Kasus BPH
Kasus BPH
PENDAHULUAN
1
jantung, resistensi pembuluh sistemik, hambatan mekanisme baroreseptor, depresi
kontraktilitas miokard, penurunan aktivitas simpatik dan efek inotropik negative.
Efek depresi miokard dan vasodilatasi yang tejadi tergantung dosis. Vasodilatasi
terjadi akibat penurunan aktivitas simpatik dan efek langsung mobiliasasi Ca pada
interseluler otot polos.
Ada beberapa alternatif terapi hipotensi. Autotransfusi dengan posisi
head down dapat menambah kecepatan pemberian preload. Bradikadi yang berat
dapat diberikan antikolinergik. Jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan,
maka vasopresor langsung atau tidak langsung dapat diberikan, seperti efedrin
dengan dosis 5-10 mg bolus IV. Efedrin merupakan vasopresor tidak langsung,
meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer).
Efek perifer tergantung ketersediaan katekolamin, bila kosong efek tidak terjadi.
Vasopresor langsung seperti phenylephrine memperbaiki tonus vena,
menyebabkan vasokonstriksi arteriole dan meningkatkan preload. Pada kasus
hipotensi berat, pemberian epinefrin mungkin memberi perfusi koroner sebelum
iskemik mencetuskan cardiac arrest. Jika hipotensi disertai bradikardi,
phenylephrine mungkin lebih baik dihindari.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria,
mengelilingi bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada
disebelah anterior rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat
normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex
kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior
akan menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus
medius kadang-kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak
homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista
ini disebut kelenjar prostat.6
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara
lain adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada
zona transisional yang letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi
dari verumontanum dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya
merupakan 2% dari seluruh volume prostat. Sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
3
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan
dari verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah
depan didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum
triangulare inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
4
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat
dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat
secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.
Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan
jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.
Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1. Kapsul anatomis sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang
membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
1. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya
yang menghasilkan bahan baku sekret.
2. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga
sebagai adenomatous zone
3. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang
merupakan bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau
mengalami hipertrofi pada usia lanjut.
5
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang
sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam
(inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran
pada bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan
bagian tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan
lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung
jaringan kelenjar.
Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi
epitel thoraks selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga
keseluruhan epitel tampak menyerupai epitel berlapis.
Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis
inferior (cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a.
mesenterium inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna).
Cabang-cabang dari arteri tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico
Prostatic Junction. Penyebaran arteri di dalam prostat dibagi menjadi 2
kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral darivesico
prostatic junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan
kelompok kelenjar periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa
cabang yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar
paraurethral).
Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat
yang kemudian bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang
menuju ke kelenjar limfe iliaca interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.
6
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus
dari Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.
Fisiologi
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan
cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat
dibawah pengaruh Androgen Bodiesdan dapat dihentikan dengan pemberian
Stilbestrol.
2.2 Definisi
2.3 Epidemiologi
7
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang
lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
2.4 Etiologi
8
2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic
transforming growth factor, transforming growth factor 1,
transforming growth factor 2, dan epidermal growth factor.
9
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya pada BPH,
aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan
sebagian dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan
98% akan terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding
globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas.
Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target cell” yaitu sel
prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di
dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma
menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor”
yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan
menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese
protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran
stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme
“glandular budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya
alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular
morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat
ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali
seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga jaringan
periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan
tentang penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan
faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang
berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol,
10
dan Zn yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-
akibatnya.
2.5 Patofisiologi
11
2.6 Gambaran Klinis
12
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria
yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
13
dengan 5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi
nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot
vesica urinaria untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica
urinaria akan mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Faktor pencetus
Kompensasi Dekompensasi
(LUTS) Retensi urin
Inkontinensia paradoksa
International Prostatic Symptom Score
14
d. Berapa kali anda tidak
dapat menahan untuk 0 1 2 3 4 5
berkemih
Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali
15
Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria,
antara lain: golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.
2.7 Diagnosis
16
konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat
tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi.
1. Darah
Ureum dan Kreatinin
Elektrolit
Blood urea nitrogen
17
Prostate Specific Antigen (PSA)
Gula darah
2. Urin :
Kultur urin + sensitifitas test
Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan
sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit
yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah
dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada vesica urinaria.
d. Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu / kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukkan bayangan vesica urinaria yang penuh terisi urin, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urine. Selain itu juga bisa
menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih atau
adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
18
2. Pielografi Intravena (IVP)
Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis
2. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar
prostat) atau ureter di sebelah distal yang berbentuk seperti mata
kail atauhooked fish
3. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi vesica urinaria
4. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi
urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran
indentasi.
4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)
Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk
melakukan biopsi aspirasi prostat, menentukan volume vesica urinaria
dan jumlah residual urine, serta mencari kelainan lain yang mungkin
ada di dalam vesica urinaria seperti batu, tumor, dan divertikel.
5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau
pada pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat
memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria
atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter,
atau batu radiolusen di dalam vesica. Selain itu juga memberi
keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur panjang uretra
pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.
e. Pemeriksaan Lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin
ditentukan oleh :
daya kontraksi otot detrusor
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan
puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan,
laju pancaran melemah menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya
sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin
lemah pancaran urin yang dihasilkan.
20
100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan
intervensi pada penderita prostat hipertrofi.
21
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Hidroureter
h. Hidronefrosis
i. Gagal Ginjal
2.10 Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik
dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan
sisa volume urin, yaitu:
Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.
Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat
satu, prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin
lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
dan sisa urin lebih dari 100 ml
Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHOProstate
Symptom Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan
pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap
dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan
WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul
obstruksi.
22
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan, yaitu :
Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan
dapat diberikan pengobatan secara konservatif.
Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi
operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih
ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita
masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa
dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih
dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga
reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan
operasi terbuka.
Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang
kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat
dengan TURP atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi
yang berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk
hiperplasia prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade
terakhir dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai
keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat
gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran
kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya
kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
23
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan
obstruksi pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara
medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan blocker (penghambat alfa adrenergik)
2. menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT)
24
Obat Penghambat adrenergik
Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di
dalam prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan
alpha adrenergik. Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher
vesica banyak terdapat reseptor alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering
digunakan prazosin, terazosin, doksazosin, dan alfuzosin. Obat penghambat
alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot polos prostat yaitu
α1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari pemakai
obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis
tamzulosin 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik
untuk mengurangi obstruksi pada vesica tanpa merusak kontraktilitas
detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran
urine, menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga
memberi penyulit hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat
jarang bisa terjadi ejakulasi retrograd, biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2 minggu setelah pemakaian obat.
Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi
yang digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw
Palmetto dan Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin
diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prostatisme BPH dalam
konteks “watchfull waiting strategy”.
Saw Palmetto menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:
25
frekuensi nokturia berkurang
aliran kencing bertambah lancar
volume residu di kandung kencing berkurang
gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor
androgen
bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat
aktivitas enzim cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase.
Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah
menimbulkan penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih,
hematuri, infeksi saluran kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau
keluhan LUTS yang tidak menunjukkan perbaikan setelah menjalani
pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang dilakukan adalah operasi
terbuka atau operasi endourologi transuretra.
1. Prostatektomi terbuka
a.1. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada
subservikal
Mortaliti rate rendah
Langsung melihat fossa prostat
Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
Perdarahan lebih mudah dirawat
Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu
selama bila membuka vesika
Kerugian :
Dapat memotong pleksus santorini
Mudah berdarah
Dapat terjadi osteitis pubis
26
Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus
dikerjakan dari dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis
Kerugian :
Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada
dinding vesica sembuh
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol perdarahan
Merusak mukosa kulit
Mortality rate 1 -5 %
Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neckstenosis
4%)
Inkontinensia (<1%)
Perdarahan
Epididimo orchitis
Recurent (10 – 20%)
Carcinoma
Ejakulasi retrograde
Impotensi
Fimosis
27
Deep venous trombosis
a.3. Transperineal
Keuntungan :
Dapat langssung pada fossa prostat
Pembuluh darah tampak lebih jelas
Mudah untuk pinggul sempit
Langsung biopsi untuk karsinoma
Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Bisa terkena rektum
Perdarahan hebat
Merusak diagframa urogenital
b. Prostatektomi Endourologi
b.1. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi
hampir seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan
perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman,
efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada
sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh
pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan
tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini
berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling
banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan
trans-uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar
supaya daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi.
28
Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O
steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik
sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui
pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air
dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala
intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR P. Sindroma ini
ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang
akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas
sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk
mengurangi timbulnya sindroma TUR P dipakai cairan non ionik yang
lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades, antara lain adalah
cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1 jam,
dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air
pada buli-buli selama reseksi prostat.
Keuntungan :
Luka incisi tidak ada
Lama perawatan lebih pendek
Morbiditas dan mortalitas rendah
Prostat fibrous mudah diangkat
Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol
29
Kerugian :
Teknik sulit
Resiko merusak uretra
Intoksikasi cairan
Trauma sphingter eksterna dan trigonum
Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
Alat mahal
Ketrampilan khusus
Komplikasi:
Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi
retrograd, dan striktura uretra.
30
sedang pengobatan dengan TUMT dan TURF belum dapat
memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka dicoba cara
operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4
menit untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri
dan medius). Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn
effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada permukaan
prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera menjadi lebih lebar,
yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang akan
menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu
sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat
menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
Teknik lebih sederhana
Waktu operasi lebih cepat
Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
Tidak memerlukan terapi antikoagulan
Resiko impotensi tidak ada
Resiko ejakulasi retrograd minimal
Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).
1. SEJARAH RA-SAB
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam
klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB pertama kali
digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara luas
sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera
neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi tahun 1950
menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan
31
teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan
lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi
ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi umum jika kondisi memungkinkan.
2. DEFINISI RA-SAB
Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik –
central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral
nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin dari
pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan pemeriksaan
laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT). Peralatan yang
diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan monitor seperti
tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi
umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-Babcock) atau jarum
spinal dengan ujung pensil.
3. INDIKASI RA-SAB
Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:
a. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat
inervasi pada buli buli kencing)
b. Hysterectomy
c. Caesarean section (T6)
d. Evakuasi alat KB yang tertinggal
e. Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
f. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
4. KONTRAINDIKASI RA-SAB
Kontraindikasi Absolut
- Pasien menolak
- Deformitas pada lokasi injeksI
- Hipovolemia berat
- Sedang dalam terapi antikoagulan
32
- Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
- Peningkatan tekana intracranial.
Kontraindikasi Relatif
- Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)
- Infeksi sekitar tempat penyunikan
- Kelainan neurologis
- Kelainan psikis
- Bedah lama
- Penyakit jantung
- Hipovolemia ringan
- Nyeri punggung kronis
5. KOMPLIKASI RA-SAB
Komplikasi Pasca Tindakan
- Nyeri tempat suntikan
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala karena kebocoran likuor
- Retensio urine
- Meningitis
6. TEKNIK ANASTESI
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi
tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukannya,
misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya
berisiko trauma medulla spinalis.
33
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27
G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2
cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 – 1,008.
Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric. Anestetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal
dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang
sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik
lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain
diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
7. PREOPERATIF
a) Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif.
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
34
b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni
meliputi identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan
penyakit bedah yang mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ,
dan anamnesis umum yang meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat
pemakaian obat-obatan, riwayat operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan
buruk, dan riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran,
frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi
badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan
pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis,
saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepato-
bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot
rangka.
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain
itu pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita
penyakit sistemik tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai
indikasi yang meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap,
pemeriksaan radiologi
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait
bila dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan
berencana atau darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu,
pada kasus elektif koreksi dapat dilkukan mandiri oleh staf medis
fungsional ataupun bersama dengan staf medis lain di bangsal, pada
kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang resusitasi IRD atau di
kamar operasi IRD.
5. Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American
Society of Anesthesiologist (ASA).
35
Tabel 2.3 Klasifikasi ASA
Kelas Definisi
ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
ASA 2
sistemikringan sampai sedang
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 3 berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 4
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya.
pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit sistemik
ASA 5 berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun
tidak dalam24 jam pasien meninggal.
pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi organ
ASA 6
untuk donor.
Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status
E
pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)
Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko
anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5
kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan
terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena penyakit
yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi
terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi,
terutama teknik monitoring.
c) Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan
resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
36
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.
2. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena
terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat, dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Defisit bisa
dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan
waktu puasa.
3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesi diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
37
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anestesi. Jika disertai nyeri
karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam.
Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin
misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal
operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa pemberian
injeksi Metoclopramide 10 mg dan injeksi Ranitidine 50 mg untuk profilaksis dari
PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti
emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metokloperamide
dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran
cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah, mempercepat
pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek
ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang
berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus,
dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor Dopamine pada
chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk
pencegahan muntah pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan ranitidin
dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat
mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko 4.
8. Durante Operasi
a. Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur
suhu pendingin ruangan.
b. Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan
menyusuri krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg
bersama dengan bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg.
c. Terapi Cairan
38
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid
cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan
cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan
melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit
isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling
umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler dan
merupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar
diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan
cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan
kehilangan darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan
secara visual memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam
darah. Untuk 1 spon ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc
sedangkan untuk lap dapat menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran
tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap tersebut ditimbang
sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
d. Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu
dalam mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard
39
monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut
ini adalah standard minimal monitoring):
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan.
Standard ini ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang
merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada beberapa
kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini
mungkin tidak praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai
dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi
selama general anestesi, regional anestesi berlangsung, dan
memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi,
dan temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas
reflek palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
9. POSTOPERATIF
a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien
akan diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya.
Pemindahan pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan
40
pertimbangan-pertimbangan khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah
letak insisi bedah. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap
kali pasien pasca operasi dipindahkan. Banyak luka ditutup dengan
tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk mencegah
regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien diposisikan sehingga
tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah
dianestesi ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk
itu pasien harus dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah
pasien dipindahkan ke brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang
basah (karena darah atau cairan lainnya) harus segera diganti dengan
pakaian yang kering untuk menghindari kontaminasi. Selama perjalanan
transportasi tersebut pasien diselimuti dan diberikan pengikat di atas lutut
dan siku serta side railharus dipasang untuk mencegah terjadinya risiko
injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan
cermat agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari
kamar operasi ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau
jika kondisi umum pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat
diperlukan. Dokter anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
proses transfer tersebut berjalan dengan lancar.
b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang
dan fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek
anestesi benar-benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih
terdapat dalam tubuh pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia
pasien, jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas
individu terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat
ditentukan jika semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis
anestesi diketahui.
41
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar
pulih dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan
seperangkat alat berikut :
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu
1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:
a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan
goncangan kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu
nafas kendali pasca anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di
Unit Terapi Intensif pasca anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini,
perawatan pasca anesthesia bertujuan menjamin agar pasien
secepatnya mampu menjaga respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan
rawat jalan. Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan
selain itu juga harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan
kelemahan otot sehingga pasien dapat kembali pulang.
2) Ruang Pulih
a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau
secara kontinyu dan mengobati secara cepat dan tepat masalah
respirasi dan sirkulasi, mempertahankan kestabilan sistem respirasi
dan sirkulasi, memantau perdarahan luka operasi,
mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang
pulih: pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal,
pasien dengan risiko tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang
pulih tidak ada ruang isolasi, pasien yang tidak memerlukan terapi
intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan khusus di ruangan.
3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan
kesadaran, respirasi (sumbatan jalan nafas dan depresi nafas),
42
sirkulasi (tekanan darah dan denyut jantung), fungsi ginjal dan
saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas motorik, suhu
tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca anesthesia
dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh
anestesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95%, dan tingkat kesadaran baik.
Tabel 2.4 Aldrete Score
POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE
ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue
COLOR Oxygenation
PINK SpO2>92% on room air 2
PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1
CIRCULATION
43
AROUSABLE BUT READILY Arousable on calling 1
DRIFTS BACK TO SLEEP
ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2
NO MOVEMENT Same 0
44
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi,
setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus.
Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal
bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau bersamaan
dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV. Selective 5-
hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg
(0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif
tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan
dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin
ditimbulkan oleh metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics.
Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in children), bila dikombinasikan dengan
antiemetik lainnya biasanya efektif untuk mual dan muntah yang refrakter. Bahkan
efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk postdischarge nausea and
vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang
adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan
tangan).
45
BAB III
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
Nama : SG
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 72 Tahun
Agama : Islam
Alamat : Bangun Rejo Dusun 1 Tanjung morawa
Pekerjaan : Pensiunan
Status Perkawinan : Menikah
No RM : 25.26.82
2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Buang Air Kecil Tidak Lancar
Telaah : Pasien laki-laki datang ke RS Haji dengan keluhan buang
air kecil tidak lancar yang dialami sejak 1 minggu ini. Pasien mengatakan harus
menunggu pada permulaan buang air kecil disertai mengedan saat buang air
kecil.Pasien juga mengeluhkan alirannya terputus-putus dan keluar hanya menetes.
Pasien juga merasa tidak puas setelah BAK sehingga sering kencing terutama
pada malam hari terbangun untuk kencing. Selain itu, pasien merasakan rasa
nyeri pada ujung penis dan batang penis saat BAK. Tidak ada demam, maupun
kencing bernanah.
Selama ini BAK pasien tidak pernah bercabang, tidak pernah mengeluarkan
batu saat kencing. Air kencing tidak pernah di kerumuni semut. Pasien juga
tidak pernah pernah mengalami operasi sebelumnya. Pasien juga tidak pernah
mengeluarkan darah pada saat BAK, nyeri punggung tidak ada, perasaan
kesemutan tidak ada, kelemahan anggota gerak bawah tidak ada, BAB lancer.
Tidak ditemukan adanya riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan
Asma.
RPT : (-)
RPO : (-)
RPK : (-)
46
3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 83x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 36.50C
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 50 kg
Pemeriksaan Umum
Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
Kepala : Normocepali
Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Paru
Inspeksi : Pergerakan nafas simetris, tipe pernafasan abdominotorakal,
retraksi costae -/-
Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
Inspeksi : Datar, Simetris
Palpasi : Nyeri tekan (+), Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Nyeri Ketok (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
47
Ekstremitas : edema -/-
Extremitas :
Superior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-), capillary refill <2
detik, akral hangat, tonus otot cukup
Inferior : oedem (-/-), tremor (-/-), sianosis (-/-), capillary refill <2
detik, akral hangat, tonus otot cukup
Pemeriksaan Penunjang :
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 11,7 g/dl
HT : 35.3 %
Eritrosit : 3.9 x 106/µL
Leukosit : 8,700 / µL
Trombosit : 240,000/µL
Metabolik
KGDS : 85 mg/dl
Asam Urat : 5.5
Fungsi Ginjal
Ureum: 39 mg/dl
Kreatinin: 1.36 mg/dl
Pemeriksaan USG abdomen Lower :
Buli : Ukuran kesan membesar ,dinding tipis,reguler,tak tampak batu /lesi pada
post miksi tampak sisa urine masih banyak
Prostat : ukuran membesar ± 4,88 x 3,62 x 3,56 cm
Kesan : Sugestif gambaran BPH dengan sus.retensio urine
Diagnosis : BPH
RENCANA TINDAKAN
Tindakan : TURP
Anesthesi : RA-SAB
PS-ASA :2
48
Posisi : litotomi
Pernapasan : spotan + Kanul nasal O2
49
DO : Nacl 0.9% : 500cc
Produksi Urin : 300
Perdarahan
Kasa Basah : 2 x 10 = 20cc
Kasa 1/2 basah :0x5 =0
Suction : -
Jumlah : 20cc
EBV : 75 x 57 = 3705 cc
ABL 10 % = 370 cc
20 % = 741 cc
30 % = 1.111,5 cc
Durasi Operatif
Lama Anestesi = 13.40 s/d selesai WIB
Lama Operasi = 13.50 – 14.20 WIB
Teknik Anastesi : RA-SAB
Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan betadine
+ alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) → injeksi
bupivacain 0,5% 20 mg + fentanyl 20 mcg → posisi supine → atur blok
setinggi T12
Terapi cairan
EBV : 75 x 57 = 3705 cc
ABL 20 % = 741 cc
6. POST OPERASI
Operasi berakhir pukul : 14.20 WIB
Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan darah,
nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.
Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
50
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
PERAWATAN POST OPERASI
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah dipastikan
pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta vital sign stabil,
pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk bedrest 24 jam, tidur
telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal headache, karena obat
anestesi masih ada.
51
DAFTAR PUSTAKA
7. Sjamsuhidajat, De Jong,. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit
52