Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan
pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi),
perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan
nyeri menahun. Dalam anastesi dibagi beberapa macam jenis anastesi diantaranya
anastesi umum, anastesi lokal dan anastesi regional. Salah satu anestesi regional
yang banyak digunakan adalah subarachnoid block (SAB) atau disebut juga
anestesi spinal.
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas berupa blok
simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik (tergantung pada dosis, konsentrasi
atau volume dari anestesi lokal) dengan memasukkan anestesi local dalam ruang
subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan
anesthesia pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah. Keuntungan lain
dari penggunaan neuraxial blok yang efektif adalah penurunan tekanan darah
arteri yang dapat diprediksi dan juga denyut nadi sehubungan dengan
simpatektomi dengan kejadian vasodilatasi dan blokade serabut kardioselarator,
untuk menjaga tekanan darah dan denyut nadi tetap dalam batas normal, sering
dibutuhakan obat vasoaktif dan cairan intravena.
SAB mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan metabolik
dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, jumlah perdarahan dapat
dikurangi, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat minimal, tromboemboli
berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah yang terblok sementara
pasien tetap dalam kondisi sadar. Selain keuntungan juga terdapat kerugian dalam
cara ini, yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual, muntah, postdural
puncture headache (PDPH), nyeri pinggang dan lainnya. Hal ini menimbulkan
timbunan darah di perifer dan mengurangi aliran balik vena sehingga
menyebabkan turunnya curah jantung. Pasien dapat mengalami kerusakan organ
akibat perfusi yang kurang, bahkan dapat terjadi henti jantung karena kurangnya
perfusi koroner. Penurunan tekanan darah berhubungan dengan penurunan curah

1
jantung, resistensi pembuluh sistemik, hambatan mekanisme baroreseptor, depresi
kontraktilitas miokard, penurunan aktivitas simpatik dan efek inotropik negative.
Efek depresi miokard dan vasodilatasi yang tejadi tergantung dosis. Vasodilatasi
terjadi akibat penurunan aktivitas simpatik dan efek langsung mobiliasasi Ca pada
interseluler otot polos.
Ada beberapa alternatif terapi hipotensi. Autotransfusi dengan posisi
head down dapat menambah kecepatan pemberian preload. Bradikadi yang berat
dapat diberikan antikolinergik. Jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan,
maka vasopresor langsung atau tidak langsung dapat diberikan, seperti efedrin
dengan dosis 5-10 mg bolus IV. Efedrin merupakan vasopresor tidak langsung,
meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer).
Efek perifer tergantung ketersediaan katekolamin, bila kosong efek tidak terjadi.
Vasopresor langsung seperti phenylephrine memperbaiki tonus vena,
menyebabkan vasokonstriksi arteriole dan meningkatkan preload. Pada kasus
hipotensi berat, pemberian epinefrin mungkin memberi perfusi koroner sebelum
iskemik mencetuskan cardiac arrest. Jika hipotensi disertai bradikardi,
phenylephrine mungkin lebih baik dihindari.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex
kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior
akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus
medius kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak
homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista
ini disebut kelenjar prostat.6
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara
lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada
zona transisional yang letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi
dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya
merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer.

3
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan
dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah
depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum
triangulare inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.

4
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat
dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat
secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.
Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan
jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomis sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang
membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
1. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya
yang menghasilkan bahan baku sekret.
2. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
3. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang
merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau
mengalami hipertrofi pada usia lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :


1. kapsul anatomis

5
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam
(inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran
pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan
bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan
lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung
jaringan kelenjar.
Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi
epitel thoraks selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga
keseluruhan epitel tampak menyerupai epitel berlapis.

Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis
inferior (cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a.
mesenterium inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna).
Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico
Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2
kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral darivesico
prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan
kelompok kelenjar periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa
cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar
paraurethral).

Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat
yang kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang
menuju ke kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.

6
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus
dari Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

Fisiologi
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan
cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat
dibawah pengaruh Androgen Bodiesdan dapat dihentikan dengan pemberian
Stilbestrol.

2.2 Definisi

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan


dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.

2.3 Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang


ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia.

7
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang
lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.

2.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab


terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya
hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian
estrogenlah yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain
ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan
menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat
menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan
menyebabkan produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol
pertumbuhan prostat. Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi
penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan
penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan
hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon estrogen
oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan
bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

8
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic
transforming growth factor, transforming growth factor 1,
transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.

3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel


yang mati

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya
kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi
sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel
stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya
proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau
proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi
berlebihan.

5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)


Dehidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron
didalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH.

9
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya pada BPH,
aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan
sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan
98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding
globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel
prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di
dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma
menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor”
yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese
protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular
morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat
ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan
tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan
faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang
berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol,

10
dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-
akibatnya.

2.5 Patofisiologi

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya


gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik
ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan
mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine
(obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot
polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor.
Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot
polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari
stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi
uretra. Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk
mengatasi resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan
berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk
ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin
tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua
muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini
jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

11
2.6 Gambaran Klinis

Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran


kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang
membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan
atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
2. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih


tergantung tiga faktor, yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala


obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar
dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun,
tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot
detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.

12
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria
yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara


klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih b
bagian atas + sisa urin > 150 ml.

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih


sebelah bawah, WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat
gangguan miksi yang disebut Skor Internasional Gejala Prostat atau I-
PSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri
atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS) dan
satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai

13
dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi
nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot
vesica urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica
urinaria akan mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Faktor pencetus
Kompensasi Dekompensasi
(LUTS) Retensi urin
Inkontinensia paradoksa
International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor

Keluhan pada bulan Tidak Hampir


<20% <50% 50% >50%
terakhir sekali selalu

a. Adakah anda merasa


buli-buli tidak kosong 0 1 2 3 4 5
setelah berkemih

b. Berapa kali anda


berkemih lagi dalam 0 1 2 3 4 5
waktu 2 menit

c. Berapa kali terjadi arus


urin berhenti sewaktu 0 1 2 3 4 5
berkemih

14
d. Berapa kali anda tidak
dapat menahan untuk 0 1 2 3 4 5
berkemih

e. Beraapa kali terjadi arus


lemah sewaktu memulai 0 1 2 3 4 5
kencing

f. Berapa keli terjadi


bangun tidur anda
0 1 2 3 4 5
kesulitan memulai untuk
berkemih

g. Berapa kali anda


bangun untuk berkemih di 0 1 2 3 4 5
malam hari

Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali

Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh


beberapa faktor pencetus, antara lain:
 Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau
minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air
dalam jumlah yang berlebihan
 Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut

15
 Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria,
antara lain: golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari
infeksi atau urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

2.7 Diagnosis

A. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif


b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang
keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum,
adanya kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba
prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba
membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,
permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan
menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas
atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat,

16
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat
tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria


bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi
pielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang.
Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah
inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan
sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di
fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,
condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kemih yang terisi
penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin
dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi.
1. Darah
 Ureum dan Kreatinin
 Elektrolit
 Blood urea nitrogen

17
 Prostate Specific Antigen (PSA)
 Gula darah

2. Urin :
 Kultur urin + sensitifitas test
 Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
 Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan
sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit
yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah
dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica urinaria.

d. Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu / kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa
menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

18
2. Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis
2. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar
prostat) atau ureter di sebelah distal yang berbentuk seperti mata
kail atauhooked fish
3. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi vesica urinaria
4. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi
urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran
indentasi.
4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk
melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan volume vesica urinaria
dan jumlah residual urine, serta mencari kelainan lain yang mungkin
ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel.

5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau
pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat
memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria
atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter,
atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi
keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang uretra
pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.

6. MRI atau CT jarang dilakukan


19
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan
bermacam – macam potongan.

e. Pemeriksaan Lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin
ditentukan oleh :
 daya kontraksi otot detrusor
 tekanan intravesica
 resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan
puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan,
laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya
sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin
lemah pancaran urin yang dihasilkan.

2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah
obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk
membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan
pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan
cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin
dapat diukur.

3. Pemeriksaan Volume Residu Urin


Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan
dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan
mengukur berapa volume urin yang masih tinggal atau ditentukan
dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan
dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada
orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total
sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari

20
100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

2.8 Kriteria Pembesaran Prostat

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan


beberapa cara, diantaranya adalah :
1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
 derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
 derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
 derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
 derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2. Berdasarkan jumlah residual urine


 derajat 1 : <50 ml
 derajat 2 : 50-100 ml
 derajat 3 : >100 ml
 derajat 4 : retensi urin total

3. Intra vesikal grading


 derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
 derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
 derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
 derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada


uretroskopi
 derajat 1 : kissing 1 cm
 derajat 2 : kissing 2 cm
 derajat 3 : kissing 3 cm
 derajat 4 : kissing >3 cm
2.9 Komplikasi

21
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Hidroureter
h. Hidronefrosis
i. Gagal Ginjal

2.10 Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik
dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan
sisa volume urin, yaitu:
 Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.
 Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat
satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin
lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
 Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
dan sisa urin lebih dari 100 ml
 Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHOProstate
Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap
dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan
WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul
obstruksi.

22
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan, yaitu :
 Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan
dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
 Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi
operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih
ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita
masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa
dicoba dengan pengobatan konservatif.
 Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih
dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan
operasi terbuka.
 Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang
kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat
dengan TURP atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi
yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk
hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade
terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai
keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran
kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya
kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor

23
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan
obstruksi pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara
medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

Pilihan Terapi pada Hiperplasi Prostat Benigna

Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal

Penghambat Prostatektomi TUMT


Watchfull waiting
adrenergik α terbuka TUBD

Penghambat Endourologi Strent uretra


reduktase α 1. TURP dengan prostacath
Fitoterapi 2. TUIP TUNA
Hormonal 3. TULP (laser)

Terapi Konservatif Non Operatif


1. Observasi (Watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang
diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obatan dekongestal
(parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan tidak diperbolehkan
minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan kontrol
keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan blocker (penghambat alfa adrenergik)
2. menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT)

24
Obat Penghambat adrenergik
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di
dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan
alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher
vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering
digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat
alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu
α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai
obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis
tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik
untuk mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak kontraktilitas
detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran
urine, menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga
memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat
jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.

Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase


Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5
mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan
dehidrotestosteron sehingga prostat yang membesar dapat mengecil.
Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan alpha blocker dan
manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar. Salah satu efek
samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.

Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi
yang digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw
Palmetto dan Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin
diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prostatisme BPH dalam
konteks “watchfull waiting strategy”.
Saw Palmetto menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:

25
 frekuensi nokturia berkurang
 aliran kencing bertambah lancar
 volume residu di kandung kencing berkurang
 gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
 menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor
androgen
 bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat
aktivitas enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase.

Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah
menimbulkan penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih,
hematuri, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau
keluhan LUTS yang tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani
pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi
terbuka atau operasi endourologi transuretra.
1. Prostatektomi terbuka
a.1. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
 Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
 Mortaliti rate rendah
 Langsung melihat fossa prostat
 Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
 Perdarahan lebih mudah dirawat
 Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu
selama bila membuka vesika

Kerugian :
 Dapat memotong pleksus santorini
 Mudah berdarah
 Dapat terjadi osteitis pubis

26
 Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
 Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis

a.2. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)


Keuntungan :
 Baik untuk kelenjar besar
 Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
 Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan
penyulit : batu buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya
sistostomi, retropubik sulit karena kelainan os pubis, kerusakan
sphingter eksterna minimal.

Kerugian :
 Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada
dinding vesica sembuh
 Sulit pada orang gemuk
 Sulit untuk kontrol perdarahan
 Merusak mukosa kulit
 Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :
 Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neckstenosis
4%)
 Inkontinensia (<1%)
 Perdarahan
 Epididimo orchitis
 Recurent (10 – 20%)
 Carcinoma
 Ejakulasi retrograde
 Impotensi
 Fimosis

27
 Deep venous trombosis

a.3. Transperineal
Keuntungan :
 Dapat langssung pada fossa prostat
 Pembuluh darah tampak lebih jelas
 Mudah untuk pinggul sempit
 Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :
 Impotensi
 Inkontinensia
 Bisa terkena rektum
 Perdarahan hebat
 Merusak diagframa urogenital

b. Prostatektomi Endourologi
b.1. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi
hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan
perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman,
efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada
sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh
pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan
tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini
berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan
trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar
supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi.

28
Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O
steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air
dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala
intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini
ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas
sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk
mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang
lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah
cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam,
dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air
pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :
 Luka incisi tidak ada
 Lama perawatan lebih pendek
 Morbiditas dan mortalitas rendah
 Prostat fibrous mudah diangkat
 Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

29
Kerugian :
 Teknik sulit
 Resiko merusak uretra
 Intoksikasi cairan
 Trauma sphingter eksterna dan trigonum
 Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
 Alat mahal
 Ketrampilan khusus

Komplikasi:
 Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
 Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
 Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi
retrograd, dan striktura uretra.

b.2. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif,
tetapi ukuran prostatnya mendekati normal.Pada hiperplasia prostat
yang tidak begitu besar dan pada pasien yang umurnya masih muda
umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher buli-buli atau
bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga
dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat
seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang
menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter
sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak
kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan
menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara
TUR.

b.3. Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)


Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk
mengangkat prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah,

30
sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat
memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara
operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4
menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri
dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn
effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan
prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera menjadi lebih lebar,
yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang akan
menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu
sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
 Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
 Teknik lebih sederhana
 Waktu operasi lebih cepat
 Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
 Tidak memerlukan terapi antikoagulan
 Resiko impotensi tidak ada
 Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).

2.11 Regional Anestesi Subarachnoid Block (RA-SAB)

1. SEJARAH RA-SAB
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam
klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB pertama kali
digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara luas
sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera
neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi tahun 1950
menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan

31
teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan
lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi
ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi umum jika kondisi memungkinkan.

2. DEFINISI RA-SAB
Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik –
central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral
nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari
pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan
laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang
diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti
tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi
umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-Babcock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil.

3. INDIKASI RA-SAB
Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:
a. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat
inervasi pada buli buli kencing)
b. Hysterectomy
c. Caesarean section (T6)
d. Evakuasi alat KB yang tertinggal
e. Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
f. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal

4. KONTRAINDIKASI RA-SAB
Kontraindikasi Absolut
- Pasien menolak
- Deformitas pada lokasi injeksI
- Hipovolemia berat
- Sedang dalam terapi antikoagulan
32
- Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
- Peningkatan tekana intracranial.

Kontraindikasi Relatif
- Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)
- Infeksi sekitar tempat penyunikan
- Kelainan neurologis
- Kelainan psikis
- Bedah lama
- Penyakit jantung
- Hipovolemia ringan
- Nyeri punggung kronis

5. KOMPLIKASI RA-SAB
Komplikasi Pasca Tindakan
- Nyeri tempat suntikan
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala karena kebocoran likuor
- Retensio urine
- Meningitis

6. TEKNIK ANASTESI
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi
tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya,
misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya
berisiko trauma medulla spinalis.
33
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27
G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2
cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 – 1,008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang
sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik
lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

7. PREOPERATIF
a) Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif.
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
34
b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan
penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ,
dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat
pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan
buruk, dan riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi
badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan
pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis,
saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-
bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot
rangka.
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain
itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita
penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai
indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap,
pemeriksaan radiologi
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait
bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan
berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu,
pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis
fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada
kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di
kamar operasi IRD.
5. Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American
Society of Anesthesiologist (ASA).

35
Tabel 2.3 Klasifikasi ASA
Kelas Definisi
ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
ASA 2
sistemikringan sampai sedang
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 3 berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 4
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 5 berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun
tidak dalam24 jam pasien meninggal.
pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ
ASA 6
untuk donor.
Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status
E
pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)
Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5
kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit
yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi
terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi,
terutama teknik monitoring.
c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

36
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.

2. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena
terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa
dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan
waktu puasa.
3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan

37
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri
karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian
injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk profilaksis dari
PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti
emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metokloperamide
dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran
cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat
pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek
ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang
berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus,
dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada
chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk
pencegahan muntah pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko 4.

8. Durante Operasi
a. Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur
suhu pendingin ruangan.
b. Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan
menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg
bersama dengan bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg.
c. Terapi Cairan
38
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan
cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan
melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit
isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling
umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan
kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan
secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam
darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc
sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran
tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang
sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
d. Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu
dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard

39
monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut
ini adalah standard minimal monitoring):
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan.
Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang
merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa
kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini
mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai
dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi
selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan
memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi,
dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas
reflek palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

9. POSTOPERATIF
a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien
akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya.
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan
40
pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah
letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap
kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan
tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah
regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga
tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah
dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk
itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah
pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang
basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan
pakaian yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan
transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut
dan siku serta side railharus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko
injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan
cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari
kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau
jika kondisi umum pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat
diperlukan. Dokter anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
proses transfer tersebut berjalan dengan lancar.
b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang
dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek
anestesi benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih
terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia
pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas
individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat
ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis
anestesi diketahui.

41
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar
pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan
seperangkat alat berikut :
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu
1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:
a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu
nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di
Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,
perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan
rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan
selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan
kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang.
2) Ruang Pulih
a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau
secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah
respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi
dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi,
mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal,
pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang
pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi
intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan
kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas),
42
sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan
saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu
tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia
dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
Tabel 2.4 Aldrete Score
POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE
ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue
COLOR Oxygenation
PINK SpO2>92% on room air 2
PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1

CYANOTIC SpO2<90% on oxygen 0


RESPIRATION

CAN BREATHE DEEPLY Breathes deeply and coughs 2


AND COUGH freely
SHALLOW BUT ADEQUATE Dyspneic, shallow or limited 1
EXCHANGE breathing
APNEA OR OBSTRUCTION Apnea 0

CIRCULATION

BLOOD PRESSURE WITHIN Blood pressure ± 20 mmHg of 2


20% OF NORMAL normal

BLOOD PRESSURE WITHIN Blood pressure ± 20–50mmHg 1


20–50% OF NORMAL of normal

BLOOD PRESSURE Blood pressure more than ± 50 0


DEVIATING >50% FROM mmHg of normal
NORMAL
CONSCIOUSNESS

AWAKE, ALERT, AND Fully awake 2


ORIENTED

43
AROUSABLE BUT READILY Arousable on calling 1
DRIFTS BACK TO SLEEP

NO RESPONSE Not responsive 0

ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2

MOVES TWO EXTREMITIES Same 1

NO MOVEMENT Same 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.


Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10
atau minimal 9.
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien untuk
dikeluarkan dari PACU adalah:
a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam kontrol
g. Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring untuk
discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah SpO2
(atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Sebagian
besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di PACU. Sebagai
tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi seharusnya juga
menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang sering
terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan,
PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge
nausea and vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial yang meliputi agen
anestesi, tipe atau jenis anestesi, dan faktor pasien sendiri.

44
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi,
setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus.
Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal
bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan
dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-
hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg
(0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif
tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan
dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin
ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics.
Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan
antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan
efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and
vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang
adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan
tangan).

10. EFEK RA-SAB


Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional
dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid
dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan
relaksasi otot rangka (Kleinman, 2002). Penyuntikan obat anestetik local pada ruang
subarachnoid diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarachnoid
adalah untuk menghindari adanya kerusakan pada medulla spinalis. Pada orang
dewasa, obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang subarachnoidantara L2 dan
L5(biasanya antara L3 dan L4). Untuk mendapatkan blokade sensoris yang luas,
obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung kepada banyak factor,
antara lain posisi pasien dan berat jenis obat (Sunaryo, 2005).

45
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
 Nama : SG
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Umur : 72 Tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Bangun Rejo Dusun 1 Tanjung morawa
 Pekerjaan : Pensiunan
 Status Perkawinan : Menikah
 No RM : 25.26.82

2. ANAMNESA
 Keluhan Utama : Buang Air Kecil Tidak Lancar
Telaah : Pasien laki-laki datang ke RS Haji dengan keluhan buang
air kecil tidak lancar yang dialami sejak 1 minggu ini. Pasien mengatakan harus
menunggu pada permulaan buang air kecil disertai mengedan saat buang air
kecil.Pasien juga mengeluhkan alirannya terputus-putus dan keluar hanya menetes.
Pasien juga merasa tidak puas setelah BAK sehingga sering kencing terutama
pada malam hari terbangun untuk kencing. Selain itu, pasien merasakan rasa
nyeri pada ujung penis dan batang penis saat BAK. Tidak ada demam, maupun
kencing bernanah.
Selama ini BAK pasien tidak pernah bercabang, tidak pernah mengeluarkan
batu saat kencing. Air kencing tidak pernah di kerumuni semut. Pasien juga
tidak pernah pernah mengalami operasi sebelumnya. Pasien juga tidak pernah
mengeluarkan darah pada saat BAK, nyeri punggung tidak ada, perasaan
kesemutan tidak ada, kelemahan anggota gerak bawah tidak ada, BAB lancer.
 Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan
Asma.
 RPT : (-)
 RPO : (-)
 RPK : (-)

46
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 83x/menit
 RR : 22x/menit
 Suhu : 36.50C
 Tinggi Badan : 160 cm
 Berat Badan : 50 kg
Pemeriksaan Umum
 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
 Kepala : Normocepali
 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax
Paru
 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan abdominotorakal,
retraksi costae -/-
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
 Perkusi : sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
 Inspeksi : Datar, Simetris
 Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar dan Lien tidak teraba
 Perkusi : Nyeri Ketok (+)
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal

47
 Ekstremitas : edema -/-
Extremitas :
 Superior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-), capillary refill <2
detik, akral hangat, tonus otot cukup
 Inferior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-), capillary refill <2
detik, akral hangat, tonus otot cukup
Pemeriksaan Penunjang :
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 11,7 g/dl
 HT : 35.3 %
 Eritrosit : 3.9 x 106/µL
 Leukosit : 8,700 / µL
 Trombosit : 240,000/µL

Metabolik
 KGDS : 85 mg/dl
 Asam Urat : 5.5
Fungsi Ginjal
 Ureum: 39 mg/dl
 Kreatinin: 1.36 mg/dl
Pemeriksaan USG abdomen Lower :
Buli : Ukuran kesan membesar ,dinding tipis,reguler,tak tampak batu /lesi pada
post miksi tampak sisa urine masih banyak
Prostat : ukuran membesar ± 4,88 x 3,62 x 3,56 cm
Kesan : Sugestif gambaran BPH dengan sus.retensio urine

Diagnosis : BPH
RENCANA TINDAKAN

 Tindakan : TURP
 Anesthesi : RA-SAB
 PS-ASA :2

48
 Posisi : litotomi
 Pernapasan : spotan + Kanul nasal O2

4. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 22x/menit
 SP : Vesikuler ka=ki
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
 Akral : Hangat/Merah/Kering
 TD : 130/80 mmHg
 HR : 83 x/menit
B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor, ka=ki 3mm/3mm
 RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
 Urine Output : -
 Kateter : terpasang
B5 (Bowl)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : Normal (+)
 Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
 Oedem : (-)
5. PERSIAPAN OBAT RA-SAB
Intratekal
 Bupivacaine 0,5% : 20 mg
 Fentanyl : 25 mcg
Jumlah Cairan
 PO : RL 500 + 500 cc

49
 DO : Nacl 0.9% : 500cc
 Produksi Urin : 300
Perdarahan
 Kasa Basah : 2 x 10 = 20cc
 Kasa 1/2 basah :0x5 =0
 Suction : -
 Jumlah : 20cc
 EBV : 75 x 57 = 3705 cc
ABL 10 % = 370 cc
20 % = 741 cc
30 % = 1.111,5 cc
Durasi Operatif
 Lama Anestesi = 13.40 s/d selesai WIB
 Lama Operasi = 13.50 – 14.20 WIB
Teknik Anastesi : RA-SAB
 Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine
+ alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) → injeksi
bupivacain 0,5% 20 mg + fentanyl 20 mcg → posisi supine → atur blok
setinggi T12
Terapi cairan

 EBV : 75 x 57 = 3705 cc
ABL 20 % = 741 cc

6. POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 14.20 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah,
nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2

50
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
PERAWATAN POST OPERASI
 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil,
pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur
telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat
anestesi masih ada.

TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD gtt/menit
 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
 Inj. Ketorolac 30mg/8jam IV
 Inj. Ondansetron 4mg/8 jam IV bila mual/muntah

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahummad A., 2008., Benigna Prostate Hiperplasia., http://ababar.blogspot

.com/2008/12/benigna-prostate-hyperplasia.html., 3 Maret 2009

2. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi

ke – 2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85

3. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta :

EGC, 2004. pp. 782-786

4. Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi.

EGC. Jakarta. pp:229-231

5. Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC

6. Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta

7. Sjamsuhidajat, De Jong,. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit

Buku Kedokteran. Jakarta: EGC

52

Anda mungkin juga menyukai