Anda di halaman 1dari 18

Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Tuberkulosis Multidrug

Resistant (TB-MDR) di RSUP Persahabatan Tahun 2013


Lia Alfiana Fauziah dan Mondastri Korib Sudaryo
Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masayarakat Universitas Indonesia

Abstrak

Penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di


Indonesia baik dalam hal prevalensinya maupun masalah-masalah lainnya yang ditimbulkannya.
Upaya dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis masih terus dilakukan. Namun dalam
perjalanannya banyak hambatan dalam upaya tersebut, salah satunya adalah adanya fenomena
tuberkulosis multidrug resistant (TB-MDR). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB-MDR. Desain penelitian yang digunakan adalah
kasus-kontrol dengan populasinya pasien TB di RSUP Persahabatan tahun 2013. Penelitian ini
menghasilkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB-MDR di RSUP
Persahabatan adalah umur (OR 1,7; 95%CI 0,7-4,1), konsumsi alkohol (OR 1,5; 95%CI 0,5-4,5),
riwayat kontak TB (OR 2,1; 95%CI 0,8-5,2), kepatuhan minum obat (OR 10,8; 95%CI 4,4-26,8),
status gizi (OR 3,3; 95%CI 1,4-7,8) dan diabetes mellitus (OR 2,1; 0,7-5,8). Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa untuk mendukung pelaksanaan program DOTS, penderita TB harus terus
dimonitoring dan dikontrol selama pengobatannya terutama dalam hal kepatuhan dalam minum
obat.

Kata kunci : TB-MDR, faktor risiko, RSUP Persahabatan

Abtract

Tuberculosis remains a major problem of public health in Indonesia, both in terms of


prevalence and other problems it causes. An attempt of the tuberculosis prevention is still
underway. But along the way there are a lot of obstacles in it, one of which is a phenomenon of
multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB). This study intended to find the factors that affecting
the MDR-TB. The design study is a case-controland the population is patients with TB at RSUP
Persahabatan in 2013. This study found that affected is the factors in MDR-TB at RSUP
Persahabatan are the age (OR 1.7; 95%CI 0.7-4.1), alcohol consumption (OR 1.5; 95%CI 0.5-
4.5), history of TB contact (OR 2.1; 95%CI 0.8-5.2), medication compliance (OR 10.8; 95%CI
4.4-26.8), nutritional status (OR 3.3; 95%CI 1.4-7.8) and diabetes mellitus (OR 2.1; 95%CI 0.7-
5.8). The study showed that to support the implementation of DOTS program, TB patients should
be closely monitored and controlled during treatment, especially in terms of medication
compliance.
Keywords: MDR-TB, risk factors, RSUP Persahabatan

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


Latar Belakang

WHO memperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh


Mycobacerium Tuberculosis. Sekitar 75% dari penderita TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Seorang penderita TB dewasa diperkirakan akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Sehingga berakibat pada hilangnya
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Sedangkan apabila orang tersebut
meninggal maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Kemenkes, 2011). Tahun
2008 insiden TB di dunia turun secara berlahan menjadi 139 kasus per 100.000 penduduk dari
tahun 2004 yaitu 143 kasus per 100.000 penduduk (MDGs Report, 2010). Estimasi the global
burden disease yang disebabkan oleh TB pada tahun 2009 terdapat 9,4 juta insiden kasus TB, 14
juta prevalen kasus TB di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terjadi di wilayah Asia Tenggara
(35%), Afrika (30%) dan pasifik barat (20%) (WHO, 2010).
Di Indonesia penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama.
Meskipun angka insiden TB cenderung mengalami penurunan setiap tahun namun Indonesia
masih menjadi negara dengan peringkat 10 besar dari 22 negara dengan beban permasalahan TB
yang terbesar, Indonesia berada pada peringkat ke 5. WHO juga melaporkan dalam Global
Report 2011 total estimasi insiden (kasus baru) TB di Indonesia adalah sebanyak 450.000
pertahun dengan prevalensi sekitar 690.000 pertahun. Sedangkan kematian akibat TB
diperkirakan 61.000 kematian pertahunnya (Kemenkes, 2011).
Untuk menangulangi dan mengendalikan masalah penyakit TB, WHO telah
merekomendasikan strategi DOTS sejak tahun 1995. Fokus utama dari strategi DOTS adalah
penemuan dan penyembuhan pasien. Dalam penanggulangannya, salah satu target penting yang
harus dicapai adalah menyembuhkan 85% kasus TB paru menular yang dapat dideteksi, dan
berhasil menemukan setidaknya 70% kasus TB menular di masyarakat. Menurut Prof. Tjandra
Yoga, sedikitnya terdapat 3 faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia antara
lain lamanya pengobatan TB (6 bulan) sehingga sering mengancam penderita untuk putus
berobat, perkembangan penyakit AIDS yang semakin cepat, dan munculnya masalah TB-MDR.
Adanya fenomena TB-MDR telah memperparah keadaan penyakit TB dan menghambat program
penanggulangan TB di Indonesia maupun dunia. TB-MDR adalah tidak merespon setidaknya
isoniazid dan rifampisin, dua obat anti tuberkulosis yang paling kuat. Pengobatan bagi penderita
TB-MDR lebih sulit diobati dengan angka keberhasilan hanya sekitar 50% dan biaya

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


pengobatannya yang mahal bisa sampai 100 kali lebih mahal, sehingga bagi negara berkembang
menjadi beban yang sangat berat dalam penanggulangannya. Pemberian OAT yang benar dan
terkontrol secara baik merupakan kunci utama untuk mencegah dan mengatasi masalah TB-
MDR. Laporan pertama tentang TB-MDR yang menghebohkan datang dari Amerika Serikat,
khususnya pada penderita TB dan AIDS, yang ternyata menimbulkan angka kematian yang
sangat tinggi (70%-90%) dalam waktu yang sangat singkat pula. Kemudian laporan menyusul
berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara di berbagai negara tentang adanya kuman TB
yang resisten terhadap OAT (Aditama dan Soepandi, 2000).
Setiap tahun selalu ada kasus TB-MDR baru yang dilaporkan. Menurut WHO pada tahun
2008 ada sekitar 440.000 kasus TB-MDR, sedangkan 650 000 kasus TB-MDR hadir di dunia
pada tahun 2010 . Berdasarkan WHO Global Report 2009 Indonesia berada di urutan 8 dari 27
negara dengan kasus TB-MDR terbanyak. Berdasarkan data WHO Global Report diketahui
bahwa kasus multidrug resistant di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dari
tahun 2009 sampai tahun 2011 kasus TB-MDR yang terdaftar di pengobatan adalah berturut turut
sebanyak 20, 142 dan 260 pasien. Sedangkan untuk tahun 2012 sampai 2014 diprediksi
mengalami peningkatan berturut turut sebanyak 900, 1800 dan 1700 pasien. Angka TB-MDR
diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus baru TB-MDR dan 12% dari kasus TB dengan
pengobatan ulang (WHO, 2012). Hal tersebut menunjukkan tren kenaikan jumlah kasus TB-
MDR di Indonesia dari tahun ke tahun sehingga perlu dilakukan pengendalian dan
penanggulangan segera supaya kasus TB-MDR tidak terus menerus mengalami peningkatan.
Berdasarkan data di atas maka diperlukan upaya preventif baik dari segi penderita sendiri,
pelayanan kesehatannya maupun dari lingkungannya untuk mencegah terjadinya kasus TB-MDR
baru. Untuk mengupayakan secara maksimal upaya preventif penanggulangan TB-MDR perlu
diketahui faktor faktor resiko terjadinya TB-MDR. RSUP Persahabatan adalah rujukan utama
penyakit paru dan merupakan salah satu dari rumah sakit yang mempunyai pelayanan khusus
untuk TB-MDR. Oleh karena itu peneliti ingin meneliti faktor-faktor yang berperngaruh terhadap
terjadinya TB-MDR di RSUP Persahabatan tahun 2013.

Tinjauan Teoritis

Multidrug resistant atau resistensi ganda adalah Mtb yang resisten minimal terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan dua obat
yang sangat penting pada pengobatan TB yang telah diterapkan pada strategi DOTS.

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi:
1. Resistensi primer yaitu apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan
OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
2. Resistensi initial yaitu apabila tidak diketahui pasti apakah penderita belum atau sudah
pernah menjalani pengobatan OAT sebelumnya.
3. Resistensi sekunder yaitu apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT
minimal 1 bulan.
(Soepandi PZ, 2010)

Faktor Risiko Tuberkulosis Multidrug Resistant (TB-MDR)

Faktor Pelayanan kesehatan

Kurangnya dukungan pandanaan dan fasilitas seperti untuk terkultur dan sensitivitas yang
tidak tersedia sering menjadi hambatan utama dalam penaggulangan TB-MDR. Selain itu
guideline yang telah dikeluarkan oleh WHO seringkali disortir kembali untuk memilih
pengobatannya. Beberapa pendekatan program yang dipakai untuk manajemen kegagalan
pengobatan pasien dapat gagal dibeberapa sisi hal tersebut dapat dilihat setelah mengikuti
pencatatannya. Program untuk mengontrol tuberculosis dengan terapi lini pertama dan DOTS
dilakukan pada 467 pasien dengan BTA + di sebuah penjara. Setelah dilakukan observasi
dihasilkan kesimpulan bahwa efektivitas dari program DOTS dengan terapi lini pertama menurun
dari 85% target yang dibuat oleh WHO (Sharma SK dan Mohan A, 2004). masih lemahnya
kontrol pada infeksi TB di pusat-pusat kesehatan dan kurangnya pelatihan dari petugas kesehatan
juga menjadi risiko untuk terjadi TB-MDR (WHO, 2008). Kesalahan dan ketidak taatan dalam
penulisan resep oleh petugas kesehatan sering terjadi dan diremehkan sehingga hal tersebut juga
sulit untuk diprediksi. (Jain dan Dixit, 2008).

Faktor Obat

Dalam sebuah observasi yang dilakuakan diantara pasien TB-MDR, dari 35 pasien terdapat
kesalahan manajemen pada 28 pasien dengan rata-rata kesalahannya 3,93 tiap pasien. Kesalahan
paling banyak adalah pada penambahan obat yang tidak berhasil, kegagalan dalam
mengidentifikasi yang ada sebelumnya atau resistensi obat yang ada, inisiasi dari regimen primer
yang inadequat, kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengenali ketidaksesuaian obat dan

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


ketidaktepatan terapi pencegahan dengan isoniazid. Menggunakan obat yang kurang dipercaya
dengan bioavailabilitas yang buruk juga menjadi risiko untuk terjadinya TB-MDR (Sharma SK
dan Mohan A, 2004). Menurut Mwinga ketersediaan obat adalah penyebab inadequat obat yang
paling sering. (Jain dan Dixit, 2008)

Faktor pasien

1. Usia
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia san
resistensi OAT dan secara signifikan proporsi TB-MDR lebih tinggi diantara kelompok usia 45-
64 tahun. Faustini et all. Menemukan bahwa TB-MDR lebih sering ditemukan pada pasien
dibawah 65 tahun, namun hubungannya lemah. Studi lain yang dilakukan oleh Espinal et al.
menemukan bahwa TB-MDR lebih banyak ditemukan pada pasien dengan kelompok usia 35-64
tahun (Salih & Merza, 2010).
2. Riwayat migrasi
Telah ditemukan salah satu faktor yang berkonstribusi dalam peningkatan prevalensi
resistensi obat di beberapa negara. Adapaun faktor tersebut adalah tingginya angka migrasi yang
dipercaya dapat mengurangi akses terhadap pelayanan kesehatan dan pekerjaan dan kondisi
rumah yang tidak layak. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk resistensi
OAT pada orang yang memiliki riwayat migrasi atau imigran adalah 3-10 lebih tinggi dari pada
yang non imigran. Pada penelitian lain, 50% dari kasus TB pada kelompok imigran memiliki
resistensi terhadap paling tidak satu obat, dan hampir 17% adalah TB-MDR (Salih & Merza,
2010). Penelitian yang dilakukan di Madrid, Spanyol menghasilkan riwayat migrasi (OR 1,32)
sebagai salah satu faktor yang berisiko terhadap TB-MDR, riwayat berpindah pindah penderita
TB dapat menyebabkan lalai dalam pengobatan (Johnson J et al,2003).
3. Jenis kelamin
Pada penelitian yang dilakukan di Perancis menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko 2,8
kali untuk TB-MDR dibandingkan dengan perempuan. Sebenarnya tidak ada hubungan yang
jelas antara jenis kelamin dengan TB-MDR, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
laki-laki secara signifikan lebih berisiko untuk MDR. Hal tersebut diduga karena perempuan
dianggap lebih patuh terhadap pengobatan sehingga sedikit yang menerima pengobatan yang
inadequat (Salih & Merza, 2010).

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


4. Infeksi HIV
HIV bukanlah faktor yang berdiri sendiri untuk perannya terhadap perkembangan TB-
MDR. Bagaimanapun juga HIV menunjukkan pengaruh dalam meningkatkan risiko penularan
strain multidrug-resistant dari Mtb (Salih & Merza, 2010).

5. Faktor lain
Menurut Sharma K dan Mohan penyebab yang paling kuat untuk terjadinya TB-MDR
adalah riwayat pengobatan TB, meskipun beberapa penderita TB-MDR tidak memiliki riwayat
pengobatan TB (Sharma K dan Mohan, 2006). Ketidak patuhan dalam pengobatan juga menjadi
faktor penting dalam berkembangnya resistensi obat (Jain dan Dixit, 2008). Menurut penelitian
case-control yang dilakukan di Madrid, Spanyol menghasilkan hasil yang signifikan pada faktor
risiko usia dengan kelompok usia 45-65 tahun (OR 3,24), riwayat pengobatan TB sebelumnya
(OR 3,44), infeksi HIV (OR 1,37), diabetes meiltus (OR 1,84) pasien dengan DM sering
cenderung lebih mudah untuk terjadi resistensi OAT (Ahmad M dan Muayad A, 2010). Studi
lainnya yang dilakukan di empat negara di Eropa menunjukkan bahwa beberapa faktor risiko
yang berpengaruh yaitu gangguan ketergantungan obat (OR 4,86), faktor pendapatan (OR 2,55),
kontak dengan penderita TB (OR 2,01) penderita dengan sputum (+) seringkali menginfeksi
anggota keluarganya khususnya anak-anak. Hal tersebut dikarenakan keluarga hidup dalam
kontak yang erat (Crofton dkk, 1998), dan faktor pekerjaan (OR 1,69).
Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan bahwa konsumsi rokok (OR 2,7) dan
alkohol (OR 5,1) juga menjadi faktor risiko dalam perkembangan resistensi terhadap OAT.
Riwayat konsumsi alkohol memang bukanlah faktor yang mencolok, banyak penderita TB
percaya bahwa konsumsi alkohol akan memperparah gejala dari TB (Johnson J dkk,2002).
Penelitian yang dilakukan di Peru (2011) menunjukkan bahwa orang yang belum menikah atau
single memiliki risiko untuk TB-MDR 3,77 kali dibandingkan dengan yang sudah menikah.
Selain itu penelitian yang dilakukan di Litvia menunjukkan bahwa penderita TB dengan IMT
<18,5 memiliki risiko untuk menjadi TB-MDR 2 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
memiliki IMT >=18,5. Menurut WHO, ada faktor-faktor lainnya yang juga dapat berpengaruh
terhadap kejadian TB-MDR yaitu kurangnya informasi, ketiadaan dana, sulitnya transportasi,

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


adanya efek yang merugikan dari OAT, adanya masalah sosial, malabsorbsi, dan pendidikan yang
rendah. (WHO, 2008).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pedekatan kuantitatif, desain studi yang digunakan adalah
desain Kasus-kontrol. Data yang dikumpulkan adalah melihat keterpaparan faktor-faktor risiko
dari kelompok kasus yaitu yang menderita TB-MDR dan pada kelompok kontrol yaitu yang
menderita TB non MDR. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh Penderita TB paru di
RSUP Persahabatan tahun 2013. Populasi studi dalam penelitian ini adalah penderita TB yang
berumur >15 tahun di RSUP Persahabatan tahun 2013. sampel penelitian ini berjumlah 150
sampel dengan rasio perbandingan antara kasus dan kontrol adalah 1:2. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan non probability sampling yaitu consecutive
sampling pada pasien penderita TB yang sesuai dengan kriteria yang berkunjung ke poli paru
dan poliklinik TB-MDR di RSUP Persahabatan Jakarta. Data yang dikumpulkan merupakan data
primer yang diambil melalui wawancara pada pasien TB-MDR dan non MDR dan data yang
didapat dari kartu pengobatan pasien TB. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis bivariat dan multivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk melihat
hubungan kemaknaan antara variabel independen dengan variabel dependen. Metode statistik
yang digunakan untuk melihat pemaknaan hubungan antara variable independen dan variable
dependen adalah dengan melakukan uji chi square ( X2 ). Sedangkan analisis multivariat
dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan yang paling berpengaruh antara variabel
independen dengan variabel dependen. Metode statistic yang digunakan adalah dengan
melakukan uji regresi logistik.

Hasil Penelitian

Hubungan Faktor Sosiso Demografi, Perilaku dan Klinis Pasien Terhadap Kejadian TB-MDR Di
RSUP Persahabatan Tahun 2013

Status TB-MDR
Variabel Kategori TB-MDR TB non Total OR (95% CI) p-value
(%) MDR (%)
>45 tahun 25 (50,0) 36 (36,0) 61 2,0 (0,87-4,45) 0,100
Umur
30-45 tahun 12 (24,0) 27 (27,0) 39 1,3 (0,50-3,20) 0,620

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


<30 tahun 13 (26,0) 37 (37,0) 50 1,0 0,235
Jenis Laki-laki 30 (60,0) 51 (51,0) 81 1,4 (0,7-2,9)
0,385
kelamin Perempuan 20 (40,0) 49 (49,0) 69 1,0
Rendah 13 (26,0) 19 (19,0) 32 2,3 (0,7-7,2) 0,161
Tingkat
Menengah 31 (62,0) 61 (61,0) 92 1,7 (0,7-4,6) 0,306
pendidikan
Tinggi 6 (12,0) 20 (20,0) 26 1,0 0,374
Petani/Buruh/Serabut
12 (24,0) 18 (18,0) 30 1,5 (0,6-3,7) 0,432
an
Jenis
Wiraswasta/Pegawai 21 (42,0) 45 (45,0) 66 1,0 (0,5-2,2) 0,969
pekerjan
IRT/Sekolah/tidak
17 (34,0) 37 (37,0) 54 1,0 0,688
bekerja
<UMR Jakarta 39 (78,0) 65 (65,0) 69 1,9 (0,9-4,2)
Pendapatan 0,133
>=UMR Jakarta 11 (22,0) 35 (35,0) 81 1,0
Belum menikah atau
Status 18 (36,0) 43 (43,0) 61 0,7 (0,4-1,5)
single 0,482
pernikaha
Menikah 32 (64,0) 57 (57,0) 89 1,0
Riwayat Ya 16 (32,0) 41 (41,0) 57 0,7 (0,3-1,4)
0,372
migrasi Tidak 34 (68,0) 59 (59,0) 93 1,0
Kepatuhan Tidak Patuh 28 (56,0) 11 (11,0) 39 10,3 (4,5-23,8)
<0,0005
minum obat Patuh 22 (44,0) 89 (89,0) 111 1,0
Perokok berat 6 (12,0) 4 (4,0) 10 3,1 (0,8-11,8) 0,105
Tingkat
Perokok sedang 10 (20,0) 18 (18,0) 28 1,1 (0,5-2,8) 0,787
konsumsi
Perokok ringan 8 (16,0) 25 (25,0) 33 0,7 (0,3-1,6) 0,365
rokok
Tidak merokok 26 (52,0) 53 (53,0) 79 1,0 0,243
Konsumsi alkohol
2 (4,0) 2 (2,0) 4 2,2 (0,3-16,4) 0,431
berat
Tingkat
Konsumsi alkohol
konsumsi 9 (18,0) 11 (11,0) 20 1,8 (0,7-4,7) 0,219
ringan
alkohol
Tidak konsumsi
39 (78,0) 87 (87,0) 126 1,0 0,369
alkohol
Ada 16 (32,0) 23 (23,0) 39 1,6 (0,4-2,4)
Kontak TB 0,243
Tidak Ada 34 (68,0) 77 (77,0) 111 1,0
Perawatan *222,8 (28,9-
Ya 50 (98,0) 18 (19,0) 68
TB 1714,9) <0,0005
Sebelumnya Tidak 0 (2,0) 82 (81,0) 82 1,0
Infeksi Ya 0 (2,0) 2 (4,0) 2 *0,7 (0,1-6,4)
1,000
HIV+ Tidak 50 (98,0) 98 (96,0) 148 1,0
IMT <18,5 28 (56,0) 34 (34,0) 62 2,5 (1,2-4,9)
Status gizi 0,014
IMT >=18,5 22 (44,0) 66 (66,0) 88 1,0
Diabetes Ya 15 (30,0) 18 (18,0) 33 2,0 (0,9-4,3)
0,100
mellitus Tidak 35 (70,0) 82 (82,0) 117 1,0

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


Hubungan Faktor-faktor Risiko Terhadap Kejadian TB-MDR Setelah Dikontrol Oleh Faktor-
faktor Lain di RSUP Persahabatan Tahun 2013

Variabel B S.E. Wald OR 95% CI p-value


Umur 0,515 0,462 1,241 1,673 0,7-4,1 0,265

Konsumsi Alkohol 0,408 0,555 0,538 1,503 0,5-4,5 0,463

Kontak TB 0,733 0,466 2,469 2,081 0,8-5,2 0,116


Kepatuhan Minum
2,383 0,462 26,568 10,837 4,4-26,8 <0,0005
Obat
Status Gizi 1,198 0,435 7,595 3,313 1,4-7,8 0,006
Diabetes Mellitus 0,726 0,523 1,928 2,067 0,7-5,8 0,165
 

Pembahasan

Ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan,


Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB-MDR lebih banyak pada responden yang
tidak patuh dalam pengobatan dibandingkan dengan yang patuh. Hasil analisis multivariat
menghasilkan bahwa pasien yang tidak patuh memiliki peluang 10,8 kali untuk mengalami TB-
MDR dibandingkan dengan yang patuh terhadap pengobatan. Hasil yang sama didapat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Tirtana (2011) di wilayah Jawa Tengah dimana didapat bahwa
resistensi banyak terjadi pada pasien yang tidak teratur minum obat. Sehingga petugas kesehatan
harus selalu menekankan kepada pasien tentang salah kunci penting keberhasilan pengobatan TB
yaitu berobat secara teratur dan tuntas. Penelitian yang dilakukan Trinnawoottipong (2012) di
Thailand menunjukkan bahwa follow up TB yang tidak rutin berisiko untuk TB-MDR 264,6 kali
dibandingkan dengan yang di follow up secara rutin. Follow up yang rutin sangat diperlukan
untuk menjaga keteraturan dalam minum obat, untuk itu sangat diperlukan adanya PMO untuk
selalu memantau pengobatan TB pasien.
Jain dan Dixit (2008) menyatakan bahwa ketidak patuhan dalam pengobatan juga menjadi
faktor penting dalam berkembangnya resistensi. Menurut Sharma dan Mohan (2004)
ketidakpatuhan terhadap pengobatan sering diunderestimasikan oleh tenaga kesehatan dan sulit
untuk diprediksi hal tersebut kemungkinan dikarenakan banyaknya faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor tertentu seperti kesakitan, konsumsi alkohol, konsumsi obat-

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


obatan, dan gelandangan atau tidak punya tempat tinggal menjadi faktor ketidakpatuhan terhadap
pengobatan. Selain itu pengobatan yang kompleks, efek samping obat, dan waktu pengobatan
yang butuh waktu yang lama sehingga membuat pasien memutuskan untuk berhenti minum obat.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pasien TB-MDR, peneliti mencoba
untuk bertanya lebih dalam tentang ketidak patuhan pada beberapa pasien, hasil wawancara
tesebut menunjukkan bahwa pada pasien TB-MDR di RSUP Persahabatan tidak semuanya
memiliki riwayat pengobatan di RSUP Persahabatan bahkan bisa dikatakan lebih banyak yang
berasal dari rujukan instansi kesehatan lain atau tempat pengobatan lainnya. Wawancara tersebut
juga menunjukkan bahwa pada pasien TB-MDR di RSUP Persahabatan yang tidak patuh
terhadap pengobatan yang dilakukan sebelumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
diri mereka sendiri yang tidak memiliki kesadaran untuk patuh terhadap pengobatan TB yang
dijalaninya, petugas kesehatan yang tidak memberikan KIE terhadap pasien dan tidak
menggunakan manajemen standar pengobatan TB, selain itu faktor pengetahuan pasien tentang
pengobatan TB sehingga beberapa diantara mereka yang tidak berobat di pelayanan kesehatan
yang memiliki program DOTS sehingga mereka tidak mendapatkan pengobatan gratis dan harus
menebus obat sendiri di apotik.
Dalam penelitian ini, responden yang menderita TB-MDR lebih banyak yang memiliki
IMT<18,5 dibandingkan dengan yang memiliki IMT>=18,5 pada awal responden terdiagnosis
TB. Hasil uji statistik diperoleh perbedaan yang signifikan kejadian TB-MDR pada responden
yang memiliki IMT <18,5 dan yang memiliki IMT>=18,5. Selain itu dilihat dari hubungannya,
antara status gizi dengan kejadian TB-MDR memiliki hubungan yang kuat dengan OR Adjusted
3,3, yang artinya responden yang memiliki IMT<18,5 memiliki risiko 3,2 kali untuk TB-MDR
setelah dikontrol oleh faktor-faktor lain, dibandingkan dengan yang memiliki IMT>=18,5 pada
awal terdiagnosis TB.
USAID (2010) dalam Nutrition and Tuberculosis menyatakan bahwa pasien TB yang
underweight memiliki risiko yang lebih tinggi untuk relaps setelah selesai melakukan
pengobatan, hal tersebut dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan Khan et al yang
menunjukkan bahwa risiko relaps pada pasien TB yang telah selesai melakukan pengobatan
meningkat pada responden dengan IMT<=18,5 (RR 3,99), selain itu setelah dilakukan analisis
multivariat menunjukkan bahwa pasien TB yang underweight pada saat awal diagnosis dan
mengalami penambahan berat <5% dari awal sampai akhir pengobatan memiliki hubungan yang

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


bermakna dengan kejadian relaps (OR 2,4). Rendahnya status gizi juga meningkatkan kegagalan
pada pengobatan TB atau berkembang menjadi infeksi TB laten. Penelitian yang dilakukan
Leimane et al (2005) di Latvia menunjukkan bahwa penderita TB dengan IMT <18,5 memiliki
risiko untuk menjadi TB-MDR 2 kali lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki IMT
>=18,5. Status gizi yang rendah dapat menyebabkan kuman yang semakin cepat berkembang
biak sehingga menghambat kejadian konversi, selain itu juga menyebabkan daya tahan tubuh
yang rendah. Sehingga monitoring berkala keadaan gizi pasien sangat penting untuk dilakukan.
Penelitian di India menunjukkan bahwa peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan
berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang terdiagnosis TB-
MDR tidak memiliki riwayat kontak dengan pasien TB. Hal tersebut sesuai dengan penelitian-
penelitan lain seperti penelitian yang dilakukan di Spanyol (2008) dan China (2009). Hasil uji
statistik dalam penelitian ini tidak diperoleh perbedaan yang signifikan kejadian TB-MDR pada
responden yang memiliki kontak TB dengan keluarga maupun di luar keluarga dan yang tidak
memiliki kontak TB dengan keluarga maupun di luar keluarga. Penelitian yang dilakukan Casal
et al (2005) di empat negara di Eropa menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kontak dengan penderita TB dengan kejadian TB-MDR (OR 2,01), dan penelitian yang
dilakukan Diande et al (2009) di Afrika Barat yang menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan kejadian TB-MDR pada yang memiliki riwayat kontak dengan penderita TB dengan
yang tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita TB-MDR. Meskipun demikian hubungan
antara kejadian TB-MDR dengan riwayat kontak TB cukup kuat dengan OR Adjusted 2,1 yang
artinya responden yang memiliki riwayat kontak dengan penderita TB memiliki peluang 2,1 kali
untuk TB-MDR dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat kontak dengan penderita TB.
Menurut Crofton et al (1998) penderita dengan sputum (+) seringkali menginfeksi anggota
keluarganya khususnya anak-anak. Hal tersebut dikarenakan keluarga hidup dalam kontak yang
erat. Orang yang memiliki riwayat kontak dengan penderita TB-MDR memiliki kemungkinan
besar untuk tertular bakteri yang sama-sama memiliki kekebalan terhadap OAT. Meskipun dalam
penelitian ini hampir semua responden tidak mengetahui apakah keluarga ataupun non keluarga
disekitarnya yang menderita TB apakah termasuk dalam penderita TB-MDR ataupun bukan.
Selain itu juga tidak ada kasus baru TB-MDR yang ditemukan dalam penelitian ini. Namun hal

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


tersebut tidak benar-benar menjamin tidak terjadinya penularan Mycobacterium Tuberculosis
yang memiliki kekebalan ganda terhadap OAT.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menderita TB-MDR sebagian
besar tidak menderita diabetes mellitus. Hasil uji statistik pada penelitian ini tidak diperoleh
perbedaan yang signifikan kejadian TB-MDR pada responden yang diabetes mellitus dan yang
tidak diabetes mellitus. Ketidak bermaknaan tersebut kemungkinan dikarenakan kurangnya
jumlah minimal sampel untuk melihat hubungan variabel diabetes mellitus dengan kejadian TB-
MDR. Namun hubungan antara diabetes mellitus dengan kejadian TB-MDR memiliki hubungan
yang cukup kuat, dengan OR Adjusted 2,1, yang artinya responden yang menderita diabetes
mellitus memiliki risiko 2,1 kali untuk TB-MDR dibandingkan dengan yang tidak menderita
diabetes mellitus.
Penelitian yang dilakukan Xueng He (2011) di Cina menunjukkan bahwa pasien DM
dengan TB-MDR lebih banyak yaitu 17,7% dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita
DM dengan TB-MDR yaitu 9,3% (p-value <0,01). Menurut Zhang Qing et al (2009), ada
beberapa alasan mengapa insiden TB-MDR dan tingkat kasus kambuh lebih tinggi pada pasien
dengan DM dari pada pasien yang tidak dengan DM. DM dapat memperparah TB, selain itu juga
dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk pengobatannya karena bersamaan dengan terapi
pengobatan DM nya, lebih banyak pasien yang memiliki kepatuhan pengobatan yang rendah, dan
mereka juga akan lebih sering merasakan efek samping obat. Pengobatan yang harus dilakukan
bersamaan TB dan DM juga membutuhkan biaya yang lebih banyak, sehingga banyak diantara
pasien TB-DM tidak menjangkaunya. Pasien DM yang menjalani pengobatan DM secara teratur
dapat menyebabkan gula darah mereka yang tidak terkontrol sehingga akhirnya penyakit TB nya
pun menjadi sukar untuk disembuhkan. Selain itu pasien DM bisa juga terinfeksi kembali dengan
strain TB-MDR karena rendahnya imunitas. Kasus TB-DM juga bisa memiliki prognosis yang
buruk jika terjadi kambuh dalam 2 tahun dan dibutuhkan terapi DM yang baru dan pengobatan
yang efektif untuk pasien DM dengan TB-MDR.
Hasil yang sama juga dihasilkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Susan P et al (2008)
di Meksiko yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara DM dengan
kejadian TB-MDR, lebih dari 31% pasien TB-MDR dengan DM, dibandingkan dengan 27,8%
dari seluruh pasien TB. Penelitian kasus kontrol yang dilakukan di New York menunjukkan
bahwa pasien dengan DM memiliki peluang untuk menjadi TB-MDR 8,6 kali dibandingkan

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


dengan kontrolnya. Tiyas Sen et al (2009) menyatakan bahwa status hiperglikemik kemungkinan
ikut campur dalam keberhasilan pengobatan atau ikut campur dalam imunitas. Pasien DM
mempunyai tingkat kelemahan dalam absorbsi obat dalam gastrointestinal, hal tersebut
mempunyai implikasi klinis dan pengobatan yang penting. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Baker et al (2011) terbukti bahwa DM juga meningkatkan risiko kegagalan pengobatan TB (RR
1,69) atau relaps (RR 3,89), pada pasien TB-DM terjadi keterhambatan dalam konversi kultur
sputum TB. Selain itu dari sepuluh negara memiliki kasus DM terbesar, enam diantara juga
termasuk dalam sepuluh negara terbesar dalam kasus TB-MDR yaitu India, China, Rusia,
Bangladesh, Pakistan dan Indonesia.
Menurut Nijland et al dalam Young et al (2009), rifampisin tidak terabsorbsi dengan
efektif pada pasien TB-DM, ini dapat menyebabkan rendahnya asupan dalam gastrointestinal,
atau terjadinya perbedaan metabolisme, ekskresi dan berat tubuh. Selain itu di India telah
dilakukan evaluasi terhadap regimen obat katagori 1 yang menunjukkan bahwa obat tersebut
tidak cocok untuk orang dengan diabetes. Menurut Bailey dan Grant (2011) pengobatan secara
bersamaan antara TB dan DM merupakan sesuatu yang bertentangan. Rifampisin dapat
menyebabkan efek pada hiperglikemik baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
interaksi dengan hipoglikemik oral, sedangkan DM menyebabkan dampak farmakokinetik pada
OAT. Sedangkan menurut Bashar et al (2001) tingginya kasus TB-MDR pada penderita DM
kemungkinan akibat dari lemahnya absorbs OAT pada gastrointestinal, keadaan hiperglikemik
yang berhubungan dengan tingkat jaringan tubuh yang adequate untuk keberhasilan pengobatan
dan berhubungan dengan fungsi makrofag alveolar atau CD4+. Sedangkan menurut Masniarni et
al (2007), hiperglikemi kronik oleh karena DM akan menyebabkan gangguan fungsi paru melalui
mekanisme glikolisasi dan glikasi asam amino dan lemak. Glikolisasi dan glikasi akan
mengakibatkan penebalan serta perubahan struktur jaringan ikat membran basalis sehingga
terjadi gangguan migrasi serta diferensiasi secara radang. Gangguan ini akan diperberat apabila
terjadi asidosis karena kemampuan mobilisasi PMN, kemampuan fagositosis, akan indeks
kemotaktik pada penderita DM menurun. Pada penderita DM didapatkan beberapa defisiensi
imuniti cell mediated (imuniti selular) dan paling banyak berpengaruh dengan abnormaliti lekosit
polimorfonuklear (PMN), monosit, dan limfosit. Kadar gula darah yang tinggi akan memicu
terjadinya defek imunologis yang akan menurunkan fungsi netrofil, monosit maupun limfosit.

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa tidak ada hubungan yang bermakna kejadian TB-
MDR pada setiap kategori umur, namun kalau dilihat dari proporsinya kasus TB-MDR paling
banyak terjadi pada responden dengan usia >45 tahun. Hasil analisis bivariat menunjukkan dose
response relationship, yang menunjukkan semakin tua umurnya semakin berisiko untuk TB-
MDR. Sedangkan hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa responden yang berusia >45
tahun memiliki peluang 1,7 kali untuk TB-MDR dibandingkan dengan yang berusia <=45 tahun.
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan resistensi
OAT, secara signifikan proporsi TB-MDR lebih tinggi diantara kelompok usia 45-64 tahun.
Faustini et al dalam Saling & Mirza (2010) menemukan bahwa TB-MDR lebih sering ditemukan
pada pasien dibawah 65 tahun, namun hubungannya lemah. Studi lain yang dilakukan oleh
Espinal et al menemukan bahwa TB-MDR lebih banyak ditemukan pada pasien dengan
kelompok usia 35-64 tahun. Selain itu penelitian kasus-kontrol yang dilakukan Garcia et al
(2008) di Madrid, Spanyol juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara faktor
risiko umur (45-65 tahun) dengan TB-MDR (OR 3,24).
Semakin tua umur seseorang maka akan semakin rendah pula imunitas dalam tubuhnya,
sehingga membuat penyakit biasanya akan lebih parah pada orang yang lebih tua. Namun dalam
penelitian lain yang dilakukan di Meksiko oleh Susan P et al (2008) menunjukkan bahwa pasien
TB yang lebih muda secara signifikan lebih berisiko untuk menjadi TB-MDR dibandingkan
dengan yang lebih tua. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pasien dalam kelompok usia
muda banyak yang terpapar dengan faktor-faktor berisiko seperti alkohol, penggunaan obat-
obatan, riwayat tinggal di penjara, dan infeksi HIV) sehingga hal tersebut dapat menjadi salah
satu alasan kenapa usia lebih muda memiliki risiko yang lebih besar untuk menjadi TB-MDR
dibandingkan dengan yang lebih tua.
Sebagian besar responden yang merupakan pasien TB-MDR tidak mengonsumsi alkohol,
hal tersebut kemungkinan dikarenakan masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak mengenal
atau terbiasa dengan alkohol. Hasil uji statistik pada penelitian ini tidak diperoleh perbedaan yang
signifikan kejadian TB-MDR pada setiap tingkatan konsumsi alkohol. Ketidakbermaknaan
tersebut kemungkinan dikarenakan kurangnya jumlah minimal sampel untuk melihat hubungan
variabel tingkat konsumsi alkohol dengan kejadian TB-MDR. Dilihat dari hubungannya pada
analisis bivariat didapatkan dose response relationship, yang menunjukkan semakin tinggi
tingkat konsumsi alkoholnya semakin berisiko untuk TB-MDR. Pada analisis multivariat

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


menunjukkan bahwa responden yang mengkonsumsi alkohol memiliki peluang 1,5 kali untuk
TB-MDR dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi alkohol.
Hasil yang sama didapat pada penelitian yang dilakukan Trinnawoottipong (2012) di
Thailand yang menunjukkan bahwa konsumsi alkohol (OR 5,1) juga menjadi faktor risiko dalam
perkembangan resistensi terhadap OAT. Menurut Johnson et.al (2002) alkohol bukanlah faktor
yang mencolok dalam kasus TB-MDR, namun kebanyakan pasien percaya bahwa alkohol dapat
memperburuk gejala dari tuberkulosis. Masniari et al (2007) menyatakan bahwa alkohol juga
dapat menyebabkan gangguan imuniti selular sehingga terjadi reaktivasi infeksi TB laten.
Sedangkan Burman et al (1997) melaporkan bahwa alkohol merupakan risiko yang signifikan
untuk ketidakpatuhan peserta program DOTS.

Kesimpulan

Faktor-faktor yang memiliki perbedaan risiko kejadian TB-MDR yang bermakna di


RSUP Persahabatan tahun 2013 adalah faktor kepatuhan minum obat dan status gizi. Sedangkan
faktor-faktor yang memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian TB-MDR di RSUP Persahabatan
tahun 2013 adalah faktor kepatuhan minum obat, status gizi, riwayat kontak TB, diabetes
mellitus, umur dan tingkat konsumsi alkohol.

Saran

Melakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan teknik
pengambilan sampel yang bisa digeneralisasi ke dalam populasi yaitu dengan propability
sampling. Selain itu perlu dilakukan penelitian kualitatif untuk mengetahui lebih lanjut dan lebih
dalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB-MDR khususnya faktor
kepatuhan dalam pengobatan.

Dalam memberikan KIE kepada pasien TB dan keluarganya (atau PMO nya) tentang
kepatuhan minum obat lebih ditekankan lagi tentang konsekuensi kalau tidak patuh yaitu TB-
MDR baik dengan poster, membagikan leaflet maupun penyuluhan. Selalu mengontrol dan
memantau status gizi dan pola makan pasien TB setiap kali melakukan pemeriksaan atau setiap
kali mengambil obat. Serta memberikan konsultasi kepada pasien tentang efek samping obat
yang berpengaruh terhadap status gizi seperti kurang nafsu makan, mual dan diare. Jika perlu

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


disediakan petugas kesehatan khusus atau ahli gizi yang dapat memberikan konsultasi pola
makan (dietary counselling) kepada pasien TB

Kepustakaan

Aditama TY dan Soepandi PZ. (2000). Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Edisi
III. Jakarta: Lab. Mikrobiologi RSUP Persahabatan.
Bailey Sarah dan Paul Grant. (2011). The Tubercular Diabetic: The Impact of Diabetes Mellitus
on Tuberculosis and Its Threat to Global Tuberculosis Control. Clinical Medicine.
11(4):344-7. 14 juni 2003. http://rcpjournal.org/content/11/4/344.full.pdf.
Baker Meghan et al. (2011). The Impact of Diabetes on Tuberculosis Treatment Outcomes: A
Systematic Review. BMC Medicine. 9:81. 4 Juni 2013.
http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1741-7015-9-81.pdf.
Bashar M et al. (2001). Increased Incidence of Multidrug Resistant Tuberculosis in Diabetic
Patients on the Bellevue Chest Service, 1987 to 1997. CHEST. 120:1514-1519.
Brewer Thimoty F. (2011). Self-Reported Risk for Multiple-Drug Resistance among New
Tuberculosis Cases: Imlications for Drug Susceptibility Screening and Treatment. 11
Desember 2012.
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0025861.pdf.
Burman WJ et al. (1997). Noncompliance with directly observed therapy for tuberculosis.
Epidemiology and effect on the outcome of treatment. CHEST . 111:1168–73.

Casal M, et al. (2005). A Case-Control Study for Multidrug Resistant Tuberculosis: Risk Factors
in Four European Countries. Microbial Drug Resistance. 11(1): 62-67. 12 Januari 2013.
http://www.mycobactoscana.it/Testi/MDR.pdf.
Crofton J, Horne N, Miller F. (1998). Tuberkulosis Klinik. Penerjemah : Moeljono et al. Jakarta :
Widya Medika.
Diande Souba, et al. (2009). Risk Factor for Multidrug Resistant Tuberculosis in Four Centers in
Burkina Faso, West Africa. Microba Drug Resistant.15(3): 217-221.
Garcia I Suarez, et al. (2009). Risk Factors for Multidrug Resistant Tuberculosis in A
Tuberculosis Unit in Madrid, Spain. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 28:325-330. 12 Januari
2013. http://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs10096-008-0627-y.pdf.
He Gaung Xue. (2012). Epidemiologi and Control of Multidrug Resistant Tuberculosis in China.
University of Amsterdam. . Thesis. 25 November 2012. http://dare.uva.nl/document/359424.
Jain A, Dixit P. (2008). Multidrug Resistant to Extensively Drug Resistant Tuberculosis : What is
Next?. J. Biosci. 33(4): 605-606. 22 Desember 2012.
http://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs12038-008-0078-8.pdf.

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


Johnson J, Kagal A, Bharadwaj. (2003). Factors Associated with Drug Resistance in Pulmonary
Tuberculosis. Indian J Chest Dis Allied Sci. 45: 105-109. 20 Desember 2012.
http://medind.nic.in/iae/t03/i2/iaet03i2p105g.pdf.

Johnson, Rabia. et al. (2006). Drug Resistance In Mycobacterium Tuberculosis. Curr Issues Mol
Boil. 8:97-111. 22 Desember 2012. medind.nic.in/iae/t03/i2/iaet03i2p105g.pdf.
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes RI.
_____________________. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.
Jakarta: Kemenkes RI.

Khan Ahmad et al. (2013). Risk Factors in Development of Multidrug Resistant Tuberculosis in
The Hospitalized Patients. Journal of Army Medical Corps. 20 Januari 2013.
http://www.pafmj.org/showdetails.php?id=68&t=o.
Leimane, Veira. et al. (2005). Clinical Outcome of Individualised Treatment of Multidrug
Resistant Tuberculosis in Latvia: A Retrospective Cohort Study. The Lancet. 365: 318-326.
9456. ProQuest.
Masniari Linda, ZS Priyanti, Aditama TY. (2007). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kesembuhan Pasien TB Paru. J Respir Indo. 27:176-183.

P Susan et al. (2008). Type 2 Diabetes and Multidrug-resistant Tuberculosis. Scandinavian


Journal of Infection Disesase. 40:888-893. 10 April 2013.
https://netforum.dsr.life.ku.dk/perl/uinfofil/type-kulife/28527/20101124203934-21865-
type2diabetesandmultidrug-resistanttuberculosis.pdf.

Sabri, Lubis. Hastono, Sotanto Priyo. (2008). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.

Saillour MF, et al. (1999). Outcome of Multidrug Resistant Tuberculosis in France : A


Nationwide Case Contol Study. Am J Respir Crit Care Med. 160: 587-593. 22 Desember
2012. http://www.atsjournals.org/doi/pdf/10.1164/ajrccm.160.2.9901012.
Salih AM, Merza MA. (2004). Risk Factors for Multidrug Resistant Tuberculosis : A Review.
Duhok Med J. 4(2):1-7. 20 Januari 2013. http://www.uod.ac/articles_files/no6.4.pdf.
Sen Tiyas et al. (2009). Tuberculosis and Diabetes Mellitus : Merging Epidemics. JAPI. 57:399-
403. 12 Januari 2013. www.japi.org/may_2009/article_07.pdf.

Sharma SK, Mohan A. (2004). Multidrug Resistant Tuberculosis. Indian J Med Res 120. Oct
354-76. 20 Desember 2012. http://repository.ias.ac.in/69211/1/139-pub.pdf.
Sharma SK, Mohan A. Multidrug Resistant Tuberculosis : A Menace That Threatens To
Destabilize Tuberculosis Control. CHEST. 130(1): 261-272.
Sjahrurachman A. (2010). Diagnosis Multidrug Resistant Mycobacterium Tuberculosis. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia. 7: 8-10.

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013


Soepandi P Z. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan TB-MDR. Cermin Dunia Kedokteran.
180:497-501.
Tirtana Bertin T. (2011). Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Pada
Pasien Tuberkulosis Paru Dengan Resistensi Obat Tuberkulosis Di Wilayah Jawa Tengah.
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Artikel Ilmiah. 18 Desember 2012.
eprints.undip.ac.id/32879/1/Bertin.pdf.
Trinnawoottipong. K, et all. (2012). Factors Associated with Multidrug Resistant Tuberculosis
Patients in the Upper Northeast Thailand. Research Journal of Medical Sciences. 6(4): 208-
213. 13 Januari 2013. http://docsdrive.com/pdfs/medwelljournals/rjmsci/2012/208-213.pdf.
United Nations. (2010). The Millennium Development Goals Report. New York : United Nations
Department Economic and Social Affairs.

USAID. (2008). Nutrition and Tuberculosis: A Review of Literature and Consideration for TB
Control Programs. Washington: USAID.
Valerie S, et all. (1993). Multidrug Resistant Tuberculosis in France 1992-4 : Two Case-Control
Studies. British Meical Journal. 317: 630-631.
World Health Organization. (2008). Guidelines for The Programmatic Management of Drug
Resistant Tuberculosis. Emergency Update 2008. Geneva: WHO Press.
World Health Organization. (2009). Global Tuberculosis Report 2009. Geneva: WHO Press.

World Health Organization. (2010). Global Tuberculosis Control 2010. Geneva: WHO Press.
World Health Organization. (2011). Global Tuberculosis Report 2011. Geneva: WHO Press.
World Health Organization. (2012). Global Tuberculosis Report 2012. Geneva: WHO Press.
Young Fiona et al. (2009). Diabetes and Tuberculosis: a Dangerous Liaison and No White Tiger.
Indian J Med Res. 130:1-4. 15 Januari 2013. http://icmr.nic.in/ijmr/2009/july/editorial1.pdf.
Zhang Qing et al. (2009). Tuberculosis Complicated by Diabetes Mellitus at Shanghai Pulmonary
Hospital, China. Jpn J Infection Diseases. 62:390-391. 15 Januari 2013.
http://www0.nih.go.jp/JJID/62/390.pdf.
 

Faktor-Faktor..., Lia Alfiana Fauziah, FKM UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai