Anda di halaman 1dari 10

ISSN 1907-0799

TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN RAWA BERKELANJUTAN:


STUDI KASUS KAWASAN EX PLG KALIMANTAN TENGAH
Technology for Sustainable Management of Tidal Swampy Areas:
Case Study in former PLG in Central Kalimantan Povince

Didi Ardi Suriadikarta


didi.ardisur@gmail.com

Balai Penelitian Tanah Jl. Tentara Pelajar No.12, Cimanggu, Bogor 16114

Naskah diterima 13 Maret 2012; hasil evaluasi 29 Maret 2012; hasil perbaikan 30 April 2012

ABSTRAK
Lahan rawa adalah lahan yang sepanjang tahun, atau selama waktu yang panjang dalam setahun, selalu jenuh air
(saturated water), atau tergenang (waterlogged). Luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut
sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. Lahan pasang surut yang telah direklamasi 3,84 juta ha yang terdiri atas 0,94 juta ha
oleh pemerintah dan sisanya oleh swadaya masyarakat lokal.Pada lahan rawa umumnya dijumpai tanah mineral dan tanah gambut.
Teknologi pengelolaan lahan rawa antara lain adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata air mikro, dan penataan lahan),
teknologi ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan varietas yang adaptif, teknologi pengendalian hama dan penyakit,
pengembangan Alsintan, serta pemberdayaan kelembagaan petani. Kawasan Lahan Gambut satu juta ha eks PLG di kalimantan
Tengah, mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya pertanian, dan kawasan konservasi. Kawasan budi
daya pertanian dilaksanakan pada kawasan gambut < 3 m, yang dapat dikembangkan untuk lahan sawah, perkebunan, perikanan, dan
hutan tanaman industri (HTI), berdasarkan kepada kriteria kesesuaian lahan. Kawasan konservasi berada pada wilayah gambut
dengan ketebalan > 3 m dan juga daerah-daerah tertentu yang mempunyai keanekaragaman hayati (flora dan fauna), dan di bawah
gambut lapisan sulfidik dan atau pasir kuarsa. Pembukaan lahan gambut harus dilakukan melalui perencanaan yang matang, dan
hati-hati, dan perlu ditunjang dengan analisa dampak lingkungan yang handal serta pemahaman terhadap kondisi sosial budaya
masyarakat lokal.

Kata kunci: Teknologi, pengelolaan lahan, rawa, berkelanjutan

ABSTRACT
Swampy areas is a land which is prolong or periodically saturated with water or waterlogged each year. The tidal swamp
areas in Indonesia occupied approximately 33.4 millions ha consisting of 20 millions ha brackish water tidal land and 13,4 millions
ha fresh water tidal land. In swampy areas peat and mineral soils normally found. The reclaimed tidal swampy area amounted to
3.84 million ha consisting of 0.94 million ha reclaimed by government and the remainder by local communities. Technologies for
managing swampy areas included soil and water management, soil ameliorant, fertilization, adaptive crop varieties, pest and
diseases management control, and mechanic development and empowerment of farmer’s organization. The former peatland soil
project of one million ha in Central Kalimantan has potential areas to be developed as agricultural cultivation and conservation
area. The area for agricultural practices should be directed to peatland with < 3 m depth and used for paddy field, estate crops,
fishery, and agroforestry. Conservation areas were directed to peatland with thickness of more than 3 m, areas having biodiversity,
and areas underlain by pyrite or quartz. Land clearing on peatland should follow thorough planning and supported by reliable
analysis of environmental impact and social conditions of local community.

Keywords: Technology, land management, tidal land, sustainability

P
emanfaatan lahan pasang surut untuk dialih fungsikan untuk pembangunan sektor non
pertanian merupakan pilihan yang pertanian seperti, perumahan, jalan raya, industri
strategis, baik untuk mencukupi dan pembangunan lainnya.
kebutuhan pangan, maupun untuk mengimbangi Lahan rawa di Indonesia tersebar di tiga
penciutan lahan produktif di Pulau Jawa yang pulau besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan dan

45
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 1, Juli 2012

Irian Jaya (Papua). Menurut Widjaja-Adhi et al., 1997 sampai dengan 2000 di Blok A
(1992) luas lahan rawa Indonesia ± 33,4 juta menunjukkan bahwa hasil tanaman padi di lahan
ha, yang terdiri atas lahan rawa pasang surut sawah, dan sayuran, serta buah-buah di
sekitar 20 juta ha dan lahan lebak 13,4 juta ha. pekarangan cukup baik. Kendala utama adalah
Menurut Suriadikarta et al. (1999) sampai saat hama tikus, dan banjir di saat puncak musim
ini lahan rawa yang telah dibuka 2,3 juta ha, 1,4 hujan. Bila jaringan tata air makro bisa berfungsi
dengan baik, hama penyakit dan banjir dapat
juta ha di Kalimantan dan 0,9 ha di Sumatera.
dikendalikan maka lahan di kawasan ini sangat
Tetapi menurut Subagjo (2006), lahan pasang
potensial untuk usaha pertanian, Teknologi
surut yang telah direklamasi 3,84 juta ha yang
pertanian lahan rawa sering tidak dapat
terdiri atas 0,94 juta ha oleh pemerintah dan diterapkan secara berkelanjutan, disebabkan
sisanya oleh swadaya masyarakat. Lahan rawa beberapa kendala seperti permodalan,
di Irian Jaya (Papua) sampai saat ini masih infrastruktur, kelembagaan pedesaan, dan
belum dibuka untuk pertanian. kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan
Berdasarkan Kepres No. 82, tanggal 26 jaringan tata air makro. Terjadinya lahan bongkor
Desember 1995, tentang pengembangan lahan akibat reklamasi yang kurang tepat merupakan
gambut satu juta ha untuk pengembangan pengalaman kegagalan dalam pengembangan
pertanian tanaman pangan di Kalimantan lahan rawa.
Tengah, daerah tersebut berada diantara Sungai
Sebangau, Kahayan, Kapuas, Kapuas Murung
dan Barito masuk dalam daerah Kabupaten KARAKTERISTIK EKOSISTEM
Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. LAHAN RAWA
Menurut Puslittanak (1998), luas kawasan Lahan gambut tidak lepas dari lahan rawa,
PLG adalah 1.133.607 ha, yang terdiri atas luas
karena lahan gambut selalu berada di lahan rawa
blok A 268.273 ha, blok B 156.409 ha, blok D
baik itu rawa pasang surut maupun non pasang
138475 ha, dan blok C 570.000 ha. Blok A, B,
C, dan D bagian utara termasuk dalam lahan surut (rawa lebak). Untuk lahan gambut yang
pasang surut air tawar, sedangkan bagian terletak di kawasan pantai dan peralihan
selatan blok D, dan C termasuk lahan pasang umumnya di lahan rawa pasang surut,
surut air laut/payau. sedangkan gambut pedalaman merupakan lahan
Wilayah kerja A yang sudah ditempati oleh rawa lebak. Lahan rawa adalah lahan yang
transmigran adalah meliputi 23 Desa/UPT sepanjang tahun, atau selama waktu yang
termasuk wilayah kerja BPP Dadahup dengan panjang dalam setahun, selalu jenuh air
luas 333,94 km2 atau 33.393,9 ha yang terdiri (saturated water), atau tergenang (waterlogged).
atas Pekarangan 3.277 ha, sawah 21.338,5 ha, Oleh karena itu, yang menjadi peranan utama
tegalan 1.850 ha, dan lain-lain 6.918 ha, serta dalam menggambarkan dinamika lahan rawa
76,57 km2 atau 7.657 ha termasuk wilayah gambut adalah fluktuasi air atau naik turunnya
kerja BPP Lamunti yang terdiri atas pekarangan air permukaan di lahan (hidrologi). Kondisi ini
1.359 ha, sawah 8 ha, ladang 5.356 ha dan dipengaruhi oleh bentuk topografi lahan yang
kebun 934 ha. Jadi, luas lahan pertanian yang
umumnya datar sampai agar datar, dan jarak
sudah dikelola oleh masyarakat di sini adalah
dari lahan ke laut. Akibat fluktuasi air ini akan
seluas 41.050,9 ha. Dari wilayah kerja A yang
luasnya 268.723 ha yang dapat digunakan berpengaruh terhadap dinamika tanah gambut di
untuk pertanian adalah seluas 174.026 ha, yang dalamya.
terdiri atas untuk lahan sawah 19.621 ha,
sawah dan palawija 100.386 ha, dan Dinamika air
perkebunan 54.019 ha, sisanya 94.697 ha
untuk konservasi lahan (Puslittanak, 1998). Berdasarkan pengaruh air pasang surut,
Berdasarkan hasil penelitian yang terutama pada musim hujan saat pasang besar,
laksanakan oleh Badan Litbang Pertanian tahun maka daerah aliran sungai bagian bawah (down

46
Didi Ardi Suriadikarta : Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan

stream area) dapat dibagi menjadi tiga Zona muara sungai, dan kelok-kelok sungai (Subagjo,
(Subagjo, 2006). Ketiga zona itu adalah: Zona I, 2006). Di kawasan PLG, Kalimantan Tengah, di
yang merupakan wilayah pasang surut air Sungai Kapuas bisa mencapai 150 km, Sungai
asin/payau, Zona II, merupakan wilayah pasang Kahayan 125 km, dan Sungai Barito 158 km
surut air tawar, dan Zona III, adalah wilayah (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998). Permasalahan
rawa lebak, atau daerah bukan pasang surut. utama di zona ini adalah kemasaman tanah dan
Kawasan PLG mempunyai karakteristik ketiga air akibat bahan organik yang tereduksi terus-
zona tersebut. menerus. Bila ada besi oksida dan ion-sulfat, dan
bahan organik dalam kondisi reduksi maka akan
Wilayah zona I adalah daratan yang terjadi besi sulfida yang akhirnya akan terbentuk
bersambungan dengan laut, di muara sungai senyawa pirit.
besar, dan pulau-pulau delta dekat muara sungai
besar. Di wilayah ini pengaruh air pasang surut Wilayah zona III, adalah wilayah yang
masih sangat kuat, karena itu sering disebut sudah jauh masuk ke dalam dan pengaruh
”tidal wetland“, yaitu lahan basah yang pasang surut sudah tidak terlihat lagi. Pengaruh
langsung dipengaruhi oleh pasang air laut/salin. sungai besar yang dominan adalah banjir besar
Pada lahan gambut didaerah zona I ini masalah musiman yang menggenangi dataran kiri kanan
utama adalah salinitas tanah yang tinggi akibat sungai. Lamanya genangan tergantung posisi
masuknya air laut/asin. Ke daratan. Wilayah lahan di landcape, bisa satu bulan sampai enam
zona II, adalah wilayah rawa berikutnya ke arah bulan.
hulu sungai, tetapi masih termasuk daerah aliran
sungai bagian bawah, namun posisinya lebih Dinamika tanah
kedalam ke arah daratan. Di wilayah ini gerakan
aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan Lahan rawa terdiri atas tanah aluvial dan
energi pasang surut, yang terjadi umumnya dua gambut. Tanah aluvial dapat merupakan
kali dalam sehari (semidiurnal). Karena wilayah endapan laut (marine sediment), endapan sungai
ini sudah berada di luar pengaruh air asin, maka (fluviatil sediment) atau campuran (fluvio marine
yang dominan adalah pengaruh air tawar (fresh- sediment) (Widjaja-Adhi, 1986). Selain tanah-
water) dari sungai. Tetapi energi pasang surut tanah tersebut terdapat tanah-tanah peralihan
masih dominan ditandai dengan adanya gerakan yang tergantung kepada ketebalan dan kadar
air pasang dan air surut di sungai. Pada musim bahan organik lapisan atas. Tanah itu adalah: 1)
hujan karena volume air sungai meningkat maka Tanah Glei Humik bila berkadar bahan organik
gerakan pasang surut ini meningkat tinggi tetapi belum mencapai persyaratan untuk
jangkauannya ke kiri dan kanan sungai. Air disebut tanah gambut, 2) Glei Bergambut bila
pasang membawa fraksi debu dan pasir halus ke lapisan atas memenuhi untuk disebut gambut
pinggir sungai sehingga mengendapkan bahan tetapi ketebalannya tidak memenuhi, yaitu
tersbut dalam jangka waktu yang lama dan kurang dari 40 cm. Tanah Glei Humik sama
periodik maka terbentuklah tanggul sungai alam dengan tanah Glei Humus rendah, sedangkan
(natural levee). Di antara dua sungai besar, Glei Bergambut sama dengan tanah Glei Humus
seperti di kawasan PLG antara Sungai Kahayan (Subagjo H., 2006)
dan Kapuas, ke arah belakang tanggul sungai,
tanah secara berangsur atau mendadak menurun Tanah gambut
ke arah cekungan di bagian tengah yang diisi
tanah gambut. Pada bagian tengah lapisan Tanah di kawasan eks-PLG berupa tanah
gambut semakin tebal/dalam, dan akhirnya gambut dengan kedalaman bervariasi dari
membentuk kubah gambut (peat dome). Pada dangkal sampai sangat dalam (Histosol).
musim kemarau dimana volume air mulai Penyebaran gambut tebal (>3 m) dominan di
menurun, maka pengaruh air asin bisa merambat Blok C, sebagian di Blok B dan Blok A. Gambut
lebih jauh ke daerah hulu, yang jaraknya bisa tebal tersebut diarahkan sebagai kawasan
mencapai puluhan sampai ratusan km lindung dan perlu di konservasi. Selain itu
tergantung dari bentuk dan lebar estuari di dijumpai juga tanah sulfat masam pada seluruh

47
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 1, Juli 2012

wilayah kerja Proyek PLG, tetapi yang paling Selain masalah sifat fisik dan kimia juga
luas adalah di Blok D. Menurut Soil Taxonomy masalah biologi yaitu terjadinya kehilangan unsur
(Soil Survey Staff, 1998) tanah-tanah yang C dan N akibat mineralisasi C dan N-organik.
dijumpai di areal Eks-PLG adalah jenis Pada lingkungan gambut yang reduktif, laju
Tropohemist, Sulfihemist, Troposaprist adalah dekomposisi gambut sangat lambat dan banyak
kelompok tanah gambut Fluvaquent, Quartzip- dihasilkan asam organik beracun, CH4, dan CO2.
samment (kelompok tanah alluvial/potensial), Gas CH4 dan CO2 merupakan gas utama yang
Sulfaaquept, Sulfaquent (kelompok tanah Sulfat menetukan efek rumah kaca atau pemanasan
Masam). Kedalaman sulfidik di daerah ini global, oleh sebab itu lahan gambut yang
menurut hasil kajian Puslittanak, (1998), merupakan tempat akumulasi karbon harus
bervariasi dari dangkal (0-50 cm), sedang 50- dikelola dengan baik supaya tidak menjadi
100 m, dan dalam > 100 m penyebab pemanasan global. Stabilitas gambut
sangat dipengaruhi oleh tiga proses yaitu: 1)
Dinamika lahan gambut sangat terkait reduksi dan oksidasi, 2) pengeringan dan
selain dengan gerakan air juga dengan sifat- pembasahan, dan 3) dekomposisi atau degradasi
siafat tanah gambut itu sendiri seperti sifat fisik, lignin. Untuk menilai stabilitas gambut biasanya
kimia, dan biologi. Sifat fisik tanah gambut yang digunakan kriteria yaitu rekalsitran, interaksi,
paling berperan adalah subsidence (penurunan dan aksesibilitas. Rekalsitran ialah sifat inheren
ketebalan gambut), sifat kering tak balik gambut, seperti: komposisi kimia, gugus fungsi
(irreversible drying), dan daya sangga tanah COOH, fenolat-OH, kemasaman tanah, dan
yang rendah disebabkan bobot isi (BD) gambut pembentukan asam organik. Interaksi adalah
yang rendah. Bila pengelolaan lahan gambut penggabungan molekul organik dengan kation-
tidak berdasarkan atas sifat dan kelakuan kation polivalen (Fe, Cu, Zn, dan Mn),
inheren gambut menyebabkan terjadinya proses sedangkan aksesibilitas adalah lokasi dimana
destabilisasi. Proses ini menghasilkan bahan bahan gambut terbentuk.
yang tidak tahan terhadap perubahan bentuk
atau perubahan sifat kimia tanah dan akibat dari Tanah aluvial/sulfat masam
proses destabilisasi ini antara lain menyebabkan
meningkatnya laju kehilangan C-organik dari Di bawah lapisan gambut sering pula
tanah gambut serta berkurang atau hilangnya diketemukan tanah aluvial yang mengandung
fungsi gambut sebagai media tumbuh tanaman, pirit. Tanah aluvial yang berasal dari endapan
seperti melalui proses kering tak balik (Widjaja- laut biasanya mengandung mineral pirit
Adhi, 1988). Pembentukan mineral sulfida ini terbentuk dari
Sifat kimia yang penting terhadap endapan sungai di pantai yang berkembang
dinamika lahan gambut adalah: ketersediaan menjadi hutan pasang surut. Dekomposisi dalam
unsur hara yang rendah/miskin hara, dan masa yang padat dari bahan organik
kandungan asam-asam organik yang tinggi yang menghasilkan kondisi yang anaerob sehingga
dapat meracuni tanaman. Gambut mempunyai bakteri pereduksi sulfur menjadi banyak, sulfida
reaksi yang sangat masam, Kapasitas Tukar dihasilkan oleh bakteri tersebut dan terakumulasi
Kation (KTK) sangat tinggi, tetapi kejenuhan dalam ruang pori-pori sebagai H2S atau
basa sangat rendah. Kondisi ini menyebabkan bergabung dengan besi membentuk endapan
terhambatnya ketersediaan hara terutama basa- besi sulfida (FeS) (Suriadikarta, 1996). Tanah
basa K, Ca, Mg, dan unsur mikro seperti Cu, Zn,
aluvial yang langsung mendapat luapan atau
Mn, dan Fe bagi tanaman (Hardjowigeno, 1986).
intrusi air laut mempunyai kadar garam tinggi
Unsur mikro tersebut terikat dalam bentuk
dengan susunan kation tukar: Na > Mg > Ca
khelat, dan asam-asam organik yang meracun
atau K. Tanah aluvial yang terkena pengaruh air
itu terutama asam fenolat (Rachim, 1995).
payau susunan kation tukarnya: Mg > Ca > Na
Asam fenolat tersebut merupakan hasil
biodegradasi anaerob dari senyawa lignin yang atau K, sedang tidak terkena air payau atau laut
dominan dalam kayu-kayuan (Tsutsuki dan Ca > Mg > Na atau K (Sitorus dan Djoko
Kondo, 1995). Sudardjo (1979) dalam Widjaja-Adhi (1986).

48
Didi Ardi Suriadikarta : Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan

Pada wilayah kerja Blok A, beberepa masuknya air ke lahan maka sudah dapat
tempat di Lamunti telah terjadi oksidasi pirit dipastikan usahatani itu akan mendekati
menjadi bersifat racun bagi tanaman. Tipologi keberhasilan. Sebaliknya, bila tata air tidak bisa
lahan yang dijumpai pada wilayah ini adalah dikuasai maka kegagalan yang akan diperoleh.
sulfat masam potensial (SMP), sulfat masam
potensial bergambut (SMP-G), Potensial 1 dan 2 Tata air makro
(pirit > 1m), dan sulfat masam aktual(SMA).
Tata air makro yang di bawah tanggung
jawab Kementerian PU, mulai dari saluran
TEKNOLOGI PENGELOLAAN primer, sekunder dan tersier sangat
LAHAN RAWA GAMBUT mempengaruhi kondisi tanah di lahan pertanian.
Pembuatan saluran yang terlalu dalam dan lebar
Pemanfaatan yang tepat, pengembangan akan mempercepat proses drainase, dan pada
yang seimbang dan pengelolaan yang sesuai musim kemarau air tanah cukup dalam sehingga
dengan karakteristik, sifat dan kelakuan lahan menyebabkan tanah akan menjadi kering.
rawa, dapat menjadikan lahan rawa sebagai Keadaan ini akan sangat berbahaya untuk tanah
lahan pertanian yang produktif, berkelanjutan gambut dan tanah Sulfat Masam. Pada tanah
dan berwawasan lingkungan (Widjaja-Adhi, gambut penurunan permukaan air tanah secara
1995a dan 1995b). berlebihan (overdrain) akan menyebabkan
gambut mengering tak balik atau mati dan
Sejak proyek P4S tahun tujuh puluhan dan
dilanjutkan dengan proyek penelitian Badan penurunan permukaan tanah gambut
Litbang Pertanian Swamp I, Swamp II, dan (subsidence) terlalu cepat (Widjaja-Adhi, 1988).
kerjasama dengan Belanda (LAWOO) tahun Pada tanah sulfat masam akan menyebabkan
delapan puluhan, dan Proyek Penelitian terjadinya oksidasi pirit, dan pada saat hujan
Pengembangan Lahan Rawa Terpadu (ISDP), datang terjadi proses pemasaman sehingga
telah menghasilkan banyak teknologi dapat meracuni tanaman dan biota lainnya. Oleh
pengelolaan lahan rawa (Suriadikarta dan karena itu, dalam pembuatan saluran harus
Abdurachman, 1999). Teknologi itu antara lain memperhatikan kondisi fisiografi, topografi dan
adalah teknologi pengelolaan tanah dan air (tata hidrologi dikawasan pasang surut tersebut, yang
air mikro, dan penataan lahan), teknologi menjadi latar belakang dari kegagalan proyek
ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan PLG.
varietas yang adaptif, teknologi pengendalian Pembukaan lahan rawa yang ditujukan
hama dan penyakit, pengembangan Alsintan, untuk pengembangan budidaya pertanian
dan pemberdayaan kelembagaan petani. khususnya pencetakan sawah melalui Proyek
Keberhasilan juga telah banyak dicapai dalam PLG seluas satu juta hektar telah dimulai dengan
pengembangan lahan rawa pasang surut di
pembuatan jaringan irigasi yang memotong dan
beberapa daerah, yaitu di Kalsel, Kalbar,
menghubungkan Sungai Sebangau, Sungai
Sumatera Selatan, dan Riau. Dengan inovasi
Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
teknologi lahan rawa yang tepat dan
anak-anak sungainya. Sistim tata air yang
berkelanjutan maka diharapkan bisa berkembang
dikembangkan pada Kawasan Eks-PLG adalah
seperti kawasan pasang surut lainnya yang telah
sistim tata air tertutup, artinya air yang masuk
berhasil menjadi sentra-sentra produksi tanaman
dan ke luar dari sistim tata air dapat dikontrol
pangan, sayuran dan buah-buahan, maupun
untuk optimasi proses pencucian (leaching)
tanaman perkebunan.
gambut. Dalam sistim tata air tertutup ini
dilengkapi dengan tanggul dan bangunan pintu
Teknologi pengelolaan tanah dan air air.
Teknologi pengelolaan tanah dan air (soil Pintu air yang dibangun pada saat proyek
and water management) merupakan kunci utama PLG berjalan dari tahun 1997 sampai dengan
keberhasilan usahatani pertanian di lahan rawa 1999 sudah tidak berfungsi lagi dan banyak
pasang surut. Apabila bisa mengendalikan keluar yang sudah dijarah besinya. Kegiatan penyiapan

49
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 1, Juli 2012

lahan untuk pertanian baru dilakukan di daerah Pintu saluran pengeluaran membuka keluar,
kerja/Blok A, sedangkan untuk Blok B, C dan sehingga di waktu air surut air keluar, tetapi di
Blok D belum dilakukan penyiapan lahan dan waktu pasang pintu menutup sehingga air tidak
belum ditempatkan petani transmigran kecuali masuk. Saluran kwarter yang merupakan batas
penempatan lama di Pangkoh dan Jabireun, dan kepemilikan lahan perlu ditata sesuai dengan
telah dibangun Saluran Primer Utama (SPU) tata air yang dilaksanakan di wilayah tersier
sepanjang 958,18 km. tersebut.
Perbaikan tata air makro khususnya di Sistim surjan adalah salah satu usaha
wilayah kerja A, sampai saat ini terus dilakukan penataan lahan untuk melaksanakan diversifikasi
oleh Kementerian PU, seperti memperbaiki tanaman di lahan rawa. Guludan dibuat 3-5 m
saluran primer, sekunder, dan tersier. Selain itu dan tinggi 0,5-0,6 m, sedang tabukan dibuat
memperbaiki pintu air di saluran tersier yang dengan lebar 15 m, dengan demikian setiap ha
rusak dan mengubahnya dari sistim ulir menjadi dapat dibuat guludan 6-10, dan 5-9 tabukan.
sistim tabat yang bisa mengatur kedalaman air Tabukan biasanya ditanami padi sawah,
di saluran sesuai kebutuhan. Pada daerah banjir sedangkan guludan ditanami palawija, sayuran,
seperti di Dadahup telah dibuat tanggul untuk buah-buahan, atau tanaman industri seperti
menahan banjir pada musim penghujan. kencur, kopi, dan kelapa. Dalam pengembangan
sistim surjan menganjurkan penataan dan pola
Tata air mikro dan penataan lahan pemanfaatan lahan rawa pasang surut
berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan.
Pengelolaan air di tingkat saluran tersier Secara umum, pada lahan dengan tipe luapan A
sangat berpengaruh terhadap tata air mikro di dianjurkan ditata sebagai sawah, tipe luapan B
lahan pertanian, kesalahan dalam mengatur tata ditata sebagai sawah sistim surjan, tipe luapan C
air di saluran tersier akan menyebabkan ditata sebagai sawah tadah hujan atau surjan
kegagalan panen karena air tidak sampai ke bertahap, dan tipe luapan D sebagai sawah
lahan. Oleh karena itu, pengaturan tata air mikro tadah hujan atau tegalan atau perkebunan.
di lahan petani sangat berkaitan dengan tipe Selain memperhatikan tipologi lahan dan tipe
luapan air pasang. Jika saluran tersier berada luapan, tanah gambut perlu memperhatikan
pada tipe luapan A, maka di lahan petani bisa lapisan di bawah gambut (bahan substratum),
diatur sistim aliran satu arah (one way flow yaitu pasir kuarsa, atau tanah sulfat masam,
system). Pada tipe luapan B dapat diatur sistim sehingga lapisan di atasnya harus dipertahankan.
aliran satu arah plus tabat, jika pada tipe luapan
Sistim surjan mempunyai beberapa
C maka sistim tabat, dan jika berada pada tipe
keuntungan yaitu: 1) stabilitas produksi lebih
luapan D maka dapat dilakukan sistim tabat plus
mantap, terutama untuk tanaman padi di
irigasi tambahan dari kawasan tampung hujan
tabukan; 2) intensitas tanam lebih tinggi, dan 3)
yang berada di ujung tersiernya (Suriadikarta et
diversifikasi tanaman sekaligus dapat terlaksana
al., 1999).
(Badan Litang Pertanian, 1993). Ukuran surjan
Sistim aliran satu arah adalah bila air yang tergantung tipologi lahan, tipe luapan,
masuk dan keluar melalui saluran yang berbeda. kedalaman pirit, dan kedalaman air tanah. Hasil
Bila satu saluran tersier berfungsi sebagai penelitian penerapan drainase (saluran cacing) di
saluran pemasukan (inlet), maka saluran tersier tabukan menunjukkan adanya korelasi yang
sebelahnya berfungsi sebagai saluran pengeluaran nyata antara jarak saluran cacing dengan
(outlet). Sedangkan sistim dua arah (two way perubahan pH tanah, yang akhirnya berpengaruh
flow system), adalah aliran air yang masuk dan terhadap produksi tanaman padi. Pada lahan
keluar melalui saluran tersier yang sama. Model saluran cacing yang terlalu jarang (12 m)
pintu saluran tersier maupun kwarter pada tipe jaraknya intensitas keracunan besi lebih tinggi,
luapan A biasanya merupakan pintu ayun dan produksi lebih rendah, dibandingkan dengan
(flapgate), dan pintu pemasukan membuka ke lahan yang saluran cacingnya lebih rapat. Oleh
dalam, air pasang dapat masuk, tetapi bila surut karena itu pada lahan yang ditata dengan sistim
pintu menutup sehingga air tidak dapat keluar. surjan, maka pada lahan tabukan dianjurkan

50
Didi Ardi Suriadikarta : Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan

untuk membuat saluran cacing sedalam 20 cm, baja (Suriadikarta dan Hartatik, 2002),
dengan jarak interval 6 m, dan dibuat pula penggunaan dolomit dan rock phosphate
saluran keliling. Untuk memperlancar pencucian (Hartatik, 2004). Hasil penelitian di laboratorium,
sebaiknya dilakukan pencucian petakan setiap bahan amelioran yang baru untuk tanah gambut
dua minggu. yaitu abu terbang mempunyai harapan untuk
digunakan karena dapat meningkatkan pH, P,
kadar basa-basa (K, Na, Ca, Mg), dan kejenuhan
Teknologi pengelolaan lahan basa meningkat, namun masih perlu diuji
dilapangan (Iskandar et al., 2008).
Teknologi pengelolaan lahan di rawa
pasang surut meliputi pengolahan tanah, Tanaman yang ditanam dilahan gambut
ameliorasi dan pemupukan. atau sulfat masam sering tanggap terhadap
pemupukan N, P, K, dan unsur mikro terutama
Cu (Widjaja-Adhi (1976) dalam Suriadikarta et
Pengolahan tanah
al. (2001)). Oleh karena itu, setelah bahan
amelioran diberikan harus diikuti dengan
Pengolahan tanah untuk penyiapan lahan
pemupukan pupuk anorganik seperti Urea, SP-
diperlukan untuk memperbaiki kondisi lahan agar
36, dan KCl, kemudian unsur mikro Cu (Terusi
menjadi seragam dan rata melalui penggemburan 20 kg/ha), dan Zn. Pemberian Zn dilakukan
atau pelumpuran dan perataan tanah. Selain itu, dengan cara perendaman benih padi ke dalam
juga untuk mempercepat proses pencucian larutan Zn SO4 5% sebelum bibit ditanam. Hasil
bahan beracun dan pencampuran bahan penelitian di lahan rawa pasang surut telah
ameliorasi dan pupuk dengan tanah. Pada tanah diketemukan dosis-dosis anjuran untuk beberapa
mineral yang keras dan berbongkah atau pada komoditas sesuai dengan tipologi lahanya. Untuk
lahan bergambut sebaiknya tanah diolah sampai tanaman padi pada lahan potensial berkisar
gembur atau melumpur dengan mencampurkan antara 45-45-50 sampai 90-45-50 kg/ha (N-
lapisan gambut dan tanah mineral di bawahnya P2O5-K2O), sedangkan untuk lahan sulfat masam
(Djayusman et al., 1995). Bila lahan sudah rata dan bergambut adalah 90 kg N/ha, 45 kg
dan bersih dari bekas akar-akar kayu maka P2O5/ha, dan 75 kg K2O/ha. Pupuk N berupa
penanaman berikutnya dapat dilakukan dengan Urea pril diberikan 3 kali, yaitu 1/3 dosis pada
pengolahan tanah minimum (minimum/zero saat tanam, 1/3 pada umur tanaman 28 hari
tillage) yang dapat mengurangi biaya produksi. setelah tanam, dan sisanya pada umr tamaman
42 hari setelah tanam. Pupuk P dan K diberikan
Ameliorasi dan pemupukan
sekaligus pada waktu tanam.
Untuk tanaman jagung secara umum yang
Pemberian bahan ameliorasi dan dianjurkan adalah: 67,5 kg N/ha, 90 kg P2O5/ha,
pemupukan memegang peranan penting dalam 50 kg K2O/ha, selain itu untuk tanah gambut
rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas perlu ditambahkan ZnSO4, dan CuSO4 masing-
lahan pasang surut, mengingat kondisi lahannya masing sebanyak 5-10 kg/ha. Pemupukan untuk
yang masam dengan tingkat kesuburan tanah tanaman kedelai yang dianjurkan adalah 22,5 kg
alami rendah. Berbagai macam bahan ameliorasi N/ha, 45 kg P2O5/ha, dan 50 kg K2O/ha,
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sedangkan untuk kacang tanah adalah 22,5 kg
lahan, antara lain: dolomit, abu sekam, atau abu N/ha, 90 kg P2O5/ha, dan 50 kg K2O/ha, dan
gergajian, tanah mineral, abu volkan dan lumpur untuk kacang hijau sama dengan untuk tanaman
laut. Abu sekam dan abu gergajian, dan limbah kedelai. Namun untuk tanaman kedelai perlu
tanaman mempuyai keunggulan dengan yang ditambahkan Rhizobium (legin/nitragen)
lain karena harganya relatif murah dan tersedia sebanyak 15 g/kg benih. Untuk tanaman
setempat (Suriadikarta et al., 1999). Untuk sayuran diperlukan bahan amelioran sebelum
mengatasi asam-asam organik yang meracun dilakukan pemupukan seperti kapur, dolomt, dan
pada tanah gambut yang disawahkan telah kompos. Takaran bahan amelioran dan pupuk
banyak dilakukan penelitian oleh para peneliti sangat bervariasi tergantung jenis tanaman
bidang kesuburan tanah seperti penggunaan sayuran yang ditanam. Seperti untuk cabai
tanah mineral berkadar besi tinggi, dan terak keriting pada lahan gambut dangkal atau

51
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 1, Juli 2012

bergambut diperlukan 2 t kapur/ha, dan 4 t/ha dan buah-buahan yang adaptif di lahan gambut.
pupuk kandang, dengan pupk 60 kg N/ha, 120 Tanaman palawija antara lain: kedelai varietas
kg P2O5/ha, dan 50 kg K2O/ha. Willis, Rinjani, Lokon, Dempo Galunggung,
Slamet, Lawit, dan Kerinci, dengan produksi
Varietas yang adaptif rata-rata antara 1,5-2,4 t/ha. Untuk tanaman
jagung varietas Arjuna, Kalingga, Wiyasa, Bisma
Varietas yang ditanam di lahan gambut Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar, Sukmaraga,
sebaiknya tanaman yang adaptif untuk
H6, dan Bisi-2, dengan rata-rata hasil 4-5 t/ha.
mengurangi input sarana produksi yang
Untuk tanaman kacang hijau adalah varietas:
dibutuhkan sehingga terjadi efisiensi biaya.
Betet, Walik, dan Gelatik, dengan rata-rata hasil
Menurut Sabiham (2006), diusulkan ada dua
1,5 t/ha, sedangkan untuk kacang tanah
pendekatan dalam mengusahakan tanaman di
lahan gambut, yaitu: 1) Pendekatan pada kondisi varietas yang adaptif cukup banyak yaitu: Gajah,
drainase alami, dengan tanaman adaptif padi Pelanduk, Kelinci, Singa, Jerapah, Komodo, dan
jenis lokal, dan sagu dari spesies rawa gambut Mahesa, dengan rata-rata hasil 1,8-3,5 t/ha
yaitu Metroxylon sago, 2) Pendekatan pada (Badan Litbang Pertanian, 2003).
kondisi drainase buatan. Pada kondisi ini ada dua Tanaman sayuran juga banyak yang
pendekatan yaitu, pertama kedalaman muka air menunjukkan kesesuaian di lahan gambut
tanah (40-60 cm) tanaman yang baik untuk seperti: cabai, tomat, terung, kubis, kacang
kondisi sepeti ini adalah: padi, sayuran, buah- panjang, buncis, timun, bawang merah, sawi,
buahan, dan rumput sebagai pakan ternak.
selada, bayam, dan kangkung. Untuk tanaman
Kedua pada kedalaman air tanah > 60-100 cm
buah-buahan semangka, dan nenas. Selanjutnya
adalah: kelapa sawit, kelapa, dan karet yang
tanaman industri juga ada yang bisa berkembang
diusahakan dalam bentuk perkebunan, dan
di lahan gambut antara lain jahe dan kencur,
Accasia crasicarpa yang diusahakan dalam
Hutan Tanaman Industri. kelapa dalam, dan kelapa sawit.

Hasil penelitian di lahan gambut,


Alat dan mesin pertanian
khususnya lahan bergambut sampai gambut
dangkal ada beberapa varietas padi yang adaptif Salah satu alternatif pemecahan masalah
antara lain Kapuas, Cisanggarung, Sei Lilin, IR- tenaga kerja di lahan rawa pasang surut atau
42, Lematang, dan Cisadane (Badan Litbang lahan gambut adalah penerapan alat mesin
Pertanian, 2003). Selain varietas di atas ada be- pertanian (Alsintan) pra dan pasca panen, baik
berapa varietas baru yang dapat dikembangkan yang digerakan oleh ternak kerja maupun motor
di lahan gambut yaitu Indragiri, Punggur, penggerak. Namun dalam pengembangan
Margasari, Martapura, Air Tenggulang, Lambur, alsintan memerlukan persyaratan tertentu, baik
teknis maupun sosial ekonomi. Pengembangan
dan Mendawak (Suriadikarta et al., 1999).
alsintan di lahan rawa ditentukan oleh faktor
Produksi beberapa varietas padi tersebut men-
biofisik lahan, seperti kekerasan tanah, sisa
capai sekitar 4-6 t/ha GKP, dan umumnya tahan tunggul kayu, jenis vegetasi permukaan,
terhadap penyakit blas, dan sebagian tahan kedalaman gambut, dan lapisan pirit, bekas parit
terhadap hawar daun, seperti varietas Punggur, alam atau bekas nipah. Pada awalnya petani
dan Air Tenggulang. Selain tanaman padi transmigran di lahan gambut menggunakan
unggul, juga padi lokal seperti: Talang, Ceko, tenaga manusia sebagai penarik bajak untuk
Mesir, Jalawara, Siam Lemo, Siam Unus, Siam mengolah tanahnya, namun hasilnya belum
Pandak, Semut, Pontianak, Sepulo, Pance, sesuai untuk pertumbuhan tanaman padi.
Salimah, Jambi Rotan, dan Tumbaran, dengan Pengolahan tanah di lahan gambut pasang surut,
potensi hasil antara 2-3 t/ha GKP dengan umur selain untuk menggemburkan tanah dan
pengendalian gulma, juga untuk pelumpuran
120-150 hari.
untuk meningkatkan daya menahan air,
Selain tanaman padi juga telah diteliti khususnya sawah (Ananto dan Alihamsyah,
beberapa varietas tanaman palawija, sayuran 1992).

52
Didi Ardi Suriadikarta : Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan

Hasil observasi di lapangan menunjukkan 4. Kawasan konservasi berada pada wilayah


bahwa kemampuan kerja ternak sapi untuk gambut dengan ketebalan > 3 m. Kawasan
membajak tanah adalah 10 jam/ha, dengan 4-5 konservasi ini selain gambut tebal > 3 m,
jam/hari, dan sesuai dikembangkan untuk lahan juga daerah-daerah tertentu yang mempunyai
yang bertipe luapan B, C, dan D atau yang keanekaragaman hayati (flora dan fauna), dan
berlumpur dangkal dan lahan siap olah (Badan di bawah gambut lapisan sulfidik dan atau
Litbang Pertanian, 2003). Sedangkan hasil pasir kuarsa.
pengujian berbagai tipe traktor pada lahan
pasang surut bertipe luapan B/C, kebutuhan
Saran
waktu kerja pengolahan tanah sampai siap
tanam adalah 19 jam/ha untuk traktor tangan 1. Pembukaan lahan pasang surut harus
lokal; 25,25 jam/ha untuk traktor tangan impor dilakukan melalui perencanaan yang matang,
(tipe rotari) dan 20,5 jam/ha untuk traktor mini dan hati-hati, karena lahan pasang surut
impor. Sedangkan untuk lahan bertipe luapan A merupakan lahan yang rapuh (fragile) mudah
dan B masing-masing 18 jam/ha, dan 15 jam/ha berubah dan tidak bisa dikembalikan ke alam
untuk traktor tangan lokal dan impor (Komarudin aslinya.
(1991) dalam Ananto dan Alihamsyah, 1992). 2. Dibutuhkan data biofisik lingkungan yang
Untuk meningkatkan kemampuan dan hasil lengkap, dan perlu ditunjang dengan analisa
kerja ternak sapi, telah dirakit dan diuji berbagi dampak lingkungan yang handal.
alat pengolah tanah yang lebih baik. Pada 3. Mempelajari kondisi sosial budaya masyarakat
pengolahan tanah sistim kering, garu pisau dan lokal.
garu piringan dapat dianjurkan untuk mengganti
garu tradisional. Pada pengolahan sistim basah DAFTAR PUSTAKA
dianjurkan pemakaian glebeg, terutama yang
Ananto, E. dan T. Alihamsyah, 1992.
bermata trapesium, karena menghasilkan Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian
pelumpuran yang paling baik. dalam usahatani lahan Pasang surut.
Risalah: Pertemuan Nasional Pengem-
bangan Pertanian Lahan rawa pasang
KESIMPULAN DAN SARAN surut dan Lebak, Cisarua, 3-4 Maret
1992. Pusat Penelitian dan Pengembang-
Kesimpulan an Tanaman Pangan, Badan Litbang
Pertanian.
1. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
2003. Panduan Ekspose Nasional
Pertanian melalui hasil penelitian Badan
Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut.
Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah Barito Kuala, 30-31 Juli 2003.
menyediakan teknologi pengelolaan lahan Djayusman, M., S. Sastraatmaja, I.G. Ismail, dan
untuk menangani lahan pasang surut dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1995. Penataan
rawa lebak termasuk tanah gambut. Lahan dan Pengelolaan Air untuk
Meningkatkan Produktivitas Tanah Sulfat
2. Kawasan Lahan Gambut satu juta ha eks PLG
Masam. Psulittanak.
di Kalimantan Tengah, termasuk wilayah
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Juniwati,
pasang surut air tawar yang mempunyai
dan J.S. Adiningsih. 2004. Pengaruh
potensi untuk dikembangkan sebagai pemberian fosfat alam dan SP-36 pada
kawasan budidaya pertanian, dan kawasan tanah gambut yang diberi bahan
konservasi. ameliorant tanah mineral terhadap
3. Kawasan budi daya pertanian dilaksanakan serapan P dan dan efisiensi pemupukan
P. Dalam Prosiding Kongres Nasional
pada kawasan gambut < 3 m, yang dapat
VIII. HITI. Universitas Andalas Padang.
dikembangkan untuk lahan sawah,
Harjowigeno, S. 1986. Sumberdaya Fisik
perkebunan, perikanan, dan hutan tanaman
Wilayah dan Tata Guna Lahan: Histosol.
industri (HTI), dengan berdasarkan kepada Fakultas Pertanian Institut Pertanian
kriteria kesesuaian lahan. Bogor. Hlm 86-94.

53
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 1, Juli 2012

Iskandar, Suwardi, dan E.F.R. Ramadina. 2008. Laporan hasil penelitian 2002. Pusat
Pemanfaatan bahan amelioran abu Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan
terbang pada lingkungan tanah gambut Litbang Pertanian.
(1): pelepasan hara makro. Jurnal Tanah Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001.
Indonesia I(1). Maret 2008. Teknologi peningkatan produktivitas
Puslittanak.1998. Laporan Survey dan Pemetaan tanah sulfat masam. Laporan akhir.
Tanah Tinjau Mendalam Daerah Kerja A Proyek Sumber Daya Lahan Tanah dan
Proyek Pengembangan Lahan gambut Iklim. Pusat Penelitian tanah dan
Sejuta Hektar untuk Pengembangan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian
Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998.
Rachim, A. 1995. Penggunaan Kation-Kation Peluang dan kendala penggunaan lahan
Polivalen dalam Kaitannya dengan rawa untuk pengembangan pertanian di
Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Indonesia: kasus Sumatera Selatan dan
Produksi Jagung pada Tanah Gambut. Kalimantan Tengah. Makalah Utama
Disertasi. Program Pasca Sarjana, Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat,
RPPK, 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, 10 Februari 1998 di Bogor.
dan Kehutanan Indonesia, Untuk rakyat, Subagjo, H. 2006. Klasifikasi dan penyebaran
tanah air, dan generasi Indonesia lahan rawa. Buku karakteristik dan
mendatang. Kementerian Koordinator pengelolaan lahan rawa. Hlm 1-22. Balai
Bidang Perekonomian, Jakarta. Besar Litbang Sumberdaya lahan
Sabiham, S. 2006. Pengelolaan Lahan Gambut Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Indonesia Berbasis Keunikan Ekosistem. 2006.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap
Tsutsutki, K. and R. Kondo. 1995. Lignin-
Pengelolaan Tanah. Fakultas Pertanian
derived phenolic coumpounds in
Institut Pertanian Bogor, 16 September
different types of peat profiles in
2006.
Hokkaido. Japan. Soil Sci. and Plant
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Nutr. 4(3):515-527.
Taxonomy. Agency for International
Development, USDA. Widjaja-Adhi. I P.G. 1986. Pengelolaan lahan
rawa pasang surut dan lebak. Jurnal
Suriadikarta, D.A. 1996. Reklamasi tanah sulfat Badan Litbang Pertanian V(1):1-9.
Masam untuk Usaha Tambak. Diesertasi.
Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Wijaja-Adhi, I P.G. 1988. Physical and Chemical
Bogor. characteristic of peat soil of Indonesia.
Ind. Agric. Research Dev. J. 10:59-64.
Suriadikarta, D.A. dan A. Abduracham. 1999.
Penelitian Teknologi Reklamasi untuk Widjaja-Adhi,I P.G. 1995a. Pengelolaan Tanah
Meningkatkan Produktivitas tanah Sulfat dan Airdalam pengembangan sumber
Masam Potensial. Dalam Prosiding Temu daya lahan rawa untuk usaha tani ber-
Pakar dan lokakarya Nasional Desiminasi kelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya Makalah disampaikan pada pelatihan
Lahan Rawa, Jakarta 23-26 Nopember calon pelatih untuk pengembangan
1999. pertanian di daerah pasang surut. 26-30
Suriadikarta, D.A., H. Supriadi, H. Malian, Juni 1995. Karang Agung Ulu Sumatera
Desmiyati. Z., Suwarno, M. Januwati, Selatan.
dan Anang H.K. 1999. Kesiapan Wijaja-Adhi,. I P.G. 1995b. Potensi, Peluang dan
Teknologi dan Kendala Pengembangan kendala perluasan areal pertanian ,lahan
Usahatani Lahan Rawa. Dalam Prosiding rawa di Kalimantan Tengah dan Irian
Temu Pakar dan Lokakarya Nasional Jaya. Sopeng, 7-8 Nopember 1995.
Desiminasi dan Optimasi Pemanfaatan Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A.
Sumber Daya Lahan Rawa. Jakarta, 23- Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992.
26 Nopember 1999. Sumberdaya lahan rawa: Potensi,
Suriadikarta, D.A. dan W. Hartatik. 2002. Keterbatasan, dan pemanfaatan. Risalah
Pengaruh Penggunaan Tanah Mineral Pernas Pengembangan pertanian di lahan
dan Terak Baja Terhadap Pertumbuhan rawa pasang surut dan lebak. CIsarua 3-
Tanaman Agung pada Tanah Gambut. 4 Maret 1992.

54

Anda mungkin juga menyukai