Anda di halaman 1dari 15

2.

1 Otopsi
2.2.1 Pengertian
Istilah lain untuk bedah mayat adalah autopsi, seksi, nekropsi, obduksi, pemeriksaaan
post-mortem dan istilah belanda lijkschouwing. Kita mengenal 3 macam bedah mayat, yaitu
bedah mayat anatomi, bedah mayat klinis, dan bedah mayat kehakiman (Hamdani dan
Njowito, 1992).

2.2.2 Macam-macam Otopsi


a. Bedah mayat anatomi
Bedah mayat anatomi dilakukan untuk kepruan pendidikan mahasiswa fakultas
kedokteran.bahan yanag dipakai adalah mayat yang dikirim kerumah sakit yang setelah
disimpan 2x24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang
mengakuinya.setelah di awetkan di laboratorium anatomi,mayat disimpan sekurang
kurangnya 1 tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hokum hal ini
dapat dipertanggung jawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakui menjadi milik
Negara setelah 3 tahun(KUHP perdata pasal 1129). Ada kalanya,seseorang mewariskan
mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran hal ini haruslah sesuai dengan
KUHP pasal 935 (Hamdani dan Njowito, 1992).

b. Bedah mayat klinis


Bedah mayat klinis dilakukan dengan tujuan menentukan sebab kematian,membuat
diagnosa post-mortan bedah mayat klinis dilakukan dengan persetujuan tertulisahli
waris,adakalanya ahli waris sendiri yang memintanya. autopsi klinik dilengkapi dengan
pemeriksaan histopatologi, bakteriologi, seriologi, dan lain-lain.hasil bedah mayat klinis
dengan persetujuan tertulis ahli waris dapat diminta untuk dijadikan visum et repertum atas
permohonan penyidik (Hamdani dan Njowito, 1992).

c. Bedah mayat kehakiman


Bedah mayat kehakiman dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan
adanya penyidikan suatu perkara pidana.kata bedah mayat kehakiman dalam bahasa belanda
gerechtelijke lijkschouwing terdapat dalam KUHP pasal 33,KUHP pasal 222, catatan sipil
eropa pasal 72, catatan sipil cina pasal 20 dan stbl.1871 no.91.autopsi kehakiman mutlak
harus dikerjakan atas dasar pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam mayat (Hamdani dan
Njowito, 1992).
2.2.3 Teknik otopsi
Untuk otopsi tidak diperlukan alat khusus dan mahal,cukup:
1. timbangan besar untuk menimbang mayat
2. timbangan kecil untuk menimbang organ
3. pisau dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam
4. gunting:berujung runcing dan tumpul
5. pinset:anatomis dan bedah
6. gergaji:gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel
7. forseps atau cunam untuk melepaskan dura mater
8. gelas takar 1 liter
9. pahat
10. palu
11. meteran
12. jarum dan benang (Hamdani dan Njowito, 1992).

2.2 Rekam Medis


2.3.1 Pengertian
Dalam Permenkes No. 749/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian RM
adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan
(KKI, 2009).

2.3.2 Manfaat Rekam Medis


a. Pengobatan Pasien
Rekam medis bermanfaat sebagai dasar dan petunjuk untuk merencanakan dan
menganalisis penyakit serta merencanakan pengobatan, perawatan, dan tindakan medis yang
harus diberikan kepada pasien (KKI, 2009).
b. Peningkatan Kualitas Pelayanan
Membuat Rekam Medis bagi penyelenggaraan praktek kedokteran dengan jelas dan
lengkap akan meningkatkan kualitas pelayanan untuk melindungi tenaga medis dan untuk
pencapaian kesehatan masyarakat yang optimal (KKI, 2009).

c. Pendidikan dan Penelitian


Rekam Medis yang merupakan informasi perkembangan kronologis penyakit,
pelayanan medis, pengobatan dan tindakan medis, bermanfaat untuk bahan informasi bagi
perkembangan pengajaran dan penelitian di bidang profesi kedokteran dan kedokteran gigi
(KKI, 2009).

d. Pembiayaan
Berkas Rekam Medis dapat dijadikan petunjuk dan bahan untuk menetapkan
pembiayaan dalam pelayanan kesehatan pada sarana kesehatan. Catatan tersebut dapat
dipakai sebagai bukti pembiayaan kepada pasien (KKI, 2009).

e. Statistik Kesehatan
Rekam Medis dapat digunakan sebagai bahan statistik kesehatan, khususnya untuk
mempelajari perkembangan kesehatan masyarakat dan untuk menentukan jumlah penderita
pada penyakit-penyakit tertentu (KKI, 2009).

f. Pembuktian Masalah Hukum, Didiplin dan Etik


Rekam Medis merupakan alat pembuktian tertulis utama, sehingga bermanfaat dalam
penyelesaian masalah hukum, disiplin dan etik (KKI, 2009).

2.3.3 Tujuan Rekam Medis


Tujuan rekam medis adalah menunjang tercapainya tertib administrasi dalam upaya
peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan
rekam medis yang baik dan benar, mustahil tertib administrasi rumah sakit akan berhasil
sebagaimana yang diharapkan (Samil, 2001).
Padahal,tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan pelayanan kesehatan di rumah sakit.Tujuan rekam medis secara terperinci akan
terlihat dan terlihat pula analog dengan kegunaan rekam medis itu sendiri (Samil, 2001).

a. Aspek Administrasi

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai administratif karena isinya menyangkut
tindakan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab sebagai tenaga medis dan paramedis
dalam mencapai tujuan pelayanankesehatan (Samil, 2001).

b. Aspek Medis
Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai medik, karena catatan tersebut
dipergunakan sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan dan perawatan yang harus
diberikan kepada seorang pasien (Samil, 2001).

b. Aspek Hukum

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai hukum karena isinya menyangkut
masalah adanya jaminan kepastian hukum atas dasar keadilan dalam rangka usaha
menegakkan hukum serta penyediaan bahan tanda bukti untuk menegakkan keadilan (Samil,
2001).

c. Aspek Keuangan

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai keuangan karena isinya dapat dijadikan
nsebagai bahan untuk menetapkan pembayaran biaya pelayanan di rumah sakit. Tanpa bukti
catatan tindakan pelayanan,pembayaran biaya pelayanan di rumah sakit tidak dapat
dipertanggungjawabkan (Samil, 2001).

d. Aspek Penelitian

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian karena isinya mengandung data
atau informasi yang dapat dipergunakan sebagai aspek penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dibidang kesehatan (Samil, 2001).

e. Aspek Pendidikan

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai penelitian karena isinya menyangkut data
informasi tentang perkembangan kronologis dan kegiatan pelayanan medik yang diberikan
kepada pasien. Informasi tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan/referensi pengajaran
dibidang profesi si pemakai (Samil, 2001).

f. Aspek Dokumentasi

Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena isinya menyangkut
sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai bahan
pertanggungjawaban laporan rumah sakit. Dengan melihat beberapa aspek tersebut
diatas,rekam medis mempunyai kegunaan yang sangat luas karena tidak hanya menyangkut
hunbungan antara pasien dan pemberi pelayanan saja.Secara umum kegunaan rekam medis
adalah sebagai berikut (Samil, 2001).

 Sebagai alat komunikasi anatara dokter dan tenaga ahli lainnya yang ikut ambil
bagian di dalam memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien
 Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan dan perawatan yang harus
diberikan kepada seorang pasien
 Sebagai bukti tertulis atas tindakan pelayanan,perkembangan penyakit,dan
pengobatan selama opasien berkunjung dan dirawat di rumah sakit
 Sebagai bahan yang berguna untuk analisis,penelitian, dan evaluasi terhadap
kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien
 Sebagai perlindungn kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit, maupun dokter
dan tenaga kesehatan lainnya
 Sebagai persediaan data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian
dan pendidikan
 Sebagai dasar perhitungan biaya pelayanan medik pasien
 Sumber ingatan yang harus didokumentasikan serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan (Samil, 2001).

2.3.4 Isi Rekam Medis


 Catatan, merupakan uraian tentang identitas pasien, pemeriksaan pasien,
diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain baik dilakukan oleh dokter
dan daokter gigi maupun tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan kompetensinya
 Dokumen, merupakan kelengkapan dari catatan tersebut, antara, lain foto rontgen,
hasil laboratorium dan keterangan lainnya sesuai, dengan kompetensi ilmunya
(KKI, 2009).

2.4 Peran dokter gigi dalam Forensik


Tugas dokter gigi dalam lingkup forensik adalah melakukan pemeriksaan terhadap
keadaan mulut dan gigi dan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan mulut dan gigi,
contohnya : memeriksa bekas gigitan. Oleh sebab itu seorang dokter gigi dapat dilibatkan
dalam pembuatan Visum et Repertum oleh dokter pembuat Visum et Repertum sebagai
konsultan untuk memeriksa keadaan mulut dan geligi korban, karena dokter gigi tidak
memiliki wewenang khusus untuk membuat Visum et Repertum (Ardan, 2008) Gigi
merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat
secara baik dan benar. Selain itu, data berupa foto gigi semasa hidup dapat dipakai sebagai
data pembanding dengan hasil pemeriksaan jenazah. Beberapa alasan dapat dikemukakan
mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi (Unair, 2008).
Pertama, gigi adalah bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan
organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas bahan anorganik sehingga
tidak mudah rusak, terletak dalam rongga mulut yang terlindungi dan dibasahi oleh air liur
(Unair, 2008).
Kedua, manusia memiliki 2 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing
mempunyai lima permukaan. Dengan demikian, maka di dalam rongga mulut terdapat 160
permukaan gigi dengan berbagai variasi keadaan, yaitu baik, rusak, ditambal, dicabut, gigi
tiruan, implant dll. Dengan asumsi jumlah penduduk sebanyak 3 milyar, maka kemungkinan
terdapatnya dua orang dengan data gigi dan mulut yang identik adalah satu berbanding dua
milyar penduduk. Selain itu melalui pengamatan gigi geligi, kita dapat memperoleh informasi
tentang umur, ras, jenis kelamin, golongan darah, ciri-ciri khas, dan bentuk wajah atau raut
muka korban (Unair, 2008).

2.4.1 Peran dalam pidana kasus forensik


Keterlibatan dokter gigi sehubungan dengan Kedokteran Gigi Forensik dapat dibagi
menjadi 3 bidang (Cameron dan Sims, 1973) yaitu :
a. Perdata non-kriminal
b. Kriminal
c. Penelitian (Ardan, 2008).
Pada dasarnya dokter dan dokter gigi dalam membantu aparat penegak hukum dapat
dibedakan atas (Prakoso, 1987) :
 Menurut obyek pemeriksaan :
a. Orang hidup
b. Jenazah
c. Benda-benda atau yang berasal dari dalam tubuh (Ardan, 2008).

 Menurut jasa yang diberikan :


a. Melakukan pemeriksaan lalu mengemukakan pendapat dari hasil pemeriksaannya.
b. Mengajukan atau mengemukakan pendapat saja (Ardan, 2008).
 Menurut tempat kerja :
a. Di rumah sakit atau laboratorium
b. Pemeriksaan di tempat kejadian
c. Di muka sidang pengadilan (Ardan, 2008).
AUTOPSI
Isltilah lain untuk bedah mayat adalah: autopsy, seksi, nekropsi, obduksi, pemeriksaan post-
mortem dan istilah Belanda lijkschouwing.
Kita mengenal tiga macam bedah mayat, yaitu: bedah mayat anatomi, bedah mayat
klinis, dan bedah mayat kehakiman.
1. Bedah mayat anatomi
Bedah mayat anatomi dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa
fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit
yang setelah disimpan 2x24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak
ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat
disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum
anatomi.
Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak
ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal
1929).
Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada
fakultas kedoktera, hal ini haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal 935.
2. Bedah Mayat Klinis
Bedah mayat klinis dilakukan dengan tujuan menentukan sebab kematian,
membuat diagnosa post-mortem. Bedah mayat klinis dilakukan dengan persetujuan
tertulis ahli waris, ada kalanya ahli sendiri yang memintanya. Autopsi klinik
dilengkapi dengan pemeriksaan histopatologi, seriologi, dan lain-lain. Hasil bedah
mayat klinis dengan persetujuan tertulis ahli waris dapat diminta untuk dijadikan
visum et repertum atas permohonan penyidik.

3. Bedah Mayat Kehakiman


Bedah mayat kehakiman dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan
dengan adanya penyidikan suatu perkara pidana.
Kata “bedah mayat kehakiman” atau dalam bahasa Belanda gerechtelike
lijkschouwing terdapat dalam KUHAP pasal 133, KUHP pasal 222, Catatan Sipil
Eropa pasal 72, Catatan Sipil Cina pasal 80 dan Stbl No. 91. Autopsi kehakiman
mutlak harus dikerjakan atas dasar pemeriksaan dalam mayat.
Tata Laksana Autopsi Kehakiman
Tata laksana autopsy kehakiman di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya: Yang pertama-tama
menghadapi keluarga mayat adalah petugas ruang jenazah. Petugas tersebut harus member
penjelasan mengenai adanya permohonan visum et repertum mayat dan oleh karena itu
mayat harus dibedah. Biasanya, pihak keluarga mengajukan berbagai keberatan antara lain
alasan agama. Sebenarnya tidak ada satu agama pun yang melarang autopsy termasuk agama
Islam yang dinyatakan dalam Keputusan Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’
Kementerian Kesehatan RI.
Secara Yuridis, persetujuan keluarga mayat tidak diperlukan seperti telah ditentukan
dalam stbl. 1871/91. Karena dokter hanya merupakan pelaksana permohonan penyidik untuk
melakukan autopsi, maka keluarga mayat yang dipersilakan mengajukan keberatannya
kepada penyidik. Siapa dari penyidik yang berwenang mencabut surat permohonan visum et
repertum mayat, ditentukan dalam instruksi Kapolri No. Pol:INS/E/20/IX/75.
Jika permohonan keluarga mayat agar mayat tidak dilakukan autopsy dikabulkan,
berarti terhadap mayat tidak dilakukan pemeriksaan sama sekali, dokter hanya menentukan
korban benar-benar sudah meninggal dan kepada kelurga korban diberikan surat untuk
penguburan.
Penyidik sedapatnya harus mengusahakan supaya autopsy dapat dikerjakan
secepatnya, karena iklim tropik yang panas mempercepat pembusukan yang sangat
menyukarkan pemeriksaan bedah mayat. Sebelum dokter melakukan autopsi, penyidik harus
member cukup keterangan mengenai peristiwa kepada dokter supaya pemeriksaan dapat
ditujukan pada pemeriksaan tertentu dan ini hanya dapat dicapai bila ada kerja sama yang
baik antara penyidik dan dokter.
Autopsi yang perlu mendapat perhatian pimpinan kepolisian adalah autopsi terhadap
seorang yang meninggal dalam tahanan polisi, sedangkan sewaktu ia ditahan keadaannya
adalah sehat walafiat. Pendapat Prof. M. Soetodjo Mertodjojo ini perlu dilaksanakan.
Dengan adanya visum et repertum mayat, masyarakat dapat mengetahui apakah orang
tahanan itu meninggal secara wajar, sakit TBC dan hati (liver, lever) atau meninggal karena
roda paksa, penganiayaan. Bila meninggal karena penganiayaan, pimpinan dapat mengambil
tindakan terhadap para oknum polisi dan kejadian seperti terjadi di Pontianak dapat
dihindarkan.

Njowito Hamdani, 1971, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Surabaya: PT Gramedia Pustaka


Utama
Autopsi
2.2.1 Pengertian Autopsi
Menurut Njowito (1971), istilah lain untuk bedah mayat adalah autopsi, nekropsi,
obduksi, pemeriksaan post-mortem dan istilah Belanda lijkschouwing. Kita mengenal
tiga macam bedah mayat, yaitu: bedah mayat anatomi, bedah mayat klinis, dan bedah
mayat kehakiman.
4. Bedah mayat anatomi
Bedah mayat anatomi dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa
fakultas kedokteran. Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit
yang setelah disimpan 2x24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak
ada ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat
disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum
anatomi.
Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak
ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun. Ada kalanya,
seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedoktera, hal ini
haruslah sesuai dengan KUHPerdata pasal 935.
5. Bedah Mayat Klinis
Bedah mayat klinis dilakukan dengan tujuan menentukan sebab kematian,
membuat diagnosa post-mortem. Bedah mayat klinis dilakukan dengan persetujuan
tertulis ahli waris, ada kalanya ahli sendiri yang memintanya. Autopsi klinik
dilengkapi dengan pemeriksaan histopatologi, seriologi, dan lain-lain. Hasil bedah
mayat klinis dengan persetujuan tertulis ahli waris dapat diminta untuk dijadikan
visum et repertum atas permohonan penyidik.
6. Bedah Mayat Kehakiman
Bedah mayat kehakiman dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan
dengan adanya penyidikan suatu perkara pidana. Kata “bedah mayat kehakiman” atau
dalam bahasa Belanda gerechtelike lijkschouwing terdapat dalam KUHAP pasal 133,
KUHP pasal 222, Catatan Sipil Eropa pasal 72, Catatan Sipil Cina pasal 80 dan Stbl
No. 91. Autopsi kehakiman mutlak harus dikerjakan atas dasar pemeriksaan dalam
mayat.

2.2.2 Tata Laksana Autopsi Kehakiman


Tata laksana autopsy kehakiman di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya yaitu yang
pertama menghadapi keluarga mayat adalah petugas ruang jenazah. Petugas tersebut
harus member penjelasan mengenai adanya permohonan visum et repertum mayat dan
oleh karena itu mayat harus dibedah. Biasanya, pihak keluarga mengajukan berbagai
keberatan antara lain alasan agama. Sebenarnya tidak ada satu agama pun yang melarang
autopsy termasuk agama Islam yang dinyatakan dalam Keputusan Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Syara’ Kementerian Kesehatan RI (Njowito, 1971).
Secara Yuridis, persetujuan keluarga mayat tidak diperlukan seperti telah
ditentukan dalam stbl. 1871/91. Karena dokter hanya merupakan pelaksana permohonan
penyidik untuk melakukan autopsi, maka keluarga mayat yang dipersilakan mengajukan
keberatannya kepada penyidik. Siapa dari penyidik yang berwenang mencabut surat
permohonan visum et repertum mayat, ditentukan dalam instruksi Kapolri No.
Pol:INS/E/20/IX/75 (Njowito, 1971).
Jika permohonan keluarga mayat agar mayat tidak dilakukan autopsi dikabulkan,
berarti terhadap mayat tidak dilakukan pemeriksaan sama sekali, dokter hanya
menentukan korban benar-benar sudah meninggal dan kepada kelurga korban diberikan
surat untuk penguburan. Penyidik sedapatnya harus mengusahakan supaya autopsi dapat
dikerjakan secepatnya, karena iklim tropik yang panas mempercepat pembusukan yang
sangat menyukarkan pemeriksaan bedah mayat. Sebelum dokter melakukan autopsi,
penyidik harus member cukup keterangan mengenai peristiwa kepada dokter supaya
pemeriksaan dapat ditujukan pada pemeriksaan tertentu dan ini hanya dapat dicapai bila
ada kerja sama yang baik antara penyidik dan dokter (Njowito, 1971).
Autopsi yang perlu mendapat perhatian pimpinan kepolisian adalah autopsi
terhadap seorang yang meninggal dalam tahanan polisi, sedangkan sewaktu ia ditahan
keadaannya adalah sehat walafiat. Pendapat Prof. M. Soetodjo Mertodjojo ini perlu
dilaksanakan. Dengan adanya visum et repertum mayat, masyarakat dapat mengetahui
apakah orang tahanan itu meninggal secara wajar, sakit TBC dan hati (liver, lever) atau
meninggal karena roda paksa, penganiayaan. Bila meninggal karena penganiayaan,
pimpinan dapat mengambil tindakan terhadap para oknum polisi dan kejadian seperti
terjadi di Pontianak dapat dihindarkan (Njowito, 1971).

2.2.3 Macam-macam Autopsi


Menurut Sarjadi (1999), berdasarkan tujuannya autopsi terbagi atas:
1. Autopsi Klinik
Autopsi klinik adalah autopsi yang dilakukan terhadap mayat seseorang yang
diduga terjadi akibat suatu penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab
kematian yang pasti, menganalisis kesesuaian antara diagnose klinis dan diagnose
postmortem, patogenesis penyakit dan sebagainya. Untuk autopsi mutlak diperlukan
ijin keluarga terdekat mayat tersebut. Sebaiknya autopsi klinik dilakukan secara
lengkap namun dalam keadaan amat memaksa dapat dilakukan juga autopsi parsial
atau needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut
kesimpulannya sangat tidak akurat.
2. Autopsi Forensik/Medikolegal
Autopsi forensik adalah autopsi yang dilakukan terhadap mayat seseorang
yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus
kecelakaan, pembunuhan maupun bunuh diri. Tujuan dari pemeriksaan autopsi
forensik adalah:
a. Membantu menentukan identitas mayat
b. Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian dan saat kematian.
c. Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan
d. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et
repertum
Autopsi forensik harus dilakukan sedini mungkin, lengkap dan oleh dokter
sendiri.
3. Autopsi Anatomi
Autopsi anatomi adalah autopsi yang dilakukan terhadap mayat korban
meninggal akibat penyakit oleh mahasiswa kedokteran dalam rangka belajar
mengenai anatomi manusia.

2.2.4 Tujuan Autopsi


Menurut Sarjadi (1999), tujuan autopsi adalah:
1. Dapat dilakukan untuk tujuan legal atau medikal
2. Informasi dari autopsi berguna untuk audit klinis, pendidikan, riset medis, dan
pengalokasian sumber
3. Perbedaan diagnosis di jembatani dan diperbaiki dengan autopsi dengan 30% kasus
4. untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisis kesesuaiaian antara
diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, patogenesis penyakit, dan sebagainya
5. Membantu penemuan identitas mayat
6. menentukan sebab kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian
7. mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas benda
penyebab dan pelaku kejahatan
8. membuat laporan tertulis obyektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.

2.2 Rekam Medis


2.2.1 Definisi
Ada 2 macam defenisi dari rekam medis, yakni:
a. Secara umum, rekam medis adalah suatu ikhtisar yang berisis informasi tentang
keadaan pasien selama masa perawatan atau selama pememliharaan kesehatan.
b. Menurut peraturan Menteri Kesehatan nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989, rekam
medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien,
hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lainnya yang diterima
pasien pada sarana kesehatan baik rawat inap maupun rawat jalan.
2.2.2 Dasar Pelaksanaan
Pelaksanaan rekam medis di Indonesia didasarkan pada dasar hukum dan standar
yang ditetapkan pada peraturan berikut:
1. Pasal 46 Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
2. Peraturan Kesehatan nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis.
3. Keputusan Menkes nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Pelayanan Rumah
sakit, Standar Pelayanan Rekam Medik, dam Manajemen Informasi Kesehatan.
4. Keputusan Direktorat JendralPelayanan Medik nomor 78 tahun 1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan penyelenggaraan rekam medik di rumah sakit.
5. SK PB IDI nomor 319/A.4/88 mengenai pernyataan IDI tentang Informed Consent
Catra Valaaa
2.4 Dokter Gigi Sebagai Saksi Akhli Dalam Perkara Pidana
Keterlibatan dokter gigi sehubungan dengan Kedokteran Gigi Forensik dapat dibagi
menjadi 3 bidang, yaitu: (a) Perdata non-kriminal (b) Kriminal dan (c) Penelitian. Pada
dasarnya dokter dan dokter gigi dalam membantu aparat penegak hukum dapat dibedakan
atas (Rachman, 2007):
1. Menurut obyek pemeriksaan:
a. Orang hidup
b. Jenazah
c. Benda-benda atau yang berasal dari dalam tubuh
2. Menurut jasa yang diberikan:
a. Melakukan pemeriksaan lalu mengemukakan pendapat dari hasil
pemeriksaannya
b. Mengajukan atau mengemukakan pendapat saja
3. Menurut tempat kerja:
a. Di rumah sakit atau laboratorium
b. Pemeriksaan di tempat kejadian
c. Di muka sidang pengadilan
Tugas dokter gigi dalam lingkup forensik adalah melakukan pemeriksaan terhadap
keadaan mulut dan gigi dan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan mulut dan gigi,
contohnya: memeriksa bekas gigitan. Oleh sebab itu seorang dokter gigi dapat dilibatkan
dalam pembuatan Visum et Repertum oleh dokter pembuat Visum et Repertum sebagai
konsultan untuk memeriksa keadaan mulut dan geligi korban, karena dokter gigi tidak
memiliki wewenang khusus untuk membuat Visum et Repertum. Walaupun demikian, dokter
gigi dapat membuat berbagai hasil pemeriksaan yang kedudukannya setara dengan Visum et
Repertum tetapi tidak dengan judul Visum et Repertum (Rachman, 2007).
Ada 4 langkah yang dilakukan dokter gigi untuk menjelaskan tanda-tanda gigitan
yaitu (Rachman, 2007) :
1. Memotret bekas gigitan
2. Pemeriksaan luka di tubuh korban
3. Pemeriksaan gigi dan pembuatan model gigi
4. Menganalisa hasil pemeriksaan.
Hasilnya adalah terdapat kesesuaian antara bekas gigitan dengan gigi kedua orangtua
korban. Semua hasil pemeriksaan tersebut dilampirkan dalam laporan hasil pemeriksaan
Odontologi Forensik yang dibuat untuk kehakiman, yang kedudukannya setara dengan
Visum et Repertum (Rachman, 2007).
Dalam laporan tersebut pemeriksa atau pembuat analisa bekas gigitan tidak boleh
memastikan pelaku gigitan, tapi hanya dapat mengemukakan ada atau tidaknya kesesuaian
antara susunan gigi geligi yang diperiksa dengan bekas gigitan yang ditemukan. Berdasarkan
pasal 180 ayat (1) KUH Pidana, untuk menjernihkan masalah, hakim meminta keterangan
dokter gigi di sidang pengadilan. Setelah mendapat surat panggilan, dokter gigi menghadap
pengadilan sesuai tanggal pemanggilan. Dokter gigi memberikan keterangan ahli disertai
pemutaran slide untuk menjelaskan hasil pemeriksaan odontologi forensik atas kasus
tersebut (Rachman, 2007).
Setelah hakim mempelajari, memahami kesaksian saksi ahli, hasil Visum et Repertum,
alibi, serta keyakinan dan pertimbangan lainnya, kemudian diputuskan terdakwa yang
terbukti bersalah. Perbedaan Visum et Repertum dengan catatan medis dan surat keterangan
medis lain adalah: catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis
beserta tindakan pengobatan atau perawatannya yang yang merupakan milik pasien,
meskipun dipegang oleh dokter atau institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada
rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam peraturan pemerintah no 10 tahun 1966 tentang
rahasia-rahasia kedokteran dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322 kitab undang-
undang hukum pidana (KUHP) (Rachman, 2007).
Dokter boleh membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk
keterangan medik, hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa
perjanjian yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada
klaim asuransi. Karena visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120,
179, dan 33 ayat 1 KUHP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia
pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa
seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk
pelaksanaan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum tersebut
hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintanya, untuk selanjutnya
mempergunakan dalam proses pengadilan (Rachman, 2007).

Anda mungkin juga menyukai