LP Anak 2010
LP Anak 2010
1. Defenisi
Sindroma gagal nafas (respiratory distress syndrom, RDS) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru (Suriadi dan Yuliani, 2001).
Gangguan ini biasanya dikenal dengan nama hyaline membran desease (HMD) atau
penyakit membran hialin karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin
yang melapisi alveoli.
2. Etiologi
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur,
asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome
(RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi
prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur.
3. Patofisiologi
RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat
yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran
nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%)
dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional
pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi
sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
a. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam
laktat asam organic>asidosis metabolic.
b. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam
alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan
membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantung, penurunan
aliran darah ke paru, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang
menyebabkan terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode
perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti
hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
6. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
a. Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea,
atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul
karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak
pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi
bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.
e. Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan
yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang
menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1). Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi
vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
7. Penatalaksanaan
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :
a. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
b. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
c. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
d. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
e. Mencegah hipotermia.
f. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum :
1) Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
2) Pantau selalu tanda vital
3) Jaga patensi jalan nafas
4) Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
5) Jika bayi mengalami apneu
(a) Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
(b) Lakukan penilaian lanjut
g. Bila terjadi kejang potong kejang segera periksa kadar gula darah
h. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai
dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas.
Menajemen spesifik atau menajemen lanjut:
3. Itervensi Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d imaturitas paru dan neuromuskular, defisiensi
surfaktan dan ketidakstabilan alveolar.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola
nafas efektif.
KH: - Jalan nafas bersih
- Frekuensi jantung 100-140 x/i
- Pernapasan 40-60 x/i
- Takipneu atau apneu tidak ada
- Sianosis tidak ada
1) Posisikan untuk pertukaran udara yang optimal; tempatkan pada posisi telentang
dengan leher sedikit ekstensi dan hidung menghadap keatap dalam posisi
’mengendus’
R: untuk mencegah adanya penyempitan jalan nafas.
2) Hindari hiperekstensi leher
R: karena akan mengurangi diameter trakea.
3) Observasi adanya penyimpangan dari fungsi yang diinginkan , kenali tanda-tanda
distres misalnya: mengorok, pernafasan cuping hidung, apnea.
R: memastikan posisi sesuai dengan yang diinginkan dan mencegah terjadinya
distres pernafasan.
4) Lakukan penghisapan
R: menghilangkan mukus yang terakumulasi dari nasofaring, trakea, dan selang
endotrakeal.
5) Penghisapan selang endotrakeal sebelum pemberian surfaktan
R: memastikan bahwa jalan napas bersih
6) Hindari penghisapan sedikitnya 1 jam setelah pemberian surfaktan
R: meningkatkan absorpsi ke dalam alvelolar
7) Observasi peningkatan pengembangan dada setelah pemberian surfaktan.
R: menilai fungsi pemberian surfaktan.
8) Turunkan pengaturan, ventilator, khususnya tekanan inspirasi puncak dan
oksigen
R: mencegah hipoksemia dan distensi paru yang berlebihan.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas ditandai dengan :
dispneu, perubahan pola nafas, penggunaan otot pernafasan, batuk dengan atau
tanpa sputum, cyanosis.
Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan
ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
Tindakan :
Independen
1) Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R:Penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha
dalam bernafas
2) Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
R:Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya
cairan dapat meningkatkan fremitus
3) Catat karakteristik dari suara nafas
R:Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo
branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran
nafas
4) Catat karakteristik dari batuk
R:Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi
dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan
purulent
5) Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila
perlu
R:Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
6) Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan
suction bila ada indikasi
R:Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan
atelektasis dan infeksi paru
7) Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R:Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
8) Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
R:Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
9) Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R:Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
10) Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika
ada indikasi
R:Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-
otot pernafasan
11) Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
R:Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret
dan meningkatkan ventilasi
c. Tidak efektifnya pola nafas yang berhubungan dengan ketidaksamaan nafas bayi dan
ventilator, tidak berfungsinya ventilator dan posisi bantuan ventilator yang kurang
tepat.
Tindakan :
Independen
1) Kaji status pernafasan, catat peningkatan respirasi atau perubahan pola nafas
R:Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia dan peningkatan
usaha nafas
2) Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti crakles,
dan wheezing
R:Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan. Crakles terjadi
karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler. Wheezing terjadi karena
bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan nafas
3) Kaji adanya cyanosis
R:Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb) sebelum cyanosis
muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir yang indikasi adanya
hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada kuku dan ekstremitas adalah
vasokontriksi.
4) Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan beristirahat
R:Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
5) Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
R:Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
Kolaboratif
6) Berikan humidifier oksigen dengan masker CPAP jika ada indikasi
R:Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus dengan tekanan yang
sesuai
7) Berikan pencegahan IPPB
R:Peningkatan ekspansi paru meningkatkan oksigenasi
8) Review X-ray dada
R:Memperlihatkan kongesti paru yang progresif
9) Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik, bronchodilator dan
ekspektorant
R:Untuk mencegah ARDS
d. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan sensible
dan insensible
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Intervensi Rasional
1) Pertahankan pemberian infus Dex 10% W 60 – 100 ml/kg bb/hari
R: Penggantian cairan secara adekuat untuk mencegah ketidakseimbangan
2) Tingkatkan cairan infus 10 ml/kg/hari, tergantung dari urine output,
penggunaan pemanas dan jumlah feedings
R: Mempertahankan asupan cairan sesuai kebutuhan pasien. Takipnea dan
penggunaan pemanas tubuh akan meningkatkan kebutuhan cairan
3) Pertahankan tetesan infus secara stabil, gunakan infusion pump
Untuk mencegah kelebihan atau kekurangan cairan.
R:Kelebihan cairan dapat menjadi keadaan fatal.
4) Monitor intake cairan dan output dengan cara :
- Timbang berat badan bayi setiap 8 jam
- Timbang popok bayi untuk menentukan urine output
- Tentukan jumlah BAB
- Monitor jumlah asupan cairan infus setiap hari
R:Catatan intake dan output cairan penting untuk menentukan ketidak
seimbangan cairan sebagai dasar untuk penggantian cairan
5) Lakukan pemeriksaan sodium dan potassium setiap 12 atau 24 jam
R:Peningkatan tingkat sodium dan potassium mengindikasikan terjadinya
dehidrasi dan potensial ketidakseimbangan elektrolit
e. Resiko tinggi gangguan termoregulasi : hipotermi b.d belum terbentuknya lapisan
lemak pada kulit.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu
tubuh tetap normal.
Kriteria Evaluasi :
- Suhu 37 °C
- Bayi tidak kedinginan
Intervensi dan Rasional :
a. Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
R : Mencegah terjadinya hipotermi
b. Atur suhu incubator
R : Menjaga kestabilan suhu tubuh
c. Pantau suhu tubuh setiap 2 jam
R : Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi
DAFTAR PUSTAKA
Evan. 2011. Asuhan Keperawatan Pasien Respiratory Distress Syndrome (RDS),
diakses pada tanggal 10 September 2011
<http://www.ilmukeperawatanku.com/asuhan-keperawatan-pasien-respiratory-
distress-syndrome-rds.html>
Indrasanto, Eriyanti., dkk. 2008. Paket Pelatihan Pelayanan Obsetri Dan Neonatal
Emergensi Komprehensif (PONEK).
Kosim. M.S., 2010. Deteksi Dini Dan Manajemen Gangguan Napas Pada Neonatus
Sebagai Aplikasi P O N E K (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency
Komprehensif). Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi/ FK UNDIP
Semarang
Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
Nur .A ., dkk. 2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory
Distress Syndrome. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair/RSUD Dr.
Soetomo
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor :
Rusepno Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.
Suriadi dan Yuliani, R. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, edisi 1 Jakarta : CV
Sagung Seto