Anda di halaman 1dari 18

Tinjauan Pustaka

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Oleh:
dr. Gede Wirata, S.Ked
NIK. 1991280520170112001

BAGIAN ANATOMI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
MEI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atass
karunia-Nya sehingga penulisan tinjauan kepustakaan ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Tinjauan kepustakaan ini disusun sebagai media pemerkaya ilmu
pengetahuan kedokteran berkelanjutan di dalam bidang pendidikan.
Tinjauan kepustakaan ini berjudul “Dermatitis Kontak Alergi”. Dalam
penyusunan laporan kasus ini penulis banyak memperoleh bimbingan dan petunjuk
serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dari institusi maupun dari luar Bagian
Anatomi FK UNUD.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :
1. Prof.Dr.dr. I Nyoman Mangku Karmaya, M.Repro, PAK., selaku pembimbing
senior di Bagian Anatomi FK UNUD.
2. dr. Nyoman Gede Wardana, M.Biomed, selaku Kepala Bagian Anatomi FK
UNUD.
3. dr. IGA Widianti, M.Biomed, selaku pendamping di Bagian Anatomi FK
UNUD.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan kepustakaan ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan
memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Mei 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................... i


Kata Pengantar .................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................. iii
BAB I Pendahuluan ........................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 2
2.1 Definisi.......................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................. 2
2.3 Etiologi.......................................................................................... 3
2.4 Patogenesis.................................................................................... 4
2.5 Patofisiologi .................................................................................. 4
2.6 Faktor predisposisi dan risiko ....................................................... 5
2.7 Tipe dan gejala Klinis ................................................................... 5
2.8 Diagnosis ...................................................................................... 7
2.9 Diagnosis Banding ........................................................................ 8
2.10 Penatalaksanaan .......................................................................... 9
2.11 Komplikasi ................................................................................... 11
2.12 Prognosis ...................................................................................... 11
BAB IV Simpulan .............................................................................................. 12
Daftar Pustaka .................................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis merupakan penyakit yang menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi


polimorfik berupa eritema, edema, papula, vesikel, skuama, dan likenifikasi. Salah
satu jenis dermatitis adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak adalah respon
terhadap pajanan bahan atau substansi tertentu, dapat berupa alergen maupun bahan
iritan. Peradangan akibat pajanan terhadap alergen disebut dermatitis kontak alergi
(DKA). Pajanan terhadap bahan iritan disebut dermatitis kontak iritan. Dermatitis
kontak iritan (DKI) adalah peradangan pada kulit yang dapat berupa eritema, edema,
dan scale/skuama. DKI merupakan respons nonspesifik kulit terhadap berbagai
kerusakan kimia dengan melepaskan mediator inflamasi terutama dari sel-sel
epidermis1,2.
Dalam kehidupan sehari-hari, iritan yang menyebabkan DKI meliputi air,
deterjen, berbagai pelarut, asam, basa, bahan adhesi, cairan bercampur logam,
kosmetik, minyak oles, dan substansi topikal lainnya. Sering bahan-bahan ini bekerja
bersama untuk merusak kulit. Iritan merusak kulit dengan cara memindahkan minyak
dan pelembab dari lapisan terluar, membiarkan iritan masuk lebih dalam, dan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan cara memicu proses inflamasi2.
DKI masih belum banyak diketahui bila dibandingkan dengan dermatitis
kontak alergi (DKA). Kebanyakan artikel tentang dermatitis kontak cenderung
membahas DKA. Tidak ada uji diagnostik untuk DKI, sehingga diagnosis bersandar
pada eksklusi penyakit dermatitis lainnya. Dalam penatalaksanaan DKI, penting bagi
penderita dan dokter untuk mengetahui substansi yang menyebabkan penyakitnya
tersebut sehingga dapat diberikan terapi yang lebih efisien dan efektif.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis kontak iritan adalah jenis dermatitis yang berupa efek sitotosik lokal
langsung dari bahan iritan pada sel-sel epidermis, dengan respon peradangan pada
dermis. Daerah yang paling sering terkena adalah tangan dan pada individu atopik
menderita gejala yang lebih berat. Secara definisi bahan iritan kulit adalah bahan
yang menyebabkan kerusakan secara langsung pada kulit tanpa proses
sensitisasi2,3.
Dermatitis kontak iritan dapat dibagi menjadi dua, yaitu oleh karena iritan
absolut dan relatif. DKI oleh karena iritan absolut biasanya timbul seketika
setelah berkontak dengan iritan, dan semua orang akan terkena. Sedangkan
dermatitis kontak karena iritan relatif dapat timbul sesudah pemakaian bahan yang
lama dan berulang, dan seringkali baru timbul bila ada faktor fisik berupa abrasi,
trauma kecil dan maserasi, oleh karena itu sering disebut traumatic dermatitis.
Kelainan yang timbul biasanya berupa hiperpigmentasi, hiperkeratosis,
likenifikasi, fisura, dan kadang-kadang eritema dan vesikel4.

2.2 Epidemiologi
Pada studi epidemiologi penyakit kulit pada pekerja di Singapura memperlihatkan
bahwa 97% dari 389 kasus adalah dermatitis kontak, dimana 66,3 % diantaranya
adalah DKI dan 33,7% adalah DKA. Sebagai penyakit yang sering dihubungkan
dengan kerja dengan kecenderungan pajanan terhadap bahan-bahan iritan
berulang, maka dermatitis kontak iritan sering insidennya pada profesi cleaning
service, hospital care, tukang masak, dan pegawai salon. Insiden di Jerman 4,5
pasien per 10.000 tukang masak. Pegawai salon mempunyai insiden dermatitis
kontak iritan tertinggi yaitu 46,9 kasus per 10.000 perkerja per tahun nya1,3.
Kejadian dermatitis kontak iritan lebih sering pada wanita dibanding pria.
Pada wanita faktor lingkungan lebih berperan dibanding faktor genetik yang lebih
berperan pada pria. Kejadian dermatitis kontak iritan lebih sering pada umur > 50
tahun karena keadaan kulit yang lebih kering dan tipis1.

2
3

2.3 Etiologi
Bahan-bahan iritan yang dapat digolongkan sebagai penyebab DKI antara lain
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif,
enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah, dan bahan
kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor,
meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu
penderita1,2.
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap
orang jika terpapar pada kulit dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang
sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki
predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan. Fungsi pertahanan dari kulit
akan rusak, baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (oklusi, suhu
dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi
(suhu dan kelembaban rendah). Riwayat atopik, personal hygiene, dan luas dari
paparan menentukan kerentanan seorang individu untuk terkena DKI. Efek dari
iritan merupakan concentration-dependent dan biasanya mengenai tempat primer
kontak1,3.

2.4 Patogenesis
DKI merupakan dermatitis dengan mekanisme non alergi. Patogenesis DKI dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Penetrasi bahan iritan  kerusakan membran lipid keratinosit  dalam
beberapa menit-jam  difusi bahan iritan melalui membrane akan merusak
lisosom, mitokondria, dan komponen inti sel  pengaktifan fosfolipase 
menghasilkan asam arakidonik  asam arakidonik membebaskan prostaglandin
dan leukotrin  pembuluh darah dan transudasi faktor sirkulasi dari komplemen
dan sistem kinin3,6.
Dalam patogenesis penyakit ini, sel-sel yang berperan seperti resident
epidermal cells, dermal fibroblast, endothelial cells, dan berbagai macam leukosit
yang berinteraksi satu sama lain di bawah control jaringan mediator lipid dan
sitokin. Keratinosit memegang peranan penting di dalam inisiasi reaksi inflamasi
4

kulit atas responnya terhadap sitokin. Berbagai stimuli yang bertindak sebagai
iritan, seperti substansi kimia dapat merangsang keratinosit epidermis untuk
mengeluarkan sitokin inflamasi (IL-1, TNF-α), sitokin kemotaksis (IL-8, IL-10),
growth-promoting cytokines (IL-6, IL-7, IL-15, GMC-SF, TGF α), dan sitokin
pengatur imunitas humoral dan selular (IL-10, IL-12, IL-18). ICAM 1
menyebabkan infiltrasi leukosit ke epidermis, sehingga menyebabkan reaksi
inflamasi di kulit1.
Penarikan neutrofil dan limfosit serta pengaktifan sel mast 
membebaskan histamin, prostaglandin dan leukotrin3.
Platelet Activating Factor  aktivasi platelets  perubahan vaskuler3.
Pada dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya
mediator- mediator. Perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik
yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi3.
Semua bahan iritan menunjukkan pola yang sama dalam hal infiltrasi
seluler di dalam lapisan dermis. Densitas infiltrasi sel sebanding dengan intensitas
inflamasinya1.

2.5 Patofisiologi
Ada 3 bentuk perubahan patofisiologi, yaitu kerusakan barrier kulit, kerusakan
seluler epidermis, dan pengeluaran sitokin. Dengan keluarnya sitokin pro
inflamasi dari sel-sel kulit, terutama keratinosit, menyebabkan inflamasi sebagai
respon terhadap pajanan bahan-bahan iritan1,7.
Banyak bahan kimia dengan konsentrasi dan waktu pajanan tertentu yang
dapat bertindak mengiritasi kulit. Kebanyakan penyakit ini menurut data
epidemiologi disebabkan oleh pajanan zat-zat iritan dalam konsentrasi rendah
namun berulang, yang diistilahkan sebagai dermatitis kontak iritan kumulatif.
Bahan pelarut adalah salah satu substansi yang menyebabkan iritasi karena
substansi ini menghilangkan kandungan lemak dan minyak dari kulit, padahal
lapisan lemak ini adalah barrier kulit dari trauma sekaligus menjaga kelembapan
kulit, hal ini mengakibatkan peningkatan penguapan air secara transepidermal dan
meningkatkan ambang sensitivitas kulit terhadap pajanan bahan toksik, bahkan
substansi yang sebelumnya dapat ditoleransi dengan baik1.
5

2.6 Faktor predisposisi dan risiko


Faktor predisposisi yang penting yaitu umur, ras, jenis kelamin, riwayat atopik
sebelumnya, daerah kulit yang terekspos dan aktivitas sebasea. Perubahan kulit
karena usia dapat merubah respon kulit terhadap zat iritan. Pada anak dan lanjut
usia sering terkena DKI karena mereka memiliki sedikit jaringan epidermis yang
sehat5. Beberapa faktor yang berpengaruh dan dapat diidentifikasi pada DKI
antara lain :
 Kecenderungan terpajan dengan bahan iritan dalam jangka waktu dan
intensitas tertentu
 Riwayat atopik
 Polimorfisme pada gen fillagrin (FLG)
Dengan adanya riwayat iritasi kulit terhadap substansi tertentu, hal ini
menjadi faktor predisposisi terjadinya sensitisasi terhadap bahan-bahan topikal
lainnya. Eksaserbasi DKI dapat menyebabkan perkembangan menjadi DKA1.
Faktor predisposisi lainnya yang menyebabkan orang cenderung terkena
dermatitis kontak iritan adalah riwayat atopik. Pengaruh genetik juga berperan
sebagai faktor predisposisi. Polimorfisme pada FLG gen menyebabkan
terhentinya produksi FLG dan pada akhirnya terjadi perubahan barier kulit1.
Tingkat keparahan dermatitis ini sangat bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor, termasuk diantaranya8:
 Jumlah dan intensitas iritan
 Durasi dan frekuensi pajanan
 Kerentanan kulit
 Lingkungan (misalnya suhu tinggi atau rendah atau kelembaban)

2.7 Tipe dan gejala klinis


Dua bentuk DKI didasarkan pada penyebabnya, yaitu DKI oleh karena fisik dan
DKI oleh karena bahan kimia. DKI oleh karena fisik contohnya friksi, prolong
rubbing, dan pakaian yang kasar. DKI oleh karena bahan kimia contohnya
alkohol, latex, kerosene, dan alkali9.
6

Beberapa penggolongan DKI berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor


individu serta lingkungan antara lain10:
 DKI akut
o Iritan kuat seperti asam sulfat dan HCl menghasilkan reaksi yang
cepat begitu kontak terjadi. Kulit terasa pedih, panas, lesi tampak
berupa eritema, edema, bula, dan nekrosis dengan pinggir berbatas
tegas dan asimetris.
 DKI akut lambat
o Gambaran sama dengan DKI akut namun baru muncul 8-24 jam
atau lebih setelah kontak. Dermatitis venenata merupakan salah
satu contoh tipe ini.
 DKI kumulatif
o DKI ini termasuk tipe kronis. Hal ini didasarkan pada kontak
berulang-ulang dengan iritan lemah. Kelainan tampak setelah
bermingu-minggu hingga bertahun-tahun. gambaran berupa kulit
kering, eritema, skuama, dan hyperkeratosis. DKI tipe ini yang
sering berhubungan dengan dermatitis akibat kerja.
 DKI iritan
o Bentuk subklinik pada seseorang yang terpajan pekerjaan basah,
seperti penata rambut, kelainan juga cenderung monomorf seperti
skuama, vesikel, pustul, dan erosi.
 DKI traumatik
o Kelainan kulit setelah trauma panas atau laserasi. Bentuknya
dermatitis numularis dengan masa penyembuhan kira-kira 6
minggu.
 DKI subyektif
o Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa perih atau
seperti terbakar. Disebut juga DKI sensori.
 DKI noneritematosa
o DKI dengan fungsi sawar stratum korneum tanpa kelainan secara
klinis.
7

2.8 Diagnosis
Langkah-langkah penegakan diagnosis untuk penyakit dermatitis kontak iritan
antara lain :
 Anamnesis
o Anamnesis terarah tentunya diperlukan untuk mengeksplor riwayat
pajanan terhadap bahan atau substansi kimia tertentu1,4.
o Onset penyakit sangat penting ditanyakan untuk mengetahui tipe
dermatitis kontak iritan. Onset penyakit sampai timbulnya gejala
klinis dalam hitungan menit sampai jam tergolong tipe simpel akut.
Tipe akut lambat biasanya dalam hitungan 8-24 jam. Tipe
kumulatif cenderung merupakan konsekuensi dari pajanan
berulang dengan konsentrasi substansi yang rendah. Penting juga
menyertai riwayat keluarga atau orang di sekitar yang juga
mengalami gejala yang sama. Riwayat atopik dan alergi juga
ditanyakan1,4.
 Pemeriksaan klinis
o Pemeriksaan klinis sangat penting untuk mengeksklusi pernyakit
lain. Menentukan lokasi dan efloresensi dengan jelas. Biasanya
tempat predileksi DKI adalah pada tangan dan lengan.
Pemeriksaan tubuh secara menyeluruh sangat dianjurkan untuk
melihat lesi di tempat-tempat tertentu1,4.
 Pemeriksaan penunjang
o Pemeriksaan penunjang seperti patch test dapat dilakukan untuk
eksklusi dermatitis kontak alergi1,3,4.
o Karena tes diagnostik untuk DKI tidak ada, maka untuk
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan patch test untuk
mengeksklusi dermatitis kontak alergi dan dapat dilakukan
pemeriksaan KOH untuk mengeksklusi penyakit jamur1,3,4.
 Pemeriksaan histopatologis
8

o Penunjang diagnostik yang akurat salah satunya adalah


histopatologis. Didapatkan gambaran intraselular edema atau
spongiosis. Spongiosis tidak begitu tampak jelas pada dermatitis
kontak alergi. Gambaran parakeratosis juga bisa muncul pada
dermatitis kontak iritan kronik disertai hiperplasia sedang sampai
berat, dan pemanjangan rete ridges1.

2.9 Diagnosis banding


Diagnosis banding dari dermatitis kontak iritan adalah dermatitis kontak alergi
dan dermatitis atopik1.

No. DKI DKA


1. Cenderung akut Cenderung kronik
2. Semua orang bisa terkena Hanya orang tertentu
(riwayat
alergi/sensitisasi) yang
terkena
3. Lesi awal berupa : Lesi awal berupa :
makula, eritema, vesikel, makula, eritema,
bula, dan erosi. papula, melebar dari
tempat awal
4. Penyebab : iritan primer Penyebab : alergen
5. Tergantung konsentrasi Tidak tergantung
bahan iritan dan status dengan konsentrasi.
swar kulit. Terjadi jika Konsentrasi rendah
bahan iritan melewati sekalipun sudah dapat
ambang batas memicu DKA.
Bergantung pada
tingkat sensitisasi
6. Onset pada saat kontak Onset pada saat kontak
pertama berulang
Tabel 1. Perbandingan DKI dan DKA1,3,4
9

Perlu dibandingkan DKI dengan DKA dan dermatitis atopik sebab terkadang
memberi gambaran klinis yang mirip satu sama lain4,5,11.
 DKA
o Dermatitis kontak alergi disebabkan terpaparnya kulit dengan
bahan yang bersifat alergen. Pada yang kronis terlihat kulit kering,
berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya
tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
iritan kronis karena mungkin penyebabnya juga campuran.
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah
penderita dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya
mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif).
 Dermatitis Atopik
o Pada gambaran klinis terdapat vesikel-vesikel dan papul-papul
serta eritem, untuk membedakan dengan dermatitis kontak iritan,
pada dermatitis atopik mempunyai tiga tanda khas yaitu :6
 Pruritus.
 Morfologi dan distribusi khas pada wajah (khusus pada
anak) dan daerah lipatan kulit (fosa kubiti, fosa poplitea,
leher, dan pergelangan tangan).
 Cenderung menjadi kronis kambuh.
o Pada dermatitis atopik juga didapatkan riwayat atopik (rhinitis
alergi, asma bronkial),dan pada pemeriksaan penunjang di temukan
eosinofilia dan peningkatan kadar IgE, sedangkan pada dermatitis
kontak iritan tidak terdapat riwayat atopik.

2.10 Penatalaksanaan
o Prinsip penatalaksanaan pada DKI ada 3, yaitu penghentian
pajanan terhadap bahan iritan yang dicurigai, perlindungan bagian
10

tubuh yang terpapar, dan penggantian bahan iritan dengan yang


tidak bersifat iritan7.

o Medikamentosa6-9
o Penatalaksanaan dermatitis iritan tipe akut dapat secara
simtomatis. Penggunaan hand rub berbasis alkohol dengan
kandungan berbagai macam emollient dapat dilakukan
untuk mengurangi kerusakan kulit, kekeringan, dan iritasi.
o Terapi medikamentosa untuk dermatitis kontak iritan
mempunyai beberapa prinsip, seperti, emollient,
menghindari iritasi, dan krim yang mengandung
dimethicone adalah terapi yang digunakan sebagai
mainstay. Agen-agen terapeutik yang mengandung
propilen glikol dan urea dapat mengakibatkan inflamasi
sehingga harus dihindari sebagai terapi.7,8
o Pengobatan sistemik dapat diberikan antihistamin sebagai
efek anti pruritus.
o Topikal kortikosteroid digunakan sebagai antiinflamasi,
supresi aktivitas mitotik, dan vasokonstriksi. Efek steroid
juga dapat mensupresi pengeluaran histamine, sehingga
bisa juga sebagai antipruritus.
o KIE kepada pasien terutama dalam hal penggunaan dan pajanan
bahan iritan sehari-hari, seperti1,4:
o Pendidikan kepada pekerja suatu perusahaan tentang
penggunaan alat dan akibat buruk yang mungkin terjadi
kalo terpajan.
o Jika pasien adalah pekerja yang sering kontak dengan
bahan-bahan iritan, dapat memberikan edukasi ke pasien
dan perusahaan tempatnya bekerja berupa pencegahan
seperti pemakaian masker, sarung tangan, perawatan kulit
sehari-hari terutama yang mempunyai kulit sensitif.
11

o Penggunaan bahan-bahan iritan di dalam rumah tangga


sehari-hari seperti detergent, larutan pembersih, kosmetik,
dan obat-obatan topikal tertentu juga harus dipantau, jika
terjadi reaksi akut, maka penghentian pemakaian substansi
tersebut harus segera dilakukan dan segera menghubungi
pelayanan kesehatan setempat.10
o Pelaksanaan uji tempel pada calon pekerja, sehingga dapat
menempatkan pekerja di bagian yang tidak kontak dengan
bahan iritan.
o Pemeriksaan kesehatan secara rutin dan berkala kepada
para pekerja.
o Dalam penggunaan bahan-bahan tertentu di dalam
keseharian di rumah dan jangan menggunakan bahan yang
sensitif terhadap kulit.

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada dermatitis kontak iritan antara lain11:
 Peningkatan risiko sensitisasi terhadap terapi topikal
 Lesi pada kulit dapat dikolonisasi oleh bakteri Staphylococcus aureus. Hal
ini dipermudah jika terjadi lesi sekunder, seperti fissure akibat manipulasi
yang dilakukan penderita.
 Secondary neurodermatitis (lichen simplex chronicus) akibat penderita
dermatitis kontak iritan yang mengalami stress psikis.
 Pada fase post inflamasi dapat terjadi hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi.
 Scar, biasanya setelah terkena agen korosif.

2.12 Prognosis
Umumnya baik untuk penderita tanpa riwayat atopik, tipe akut dan
diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat10,12.
12
13

BAB III
SIMPULAN

Dermatitis kontak iritan adalah peradangan pada kulit sebagai respon


terhadap bahan iritan yang terpajan pada kulit. Dalam kasus ini bahan iritan
pemicunya adalah minyak oles sumbawa. Lokasi penyakit ini biasanya di lengan,
tangan, dan di daerah berkulit sensitif, seperti kasus ini yaitu pada kulit penis.
Timbul kelainan berupa makula eritema, fissure, dan erosi merupakan gambaran
klinis DKI. Tidak ada penunjang diagnostik untuk DKI, biasanya diagnosis dapat
ditegakkan dengan riwayat terpajan kontak iritan dan gambaran efloresensi yang
sesuai dengan DKI. Prinsip terapi DKI adalah penghentian pajanan bahan pemicu,
terapi simtomatis berupa antihistamin sebagai antipruritus, krim campuran steroid
sebagai antiinflamasi dan antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder
pada daerah yang erosi dan fissure. KIE pasien dengan penghentian bahan iritan
sangat penting untuk mencegah timbulnya pajanan berulang dan komplikasi.
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Hogan DJ. Contact Dermatitis, Irritant. eMedicine; 2009. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/762139.
2. Wolff K. Dermatitis. In: Goldsmith, Lowell A., Stephen Katz, Barbara G.,
K.Wolff, Amy Paller. Fitzpatrick’s Color Atlas & Dermatology in General
Medicine 8th ed. Singapore; 2012.
3. Bourke J, Coulson I, English J. Guideline for the Contact Dermatitis: an
Update. British Journal of Dermatology. England; 2008. p. 946-55.
4. Ngan V. Irritant Contact Dermatitis. DermNet NZ; 2008. Available at:
http://dermnetnz.org/dermatitis/contact-irritant.html.
5. Sanja, Maaike J, Maarten M. Individual Susceptibility to Occupational

Contact Dermatitis. Industrial Health. 2009; 47: 469-478.

6. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin

Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006.

h.91-112.

7. Racheva S. Etiology of Common Contact Dermatitis. Journal of IMAB.

2006; 3: 14- 17.

8. Scheman AJ. Contact Dermatitis. In: Grammer LC, Greenberger PA

(eds). Patterson’s Allergic Disease. 6th ed. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2002. h. 387-401.

9. Morris A. ABC of Allergology: Contact Dermatitis. Current Allergy

and Clinical Immunology. 2004; 17: 190-191.

10. DermNet NZ. Allergic Contact Dermatitis. New Zealand: 2009 [Diakses

Mei 2017]. Diunduh dari: http://www.dermnetnz.org/dermatitis-

contactallergy.html

11. Schnuch A, Aberer W, Agathos M, Becker D, Brasch J, Elsner P, Frosch


15

PJ, Fuchs T, Geier J, Hillen U, Loffler H, Mahler V, Richter G, Szliska

C. Patch Testing with Contact Allergens. JDDG; 2008: 9: 770-775.

12. Hogan DJ. Contact Dermatitis, Allergic: Follow-up. Florida: 2009

[Diakses Mei 2017].

Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1049216-followup

Anda mungkin juga menyukai