Epilepsi
Epilepsi
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu dan mengetahui dan menjelaskan definisi, etiologi,
epidemiologi, pathogenesis, klasfikasi, manifestasi klinis, diagnosis dan
penatalaksanaan dari:
- Epilepsi
1
BAB II
ISI
SKENARIO
2.1 STEP I
Identifikasi Istilah Sulit
Epilepsi : manifestasi gangguan otak dengan berbagai penyebab, namun
dengan gejala yang berulang yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik dari neuron-neuron otak secara berlebihan. \
EEG : elektroensefalografi, adalah tes yang digunakan untuk mengukurn
dan merekam aktivitas listrik dari neuron-neuron otak.
Menggunakan alat seperti helm yang mencakup daerah kepala dari
frontal hingga oksipital.
Kejang : convulsion keadaan kontraksi involunter hebat atau serentetan
kontraksi otot-otot volunter.
Seizure episode tunggal epilepsi. Disebut juga convulsion.
2
2.2 STEP II
Identifikasi Masalah
1. Mengapa sang anak sering bengong dan menjatuhkan apa yang dia
pegang?
2. Apakah kondisi sang anak tersebut berhubungan dengan atau akan
mempengaruhi kecerdasannya? Bila iya, bagaimana caranya?
3. Apakah kondisi sang anak ini berhubungan dengan usia?
4. Bagaimana cara menilai EEG? Apakah wajar jika pada anak dengan
skenario di atas hasil EEGnya normal?
3
- Gangguan oksigen
- Gangguan pelepasan neurotransmitter inhibisi yang berlebihan
sehingga menjadi bengong dan bisa pula menjatuhkan barang yang
dipegang karena neuron eksitasi untuk aktivitas sebelumnya terhenti
dan menjadi tidak ada sinyal untuk kembali melanjutkan aktivitas
karena adanya inhibisi.
- Gangguan psikis
2. Kondisi sang anak bisa berpengaruh kepada kecerdasan sang anak, bisa
pula tidak. Tergantung apakah penyebab kondisinya berhubungan dengan
korteks serebri yang mengatur fungsi kognitif atau tidak, misalnya hanya
berhubungan dengan masalah motorik. Bila gangguannya berkaitan dengan
korteks serebri, bisa terjadi masalah dalam pengolahan data dan memori
dari pusat kognitif anak.
Kondisi ini bisa berpengaruh terhadap kecerdasan sang anak secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, apabila gangguan saraf
ikut terjadi pada korteks yang berkaitan dengan pusat memori dan fungsi
kognitif lain (membaca, menulis, berbicara). Secara tidak langsung, yakni
bila kondisi bengong dan menjatuhkan barang pada naka ini terjadi saat dia
dalam proses belajar mengajar yang membuat dia tidak dapat menerima
informasi dengan baik dan maksimal.
4
3. Keluhan sering bengong dan menajatuhkan barang ini apabila disebabkan
oleh kelainan motoris, maka tidak ada kaitannya dengan usia, karena bisa
terjadi pada umur berapa saja.
Bisa juga karena pada anak dimana dia suka terlalu fokus bermain yang
menyebabkan dia tidak sadar dengan rangsang dari sekitarnya yang
menyebabkan dia terlihat seolah-olah tidak peduli dan bengong.
Apabila seusai skenario dimana anak didiagnosis epilepsi, keadaan ini
mengarah pada absence, yang epidemiologinya memang sering terjadi
pada anak-anak, sehingga ada hubungannya dengan usia.
Sedangkan bila secara umum, bisa tidak ada hubungannya.
4. EEG dilakukan dengan indikasi diduga ada gangguan/ kelainan pada saraf
otak. Dilakukan selama 24 jam, sebelum dan sesudah serangan.
EEG sendiri bisa menghasilkan hasil yang normal pada orang yang
sebenarnya mempunyai kelainan, dan sebaliknya menghasilkan hasil yang
tidak normal pada orang yang sehat, sehingga bisa false negative/ positive.
Selain itu, apabila ada keluhan seperti di skenarion, dilakukan EEG dan
ditemukan kelainan pada korteks, bisa dipastikan penyebab keluhan
tersebut ada di sistem saraf di korteks serebri. Sedangkan bila tidak
ditemukan kelainan di otak, bisa jadi kelainannya berasal dari sistem tubuh
yang lebih perifer. Tidak semua kelainan bisa didiagnosis dengan EEG.
Dugaan mengapa pada skenario EEG didapatkan normal:
- Waktu pemasangan mungkin kurang lama
- Tidak sambil beraktivitas, dimana selama pemeriksaan yang benar
harus dilakukan sambil beraktivitas.
5
2.4 STEP IV
Strukturisasi Konsep/ Mind Map
2.5 STEP V
Tujuan Pembelajaran/ Learning Objectives
6
2.6 STEP VI
Belajar Mandiri
DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang dating dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai
etiologi.
ETIOLOGI
- Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak
- Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang
disertai bangkitan kejang
- Faktor genetic: pada kejang demam dan breath holding spells
- Kelainan kongenital otak: atrofi, porensefali, agenesis korpos kalosum
- Gangguan metabolic: hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia,
hipernatremia
- Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya
- Trauma: kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
- Neoplasma otak dan selaputnya
- Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
- Keracunan: timbal, kapur barus, fenotiazin, air
7
- Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormone, degenerasi
serebral
EPIDEMIOLOGI
Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini
disebabkan oleh :
a. Belum adanya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi
b. Epilepsy bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan
c. Pengambilan data dari kelompok tertentu (bukan populasi
umum) misalnya dari statistic militer dan murid sekolah,
sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian-penelitian
yang sudah dilakukan.
Insidensi epilepsy di berbagai negara bervariasi antara 0,2 – 0,7
o, prevalensinya bervariasi antara 4 – 7 o. Sedangkan di Indonesia
diperkirakan ada 900.000 – 1,8 juta penderita.
Epilepsi dijumpai pada semua ras di ddunia dengan insidensi dan
prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneiti menemukan
angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki lebih
banyak pada wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama.
Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan
yang mencolok pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9 % penderita
mendapat sawan pertama pada usia kurang dari 4 tahun, 50-51,5 %
penderita terdapat pada kelompok usia kurang dari 10 tahun dan mencapai
75-83,4 % pada usia kurang dari 20 tahun, 15 % penderita pada usia lebih
dari 25 tahun dan dari 2 % pada usia lebih dari 50 tahun.
KLASIFIKASI
8
A. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala sensorik
3. Dengan gejala otonomik
4. Dengan gejala psikik
B. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme (gerak involunter yang tidak disadari yang
merupakan bagian serangan)
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme
C. Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
II. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) : klinis dan EEG tidak ada tanda
fokal, kejang bersifat bilateral simetris (mioklonik dapat asimetris)
A. Bangkitan lena/absence seizure
B. Bangkitan mioklonik
C. Bangkitan tonik
D. Bangkitan atonik
E. Bangkitan klonik
F. Bangkitan tonik-klonik
III. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan : bila tidak/belum dapat
dipastikan parsial/umum
9
· Childhood epilepsy with occipital paroxysm
B. Symptomatic
· Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi
yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis,tipe kejang predominan, EEG
interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing
· Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal
dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus
tidak diketahui
· Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
II. Epilepsi Umum (general epilepsy)
A. Idiopatik
· Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions
· Benign myoclonic epilepsy in infancy
· Childhood absence epilepsy
· Juvenile absence epilepsy
· Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
· Epilepsy with grand mal seizures upon awakening
· Other generalized idiopathic epilepsies
B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik
· West’s syndrome (infantile spasms)
· Lennox gastaut syndrome
· Epilepsy with myoclonic astatic seizures
· Epilepsy with myoclonic absences
C. Simtomatik
· Etiologi non spesifik
· Early myoclonic encephalopathy
· Specific disease states presenting with seizures
Klasifikasi tipe serangan dan sindroma epilepsi ini diperlukan untuk evaluasi
diagnostik, menentukan OAE, prognosis dan menentukan tindakan lain (bedah,
dll).
10
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang dibagi menjadi :
1. kejang umum (generalized seizure) jika aktivasi terjadi pada kedua
hemisfer otak secara bersama-sama
2. kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak
PATOFISIOLOGI
11
berkembang menjadi epilepsi umum sekunder apabola massa neuron abnormal di
neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di sub kortikal.
MANIFESTASI KLINIS
Menurut Commision of Classification and Terminology of the international
League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan
sebagai berikut.
1. Sawan Parsial (lokal, fokal)
a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal dan
dapat berupa :
gejala motorik fokal yang menjalar atau tidak menjalar. Pada gejala
mototrik fokal yang tidak menjalar terjadi terbatas pada satu bagian
tubuh saja, sedangkan motorik fokal yang menjalar dimulai dari satu
bagian tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
epilepsi Jackson.
Gerakan versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
Gejala sensorik fokal menjalar atau sensorik khusus berupa halusinasi
sederhana, seperti :
o Visual : terlihat cahaya
o Auditoris : terdengar sesuatu
o Olfaktoris : terhidu sesuatu
o Gustatoris : terkecap sesuatu
b. Sawan Parsial Kompleks : gangguan kesadaran dan gejala psikis atau
gangguan fungsi luhur, seperti
Dejavu : kenal dengan peristiwa yang belum pernah dialami
Jamaisvu : tidak kenal dengan peristiwa yang pernah dialami
Disfasia
Ilusi
Halusisnasi sederahana, dan
Automatisme
Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah
12
seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju,
berjalan, mengembara tak menentu, dll.
13
tanda yang mendahului suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-
otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit
diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti
sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila
pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa karena
hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.
Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Sawan Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar.
Sawan ini terutama sekali dijumpai pada anak.
3. Sawan Tak Tergolongkan
Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang
ritmik, mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang
mendadak berhenti sederhana.
DIAGNOSIS
Untuk diagnosis sindrom epileptik, diperlukan data yang dapat diperoleh
melalui anamnesis. Data yang harus didapatkan berhubungan dengan data tipe
kejang, dan data penunjang lainnya. Namun, seringkali penderita datang tidak
dalam kondisi kejang. Sehingga penguatan anamnesis merupakan kunci untuk
mendapatkan gambaran serangan. Seringkali hal ini bergantung pada kemampuan
penganamnesis dan saksi kejadian serangan. Biasanya, yang paling tidak luput dari
perhatian adalah serangan tipe tonik-klonik.
Yang perlu dievaluasi pada tahap pertama adalah menetapkan apakah
penderita menderita kejang atau tidak. Sering penderita datang dalam keadaan
tidak sadar, sehingga gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada
anamnesis. Ini sering bergantung pada kepandaian pemeriksa untuk menentukan
pola bangkitan dan kepandaian saksi mata dalam melukiskan bangkitan. Untuk
penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan apakah ada anamnesa
famili dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga tengah atau
sinus atau gejala dari keganasan.
14
Selanjutnya, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Hal ini dilakukan untuk
melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
termasuk tanda-tanda trauma kepala, infeksi dari telinga atau sinus ataupun
keganasan.
Selain kedua basis pemeriksaan di atas, dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut.
1. EEG (elektroensefalogram)
Salah satu pemeriksaan tambahan yang penting untuk diagnosa adalah
pemeriksaan ini. EEG merupakan pemeriksaan yang mengukur
aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa
sakit dan tidak memiliki risiko. Sebuah EEG digunakan untuk
mengetes dan merekam aktivitas elektrik dari otak manusia. Rekaman
yang ideal adalah rekaman sewaktu fase iktal (serangan), tapi
seringkali dibuat di luar serangan.
Aktivitas yang abnormal dapat terdeteksi. Utamanya, kelainan EEG
akan berkorelasi dengan kejang atau serangan epileptic. Meskipun 30-
40%dapat terdeteksi normal pada awalnya, sehingga pemeriksaan
ulang dan diperpanjang dapat dilakukan.
Terdapat sensor khusus (elektroda) yang dipasang di kepala dan
dikaitkan dengan kabel ke sebuah komputer. Kemudian komputer akan
merekam aktivitas elektrik otak ke layar atau kertas dalam bentuk
garis-garis bergelombang. Dalam kondisi tertentu, seperti keterkejutan,
dapat dilihat perubahan hasilnya dalam pola normal aktivitas elektrik
otak di layar.
15
• Mengecek permasalahan pada orang yang mengalami kehilangan
kesadaran
• Mencari tahu apakah seseorang dalam keadaan koma
• Mempelajari penyebab susah tidur
• Melihat aktivitas otak ketika seseorang menerima obat anestesi
selama operasi otak
• Membantu orang yang memiliki masalah psikis, seperti rasa gugup,
dan kesehatan mental
16
2. Uji laboratorium
Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk :
• serum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali diperiksa
pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia
kurang dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolik
lebih lazim ditemui (uji glukosa darah dapat bermamfaat pada bayi
atau anak kecil dengan kejang yang berkepanjangan untuk
menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia). mengukur kadar gula,
kalsium dan natrium dalam darah
• menilai fungsi hati dan ginjal dan untuk menyingkirkan infeksi
sebagai penyebab; dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma,
dapat mengevaluasi hematokit dan jumlah trombosit.
• Skrining toksik dari serum dan urin digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan keracunan.
3. CT scan dan MRI
CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker
otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.
CT scan menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
MRI (Magnetic Resonance imaging) →menghasilkan bayangan
dengan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah-daerah otak (regio fossa posterior dan regio
sella) yang tidak terlihat jelas apabila menggunakan pemindaian CT.
4. Pungsi Lumbal
Kadang dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah
terjadi infeksi otak. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan
serebrospinal, terutama dipakai untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi.
17
PENATALAKSAAN
Tata laksana farmakoterapeutik
Apabila diagnosis epilepsi telah diketahui kebenaaraannya, maka
langkah berikutnya adalaah membuat rancangan tata laksana
farmakoterapeutik dengan segala macam konsekuensinya. Pada prinsipnya,
OAE harus segera diberikan dengan tetap memperhatikan apakah ada hal-
hal lain yang harus dilaksanakan secara bersama-sama misalnya opertasi
tumor otak, pemasangan ventriculoperitoneal shunt, dan sebagainya.
Tata laksana farmakoterupetik berjangka panjang. Di dasarkan atas
pemberian OAE yang sebenarnya memiliki potensi toksik. Dengan
demikian dapat memutuskan memberikan OAE kepada penderita epilepsi,
hal-hal berikut ini harus selalu di perhatikan : (a). Risk beneffit ratio, harus
dievaluasi secara terus- menerus. (b). Penggunaan OAE harus sehemat
mungkin dan sedapat mungkin dalam jangka waktu yang lebih pendek,
(c).dan pemilihan obat yang paling spesifik untuk jenis serangan yang akan
diobati.
Setelah OAE diberikan kepada penderita, maka kadar OAE dalam
serum harus di pantau, dengan alasan-alasan sebagai berikut: (a). Untuk
mengevaluasi kepatuhan penderita minum obat, (b). Menilai faktor
farmakokinetika dan farmakodinamika, yang mungkin dapat memberi
sumbangan dalam hal terjadinya kegagalan terapi, (c).untuk
mengidentfikasi kadar obat yang efektif, dengan demikian dapat mengenali
perubahan-perubahan dikemudian hari yang mungkin berupa munculnya
serangan ulang atau efek samping, dan (d). Untuk menentukkan obat apa
yang bertanggung jawab atau munculnya efek toksik apabila dipergunakan
obat lebih dari satu macam.
Namun demikian, dalam praktek upaya tersebut sulit dilaksnakan
karena dua alasan utama : (1). Fasilitas laboratprium belum lengkap,
sehingga belum dapat memeriksa kadar seluruh jenis OAE yang kini
beredar di indonesia, dan (b). Biaya pemeriksaan laboratorium
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun bagaimana pun juga, anjuran
untuk memantau kadar OAE dalam serum tetap merupakan anjuran yang
sangat berharga.
18
Pendekatan monoterapi
Dewasa ini strategi yag dipilih ialah monoterapi. Yang paling
sesuai dengan jenis epilepsi yang sedang dihadapi. Obat tadi harus
diberikan dengan dosis yang cukup, serta bertahap dari dosis yan g rendah,
untuk dapat mengendalikan. Serangan epilepsi. Terapi dengan adanya
OAE campuran lebih dari satu jenis OAE biasanya kurang efektif karena
interaksi OAE tadi justru akan mengganggu efektivitas, dan efek
sampingnya bdapat berakumulasi.
Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa dari bernagai jenis OAE
yang ada maka seluruhnya mempunyai efek samping dan tidak samping
dan tidak satupun yang mempunyai keunggulan yang jelas dalam hal
pengendalian serangan epilepsi. Dengan demikian pilihlah obat yang
mempunyai efek samping atau toksik yang minimal dan kerjanya cukup
efektif. Dan justru disinilah letak ekstensi dari strategi monoterapi.
19
dosis harian total setiap 5 kali waktu-paruh. Serangan berulang-ulang
sebagai akibat penghentian obat secara mendadak.
20
Obat yang bermanfaat untuk tipe sawan dapat dilihat pada bagan dibawah
ini:
Tipe Obat yang efektif
1. Parsial
a. Parsial sederhana FB, DFH, Kz
b. Parsial kompleks FB, DFH, Kz
c. Umum sekunder FB, FH, Kz
2. Umum
a. Lena ETS, AVP
b. Mioklonik ETS, AVP
c. Tonik-klonik AVP, FB, DFH, Kz
d. Atonik ETS, AVP
PROGNOSIS
Penderita sindrom epileptik yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan
paling sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat
dihentikan, penderita tidak mengalami sawan lagi,dikatakan telah mengalami
remisi. Diperkirakan 30% penderita tidak akan mengalami remisi wlaupun minum
obat dengan teratur. Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya sawan,
etiologi,tipe sawan, umur awal sawan, sawan tonik klonik, sawan lena dan sawan
parsialkompleks akan mengalami remisi pada hampir lebih dari 50% penderita.
Makin muda usia awal terjadi sawan, remisi lebih sering terjadi.
Sesudah terjadi remisi, kemungkinan terjadinya serangan ulang paling
sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks.Demikian
pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi ini.
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
http://epilepsy.med.nyu.edu/diagnosis-treatment/eeg/overview-
electroencephalograpy#sthash.cIMlRA88.dpbs, diakses pada 12 Desember 2012
pukul 20.00 WITA
23