseorang bisa mengambil
sejumlah kenikmatan dunia, seperti harta, ingin bersikap sombong di muka bumi, ingin dipuji,
ingin dikenang dalam sejarah, dan lain sebagainya. Kepemimpinan haruslah selalu diorientasikan
pada tujuan-tujuan dalam mendapatkan kemulian yang setinggi-tingginya di akhirat kelak. Dengan
tujuan yang demikian, maka proses kepemimpinan akan selalu terarah sesuai dengan tuntunan
Allah dan Rasulnya.

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya
untuk untuk orang-orang yang bertakwa”. (Al-Qashash: 83)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan: “Allah Subhanahu wa


Ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan
pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang
tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak
menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah yang lain, tidak merasa besar, tidak
bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka”. (Tafsir
Ibnu Katsir, 3/142)

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya
bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan
melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak
akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta
jabatan”. (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/469)

Mengenai perlunya sebuah kepemimpinan menjauhkan dirinya dari orientasi terhadap


harta dan dunia, bisa dilihat dalam kekhalifaan Abu Bakar ketika memimpin umat Islam. Sebelum
wafat, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya Aisyah, “Kembalikanlah barang-barang keperluanku
yang telah diterima dari baitul mal kepada khalifah penggantiku. Sebenarnya aku tidak mau
menerima gaji dari baitul mal, tetapi karena Umar memaksa aku supaya berhenti berdagang dan
berkonsentrasi mengurus kekhalifahan,” ujarnya berwasiat.

Abu Bakar juga meminta agar kebun yang dimilikinya diserahkan kepada Khalifah
penggantinya, “Itu sebagai pengganti uang yang telah aku terima dari baitul mal", kata Abu Bakar.
Setelah ayahnya wafat, Aisyah menyuruh orang untuk menyampaikan wasiat ayahnya kepada
Umar. Umar pun berkata, “Semoga Allah SWT merahmati ayahmu.”

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran. Sosok pemimpin besar yang telah berkontribusi
besar bagi umat Islam, bersikap tidak rakus terhadap harta kekayaan. Beliau tidak menghendaki
digaji bahkan mewasiatkan harta yang dia miliki untuk disumbangkan kepada kas negara. Meski
ia adalah seorang khalifah, namun tetap memilih hidup sederhana demi menjaga amanah.

Contoh yang lain adalah khalifah setelah Abu Bakar, yaitu Umar bin Khatab. Sebagai
Khalifah, Umar bin Khattab berkeseharian zuhud meski beliau sesungguhnya seorang yang sangat
kaya. Suatu hari, jamaah kaum muslimin hendak menunaikan sholat Jumat. Ketika waktu sholat
sudah dekat, dan khutbah jumat sudah saatnya disampaikan, tapi Amirul Mukminin Umar bin
Khattab r.a belum juga keluar dari rumahnya. Sebagian jamaah mulai menduga-duga, jangan-
jangan Khalifah sedang sakit karena tidak seperti biasanya ia terlambat menyampaikan khutbah
Sholat Jumat.

Dan tak berapa lama kemudian Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a keluar dari rumah
menemui jamaah kaum muslimin yang sudah menanti dimulainya khutbah jumat. Setelah memuji
Allah dan bersholawat kepada Nabi SAW dan menyampaikan pesan taqwa kepada jamaah ia
menyampaikan perihal keterlambatannya mengisi khutbah. Amirul Mukminin Umar bin Khattab
r.a berkata, “Aku hanya memiliki selembar pakaian ini saja yang selalu aku pakai setiap hari dalam
menjalankan tugas kekhalifahanku dan tadi aku mencucinya dan lama aku menungguinya hingga
mengering."

Sambil berkata seperti itu Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a selalu mengibas
ngibaskan pakaian gamisnya karena belum kering sepenuhnya. Umar bin Khattab pernah berkata
“Rasulullah SAW telah mendahuluiku dan beliau telah memperoleh nikmat disisi Allah, begitu
juga Abu Bakar juga telah berhasil mencontohnya maka ia juga beroleh nikmat disisi Allah dan
sekarang tinggal aku seorang yang belum jelas nasibnya, maka akan menyesal aku bila tidak
mencontoh mereka berdua”.
Hal-hal seperti inilah yang perlu dijadikan bahan renungan bersama, dimana konsep
kepemimpinan yang selama ini dianut, tidaklah sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Islam.
Bukankah kebanyakan tujuan orang ingin menjadi pemimpin adalah ingin menguasai orang,
meraup keuntungan-keuntungan keduniaan, atau karena merasa diri sendiri lebih pantas
memimpin dibandingkan manusia lainnya. Jadi tidaklah mengherankan apabila seseorang telah
memiliki label pemimpin, maka kemewahan dunia yang dia dapatkan segera dia pertontonkan.
Bisa demi gengsi atau bisa juga dengan alasan meningkatkan wibawa. Seorang pemimpin harus
memiliki barang-barang dan mengenakan fasilitas-fasilitas yang paling baik. Coba bandingkan
dengan Umar yang tidak malu untuk mempertontokan hidupnya yang sederhana dengan hanya
memiliki selembar pakaian.

Tawaran dari kemudahan dunia dan gemerlapnya fasilitas yang bisa didapat dari sebuah
kepemimpinan membuat semuanya ingin memimpin. Semuanya menginginkan menjadi pejabat.
Seperti yang seringkali kita lihat di tengah-tengah kita. Betapa rakus dan semangatnya orang-orang
yang ingin menginginkan jabatan ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan
kerakusan terhadap jabatan lebih hebat daripada dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di
tengah segerombolan kambing.

Rasulullah bersabda: “Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan
kambing lebih merusakkan daripada seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk
mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh
Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Hal inilah yang juga membedakan konsep kepemimpinan Islam dengan konsep
kepemimpinan modern yang kita kenal selama ini. Mereka yang mengerti makna kepemimpinan
akan selalu menjauhi kepemimpinan, karena mereka mengetahui bahwa dibalik kepemimpinan
tersimpan amanah yang besar dan berat. Tanggung jawabnya besar, terutama pertanggung
jawabannya di hadapan Allah.
Amirul Mukminin, Umar bin Khattab pernah berkata, "Kalau seandainya ada seekor
domba yang mati di tepi sungai Furat nun jauh di sana, aku pasti menduga bahwa Allah akan
meminta pertanggungjawabanku di hari akhirat kelak".

Hal yang perlu diketahui, mereka yang paling pantas memimpin seharusnya mereka yang
memang ahli dan punya kapabilitas dalam kepemimpinan di bidangnya. Bukanlah mereka yang
punya latar belakang punya hubungan kekerabatan dengan pejabat, punya popularitas karena
banyak dipilih oleh masyarakat, yang paling kaya dan lain sebagainya. Apabila yang terjadi adalah
demikian, maka sistem kepemimpinan yang dijalankan akan menyengsarakan rakyat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?” Beliau menjawab:
“Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”.
(HR. Bukhari)

Dengan demikian, marilah kita semua perjuangkan penegakan kepemimpinan sejati sesuai
dengan tuntunan Allah dan Rasulnya. Ini bisa kita mulai dengan diri sendiri, dengan menjadi
pemimpin untuk diri sendiri secara penuh. Jangan biarkan nafsu dan keinginan yang rendah pada
dunia yang kita jadikan sebagai pemimpin diri kita. Lalu selanjutnya ketika telah berkeluarga
kembangkan kepemipinan di lingkup keluarga, sebagai kepala keluarga (untuk laki-laki), dan
seterusnya hingga ke lingkup yang lebih besar sesaui dengan kapabilitas kepemimpinan kita. Di
sisi lain, kita harus selalu berdo'a semoga umat Islam ini bisa segera terlepas dari krisis
kepempimpinan yang selama ini terjadi. Dimana kejayaan dan kedigdayaan tidak lagi berada di
tangan generasi umat Islam. Tidak seperti halnya yang terjadi semenjak abad ke 8 hingga berakhir
sekitar abad 13 ketika umat ini mengalami masa-masa kejayaan.

Anda mungkin juga menyukai