Anda di halaman 1dari 45

Cedera kepala adalah trauma pada kepala termasuk trauma pada tulang tengkorak

maupun organ – organ yang terdapat di dalamnya yang terjadi karena pengaruh gaya
mekanik dari luar tubuh yang dapat disertai dengan atau tanpa adanya penurunan
kesadaran. Cedera kepala merupakan kondisi medis yang berisiko untuk menimbulkan
gangguan kognitif, fisik, maupun sosial. Cedera kepala dapat disebabkan oleh banyak
hal, seperti kecelakaan kendaraan bermotor, akibat perkelahian, pada saat berolahraga,
terjatuh, atau hanya sekadar terbentur. Semua orang tanpa terkecuali berisiko untuk
mengalami trauma kepala. Oleh karena itu pada artikel kali ini akan dijelaskan
mengenai cedera kepala, bahaya, klasifikasi, dan penanganan awalnya. cedera kepala
Patofisiologi Cedera Kepala Patofisiologi cedera kepala dapat dimulai sebagai cedera
primer yaitu kerusakan yang timbul langsung sebagai akibat trauma seperti fraktur
(patah) tulang tengkorak, ruptur (robekan) pembuluh darah, hingga kerusakan pada
jaringan otak berupa laserasi, kontusio termasuk juga kerusakan pada selaput
meningen. Setelah cedera primer dapat terjadi kerusakan lanjutan yang disebut sebagai
cedera sekunder yaitu apabila kerusakan telah melampaui batas kompensasi ruang
tengkorak sehingga menyebabkan kenaikan tekanan intra kranial (TIK) secara progresif
dan penurunan tekanan perfusi serebral (CPP) yang akan mengakibatkan iskemia otak
dan kerusakan jaringan otak. Kerusakan jaringan otak akan menyebabkan pelepasan
neurotransmitter eksitasi yang berlebihan yang dapat mengakibatkan terjadinya influks
ion Kalsium yang berlebihan sehingga menimbulkan edema sitotoksik, aktivasi enzim
degradatif, dan proses depolarisasi cepat (korban tampak kejang – kejang). Enzim
degradarif akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada DNA sel, protein, dan
membran fosfolipid pada dinding sel. Kemudian kerusakan fosofolipid akan
mengakibatkan terbentuknya asam arkhidonat dan radikal bebas yang berlebihan yang
apabila berkelanjutkan akan menyebabkan terjadinya apoptosis. Klasifikasi Cedera
Kepala Berdasarkan tingkat keparahan cederanya, cedera kepala diklasifikasikan
menjadi : Cedera kepala ringan yaitu cedera kepala tanpa penurunan kesadaran, korban
sadar sepenuhnya, atensi dan orientasi baik. Korban dapat mengalami lecet, robekan
atau bengkak pada kulit kepala disertai keluhan sakit kepala dan pusing. Cedera kepala
sedang yaitu cedera kepala dengan penurunan kesadaran, disertai kebingungan,
mengantuk. Korban dapat mengalami patah tulang tengkorak, gegar otak, amnesia
muntah hingga kejang. Cedera kepala berat yaitu cedera kepala dengan penurunan
kesadaran yang progresif hingga koma. Selain itu pada korba juga terdapat tanda defisit
neurologis fokal Penatalaksanaan Cedera Kepala Penatalaksanaan cedera kepala
dilakukan berdasarkan prinsip penatalaksanaan trauma pada umumnya yaitu
berdasarkan prinsip ABC : Airway : periksa Jalan nafas, bersihkan dari benda asing,
lendir, maupun darah. Breathing : Periksa kemampuan bernafas tentukan apakah
bernapas spontan atau tidak, bila memungkinkan berikan bantuan napas Circulation :
Periksa nadi dan tekanan darah, hentikan pendarahan, bila memungkinkan pasang jalur
intravena Tentukan tingkat keparahan cedera kepala korban dengan melakukan
pemeriksaan status kesadaran dan status neurologis korban yang dinilai berdasarkan
Skala Koma Glasgow dan tanda defisit neurologis fokal sperti reflek pupil, paresis dan
paralisis serta refleks patologis Segera kirim korban ke rumah sakit untuk mendaptakan
penatalaksanaan lebih lanjut. Penatalaksanaan lanjutan di rumah sakit dapat dilakukan
dengan : Memperbaiki dan menjaga fungsi vital yang meliputi Airway, Breathing
Circulation Penatalaksanaan terhadap edema otak dengan memberikan infus cairan
hiperosmolar manitol, kortikosteroid dan barbiturat Pemberian obat – obatan
antikonvulsi untuk mengatasi kejang Pemberian obat – obatan neuroprotektif seperti
cciticholine, piracetam untuk melindungi sel saraf Pemberian obat – obatan hemostatik
untuk mengatasi pendarahan otak (intrakaranial) Perawatan terhadap luka
Bersumber dari: Cedera Kepala : Bahaya, Klasifikasi, Penanganan - Mediskus

TRAUMA CAPITIS

Disususn Oleh

Muhammad Akbar

A. Definisi

TK adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-
organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital,
yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar → timbul gangguan fisik, kognitif
maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran
(Dawodu, 2003; Sutantoro, 2004).

B. Anatomi

 Calvaria (os frontalis, parietalis, occipitalis, dan temporalis).


 Basis cranii (os petrosus, ethmoidalis, sphenoidalis, mastoideus, dan atap

orbita).

 Struktur pelindung otak:

Rambut, kulit, tulang, meninges dan cairan serebrospinal (LCS)

 Struktur otak:

Otak → 100 milyar neuron & 1 trilyun neuroglia.

Berat ± 1400 gram atau 2% BB manusia, dikelilingi LCS → mengisi ruang

Subaraknoid.
Komponen otak : cerebrum, cerebellum dan batang otak.

Pasokan darah otak dari : a. carotis interna dan a. vertebralis.

C. Epidemiologi

 Menurut Dawodu (2003) insidensi TK tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun →
32,8/100.000. Perbandingan ♂ > ♀ = 3,4 : 1. Penyebab utama → kecelakaan lalu-lintas
(bermotor) tiap tahun 1 juta meninggal & 20 juta cedera (Islam, 1999; Fauzi, 2002).
 Insiden TK 26% dari semua kecelakaan; 33% kematian karena trauma kapitis.
 Insiden TK karena kecelakaan → 50% meninggal sebelum tiba di RS, 40% meninggal
dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan. (Sidharta, 2003).

D. Klasifikasi dan Patogenesis Trauma Kepala

 Menurut Listiono (1998), klasifikasi TK berdasarkan keadaan patologis dan tampilan


klinisnya.

Klasifikasi Patologis TK

a. TK Primer

TK primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak, dimana kerusakan
neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan tulang yang
menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-perlambatan (Lombardo,
1995). Jaringan yang mungkin terkena pada TK adalah:

1. Kulit (hematom kulit kepala; luka kulit kepala  luka lecet dan luka robek).
2. Tulang (fraktur calvaria  linear, impresi, depresi, ekspresi; fraktur basis cranii).
3. Lesi intrakranial :

 Lesi fokal (Kontusio cerebri, PIS, PED, PSD, PSA).


 Lesi difus (Konkusio/comutio cerebri, Cedera Axonal Difus, Laserasi cerebri).

b. TK Sekunder
Menurut Listiono (1998) dan Fauzi (2002), penyebab TK sekunder adalah:

 Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi, hiponatremia).


 Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema, kejang, vasospasme dan
infeksi).

Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis

Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih jarang,


maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak, khususnya jenis
tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow Coma Scale +
GCS) dikelompokkkan menjadi :

1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)

GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.

2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)

GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.

Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.

3. Cedera kepala berat.

GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi
batang otak.

Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan
sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa defisit tersebut
diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.

Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan
pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.

Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik (= M)


dan respon verbal (= V).
Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga dapat
dilakukan dimana saja oleh siapa saja.

Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Eye opening (E)

Spontaneous 4

To call 3

To pain 2

None 1

Motor response (M)

Obeys commands 6

Localizes pain 5

Normal flexion (withdrawal) 4

Abnorma flexion 3
(decoraticate)
2
Extension (decerebrate)
1
None (flaccid)

Verbal respons (V)

Oriented 5

Confused conversation 4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sounds 2

None 1

* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst possible score = 3
E. Mekanisme Trauma Kepala

1. Direct Impact → lesi berada satu sisi dengan trauma

2. Akselerasi-Deselerasi

* Dasar : massa jenis kranium > massa jenis otak.

* Terjadi percepatan kranium searah dengan trauma padahal cerebrum sedang dalam
perjalanan searah trauma→ terjadi benturan antara kranium dengan cerebrum.

3. Shock wave injury

- Dasar : trauma merupakan gelombang yang dijalarkan melalui kranium dan

cerebrum.

- Terjadi pada trauma beberapa kali sekaligus:

* trauma I → terjadi perambatan gelombang.

* trauma II → gelombang dialirkan kembali kearah semula sehingga

terjadi benturan 2 gelombang yang mengakibatkan kerusakan berupa

kontusio/comutio.

4. Rotational injury

Trauma dengan membentuk sudut akibat putaran kepala (pemuntiran).

Pemeriksaan Klinis

 Pemeriksaan fisik, meliputi : penilaian GCS, reflek pupil, gerakan bola mata, vital sign,
meningeal sign, nervi kranialis, fungsi motorik.
 Px. Penunjang, meliputi: CT-scan, foto polos kepala, MRI, lab. darah dan elektrolit.

G. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan neurologis (GCS dan reaksi pupil)


dan pemeriksaan penunjang (CT-scan, foto polos kepala, MRI, lab. darah dan
elektrolit).

H. Diagnosis Banding

Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita hrs membedakan
cedera kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma
alkoholik, CVD atau epilepsy (jika pasien kejang).

I. Komplikasi Jangka Panjang

Menurut Harsono (1999), terdapat faktor prediksi terhadap komplikasi jangka


panjang TK, yaitu: kualitas TK, frekuensi TK, jenis perubahan anatomi, usia penderita.

Akibat jangka panjang TK;

1. Kerusakan saraf cranial (anosmia, gangguan visual, oftalmoplegi, paresis fasialis,


gangguan auditorik)
2. Disfasia.
3. Hemiparesis.
4. Sindrom Pasca TK/ Post Concussional Syndrome.
5. Fistula karotika-kavernosus.
6. Epilepsi post trauma.
7. Infeksi dan fistula LCS.
J. Terapi

o Menurut Chusid (1982), penatalaksanaan TK dibagi 2, yaitu:

a. Tindakan darurat → atasi syok (cairan dan darah) dan prinsip ABC.

b. Tindakan umum → obat-obatan dan observasi kontinyu.

o Menurut Harsono (1999), penatalaksanaan TK sangat kompleks. Mulai dari menjaga


keseimbangan kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan kalori serta obat-obatan
untuk gejala yang timbul, seperti: anti edema cerebri, anti kejang, antibiotik, AINS
serta vitamin neurotropik. Selain farmakoterapi, pasien TK yang telah membaik
memerlukan fisioterapi-rehabilitatif, psikoterapi serta re-adaptasi lingkungan kerja dan
keluarga.

 Menurut Islam (1999), penanganan TK disesuaikan dengan jenis TK (CKR, CKS,


CKB).
 Menurut Fauzi (2002), penanganan awal TK mempunyai tujuan: memantau sedini
mungkin dan mencegah TK sekunder; memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin
sehingga membantu penyembuhan sel-sel otak yg rusak.

K. Prognosis

 Menurut Chusid (1982), prognosis TK tergantung berat dan letak TK.


 Menurut King & Bewes (2001), prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan
pupil midriasis dan tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika
kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat
pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
 Menurut Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya
penanganan awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak
memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang
lain.
Trauma Kapitis
October 15, 2010 dr. Cinta

DEFINISI.

Trauma Capitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala
sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau ganguan fungsional jaringan
otak.

Kelainan Struktural adalah gangguan / lesi anatomis dari struktur kepala , misalnya luka
kulit kepala , fraktur tulang tengkorak , lacerasi jaringan otak dan perdarahan.

Gangguan Fungsional jaringan otak misalnya penurunan kesadaran , kelumpuhan saraf


otak , kelumpuhan motorik dan lain-lain.

PATOFISIOLOGI.

Secara sederhana tulang tengkorak dan jaringan otak di dalamnya dapat digambarkan
sebagai sebuah “kotak” tertutup yang berisi agar-agar.

Ada beberapa mekanisme yang timbul bila terjadi trauma capitis.

Akselerasi.
Bila kepala yang bergerak kesuatu arah atau kepala sedang dalam keadaan tidak
bergerak , tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala maka
kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Mula-mula tulang
tengkorak yang bergerak lebih cepat , jaringan otak masih diam , kemudian jaringan
otak ikut bergerak ke arah yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu
yang sangat singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar
tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding tengkorak.

Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan luka/robekan/laserasi pada bagian bawah


jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena – vena kecil yang
berjalan dari permukaan otak ke duramater (Bridging veins)

Deselerasi.

Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan oleh suatu benda ,
misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba akan terhenti gerakannya.
Kepala mengalami deselerasi (perlambatan) secara mendadak.

Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya , jaringan otak masih bergerak


kemudian jaringan otak terhenti gerakannya karena “menabrak “ tengkorak. Peristiwa
ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat
menyebabkan kelainan serupa seperti pada mekanisme akselerasi.

Rotasi
Hendaklah diingat bahwa batang otak (brain stem) berupa sebuah “batang” yang
terletak di bagian tengah jaringan otak dan berjalan vertikal kearah Foramen Magnum ,
sehinga otak seolah-olah terletak pada sebuah sumbu (axis).Bila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak yang membentuk sudut terhadap arah gerak kepala ,
misalnya pada bagian depan (frontal) atau pada bagian belakang (oksipital) ,maka otak
akan terputar pada “sumbu”nya.

Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian bawah jaringan otak dan
kerusakan pada batang otak. Kerusakan pada batang otak dapat merupakan peristiwa
yang mematikan. Mekanisme rotasi dapat terjadi pada seorang petinju yang mendapat
pukulan”jab” yang sangat keras.

Di dalam kejadian yang sebenarnya , misalnya trauma capitis karena kecelakaan lalu
lintas , ketiga mekanisme tersebut di atas terjadi secara bersamaan.

Lesi “countercoup” ialah lesi pada jaringan otak yang terjadi “diseberang” tempat
terjadinya pukulan / benturan yang diterima kepala . Misalnya kepala dipukul di daerah
oksipital , terjadi perdarahan jaringan otak di frontal.

Ada dua tahapan kerusakan di dalam terjadinya kerusakan jaringan otak (brain damage)
setelah trauma capitis.

1. Primary damage.
yaitu kerusakan yang terjadi pada saat kejadian trauma capitis yaitu , laserasi dan contusio
(luka dan memar) dari jaringan otak dan diffuse axonal injury (DAI).

Diffuse Axonal Injury disebabkan banyaknya serabut-serabut saraf pada jaringan otak
yang rusak pada waktu terjadinya trauma. Tetapi masih ada beberapa peneliti yang
mengatakan bahwa diffuse axonal injury (DAI) terjadi karena edema jaringan otak ,
hypoxia atau karena kerusakan batang otak .
Diffuse axonal injury ditandai dengan adanya coma yang lama yang terjadi segera
setelah trauma capitis yang berat.

2. Secondary damage.
Yaitu kerusakan yang terjadi akibat komplikasi dari proses-proses yang terjadi pada saat
trauma capitis dan baru menunjukkan gejala beberapa saat kemudian (biasanya beberapa jam
kemudian).
Secondary damage misalnya : perdarahan intracranial , cerebral edema , peningkatan tekanan
intracranial ,ischemic brain damage dan infeksi.

Perdarahan intracranial adalah perdarahan yang terjadi di dalam rongga tengkorak.


Cerebral edema ialah bertambahnya volume cairan didalam jaringan otak .
Ischemic brain damage adalah kerusakan jaringan otak karena keadaan hypotensi yang
berlansung lama pada saat terjadi trauma capitis.

POLA – POLA TRAUMA CAPITIS

(Patterns of Head Injury)


Pola – pola (bentuk – bentuk ) kelainan yang mungkin terjadi pada trauma capitis
adalah ,

1. 1. Luka dan avulsi kulit kepala


2. 2. Fraktur Tulang Tengkorak
3. 3. Perdarahan Intracranial
4. 4. Gangguan Fungsi Jaringan Otak

1. LUKA DAN AVULSI KULIT KEPALA

Luka dan avulsi (kehilangan sebagian) kulit kepala dapat menyebabkan perdarahan
yang berat sehingga menyebabkan shock. Luka pada kulit dapat menunjukkan lokasi
(area) dimana terjadi trauma. Bila dibawah luka terdapat fraktur yang menekan jaringan
otak maka luka tersebut dapat merupakan jalan masuk kuman-kuman untuk terjadinya
infeksi intracranial.

2. FRAKTUR TULANG TENGKORAK

Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi pada calvarium (atap tengkorak), disebut Fraktur
Calvarium dan fraktur pada basis cranium (dasar tengkorak), disebut Fraktur Basis
Cranium.

Fraktur Calvarium.

Beberapa contoh fraktur calvarium ,

Fraktur Liniair

Bila fraktur merupakan sebuah garis (celah) saja.


Fraktur liniair yang berbahaya ialah fraktur yang melintas os temporal; pada os
temporal terdapat alur yang dilalui Arteri Meningia Media. Bila fraktur memutuskan
Arteri Meningia Media maka akan terjadi perdarahan hebat yang akan terkumpul di
ruang diantara dura mater dan tulang tengkorak , disebut perdarahan epidural.

Fraktur Berbentuk Bintang (Stellate Fracture)

Bila fraktur berpusat pada satu tempat dan garis – garis frakturnya nya menyebar
secara radial

Fraktur Impressie

Pada fraktur impressie ,fragment-fragment fraktur melekuk kedalam dan menekan


jaringan otak. Fraktur bentuk ini dapat merobek dura mater dan jaringan otak di
bawahnya dan dapat menimbulkan prolapsus cerebri (jaringan otak keluar dari robekan
duramater dan celah fraktur) dan terjadi perdarahan.

FRAKTUR BASIS TENGKORAK

Fraktur atap orbita


Fraktur akan merobek dura mater dan arachnoid sehingga Liquor Cerebro Spinal (LCS)
bersama darah keluar melalui celah fraktur masuk ke rongga orbita ; dari luar disekitar
mata tampak kelopak mata berwarna kebiru biruan . Bila satu mata disebut Monocle
Hematoma, bila dua mata disebut Brill Hematoma / Raccoon’s eyes

Fraktur melintas Lamina Cribrosa

Fraktur akan menyebabkan rusaknya serabut serabut saraf penciuman ( Nervus


Olfactorius) sehinggan dapat terjadi gangguan penciuman mulai berkurangnya
penciuman (hyposmia) sampai hilangnya penciuman (anosmia). Fraktur juga merobek
dura mater dan arachnoid sehingga LCS bercampur darah akan keluar dari rongga
hidung (Rhinorrhoea)

Fraktur Fossa Media

Fraktur Os Petrossum

Puncak (Apex ) os petrosum sangat rapuh sehingga LCS dan darah masuk kedalam
rongga telinga tengah dan memecahkan Membrana Tympani; dari telinga keluar LCS
bercampur darah (Otorrhoea).

Fraktur Sella Tursica

Di atas sella tursica terdapat kelenjar Hypophyse yang terdiri dari 2 bagian pars anterior
dan pars posterior (Neuro Hypophyse). Pada fraktur sella tursica yg biasa terganggu
adalah pars posterior sehingga terjadi gangguan sekresi ADH (Anti Diuretic Hormone)
yang menyebabkan Diabetes Insipidus.

Sinus Cavernosus Syndrome.

Syndrome ini adalah akibat fraktur basis tengkorak di fossa media yang memecahkan
Arteri Carotis Interna yang berada di dalam Sinus Cavernosus sehingga terjadi
hubungan langsung arteri – vena (disebut Arterio-Venous Shunt dari Arteri Carotis
Interna dan Sinus Cavernsus –> Carotid – Cavernous Fistula).

Mata tampak akan membengkak dan menonjol, terasa sakit , conjunctiva berwarna
merah. Bila membran stetoskop diletakkan diatas kelopak mata atau pelipis akan
terdengar suara seperti air mengalir melalui celah yang sempit yang disebut Bruit (
dibaca BRUI ).

Gejala-gejala klinis sebagai akibat pecahnya A.Carotis Interna didalam Sinus


Cavernosus , yang terdiri atas : mata yang bengkak menonjol , sakit dan conjunctiva
yang terbendung (berwarna merah) serta terdengar bruit , disebut Sinus Cavernosus
Syndrome,

Fraktur Fossa Posterior.

Fraktur melintas os petrosum


Garis fraktur biasanya melintas bagian posterior apex os petrossum sampai os mastoid,
menyebabkan LCS bercampur darah keluar melalui celah fraktur dan berada diatas
mastoid sehingga dari luar tampak warna kebiru biruan dibelakang telinga , disebut
Battle’s Sign.

Fraktur melintas Foramen Magnum

di Foramen Magnum terdapat Medula Oblongata, sehingga getaran fraktur akan


merusak Medula Oblongata , menyebabkan kematian seketika.

PERDARAHAN INTRAKRANIAL.

Perdarahan Epidural ( Epidural Hemorrhage – EDH )

Perdarahan ini disebabkan pada umumnya karena fraktur di daerah Temporal yang
memutuskan Arteri Meningea Media yang berjalan didalan suatu alur di tulang
temporal. Darah dengan segera akan terkumpul di rongga di antara dura mater dan
tulang tengkorak. Darah ini akan menekan jaringan otak ke arah medial dan
menyebabkan penekanan terhadap Nervus III sehingga pupil yang sepihak dengan
epidural hematoma akan melebar (midriasis) dan perangsangan cahaya pada pupil mata
ini tidak akan menggerakkan musculus ciliaris (rangsang cahaya negatif).

Epidural Hematoma harus segera di operasi (craniotomy).

Riwayat penyakit yang khas pada Epidural Hematoma ialah adanya ‘Lucid Interval”.
Pada waktu baru terjadi trauma kapitis, penderita tetap berada dalam keadaan sadar ,
bahkan masih mampu menolong dirinya sendiri , baru beberapa jam kemudian
(biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai menurun , kedua pupil akhirnya berdilatasi
penuh dan rangsang cahaya pada kedua mata menjadi negatif dan penderita meninggal.

Tenggang waktu antara kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan
kesadaran disebut “lucid interval”. Kedua pupil yang berdilatasi penuh dengan
rangsang cahaya yang negatif menujukkan keadaan yang disebut “herniasi tentorial” .
Herniasi tentorial terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial dimana batang otak
terdesak kearah caudal dan akhirnya terperangkap oleh tentorium (lihat atlas anantomi).

Perdarahan Subdural. ( Subdural Hemorrhage – SDH )

Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan otak dan di bawah duramater,
biasanya di daerah Parietal. Perdarahan ini dapat terjadi karena mekanisme rotasi
maupun mekanisma aselerasi – deselerasi kepala sehingga memutuskan Bridging Veins
( vena vena yang menghubungkan permukaan jaringan otak dan duramater ) atau
pecahnya pembuluh – pembuluh cortical jaringan otak (baik arteri maupun vena yang
berada pada permukaan otak).

Bila terjadi akut , segera setelah trauma kapitis , ini menunjukkan suatu trauma kapitis
yang cukup berat. Kasus Perdarahan Subdural Akut ( Acute SDH ) memerlukan
tindakan operasi segera.
Sering perdarahan subdural baru manifest setelah 2 – 3 minggu setelah Trauma Kapitis
, terdapat sakit kepala, kelemahan anggota gerak sesisi dan bahkan penurunan
kesadaran. Keadaan ini disebut Perdarahan Subdural Kronis ( Chronic SDH ). Dengan
melakukan operasi membuang darah tersebut , penderita akan segera pulih kembali.

Perdarahan Intracerebral ( Intracerebral Hemorrhage – ICH )

Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah di dalam jaringan otak.
Penderita akan cepat kehilangan kesadaran . Tergantung dimana letak perdarahan ,
operasi dapat menolong penderita tetapi biasanya dengan cacat yang menetap.

Perdarahan juga dapat terjadi di dalan sistim ventrikel , disebut Perdarahan


Intraventrikular ( Intraventricular Hemorrhage – IVH ). Darah akan menyumbat sistim
ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak dapat mengalir dan terkumpul di dalam
sisitim ventrikel dan menyebabkan sisitim ventrikel melebar dan mengandung banyak
cairan , sehingga terjadi Hydrocephalus. Bila perdarahan cukup banyak maka seluruh
fungsi jaringan otak akan terganggu.

GANGGUAN FUNGSI JARINGAN OTAK

Gangguan fungsi jaringan otak yang paling penting yang disebabkan trauma capitis
adalah Gangguan Kesadaran.

Pupil merupakan suatu penilaian terhadap gangguan fungsi jaringan otak. Dua buah
pupil (kiri dan kanan) dengan diameter yang normal (2 –3 mm) disebut pupil yang
isokor. Bila salah satu pupil lebih besar dari ukuran yang normal sedangkan pupil yang
lain normal, disebut pupil yang anisokor.

Pada perdarahan epidural, pupil tampak anisokor. Pupil yang terletak sesisi dengan
epidural hematome berdiameter lebih besar dari normal dan rangsang cahaya pada pupil
tersebut negatif.

Penting juga menilai keadaan motorik anggota gerak (ekstrimitas). Pada perdarahan
intrakranial sering terdapat keadaan hemiparesis atau hemiplegia yaitu kelemahan atau
kelumpuhan lengan dan tungkai disatu sisi.

Kejang kejang merupakan manifestasi gangguan fungsi jaringan otak , pada setiap
peninggian tekanan intrakranial baik oleh perdarahan ataupun oleh bengkaknya
jaringan otak (cerebral edema) dapat terjadi kejang kejang (konvulsi).

PENILAIAN GANGGUAN KESADARAN MENURUT SKALA KOMA


GLASGOW ( Glasgow Coma Scale ).

Pada trauma capitis , gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif artinya diberikan
nilai (score) tertentu pada setiap tingkat kesadaran.

Bagian-bagian yang dinilai adalah ,

1. Proses membuka mata (Eye Opening)


2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma
Scale)

Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan 4

Mata membuka setelah diperintah 3

Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsang apapun 1

Best Motor Response

Menurut perintah 6

Dapat melokalisir nyeri 5

Menghindari nyeri 4

Fleksi (decorticate) 3

Ekstensi (decerebrasi) 2

Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun 1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar 5

Salah menjawab pertanyaan 4

Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai 3

Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya 2

Tidak ada jawaban 1

Jumlah 15

Berdasarkan Skala Koma Glasgow , berat ringan trauma capitis dibagi atas ,

1. Trauma Capitis Ringan , Glasgow Coma Score 14 – 15


2. Trauma Capitis Sedang , Glasgow Coma Score 9 – 10 – 11 – 12 – 13
3. Trauma Capitis Berat , Glasgow Coma Score 3 – 4 –5 –6 –7 – 8

PERANGKAT DIAGNOSA.

Computerized Tomography Scanner (CT-Scan).


CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat
melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar
– dalam). Foto foto CT – Scan akan tampak sebagai penampang penampang melintang
dari objeknya.

Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma
kapitis, fraktur , perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya.

Magnetic Resonance Imaging Scanner (MRI)

Alat ini mendeteksi kepadatan atom hydrogen di tubuh manusia dan komputer akan
merekonstruksinya dalam bentuk bayangan 3 dimensi, sehingga foto setiap penampang
: penampang melintang,sagittal dan coronal dapat ditampilkan.

MRI mempunyai teknologi yang lebih maju dari CT-Scan, akan tetapi tiap tiap alat
mempunyai keunggulan masing-masing.

Alat Rontgen Konvensional.

Alat ini masih dipergunakan untuk melihat bayangan tulang tengkorak, untuk melihat
fraktur secara keseluruhan.

KOMPLIKASI (PENYULIT PENYULIT) PADA TRAUMA KAPITIS.

1. Gangguan Faal Paru :


Pneumonia aspirasi
Suatu infeksi paru karena isi saluran makanan atau sekret trachea masuk ke dalam paru paru,
disebabkan gangguan kesadaran pada trauma kapitis, penderita tidak dapat menelan atau
mengeluarkan sisa makan dan dahak..
2. Gangguan Faal Hepar dapat mengakibatkan Gagal Hepar (Hepatic Failure)
3. Gangguan Faal Ginjal dapat mengakibatkan Gagal Ginjal (Renal Failure)
4. Gangguan Faal Kelenjar Hypophyse ( mis.Diabetes Insipidus)
5. Gangguan Faal Sistim Kardiovaskular
6. Gangguan Hemostasi

TRAUMA CAPITIS-GADAR

TRAUMA KAPITIS
EPIDEMIOLOGI

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan datang ke ruang
gawat darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam. Kemudian frekuensi paling tinggi
terdapat antara hari Jumat dan Minggu. Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih
tinggi daripada wanita. Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama
dikarenakan kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.

Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala
dengan prosentase diatas 50%.

Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma
kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di
populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit
mempunyai GCS antara 3-11.

Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000
penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara 4
– 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.

DEFINISI

Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.

Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak dalam
menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai gangguan
traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997).
Cedera kepala adalah cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan pada kulit
kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan.
(Lukman, 1993).

Trauma kepala (Trauma Capitis) adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat
dipukul atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak
kepala sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada otak bisa
berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung
disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat
menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya
akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau rusaknya otak oleh kompresi,
goresan atau tekanan (At a glance, 2006 ).

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

Cedera kepala adalah suatu cedera yang terjadi pada daerah kepala yang dapat
mengenai kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak.2 Penyebab cedera kepala terbanyak
adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-
anak).1 Meskipun pada kenyataannya sebagian besar kasus trauma kepala bersifat ringan dan
tidak memerlukan perawatan khusus, tetapi pada kasus trauma kepala yang berat tidak jarang
berakhir dengan kematian atau kecacatan.

ETIOLOGI

Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif Musttaqin, 2008) berupa:

a. Benturan/jatuh karena kecelakaan


b. Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan
organ.

KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS

Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin, 2008):

a) Cedera kepala primer


Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa, yang
masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan patofisiologi yang unik.

 Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun biasanya ini
bukan merupakan penyebab utama timbulnya kacacatan neurologis.
 Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada kira-kira
separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom
subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang
sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
 Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera vokal, dimana keadaan ini
berkaitan dengan disfungsi otak yang luas serta biasanya tidak tampak secara mikroskopis.
Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedera
ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.
b) Kerusakan otak sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala abnormalitas/gangguan sistemik
akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering
dari kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-
perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat
gangguan-gangguan metabolisme serebral.

Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstruksi jalan nafas atau cedera
toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi hipoksia
pasca cedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di
atas.

Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah
konkusi atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi
cerebral.

c) Edema cerebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema
iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler akibat
sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa
putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel
tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.
Edema cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat menimbulkan
suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa
adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi
akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi
intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma yang mengakibatkan anoksia jaringan
juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.

d) Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak


Adanya satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan otak)
di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral
supra/infratentorial) biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan
dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadinya herniasi otak.

Jenis-jenis trauma capitis

Menurut Brunner dan suddarth, 2002 jenis-jenis trauma capitis yaitu :

a. Fraktur

Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan dunia
luar tidak memerlukan perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya. Fraktur
basis cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga
menimbulkan ancaman pada jalan nafas.

b. Comosio cerebri (gegar otak)

Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis
tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi
Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang
kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan
demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible
terhadap sistem ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita
daripada fungsi hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu
jatuh terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga
juga meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan
kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah,
pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala :

 pening/nyeri kepala
 tidak sadar/pingsan kurang dari 20 menit
 amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum kejadian
kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan
pusat-pusat di korteks lobus temporalis.
 Post trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu
daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia
ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap
maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke
korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis
tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde
terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan
komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde.
Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala
tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo.
(vertigo dirasakan berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio
medullae akan terasa ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta
lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap
cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah
beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi,
memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah
temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol.
c. Kontusio cerebri
Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus
Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.

d. Perdarahan intracranial
Perdarahan intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau
perdarahan intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan berlanjut
atau menyebabkan peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
Klasifikasi klinis cedera kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

1. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:

 Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan
benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan
otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang
tengkorak.
 Cedera tembus, biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

 Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur
dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk
fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang
secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan
perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
 Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,
kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan.
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow
Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5)
dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15.

3. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi:

a. Cedera kepala berat: nilai GCS <8


b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13, lama kejadian kurang dari 8 jam. Kesadaran
menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana, dan dijumpai
adanya defisit neurologis vocal
c. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15, Bila dijumpai adanya riwayat
kehilangan kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar
kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit
neurologist.
GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama (Hoffman, dkk,
1996):

1) Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus


2) Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3) Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas
Gambaran klinis secara umum pada trauma kapitis :

 Pada kontusio segera terjadi kehilangan kesadaran

 Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal

 Respon pupil mungkn lenyap.

 Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap seiring dengan peningkatan TIK

 Dapat timbul mual-muntah akibat peningkatan tekanan intracranial

 Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat
timbul segera atau secara lambat.

PATOFISIOLOGI

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak punya cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.

Faktor kardiovaskuler

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal


miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.

Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas


ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium
kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari
adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
Faktor Respiratori

Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperapnoe dan bronkokonstriksi

Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran
darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).

Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra kranial (TIK)
yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla oblongata.

Faktor metabolisme

Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen

Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.

Faktor gastrointestinal

Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini
akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.

Faktor psikologis

Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien adalah
suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga.

Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:

a) Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,


b) Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c) Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda
yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh
beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup
dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami
percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak
bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan
dengan daerah benturan.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala skunder.

Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel
yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.

Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan
fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder
dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.
Penyebab cedera kepala skunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia,
hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan
intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang,
dan infeksi).

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain, hematoma epidural (perdarahan yang terjadi
antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi
antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura
mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di
dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah
yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak
(tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan
otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal
(kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi
sekunder pada cedera otak.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK:
1. CT–Scan, mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel pergeseran
cairan otak
2. MRI, sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks
3. Angiografi Serebral, menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan dan trauma
4. EEG, memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang
5. Sinar X, mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang)
6. BAER (Brain Eauditory Evoked), menentukan fungsi dari kortek dan batang otak
7. PET (Pesikon Emission Tomografi), menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak
8. Pungsi Lumbal CSS, dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid
9. Kimia/elektrolit darah, mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam peningkatan
TIK
10. GDA (Gas Darah Arteri), mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK
11. Pemeriksaan toksitologi, mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran
12. Kadar antikonvulsan darah, dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak
yang sakit.

Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support


(2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu
ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam
penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B
(breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang
kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan. Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.
Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan
oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal
ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang
keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut
arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila
denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg.
Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka.
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya
terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan
tekanan intracranial.
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran
penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang
berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita
cedera kepala meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil,
gerakan bola mata (doll’s eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu
dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea.

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit.

Indikasi perawatan di rumah sakit antara lain;

 fasilitas CT scan tidak ada,


 hasil CT scan abnormal,
 semua cedera tembus,
 riwayat hilangnya kesadaran,
 kesadaran menurun,
 sakit kepala sedang-berat,
 intoksikasi alkohol/obat-obatan,
 kebocoran liquor (rhinorea-otorea),
 cedera penyerta yang bermakna,
 GCS < 15.
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana
yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa
pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat
dan antikonvulsan.

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline
shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1
cm.

Penatalaksanaan Khusus

a. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas
normal
 Foto servikal jelas normal
 Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan
instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan
Kriteria perawatan di rumah sakit:

 Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan


 Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
 Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
 Intoksikasi obat atau alcohol
 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
 Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
b. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala
korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan
untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera
kepala sedang adalah minimal.
c. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada
pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi.
Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.
 Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
 Pertahankan posisi kepala sejajar atau gunakan tekhnik chin lift atau jaw trust.
 Monitor tekanan darah
 Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
 Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang
diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45%
atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
 Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
 Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
 Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid
tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya
dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
 Profilaksis trombosis vena dalam
 Profilaksis ulkus peptic
 Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis
pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial
tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
 CT Scan lanjutan
Komplikasi Cedera Kepala Berat

 Kebocoran cairan serebrospinal


 Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
 Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.

 Kejang pasca trauma

PENDAHULUAN(4)

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Di samping
penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan
tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis
selanjutnya.
Tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisis umum serta neurologis harus dilakukan
secara serentak. Pendekatan yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya
evaluasi unsur vital. Tingkat keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat
pasien tiba di rumah sakit.

DEFINISI
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis. (1)

SINONIM (1)
Cedera kepala, Cranicerebral trauma, Head injury

PATOFISIOLOGI (1)
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada :
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan pelbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak
berupa :
• Lesi bentur (Coup)
• Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak,
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)
• Lesi kontra (counter coup)
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS
(Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar
5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan
ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer
sampai ke batang otak
6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi
sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis

Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang
berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga
lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak
regional atau diffus (vasogenik oedem serebri)
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian
oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia,
terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata
oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi,
kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat
selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan
kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak.
Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas
mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang
rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu
keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun
(akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral
dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen
motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks
serebri.
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan
Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga
adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak).
Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi
serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi
(Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor,
sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah
sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan
PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah
tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian
pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem
autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral
terganggu.
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi
pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat
dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan
berubah irreguler, melambat dan steatorous.
Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di
korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi
serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang
minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang
sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.

MONITORING KLINIS(1,5)
Untuk memudahkan para perawat memonitor secara intensif perkembangan tingkat kesadaran
penderita per-jam dan per-hari secara ketat, dibuatlah suatu Skala Koma Glasgow (oleh
Bryan Jennett) yang menyangkut masalah buka mata, repons verbal dan respons motorik.
Pelaksanaannya sangat mudah sehingga bisa cepat di mengeti dan diterapkan oleh para
perawat. Jika pengamatan tingkat kesadaran penderita trauma kapitis tidak cukup lengkap
atau hanya dengan SKG, maka belumlah dapat menggambarkan keadaan neurologik
penderita yang sebenarnya.
Observasi neurologik terus menerus penderita koma haruslah disertai dengan :
1. Monitor fungsi batang otak
Besar dan reaksi pupil
Okulosefalik respons (Doll’s eye phenomen)
Okulovestibuler respons/okuloauditorik respons
2. Monitor pola pernafasan (untuk melihat lesi-proses lesi)
Cheyne Stokes : lesi di hemisfer atau mesensefalon atas
Central neurogenic hyperventilation : lesi dibatas mesensefalon dengan pons
Apneustic breathing : lesi di pons
Ataxic breathing : lesi di medulla oblongata
3. Pemeriksaan fungsi motorik
Kekuatan otot
Refleks tendon, tonus otot
4. Pemeriksaan funduskopi
5. Pemeriksaan radiologi : X foto tengkorak, CT-Scan, MRI atau kalau perlu EEG
Meskipun kenyataan bahwa 70 % X foto tengkorak yang dilakukan pada semua kasus trauma
kapitis adalah normal tetapi demi kepentingan medikolegal X-ray foto tengkorak wajib rutin
dilakukan.

SKALA KOMA GLASGOW(1,4,5)


Nilai
Buka Mata Spontan 4
Atas perintah 3
Terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1
Respons Verbal Orientasi baik 5
Bingung-bingung 4
Kata-kata ngawur 3
Kata-kata tak dimengerti 2
Tak ada reaksi 1
Respons Motorik Gerak turut perintah 6
Menghindari terhadap nyeri 5
Flexi withdrawal 4
Flexi abnormal 3
Ekstensi terhadap nyeri 2
Tak ada reaksi 1

Dengan bantuan pemeriksaan radiologi X foto polos/Brain CT-Scan/MRI dapat melihat


kelainan-kelainan berupa fraktur, edema, kontusio jaringan, hematoma intrakranial dan lain-
lain.

KLASIFIKASI(1,3,4)
Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai pertimbangan dari
berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut :
a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm) 4. Fraktur basis kranii 5. Fraktur kranii
tertutup b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-5%) 1. Hematoma intra
kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural Subdural Intraserebral 2. Fraktur kranii terbuka (
+ laserasio serebri) 3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)
4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif

Sebagai penambah pengetahuan perlu dijelaskan bahwa ada beberapa sentra yang membagi
klasifikasi atas dasar sehubungan dengan Skala Koma Glasgow-nya yaitu :
Mild head injury SKG score : 13-15
Moderate head injury SKG score : 9-13
Severe head injury SKG score : < 8 Jika angka SKG dibawah 8 dan komanya lebih dari 6 jam
maka menunjukkan kerusakan otak yang parah dan prognosa biasanya jelek. Lebih dalam dan
lama komanya juga menggambarkan atau mempunyai korelasi dengan lebih dalamnya letak
kerusakan otaknya. 1. KOMOSIO SEREBRI (1,2) (gegar otak, insiden : 80 %) Komosio
serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma kapitis tanpa
menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan Simptomatologi Benturan
pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga tengkorak yang kemudian
disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah canalis spinalis dengan demikian
batang otak teregang dan menyebabkan lesi iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem
ARAS. Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi
hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh terduduk
sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga
meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan
kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah,
pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala : – pening/nyeri kepala – tidak sadar/pingsan kurang
dari 20 menit – amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama sebelum
kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari). Hal ini menunjukkan
keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. – Post trumatic amnesia :
(anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma. Derajat keparahan
trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu daripada retrograde
amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya. Amnesia ringan disebabkan
oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan menetap maka lesi bisa
meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan kemudian ke korteks
singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya ke arah garis tengah
talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal. Amnesi retrograde dan anterograde terjadi
secara bersamaan pada sebagian besar pasien (pada kontusio serebri 76 % dan komosio
serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia
retrograde lebih cepat pulih dibandingkan dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan :
bradikardi dan tekanan darah naik sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan
berat bila disertai komosio labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa
ada transient parestesia ke empat ekstremitas. Gejal-gejala penyerta lainnya (sindrom post
trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea, dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara,
iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau
beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban,
sering capek-capek, depresi, iritability. Jika benturan mengenai daerah temporal nampak
gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol. Prosedur Diagnostik : 1. X foto
tengkorak 2. LP, jernih, tidak ada kelaina 3. EEG normal Terapi untuk komosio serebri yaitu
: istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi bertahap. Setiap penderita komosio serebri
harus dirawat dan diobservasi selama minimal 72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala
neurologik fokal, untuk mengantisipasi adanya lusid interval hematom. 2. KONTUSIO
SEREBRI (1,2,3) (memar otak, insiden : 15-19 %) Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang
disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan
otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis
yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut
laserasio serebri. Patofisiologi dan Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit

Fase I = fase shock


Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
– kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetatif
– temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik
– respirasi dangkal dan cepat
– nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan iregular
– tekanan darah menurun
– refleks tendon dan kulit menghilang
– babinsky refleks positif
– pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah

Fase II = fase hiperaktif central vegetatif


– temperatur tubuh meninggi
– pernafasan dalam dan cepat
– takikardi
– sekret bronkhial meningkat berlebihan
– tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal
– refleks-refleks serebral muncul kembali
Fase III = cerebral oedema
Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak
ditanggulangi secepatnya.

Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens


Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau menghilang
kecuali lesinya luas.
Gejala lain :
Fokal neurologik :
• Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity
• Babinsky refleks
• Afasia, hemianopsia, kortikal blindness
• Komplikasi saraf otak :
– fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)
– fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI
– herniasi uncus, gangguan N. III
– farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII
– perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total
– fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII
• Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid
• Gangguan organik brain sindroma : delirium

Kontusio Serebri pada Anak-anak


Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda dengan
dewasa antara lain :
1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan tingkah
laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam.
2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan kesadaran
dan kejang-kejang.
3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal bermain-
main seakan tidak ada apa-apa lagi.

Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga hal
tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai shock
absorber yang baik terhadap trauma.

Diagnostik bantu :
1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI
2. LP bercampur darah
3. EEG abnormal

3. EPIDURAL HEMATOM(1,2,3)
Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater. Insiden
terjadinya 1-3 %.

Patofisiologi dan Simptomatologi


Hematoma ini disebabkan oleh :
1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media
2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis posterior.
Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.
Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval cepat antara
beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah biasanya setelah mencapai 75
cc dan melepaskan duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata
penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai
timbulnya penurunan kesadaran ulang. Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan
dengan komosio serebri atau kontusio serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat,
lusid interval tidak tampak karena gejalanya berhubungan antara superposisi dengan
kontusionya.
Pada anak-anak jarang terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih melekat erat pada
dinding periosteum kranium. Pada dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah
temporal.
Tanda-tanda yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada gejala-gejala
seperti dibawah :
1. adanya lucid interval
2. kesadarn yang makin menurun
3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi
4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat penekanan
daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga N. III terjerat
5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)
6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)
7. kejang
8. bradikardi

Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan yang
di atas, tapi sebagai berikut :
1. lusid interval tidak jelas
2. fraktur kranii daerah oksipital
3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat
4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum
5. pupil isokor
biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence sinuum pecah maka
prognosanya jelek.
Diagnosa bantu
1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang
2. Brain CT-Scan
3. Arteriografi karotis
4. EEG abnormal
5. LP tekana meninggi jernih

4. SUBDURAL HEMATOMA(1,2,3)
Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid.
Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah
bergabung dengan likuor serebrospinal
Penyebabnya adalah robeknya bridging vein (vena-vena yang menyebrang dari korteks ke
sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :
1. trauma kapitis
2. kaheksia
3. gangguan diskrasia darah
lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.
Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada subdural
hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami perdarahan adalah
pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif bahkan hematomanya itu
sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana perdarahan dapat berhenti
sendir.
Klasifikasi :
a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari
Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan gejala
subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau pada saat
otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan hemiplegia
kontralateral. Prognosisnya fatal.
Diagnosis bantu :
– CT-Scan
– LP berdarah
– Arteriografi karotis
– EEG abnormal

b. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari


Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus makin kabur
disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio serebri. Kemudian timbul
hemiplegia secara perlahan.
Diagnosa bantu : sama dengan akut SDH
Prognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75 % kembali
sembuh sempurna.
c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahun
Pecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri berfungsi sebagai
tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn berhenti, hematoma kemudian
membeku dan dinding hematoma membentuk jaringan ikat kapsula sebagai pembatas di
sekitar hematoma. Gumpalan darah kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan
intersitiil di sekitarnya yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda osmolaritas. Lama
kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan proses desak ruang dan
tekanan intrakranial meninggi.
Gejala awal :
1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi jaringan otak
di daerah sekitar hematoma
2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma
3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek
4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI
5. hemiparesis yang pelan-pelan
6. pupil bisa anisokor
7. tekanan LP meninggi

5. INTRASEREBRAL HEMATOMA(1,2,3)
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak,
sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja ataupun
multiple.
Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat
dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan
konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.
6. FRAKTUR BASIS KRANII (1,2,3)
Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang
diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.
1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum
– keluar darah dari telinga dan likuorrhoe
– parese N. VII dan VIII sering dijumpai
2. Fraktur basis kranii posterior
– unilateral/bilateral orbital hematom (Brill’s hematom)
– gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum
– perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia akibat trauma
bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna.
3. Fraktur basis kranii posterior
– gejala lebih berat, kesadaran menurun
– tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)
Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS PADA TRAUMA KAPITIS(1)


X Foto Tengkorak
Fraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang ada fraktur
tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun demikian X foto polos rutin
dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini penting sebab :
1. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorak
2. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegal
3. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi fraktur
Jenis foto :
1. Foto antero-posterior
2. Foto lateral
3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen diarahkan 30
derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah oksipital yang sulit di
lihat dengan foto AP
4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka
5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis
6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas fragmen
tulang yang melesak masuk

Keterangan gambar :
1. epidural hematoma/subdural hematom
2. intra serebral hematoma
3. impresio/depressed fraktur
4. herniasi uncus
Jenis-jenis fraktur tengkorak : (1,2,3)
1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan gambaran
pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah dan menyempit pada
ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan sutura mempunyai lokasi
anatomis tertentu.
2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau jaringan
otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang radiopaque dari
tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal sutura
tidak melebihi 2 mm)
CT-Scan Otak(1)
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis mengenai
trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita secara tepat
dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa : oedema serebri,
kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural, fraktur dan lain-lain.

Angiografi (1)
Sistem rapid serial film 10 film/detik
Memakai kontras : angiografin 65 %, conray 60, hypaque sodium dan lain-lain
Jenis angiografi :
– karotis (paling sering)
– vertebralis (jarang)
Cara melakukan dengan ;
1. Fungsi langsung (pada a. karotis komunis, sedikit dibawah bifurcatio)
2. Fungsi tak langsung (dengan kateter dari daerah a. femoralis) angiografi pada trauma
kapitis penting untuk memperlihatkan epidural atau subdural hematomanya.

PRIORITAS PENANGGULANGAN CEDERA KEPALA AKUT(1)


a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)
b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik
c. Evaluasi tingkat kesadaran
d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii,
likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher)
e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya
f. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scan
g. Perhatikan pupil
h. Atasi oedema serebri
i. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
j. Monitor tekanan intra kranial
k. Pengobatan simptomatis atau konservatif
l. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc,
perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya
dilakukan tindakan operatif

OEDEMA SEREBRI(1)
Meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan kadar cairan intraseluler
maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses patologik lokal atau pengaruh
umum yang merusak.
Jenis-jenis
1. Vasogenik oedema serebri
2. sitotoksik oedema serebri
3. osmotik oedema serebri
4. hidrostatik oedema serebri

Vasogenik Sitotoksik Osmotik Hidrostatik


Kausa BBB kapiler Sodium pump Osmotik Gangguan absorbsi LSC
Lokalisasi Subs. alba Alba + grisea Alba + grisea Subs. Alba
Permeabilitas vaskuler Meningkat Normal Normal Normal
Histologis Ekstraseluler Interseluler Ekstra / intra Ekstraseluler
Unsur Plasma Plasma Air Air + Na
Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih dapat
dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor serebro
spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial akan
meningkat 10-15 mmHg.
1. Vasogenik oedema serebri
Lesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel membran
endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara langsung dapat merusak
dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang
mengakibatkan gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan endotel
kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi oedema
serebri. Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
– trauma kapitis
– stroke
– iskhemia
– radang : meningitis, ensefalitis
– space occupying lesion : tumor otak
– malignant hipertensi
– konvulsi
2. Sitotoksik oedema serebri
Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya permeabilitas
membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otak
Sitotoksik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
– neonatal asphyxia
– cardiac arrest
– zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal
3. Osmotik oedema serebri
Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan diri dari
sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi apabila membran sel
masih intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada kasus-kasus :
– water intoksikasi
– hemodialisis yang terlalu cepat
4. Hidrostatik oedema serebri
Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor serebrospinal).
Contohnya pada hidrosefalus.

Pengobatan Odema Serebri


1. Hipertonic Solution Therapy
Pengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri dengan cara
perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma.
Contoh cairan hipertonik :
a. Manitol
b. Glyserol
Pemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa :
• Dehidrasi berat
• Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak
• Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi
• Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :
– dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka darah akan
menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan mengaburkan gejala perdarahan
yang sebenarnya
– cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri
– cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baru
Kontraindikasi :
 Renal Failure
 Hepatic Failure
 Congestive Heart Failure
Manitol
a. Mempunyai efek :
– meninggikan cerebral blood flow
– meninggikan eksresi Na+ urine
– menurunkan tekanan likuor serebro spinal
– diuresis secara ekstrem
Jika berlebihan dapat menyebabkan :
– dehidrasi berat
– hipotensi
– takikardi
– hemokonsentrasi
– overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun maka bisa
terjadi rebound phenomen
b. Dosis
Manitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit. Efek
samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang,
renal failure
Gliserol
a. Sifat dan kegunaannya :
– meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan di otak
dibandingkan dengan efek diuresisnya
– dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energi
– tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton bodies darah
– tidak mempunyai efek rebound phenomen
b. Dosis
– per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk
mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan terlihat efek
penurunan tekanan intra kranial
– per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5 cc/menit.
Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan menetap bertahan selama
12 jam
Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5 cc/menit maka akan terjadi efek diuresis. Jika
gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi :
 hemolisis intravaskuler
 hemoglobinuria
 gastric iritasi
 nonketotic hiperosmolar hiperglikemia

2. Kortikosteroid
Sifat dan kegunaannya :
Memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :
• membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membran
• melindungi sel otak dari anoksia
• memperbaiki sistem sodium pump
• memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas
membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema sel-sel
otak berkurang
Dosis :
• dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4 jam/hari dan
pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat 7-10 hari)
• methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam kemudian
taffering off
Hati-hati pada perdarahan lambung.
Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan. Banyak
kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis.

3. Barbiturat
Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :
a. menurunkan metabolisme otak
b. menstabilkan membran sel
c. menurunkan aktivitas lysozim
d. menurunkan tekanan intra kranial
e. menurunkan pembentukan oedema otak
f. melindungi sel otak terhadap iskhemia
Dosis :
Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB
kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg
%.
Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan
hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.

4. Hipothermi
30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi tekanan darah.
Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan
hanya dalam 5 hari saja.

5. Hiperventilasi Artifisial
Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri
diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood flow
berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial.

PENATALAKSANAAN(4)

Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal


1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang
servikal segaris dengan badan, pasang guedel, bila perlu intubasi.
2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.
3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan.
Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer
lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid,
larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi
edema otak pasca cedera kepala.
4. Obati kejang: Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15
mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tinglcat keparahan

Pedoman Penatalaksanaan
1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:
– Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer laktat:
cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan
larutan ini tidak menambah edema serebri.
– Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:
glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining
toksikologi dan kadar alkohol bila perlu
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT-
Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan
cedera kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:
– Hematoma epidural
– Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel
– Kontusio dan perdarahan jaringan otak
– Edema serebri
– Obliterasi sisterna perimesensefalik
– Pergeseran garis tengah
– Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi, lakukan
tindakan berikut ini :
– Elevasi kepala 30o
– Hiperventilasi
– Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan
4-6 jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
– Pasang kateter Foley
– Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi

Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke
rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
– Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas
normal
– Foto servika1jelas normal
– Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama,
dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan

Kriteria perawatan di rumah sakit:


– Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
– Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
– Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
– Intoksikasi obat atau alkohol
– Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
– Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala
korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan
untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau
amnesia. Risiko timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera
kepala sedang adalah minimal.

3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera
pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat
intensif.
– Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
– Monitor tekanan darah
– Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila
memungkinkan.
– Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat)
yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin
0,45% atau dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
– Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
– Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif
dengan asetaminofen atau kompres dingin.
– Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika
pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid
tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat
meningkatkan risiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya
dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg
intravena sebap 4-6 jam selama 48-72 jam).
– Profflaksis trombosis vena dalam
– Profilaksis ulkus peptik
– Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis
pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial
tetapi dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
– CT Scan lanjutan

Komplikasi Cedera Kepala Berat


1. Kebocoran cairan serebrospinal
2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita,
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.
4. Kejang pasca trauma

PROGNOSIS(4)
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi
vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau
vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan
kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali
berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta, 2004
2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005
3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat, Jakarta, 2004
4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta Kedokteran edisi
Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic Therapeutics
With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000

Anda mungkin juga menyukai