Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia
(2000 tahun SM) dan menempati ukuran kedua dari penyakit saraf setelah
gangguan peredaran darah otak. Dengan tatalaksana yang baik, sebagian besar
penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun untuk ini ditemukan
banyak kendala, di Indonesia di antaranya kurangnya dokter spesialis saraf,
kurangnya keterampilan dokter umum dan paramedis dalam menanggulangi
penyakit ini.
Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, tetapi
pengertian akan penyakit ini masih kurang bahakan salah sehingga penderita
digolongkan dalam penyakit gila, kutukan dan turunan sehingga penderita
tidak diobati atau bahkan disembunyikan. Akibatnya banyak penderita
epilepsy yang tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat
sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik
bagi penderita maupun keluarganya.

1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu dan mengetahui dan menjelaskan definisi, etiologi,
epidemiologi, pathogenesis, klasfikasi, manifestasi klinis, diagnosis dan
penatalaksanaan dari:
- Epilepsi

1
BAB II
ISI

SKENARIO

Seorang ibu datang ke praktek dokter keluarganya dengan membawa putranya


yang masih berusia 7 tahun. Dari anamnesis diketahui bahwa keluhan utama
adalah anak sering bengong, hal ini diketahui ibunya sejak 2 minggu yang lalu.
Sang ibu juga kadang mendapati anaknya bengong dan menjatuhkan apa yang dia
pegang. Biasanya terjadi saat menonton TV/bermain game. Sejak seminggu ini
saat sedang belajar di sekolah anak juga bengong menurut wali kelasnya.
Meskipun hal ini kadang-kadang saja terjadi. Sang ibu khawatir kondisi tersebut
akan mempengaruhi kecerdasannya. Terakhir kali sang ibu mendapati anak
bengong pada 2 hari yang lalu, dan sudah diperiksakan ke dokter saraf pada hari
itu juga dan dilakukan tes EEG. Hasilnya anak didiagnosis epilepsi. Namun sang
ibu masih meragukan diagnosis dokter saraf tersebut. Dan ingin mendapatkan
informasi yang lebih dari dokter yang sudah dia percaya; dia menanyakan apakah
diagnosis dokter saraf kemarin sudah pasti meskipun hasil EEG sang anak normal
dan anak sama sekali tidak pernah kejang, karena setahu sang ibu epilepsy itu
kejang-kejang dan mulut berbusa.

2.1 STEP I
Identifikasi Istilah Sulit
Epilepsi : manifestasi gangguan otak dengan berbagai penyebab, namun
dengan gejala yang berulang yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan. \
EEG : elektroensefalografi, adalah tes yang digunakan untuk mengukurn
dan merekam aktivitas listrik dari neuron-neuron otak.
Menggunakan alat seperti helm yang mencakup daerah kepala dari
frontal hingga oksipital.
Kejang : convulsion  keadaan kontraksi involunter hebat atau serentetan
kontraksi otot-otot volunter.
Seizure  episode tunggal epilepsi. Disebut juga convulsion.

2
2.2 STEP II
Identifikasi Masalah

1. Mengapa sang anak sering bengong dan menjatuhkan apa yang dia
pegang?
2. Apakah kondisi sang anak tersebut berhubungan dengan atau akan
mempengaruhi kecerdasannya? Bila iya, bagaimana caranya?
3. Apakah kondisi sang anak ini berhubungan dengan usia?
4. Bagaimana cara menilai EEG? Apakah wajar jika pada anak dengan
skenario di atas hasil EEGnya normal?

2.3 STEP III


Curah Pendapat/ Brainstorming

1. Ada beberapa pemikiran mengapa sang anak sering bengong.


Bila dikaitkan dengan skenario dimana anak didiagnosis epilepsi,
kemungkinan dia sering bengong karena terkena absence seizure, salah
satu seizure yang terjadi kurang lebih 20 detik dan manifestasinya adalah
anak bengong dan juga menjatuhkan barang karena kaku sementara.
Bengong pada orang biasa, bila diberi rangsangan akan merespon.
Sedangkan bengong yang tidak merespon dengan rangsangan maka diduga
adanya masalah/ gangguan.
Dari sisi keluhan sering bengong, ada beberapa analisis:
- Gangguan dari elektrolit, misalnya defisiensi natrium sehingga
potensial aksi dari neuron-neuron eksitasi tidak bisa dihantarkan
sehingga terjadi bengong.
- Gangguan dari jaras aferen yang menghantarkan ke korteks sehingga
tidak ada kesadaran terhadap rangsang sehingga terjadi bengong.
- Gangguan dari korteks serebri yang tidak bisa mengolah rangsangan
- Gangguan dari jaras eferen yang tidak mampu menhantarkan respons
sehingga terjadi bengong.
- Gangguan pada tonus otot-otot facialis sehingga wajah terlihat seperti
orang kaku dan bengong.
- Gangguan dari pusat kesadaran di ARAS.

3
- Gangguan oksigen
- Gangguan pelepasan neurotransmitter inhibisi yang berlebihan
sehingga menjadi bengong dan bisa pula menjatuhkan barang yang
dipegang karena neuron eksitasi untuk aktivitas sebelumnya terhenti
dan menjadi tidak ada sinyal untuk kembali melanjutkan aktivitas
karena adanya inhibisi.
- Gangguan psikis

Dari segi menjatuhkan barang yang dipegang, dapat terjadi akibat:


- Gangguan neurotransmitter inhibisi (sama seperti di bahasan
sebelumnya)
- Gangguan kontraksi otot ekstremitas atas (atau adanya kelemahan)
- Gangguan elektrolit, oksigen, atau hantaran impuls di jaras eferen ke
efektor.
- Gangguan psikomotor

Setiap dari berbagai etiologi tersebut akan menghasilkan gangguan fungsi


dari sistem saraf dan korteks serebri yang bermanifestasi sebagai bengong
dan menjatuhkan barang.

2. Kondisi sang anak bisa berpengaruh kepada kecerdasan sang anak, bisa
pula tidak. Tergantung apakah penyebab kondisinya berhubungan dengan
korteks serebri yang mengatur fungsi kognitif atau tidak, misalnya hanya
berhubungan dengan masalah motorik. Bila gangguannya berkaitan dengan
korteks serebri, bisa terjadi masalah dalam pengolahan data dan memori
dari pusat kognitif anak.
Kondisi ini bisa berpengaruh terhadap kecerdasan sang anak secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, apabila gangguan saraf
ikut terjadi pada korteks yang berkaitan dengan pusat memori dan fungsi
kognitif lain (membaca, menulis, berbicara). Secara tidak langsung, yakni
bila kondisi bengong dan menjatuhkan barang pada naka ini terjadi saat dia
dalam proses belajar mengajar yang membuat dia tidak dapat menerima
informasi dengan baik dan maksimal.

4
3. Keluhan sering bengong dan menajatuhkan barang ini apabila disebabkan
oleh kelainan motoris, maka tidak ada kaitannya dengan usia, karena bisa
terjadi pada umur berapa saja.
Bisa juga karena pada anak dimana dia suka terlalu fokus bermain yang
menyebabkan dia tidak sadar dengan rangsang dari sekitarnya yang
menyebabkan dia terlihat seolah-olah tidak peduli dan bengong.
Apabila seusai skenario dimana anak didiagnosis epilepsi, keadaan ini
mengarah pada absence, yang epidemiologinya memang sering terjadi
pada anak-anak, sehingga ada hubungannya dengan usia.
Sedangkan bila secara umum, bisa tidak ada hubungannya.

4. EEG dilakukan dengan indikasi diduga ada gangguan/ kelainan pada saraf
otak. Dilakukan selama 24 jam, sebelum dan sesudah serangan.
EEG sendiri bisa menghasilkan hasil yang normal pada orang yang
sebenarnya mempunyai kelainan, dan sebaliknya menghasilkan hasil yang
tidak normal pada orang yang sehat, sehingga bisa false negative/ positive.
Selain itu, apabila ada keluhan seperti di skenarion, dilakukan EEG dan
ditemukan kelainan pada korteks, bisa dipastikan penyebab keluhan
tersebut ada di sistem saraf di korteks serebri. Sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan di otak, bisa jadi kelainannya berasal dari sistem tubuh
yang lebih perifer. Tidak semua kelainan bisa didiagnosis dengan EEG.
Dugaan mengapa pada skenario EEG didapatkan normal:
- Waktu pemasangan mungkin kurang lama
- Tidak sambil beraktivitas, dimana selama pemeriksaan yang benar
harus dilakukan sambil beraktivitas.

5
2.4 STEP IV
Strukturisasi Konsep/ Mind Map

2.5 STEP V
Tujuan Pembelajaran/ Learning Objectives

Dari diskusi dan curah pendapat di atas, didapatkan LO sebagai berikut:


1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang:
- Definisi
- Etiologi
- Epidemiologi
- Klasifikasi
- Patogenesis/ Patofisiologi
- Manifestasi Klinis
- Diagnosis
- Penatalaksanaan
- Prognosis
Dari : EPILEPSI

6
2.6 STEP VI
Belajar Mandiri

Dalam tahap belajar mandiri ini, setiap individu kelompok melakukan


kegiatan belajar baik mandiri maupun kelompok dengan mempelajari semua hal
yang berkaitan dengan learning objectives dari berbagai sumber referensi yang
bisa didapat. Kegiatan belajar mandiri ini dilaksanakan dari hari Selasa, 9
Desember 2014 sampai dengan hari Kamis, 11 Desember 2014.

2.7 STEP VII


Sintesis
1. Epilepsi

DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang dating dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai
etiologi.

ETIOLOGI
- Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak
- Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang
- Faktor genetic: pada kejang demam dan breath holding spells
- Kelainan kongenital otak: atrofi, porensefali, agenesis korpos kalosum
- Gangguan metabolic: hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia
- Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya
- Trauma: kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
- Neoplasma otak dan selaputnya
- Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
- Keracunan: timbal, kapur barus, fenotiazin, air

7
- Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormone, degenerasi
serebral

EPIDEMIOLOGI
Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini
disebabkan oleh :
a. Belum adanya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi
b. Epilepsy bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan
c. Pengambilan data dari kelompok tertentu (bukan populasi
umum) misalnya dari statistic militer dan murid sekolah,
sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian-penelitian
yang sudah dilakukan.
Insidensi epilepsy di berbagai negara bervariasi antara 0,2 – 0,7
o, prevalensinya bervariasi antara 4 – 7 o. Sedangkan di Indonesia
diperkirakan ada 900.000 – 1,8 juta penderita.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di ddunia dengan insidensi dan
prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneiti menemukan
angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki lebih
banyak pada wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama.
Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan
yang mencolok pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9 % penderita
mendapat sawan pertama pada usia kurang dari 4 tahun, 50-51,5 %
penderita terdapat pada kelompok usia kurang dari 10 tahun dan mencapai
75-83,4 % pada usia kurang dari 20 tahun, 15 % penderita pada usia lebih
dari 25 tahun dan dari 2 % pada usia lebih dari 50 tahun.

KLASIFIKASI

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan


klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi Internasional Bangkitan Epilepsi/tipe
serangan menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981:
I . Bangkitan Parsial : gejala klinis menentukan lokasi focus, EEG sering ada tanda
fokal

8
A. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme (gerak involunter yang tidak disadari yang
merupakan bagian serangan)
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum

II. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) : klinis dan EEG tidak ada tanda
fokal, kejang bersifat bilateral simetris (mioklonik dapat asimetris)
A. Bangkitan lena/absence seizure
B. Bangkitan mioklonik
C. Bangkitan tonik
D. Bangkitan atonik
E. Bangkitan klonik
F. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan : bila tidak/belum dapat
dipastikan parsial/umum

Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 :


I. Localization-related (focal, partial) epilepsy
A. Idiopatik
· Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

9
· Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Symptomatic
· Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi
yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis,tipe kejang predominan, EEG
interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing
· Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal
dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus
tidak diketahui
· Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
II. Epilepsi Umum (general epilepsy)
A. Idiopatik
· Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
· Benign myoclonic epilepsy in infancy
· Childhood absence epilepsy
· Juvenile absence epilepsy
· Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
· Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
· Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
· West’s syndrome (infantile spasms)
· Lennox gastaut syndrome
· Epilepsy with myoclonic astatic seizures
· Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
· Etiologi non spesifik
· Early myoclonic encephalopathy
· Specific disease states presenting with seizures

Klasifikasi tipe serangan dan sindroma epilepsi ini diperlukan untuk evaluasi
diagnostik, menentukan OAE, prognosis dan menentukan tindakan lain (bedah,
dll).

10
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
1. kejang umum (generalized seizure)  jika aktivasi terjadi pada kedua
hemisfer otak secara bersama-sama
2. kejang parsial/focal  jika dimulai dari daerah tertentu dari otak

PATOFISIOLOGI

Neuron di otak memiliki potensial membran yang terjadi akibat


adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan diluar neuron.
Adanya perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran. Suatu masukan melalui sinaps yang bersifat eksitasi akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi
akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan
inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang
akson.

Sampai saat ini patofisiologi epileptik belum diketahui dengan


jelas. Ada hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat suatu fokus epileptik yang
terdiri dari neuron-neuron yang secara intrinsik memiliki kelainan pada
membrannya, ini bisa di dapat atau diturunkan. Dikarenakan membran sel neuron
yang abnormal, sel neuron tersebut lebih mudah mengalami eksitasi dikarenakan
ambang rangsang sel neuron yang menurun. Neuron abnormal tersebut akan
menunjukan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar, kemudian depolarisasi
tersebut akan menyebar ke neuron lain melalui hubungan sinaps. Apabila ada
gangguan dalam proses inhibisi, makan neuron lain yang terangsang akan
berdepolarisasi juga dan bersama-sama melepaskan potensial aksinya dan
terjadilah serangan epilepsi. Serangan epilepsi berhenti apabila sel sel neuron yang
abnormal telah mengalami kelelahan akibat habisnya ATP yang digunakan oleh
pompa NaK-ATPase.

Pada epilepsi umum, letak massa neuron yang abnormal sampai


saat ini belum di ketahui, ada dugaan terletak di kelpmpok sel sel subkortikal,
sedangkan pada epilepsi parsialis, massa neuron abnormal terletak di lapisan-
lapisan tertentu di neokorteks atau hipokampus. Epilepsi parsialis dapat

11
berkembang menjadi epilepsi umum sekunder apabola massa neuron abnormal di
neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di sub kortikal.

MANIFESTASI KLINIS
Menurut Commision of Classification and Terminology of the international
League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan
sebagai berikut.
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal dan
dapat berupa :
 gejala motorik fokal yang menjalar atau tidak menjalar. Pada gejala
mototrik fokal yang tidak menjalar terjadi terbatas pada satu bagian
tubuh saja, sedangkan motorik fokal yang menjalar dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
 Gerakan versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
 Gejala sensorik fokal menjalar atau sensorik khusus berupa halusinasi
sederhana, seperti :
o Visual : terlihat cahaya
o Auditoris : terdengar sesuatu
o Olfaktoris : terhidu sesuatu
o Gustatoris : terkecap sesuatu
b. Sawan Parsial Kompleks : gangguan kesadaran dan gejala psikis atau
gangguan fungsi luhur, seperti
 Dejavu : kenal dengan peristiwa yang belum pernah dialami
 Jamaisvu : tidak kenal dengan peristiwa yang pernah dialami
 Disfasia
 Ilusi
 Halusisnasi sederahana, dan
 Automatisme
Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah

12
seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju,
berjalan, mengembara tak menentu, dll.

c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik,


tonik, klonik)
•Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.
•Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
•Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)


a. Sawan lena (absence)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila
diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan
biasanya dijumpai pada anak dan dapat berlangsung puluhan kali dalam
sehari. Serangan sawan ini juga disertai dengan kehilangan tonus otot
sehingga barang yang dibawanya dapat terjatuh. Setelah terjadinya serangan
pasien akan tersadar kembali.
b. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-
ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
c. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama
sekali pada anak.
d. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi
tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
e. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal
dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-

13
tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-
otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.

DIAGNOSIS
Untuk diagnosis sindrom epileptik, diperlukan data yang dapat diperoleh
melalui anamnesis. Data yang harus didapatkan berhubungan dengan data tipe
kejang, dan data penunjang lainnya. Namun, seringkali penderita datang tidak
dalam kondisi kejang. Sehingga penguatan anamnesis merupakan kunci untuk
mendapatkan gambaran serangan. Seringkali hal ini bergantung pada kemampuan
penganamnesis dan saksi kejadian serangan. Biasanya, yang paling tidak luput dari
perhatian adalah serangan tipe tonik-klonik.
Yang perlu dievaluasi pada tahap pertama adalah menetapkan apakah
penderita menderita kejang atau tidak. Sering penderita datang dalam keadaan
tidak sadar, sehingga gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada
anamnesis. Ini sering bergantung pada kepandaian pemeriksa untuk menentukan
pola bangkitan dan kepandaian saksi mata dalam melukiskan bangkitan. Untuk
penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan apakah ada anamnesa
famili dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga tengah atau
sinus atau gejala dari keganasan.

14
Selanjutnya, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Hal ini dilakukan untuk
melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
termasuk tanda-tanda trauma kepala, infeksi dari telinga atau sinus ataupun
keganasan.
Selain kedua basis pemeriksaan di atas, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut.
1. EEG (elektroensefalogram)
Salah satu pemeriksaan tambahan yang penting untuk diagnosa adalah
pemeriksaan ini. EEG merupakan pemeriksaan yang mengukur
aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa
sakit dan tidak memiliki risiko. Sebuah EEG digunakan untuk
mengetes dan merekam aktivitas elektrik dari otak manusia. Rekaman
yang ideal adalah rekaman sewaktu fase iktal (serangan), tapi
seringkali dibuat di luar serangan.
Aktivitas yang abnormal dapat terdeteksi. Utamanya, kelainan EEG
akan berkorelasi dengan kejang atau serangan epileptic. Meskipun 30-
40%dapat terdeteksi normal pada awalnya, sehingga pemeriksaan
ulang dan diperpanjang dapat dilakukan.
Terdapat sensor khusus (elektroda) yang dipasang di kepala dan
dikaitkan dengan kabel ke sebuah komputer. Kemudian komputer akan
merekam aktivitas elektrik otak ke layar atau kertas dalam bentuk
garis-garis bergelombang. Dalam kondisi tertentu, seperti keterkejutan,
dapat dilihat perubahan hasilnya dalam pola normal aktivitas elektrik
otak di layar.

Berikut fungsi EEG :


• EEG kurang berguna untuk menentukan apakah pasien mengalami
serangan kejang atau sakit epilepsi. Karena 3,5% anak sehat, ada
kelainan “epileptiform” pada EEG. EEG pada 10% anak sehat tidak
normal dan pada 50% anak yang ternyata menderita epilepsi, tidak
ada kelainan pada EEG rutin yang pertama. Namun tipe kejang
berhububungan dengan susunan tertentu pada EEG. Maka EEG
dapat menolong menentukan klasifikasi epilepsi yang dialami
pasien. EEG sleep-deprived lebih berhasil.

15
• Mengecek permasalahan pada orang yang mengalami kehilangan
kesadaran
• Mencari tahu apakah seseorang dalam keadaan koma
• Mempelajari penyebab susah tidur
• Melihat aktivitas otak ketika seseorang menerima obat anestesi
selama operasi otak
• Membantu orang yang memiliki masalah psikis, seperti rasa gugup,
dan kesehatan mental

Gambar EEG normal

Gambar EEG Epilepsi Umum

16
2. Uji laboratorium
Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk :
• serum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali diperiksa
pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia
kurang dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolik
lebih lazim ditemui (uji glukosa darah dapat bermamfaat pada bayi
atau anak kecil dengan kejang yang berkepanjangan untuk
menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia). mengukur kadar gula,
kalsium dan natrium dalam darah
• menilai fungsi hati dan ginjal dan untuk menyingkirkan infeksi
sebagai penyebab; dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma,
dapat mengevaluasi hematokit dan jumlah trombosit.
• Skrining toksik dari serum dan urin digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan keracunan.
3. CT scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker
otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.
CT scan menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
MRI (Magnetic Resonance imaging) →menghasilkan bayangan
dengan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah-daerah otak (regio fossa posterior dan regio
sella) yang tidak terlihat jelas apabila menggunakan pemindaian CT.
4. Pungsi Lumbal
Kadang dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan
serebrospinal, terutama dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi.

17
PENATALAKSAAN
Tata laksana farmakoterapeutik
Apabila diagnosis epilepsi telah diketahui kebenaaraannya, maka
langkah berikutnya adalaah membuat rancangan tata laksana
farmakoterapeutik dengan segala macam konsekuensinya. Pada prinsipnya,
OAE harus segera diberikan dengan tetap memperhatikan apakah ada hal-
hal lain yang harus dilaksanakan secara bersama-sama misalnya opertasi
tumor otak, pemasangan ventriculoperitoneal shunt, dan sebagainya.
Tata laksana farmakoterupetik berjangka panjang. Di dasarkan atas
pemberian OAE yang sebenarnya memiliki potensi toksik. Dengan
demikian dapat memutuskan memberikan OAE kepada penderita epilepsi,
hal-hal berikut ini harus selalu di perhatikan : (a). Risk beneffit ratio, harus
dievaluasi secara terus- menerus. (b). Penggunaan OAE harus sehemat
mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka waktu yang lebih pendek,
(c).dan pemilihan obat yang paling spesifik untuk jenis serangan yang akan
diobati.
Setelah OAE diberikan kepada penderita, maka kadar OAE dalam
serum harus di pantau, dengan alasan-alasan sebagai berikut: (a). Untuk
mengevaluasi kepatuhan penderita minum obat, (b). Menilai faktor
farmakokinetika dan farmakodinamika, yang mungkin dapat memberi
sumbangan dalam hal terjadinya kegagalan terapi, (c).untuk
mengidentfikasi kadar obat yang efektif, dengan demikian dapat mengenali
perubahan-perubahan dikemudian hari yang mungkin berupa munculnya
serangan ulang atau efek samping, dan (d). Untuk menentukkan obat apa
yang bertanggung jawab atau munculnya efek toksik apabila dipergunakan
obat lebih dari satu macam.
Namun demikian, dalam praktek upaya tersebut sulit dilaksnakan
karena dua alasan utama : (1). Fasilitas laboratprium belum lengkap,
sehingga belum dapat memeriksa kadar seluruh jenis OAE yang kini
beredar di indonesia, dan (b). Biaya pemeriksaan laboratorium
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun bagaimana pun juga, anjuran
untuk memantau kadar OAE dalam serum tetap merupakan anjuran yang
sangat berharga.

18
Pendekatan monoterapi
Dewasa ini strategi yag dipilih ialah monoterapi. Yang paling
sesuai dengan jenis epilepsi yang sedang dihadapi. Obat tadi harus
diberikan dengan dosis yang cukup, serta bertahap dari dosis yan g rendah,
untuk dapat mengendalikan. Serangan epilepsi. Terapi dengan adanya
OAE campuran lebih dari satu jenis OAE biasanya kurang efektif karena
interaksi OAE tadi justru akan mengganggu efektivitas, dan efek
sampingnya bdapat berakumulasi.
Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa dari bernagai jenis OAE
yang ada maka seluruhnya mempunyai efek samping dan tidak samping
dan tidak satupun yang mempunyai keunggulan yang jelas dalam hal
pengendalian serangan epilepsi. Dengan demikian pilihlah obat yang
mempunyai efek samping atau toksik yang minimal dan kerjanya cukup
efektif. Dan justru disinilah letak ekstensi dari strategi monoterapi.

Sehubungan dengan strategi monoterapi maka diperlukan


pendekatan agar strategi yang diterapkan dapat efektifitas terkendali.
Pendekatannya adalah sebagai berikut :
1. tujuan utama terapi farmakologik untuk epilesi adalah untuk
mengendalikan serangan epilepsi dengan satu jenis obat tertentusetelah
serangan epilepsi terkendali dengan dosis yang konstan dalam periode
tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali.
2. obat yang dipilih adalah obat yang terbaik dan paling sesuai untuk
serangan tertentu dan juga untuk penderita itu sendiri. Dosis dinaikkan
secara bertahap sampai seranga terkendali atau sampai efek samping yang
benar-benar terganggu.apabila gejala-gejala toksik yang berhubungan
dengan dosis maka dosis diturunkan secara bertahap.
3. apabila obat pilihan pertama jelas-jelas tidak efektif, maka obat jenis kedua
harus diberikan. Pemberian kedua ini harus memenuhi ketentuan
sebagaimana diberlakukan terhadap pilihan pertama.. apabila terjadi efek
toksik maka keadaan ini dapat disebabkan oleh inhibisi enzim.
4. penghentian obat pertama tidak dianjurkan berhenti mendadak karena akan
menimbulkan serangan berulang. Penurunan dosis dianjurkan 20% dari

19
dosis harian total setiap 5 kali waktu-paruh. Serangan berulang-ulang
sebagai akibat penghentian obat secara mendadak.

Dalam praktek, pendekatan monoterapi tersebut mungkin sulit


diterapkan secara konsisten mengingat diperlukannya tenaga yang benar-
benar profesional. Fasilitas laboratorium yang mampu mendukungnya
serta kerjasama yang sebaik-bauknya denagn penderita serta keluarganya.
Namun demikian, strategi monoterapi memang lebih rasional dan
ekonomis daripada politerapi.

Tujuan utama terapi farmakologi untuk epilepsi adalah


mengendalikan serangan epilepsi dengan satu jenis obat (monoterapi).
Setelah serangan epilepsi benar-benar terkendali dengan dosis yang
konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali.
Terapi epilepsi bersifat khas, berbeda dengan terapi terhadap gejala atau
penyakit lainnya. Sifat khas tadi diwarnai oleh program minum obat jangka
waktu yang lama, bertahun-taun, bahkan mungkin seumur hidup.

Pemilihan OAE untuk dewasa :


Nama obat Dosis T1/2 Status Kadar Efek samping
mg/kg tetap terapeutik
fenobarbital 1,5-3 4 hari 10-15 20-40 Mengantuk,hiperaktivitas,
hari ug/ml bingung, perubahan
perasaan hati

fenitoin 4 22 jam 4-5 10-20 Ataksia, ruam kulit,


hari ug/ml perubahan kosmetika,
hiperplasi ginggiva,
osteomalasia
karbamazepin 1,5-8 7-18 2-3 4-12 Ataksia, gangguan GIT,
jam hari ug/ml pandangan kabur,
gangguan fungsi hepar

20
Obat yang bermanfaat untuk tipe sawan dapat dilihat pada bagan dibawah
ini:
Tipe Obat yang efektif
1. Parsial
a. Parsial sederhana FB, DFH, Kz
b. Parsial kompleks FB, DFH, Kz
c. Umum sekunder FB, FH, Kz
2. Umum
a. Lena ETS, AVP
b. Mioklonik ETS, AVP
c. Tonik-klonik AVP, FB, DFH, Kz
d. Atonik ETS, AVP

PROGNOSIS
Penderita sindrom epileptik yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan
paling sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat
dihentikan, penderita tidak mengalami sawan lagi,dikatakan telah mengalami
remisi. Diperkirakan 30% penderita tidak akan mengalami remisi wlaupun minum
obat dengan teratur. Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya sawan,
etiologi,tipe sawan, umur awal sawan, sawan tonik klonik, sawan lena dan sawan
parsialkompleks akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita.
Makin muda usia awal terjadi sawan, remisi lebih sering terjadi.
Sesudah terjadi remisi, kemungkinan terjadinya serangan ulang paling
sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks.Demikian
pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi ini.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda


klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang
terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron
secara paroksismal. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis
dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang
spontan dan cenderung untuk berulang.

3.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik


dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar
baik sebagai tutor maupun dosen yang telah memberikan materi kuliah, dari
rekan-rekan angkatan 2012 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan
laporan ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

http://epilepsy.med.nyu.edu/diagnosis-treatment/eeg/overview-
electroencephalograpy#sthash.cIMlRA88.dpbs, diakses pada 12 Desember 2012
pukul 20.00 WITA

23

Anda mungkin juga menyukai