Anda di halaman 1dari 19

(HALAMAN 173-184)

Kita perlu mengeksklusikan beberapa kondisi pasien dari pertimbangan.


Misalnya, retardasi mental tidak relevan dalam menentukan apakah terapi yang didapat
sesuai dengan keinginan pasien. Wali jangan salah mengartikan kualitas hidup pasien
dengan nilai kehidupan pasien bagi orang lain. Sehingga, kriteria yang berfokus pada
kepentingan pasien yang inkompeten harus bersifat desisif bagi wali, bahkan jika
keinginan pasien sendiri bertentangan dengan kepentingan keluarga atau masyarakat
dalam menghindari beban atau biaya.
Posisi ini berbeda dengan yang ada di U.S. President’s Commission for the
Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research, yang
mengenal konsep lebih luas tentang “kepentingan terbaik” yang meliputi kesejahteraan
keluarga: “Dampak suatu keputusan terhadap keluarga pasien inkompeten bisa
dipertimbangkan dalam menentukan kepentingan terbaik seseorang, karena sebagian
besar orang memiliki kepentingan penting pada kesejahteraan keluarga mereka atau
kerabat terdekat”.53 Pasien sering memiliki kepentingan dalam kesejahteraan keluarga
mereka, tapi ini masih langkah panjang dari premis ini menuju simpulan mengenai
kepentingan siapa yang didahulukan (kecuali pasien secara ekskplisit menyatakan).
Ketika pasien inkompeten tidak pernah kompeten atau tidak pernah mengekspresikan
keinginannya saat dia kompeten, maka tidak dibenarkan untuk mengaitkan altruisme
atau motif lainnya ke pasien tersebut melawan kepentingan medis terbaiknya.

Anak dengan disabilitas atau penyakit serius. Fetus aterm yang terancam, bayi baru
lahir yang kondisinya kritis dan anak usia muda juga menyajikan pertanyaan sulit
mengenai kualitas hidup dan omisi terapi. manajemen obstetri prenatal dan perawatan
intensif neonatal kini bisa menyelamatkan nyawa dari banyak fetus abnormal dan
neonatus cacat dengan cacat fisik yang bisa saja fatal dalam beberapa dekade silam.
Namun, resultan kualitas hidup kini cenderung rendah hingga menjadi dipertanyakan
apakah manajemen obstetri agresif atau perawatan intensif akan lebih banyak
menimbulkan kerugian daripada manfaat bagi pasien. Beberapa komentator berpendapat
bahwa menghindari bahaya (termasuk bahaya iatrogenik) merupakan panduan terbaik
terhadap keputusan atas nama janin aterm dan bayi di bangsal neonatus,54 dan lainnya
berpendapat bahwa intervensi agresif melanggar nonmalefisien jika ada kondisi satu
dari tiga berikut ini: (1) ketidakmampuan untuk bertahan hidup selama masa
pertumbuhan, (2) ketidakmampuan untuk hidup tanpa nyeri berat dan (3)
ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara minimal pada pengalaman manusia.55
Penanganan kehamilan risiko tinggi secara non agresif dan membiarkan
neonatus dengan kecacatan serius supaya mati, dalam kondisi tertentu merupakan
tindakan yang diizinkan secara moral yang tidak melanggar kewajiban nonmalefisien.
Ketika pasien memiliki kualitas hidup yang begitu rendah dimana intervensi agresif atau
perawatan intensif akan lebih memberikan kerugian daripada manfaat, dokter bisa
menunda atau menghentikan terapi pada fetus yang hampir aterm, neonatus atau bayi,
layaknya pada orang dewasa. Kondisi yang berujung pada rendahnya kualitas hidup
meliputi sejumlah kelainan antenatal yang berujung pada timbulnya kematian janin;
kerusakan otak berat akibat asfiksia persalinan; penyakit Tay-Sachs, yang melibatkan
peningkatan spastisitas dan demensia dan biasanya berujung pada kematian di usia tiga
atau empat tahun; dan penyakit Lesch-Nyhan, yang melibatkan spasm tak terkendali,
retardasi metal, mutilasi diri sendiri yang kompulsif dan kematian dini. Kasus berat
neural tube defects dimana neonatus kekurangan semua atau sebagian besar otak dan
akan berujung pada kematian juga merupakan keputusan yang dibenarkan untuk tidak
mengobati.
Sejalan dengan argumen kami di akhir bab 4, standar paling sesuai pada kasus
pasien tak kompeten termasuk neonatus kritis adalah berdasarkan kepentingan terbaik,
sebagaimana dinilai dengan perkiraan apa yang akan orang normal pertimbangkan
tentang manfaat terbaik dari pilihan yang ada. pasien kompeten dan wali berwenang
bisa menggunakan pertimbangan kualitas hidup untuk menentukan apakah terapi
bersifat opsional atau wajib (atau pada kasus ekstrim, salah). Kami simpulkan bahwa
kategori opsional dan wajib ini sebaiknya mengganti perbedaan lama dan aturan yang
ditelaah di awal bab ini.

Membunuh dan Membiarkan Mati


Perbedaan antara membunuh dan membiarkan mati (atau membolehkan untuk
mati) merupakan hal yang paling sulit dan paling penting dari semua perbedaan yang
telah digunakan untuk menentukan keputusan yang dapat diterima mengenai terapi dan
tindakan profesional pada pasien cidera atau sakit kritis. Perbedaan ini telah lama
dibahas secara hukum, medis dan filosofi moral untuk membedakan cara yang benar
dan salah agar suatu kematian itu terjadi. Sejumlah besar perbedaan dan aturan tentang
terapi bantuan hidup didapat dari perbedaan membunuh-membiarkan mati, yang
kemudian memunculkan perbedaan act-omission (tindakan-abaikan) dan perbedaan
aktif-pasif.56 Perbedaan membunuh-membiarkan mati juga telah mempengaruhi
perbedaan antara bunuh diri dengan menghentikan terapi dan antara bunuh diri dengan
kematian alami.57 Ini telah digunakan secara luas untuk memisahkan antara praktik yang
diizinkan dan dilarang.
Dalam mempertimbangkan apakah perbedaan ini koheren, bisa dipertahankan
dan berguna untuk pedoman moral, bagian ini membahas tiga pertanyaan. (1)
pertanyaan konseptual: apa perbedaan konseptual antara membunuh dan membiarkan
mati? (2) pertanyaan moral: apakah membunuh itu sendiri salah secara moral,
sementara membiarkan mati tidak salah secara moral? (3) kombinasi pertanyaan
konseptual dan kausal: apakah menghentikan terapi bantuan hidup kadang merupakan
suatu bentuk membunuh? Jika demikian, apakah ini kadang bunuh diri dan kadang
pembunuhan?

Pertanyaan konseptual tentang sifat dari membunuh dan membiarkan mati


Bisakah kita mendefinisikan membunuh dan membiarkan mati sehingga keduanya akan
berbeda secara konseptual dan tidak tumpang tindih? Dua kasus berikut ini
menunjukkan kalau kita tidak bisa: (1) neonatus dengan sindrom Down membutuhkan
operasi untuk mengoreksi fistula trakeoesofagal (sebuah deformitas kongenital dimana
timbul saluran antara trakea dan esofagus, sehingga memungkinakn makanan atau susu
masuk ke paru-paru). Orang tua dan dokter menilai bahwa kelangsungan hidup
bukanlah kepentingan terbaik bayi ini dan memutuskan untuk membiarkannya
meninggal daripada menjalani operasi. Namun, protes publik mencuat pada kasus ini,
dan kritik memvonis bahwa orang tua dan dokter telah membunuh anak dengan sengaja
membiarkan anak meninggal. (2) Dr. Gregory Messenger, seorang dermatologis,
divonis dengan tindakan pembunuhan setelah dia secara sepihak menghentikan sistem
penopang hidup anaknya yang prematur (usia kehamilan 25 minggu, 750 g) di NICU
kota Lansing, Michigan. Dia kira dia bertindak dengan penuh kasih sayang dalam
membiarkan anaknya meninggal setelah ahli neonatologi gagal memenuhi janji untuk
tidak meresusitasi bayi. 58
Bisakah kita secara sah mendeskripsikan tindakan yang secara sengaja tidak
menganggap pasien sebagai “membolehkan untuk mati” atau “membiarkan mati,”
daripada “membunuh”? Apakah “membolehkan untuk mati” merupakan sebuah
eufimisme pada beberapa kasus untuk “pembunuhan yang dapat diterima” atau
“pengambilan nyawa yang bisa diterima”? Pertanyaan konseptual ini memiliki implikasi
moral. Sayangnya, konsep legal dan tulisan masih samar dan equivokal. Pada bahasa
biasa, pembunuhan adalah tindakan kausal yang menimbulkan kematian, sementara
membiarkan mati adalah kesengajaan menghindari intervensi dari penyabab penyakit,
kegagalan sistem atau cidera akan menimbulkan kematian. Pembunuhan berlaku pada
binatang dan tanaman. Secara bahasa biasa maupun hukum, kata pembunuhan tidak
mengharuskan ada tindakan yang salah atau kriminal, atau bahkan tindakan dengan niat.
Misalnya, kita bisa dengan tepat mengatakan bahwa, pada kecelakaan kendaraan
bermotor, satu pengemudi membunuh lainnya bahkan ketika tidak ada kewaspadaan,
niat atau kelalaian.
Definisi konvensional yang tidak begitu memuaskan dalam menarik perbedaan
tajam antara membunuh dan membiarkan mati. Mereka memungkinkan banyak
tindakan membiarkan mati dianggap sebagai pembunuhan, sehingga istilah perbedaan
itu sendiri jadi terabaikan. Misalnya, dalam definisi ini, tenaga kesehatan profesional
membunuh pasien ketika mereka secara sengaja membiarkan mereka meninggal pada
kasus dimana mereka memiliki kewajiban untuk mempertahankan pasien tetap hidup.
Masih belum jelas dalam literatur mengenai subyek bagaimana membedakan
membunuh dan membiarkan mati untuk menghindari kasus sederhana yang memenuhi
syarat membunuh dan membiarkan mati. Arti “membunuh” dan “membiarkan mati”
masih samar dan tak bisa dibandingkan. Usaha untuk mempertajam arti ini akan
menimbulkan kontroversi tanpa hasil. Kami gunakan istilah ini karena mereka paling
prominan di literatur terkini, tapi kami kadang hindari juga.

Menghubungkan salah dan benar dengan membunuh dan membiarkan mati


“Membiarkan Mati” adalah prima facie yang bisa diterima di medis dengan salah
satu dari dua syarat: (1) alat medis tak berguna pada kasus kesia-siaan medis,
sebagaimana dibahas sebelumnya atau (2) pasien atau wali sah mereka telah menolak
secara valid suatu teknologi medis. Oleh karena itu, membiarkan pasien mati dapat
diterima jika dan hanya jika hal ini memenuhi syarat futilitas atau syarat penolakan
terapi yang valid. Jika kedua syarat ini tak terpenuhi, maka membiarkan pasien
meninggal sama dengan membunuh (mungkin karena kelalaian).
Dalam dunia medis dan kesehatan, “membunuh” secara konseptual dan moral
berhubungan dengan suatu tindakan yang tak dapat diterima. Kondisi praktik medis
membuat hubungan ini bisa dipahami, tapi penolakan absolut dari membunuh sendiri
tidak diasumsikan di luar lingkaran medis. Istilah membunuh tidak serta merta
mengharuskan ada tindakan yang salah atau kriminal, dan aturan “jangan membunuh”
bukanlah aturan absolut. Pembenaran standar dalam membunuh, seperti membunuh
karena mempertahankan diri, membunuh untuk menyelamatkan orang yang terancam
oleh tindakan orang lain, dan killing by misadventure (aksidental, pembunuhan non-
negligens saat melakukan tindakan yang benar) mencegah kita memvonis salah suatu
tindakan hanya karena itu adalah pembunuhan. Menerapkan dengan benar label
“membunuh” atau label “membiarkan mati” pada serangkaian kejadian (diluar asumsi
lama dalam medis) akan gagal menentukan apakah tindakan tersebut bisa diterima atau
tidak.59
Mungkin membunuh biasanya salah dan membiarkan mati hanya sesekali salah,
tapi jika demikian simpulan ini tergantung pada fitur kasus-kasus tertentu. Kesalahan
umum dalam membunuh dan kebenaran umum dalam membiarkan mati bukanlah fitur
mengejutkan di dunia moral karena membunuh jarang diizinkan oleh pihak yang tepat
(kecuali konteks perang dan hukuman negara) dan kasus membiarkan mati biasanya
diizinkan secara valid. Apapun itu, frekuensi dimana suatu tindakan dibenarkan,
berbeda dengan jenis tindakan lain, tidak bisa menentukan apakah tindakan tersebut
benar secara hukum atau moral. Menghentikan terapi untuk memungkinkan pasien mati
bisa sama intensional dan imoralnya seperti tindakan mengambil nyawa, dan keduanya
bisa disebut membunuh.
Singkatnya, label “membunuh” dan “membiarkan mati”, bahkan jika diterapkan
dengan benar, tidak menentukan bahwa satu bentuk tindakan akan lebih baik atau lebih
buruk, atau lebih dibenarkan atau tidak dari yang lainnya. beberapa kasus pembunuhan,
seperti pembunuhan brutal, bisa lebih buruk dari kasus membiarkan mati, seperti
menghentikan terapi pada pasien PVS; tapi beberapa kasus membiarkan mati, seperti
tidak meresusitasi pasien yang berpotensi bisa diselamatkan oleh dokter, juga bisa lebih
buruk dari beberapa kasus pembunuhan lainnya, seperti pembunuhan dengan belas
kasihan atas permintaan pasien. Membunuh atau membiarkan mati sama-sama tidak
bisa dinilai benar atau salahnya. Benar atau salah tergantung pada pembenaran yang
mendasari suatu tindakan, bukan apakah itu adalah kasus pembunuhan atau membiarkan
mati. Membunuh atau membiarkan mati tidak serta merta merupakan hal yang salah.
Dalam hal ini, kita bisa membedakannya dari murder, yang serta merta merupakan hal
yang salah.
Sehubungan dengan hal ini, memvonis apakah membunuh atau membiarkan
mati itu benar atau salah membutuhkan kita mengetahui hal lain mengenai tindakan
selain karakteristik ini. Kita perlu tahu tentang perihal, motif pelaku (apakah bertujuan
baik atau buruk), keinginan pasien dan konsekuensi tindakan. Faktor-faktor tambahan
ini akan memungkinkan kita untuk menempatkan tindakan tersebut pada peta moral dan
membuat keputusan normatif yang tepat.

Menghentikan terapi bantuan hidup: membunuh atau membiarkan mati?


Banyak penulis di bidang kedokteran, hukum dan etika telah membahas tindakan
dokter yang dengan sengaja menghentikan suatu alat medis sebagai tindakan
membiarkan mati jika dan hanya jika penyakit atau cidera yang mendasari
menyebabkan kematian. Ketika dokter menunda atau menghentikan alat medis, menurut
interpretasi ini, terjadi kematian alami, karena proses alami akan terjadi jika dokter tidak
pernah memulai memberikan alat medis tadi. Sebaliknya, membunuh terjadi ketika
tindakan seseorang menyebabkan kematian bukannya proses alami. Dari perspektif ini,
seseorang bertindak secara nonmalefisien dalam “membiarkan mati” dan malefisien
dalam “membunuh”.
Meski pandangan memiliki pengaruh hukum dan medis, tapi tetap ada
kekurangan. Untuk mencapai hasil memuaskan, kita harus menambahkan bahwa
penghentian alat medis telah mendapat izin secara valid dan dibenarkan untuk alasan
ini. Jika penghentian alat oleh dokter tidak dibenarkan dan seseorang meninggal dari
kausa “alami” suatu cidera atau penyakit, maka hasilnya adalah membunuh yang tidak
dibenarkan, bukan membiarkan mati yang dibenarkan. Validitas otorisasi – bukan
sekedar asesmen kausasi independen – menentukan moralitas suatu tindakan. Misalnya,
meghentikan terapi dari pasien kompeten tidak dibenarkan secara moral kecuali pasien
telah memberikan inform consent akan penghentian ini. Jika dokter mencabut alat bantu
napas dari pasien yang membutuhkannya dan ingin melanjutkan pemakaiannya, maka
tindakan ini salah, meski dokter hanya mencabut alat bantu buatan dan membiarkan
proses alami berjalan. Kurangnya otorisasi oleh pasien adalah pertimbangan relevan
dalam menilai tindakan tersebut suatu yang tak dapat diterima, bukan perbedaan antara
membiarkan mati dan membunuh.
Bahkan dari perspektif hukum, kita bisa memberikan pertimbangan kausal yang
lebih baik daripada “penyebab kematian adalah penyakit yang sudah ada sebelumnya.”
Pertimbangan yang lebih baik adalah bahwa liabilitas hukum sebaiknya tidak
dibebankan oleh dokter dan wali kecuali mereka memiliki kewajiban untuk
menyediakan atau melanjutkan terapi. Jika tidak ada kewajiban untuk mengobati, maka
pertanyaan kausasi dan liabilitas tidak akan muncul. Jika kategori kewajiban dan
opsional adalah yang utama, kita memiliki alasan untuk menghindari diskusi tentang
membunuh dan membiarkan mati dan berfokus pada kewajiban profesional pelayanan
kesehatan dan masalah tanggung jawab moral dan hukum.
Simpulannya, perbedaan antara membunuh dan membiarkan mati terhalang oleh
kesamaran dan kebingungan moral. Khususnya, bahasa “membunuh” itu sendiri sangat
membingungkan – secara kausal, hukum dan moral – sehingga hanya memberikan
sedikit bantuan dalam diskusi kematian. Di bagian berikutnya, kita akan lebih lanjut
mendukung simpulan ini.

Justifikasi kematian yang sengaja direncanakan


Kini kita bahas serangkaian pertanyaan moral tentang penyebab kematian yang
bebas dari kata “membunuh” Pertanyaan umumnya adalah, “Dalam kondisi apa, jika
ada, diperbolehkan bagi pasien dan tenaga kesehatan profesional berperan serta dalam
mengakhiri hidup pasien dengan sengaja?”
Menunda atau menghentikan terapi akan mempercepat kematian hanya bagi
individu yang bisa atau sedang dibantu dengan alat. Banyak individu lain, termasuk
beberapa pasien dengan kanker, menghadapi periode sekarat yang berkepanjangan
ketika alat bantu napas dan alat penopang hidup lainnya tidak digunakan. Perbaikan
pada perawatan paliatif akan membahas kebutuhan sebagian pasien ini.60 Namun, bagi
beberapa, perawatan paliatif dan penolakan terapi tertentu tidak cukup membahas
menyelesaikan semua masalah mereka. Selama periode sekarat yang berkepanjangan,
mereka mungkin kehilangan kapasitas fungsional, nyeri dan penderitaan,
ketidakmampuan mengalami rasa senang paling sedehana, dan berjam-jam sadar akan
keputusasaan kondisi mereka. Beberapa pasien menganggap hal ini tak tertahankan dan
menginginkan cara tidak menyakitkan untuk mempercepat kematian mereka.
Selain menunda atau menghentikan terapi atau alat, dan memberikan obat-
obatan yang mungkin mengurangi nyeri dan penderitaan sambil secara tak langsung
mempercepat kematian (lihat pembahasan kami sebelumnya tentang aturan efek ganda),
dokter kadang menggunakan apa yang dianggap sebagai cara lebih aktif dalam
menimbulkan kematian pasien. Beberapa berpendapat bahwa pemakaian cara lebih aktif
dalam kedokteran untuk menimbulkan kematian pasien meliputi pembunuhan yang tak
dibenarkan, tapi ada beberapa masalah yang melekat pada ide tersebut bahwa kita bisa
menentukan suatu tindakan tepat dan tidak tepat dengan mempertimbangkan apakah ada
keterlibatan cara aktif. Misalnya, Oregon Death with Dignity Act (ODWDA),61 dimana
perbedaan antara “membiarkan mati” dan “membunuh” tidak digunakan dan tidak
membantu dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Dokter yang bekerja dibawah
ODWDA tidak “membunuh”, sebagaimana diperbolehkan di bawah hukum, mereka
menulis preskripsi obat letal sesuai permintaan pasien. Pasien harus membuat keputusan
dengan sadar penuh untuk menggunakan obat tadi. Bagi mereka yang meminum
obatnya, penulisan resep oleh dokter merupakan tahap yang dibutuhkan dalam proses
yang berujung pada kematian pasien, tapi itu bukan penentu atau tahap terakhir.
Berdasarkan interpretasi istilah tadi, dokter Oregon tidak “membunuh” pasien, atau
“membiarkan pasien mati.” Disini istilah membiarkan mati dan membunuh tidak
memberi pencerahan atau membentu mengevaluasi apa yang terjadi ketika dokter
membantu seseorang lari dari derita penyakit kritis.
Literatur sering memandang masalah tentang bantuan dokter aktif dibawah
payung perlindungan hukum “hak untuk mati”,62 tapi yang mendasari masalah hukum
tersebut adalah perjuangan gigih dari sisi hukum, medis dan etika tentang sifat alami,
cakupan dan pondasi akan hak untuk memilih cara seseorang meninggal dunia. Disini
kami tawarkan beberapa penilaian tentang legalisasi, kebijakan publik dan kebijakan
institusional, tapi kami utamanya tertarik pada apakah tindakan asistensi oleh tenaga
kesehatan profesional itu tadi benar secara moral. Dari sana kami ulas mundur ke
beberapa masalah moral dasar.

Tindakan, praktek dan masalah rumit


Justifikasi suatu tindakan tidak sama dengan justifikasi praktek atau kebijakan yang
mengijinkan atau bahkan melegitimasi dilakukannya suatu tindakan. Aturan praktek
atau kebijakan publik atau hukum yang melarang berbagai bentuk bantuan dalam
kematian di segi medis bisa dijustifikasi bahkan jika mengeksklusikan beberapa
tindakan yang menyebabkan kematian seseorang yang menurut mereka dibenarkan
secara moral. Misalnya, beberapa alasan bisa menjustifikasi hukum yang melarang
dokter membeirkan obat letal. Namun, pada kasus khusus, hal ini bisa dibenarkan secara
etik untuk memberikan obat ke pasien yang menderita nyeri hebat, yang mungkin akan
meninggal dalam beberapa minggu, dan yang membutuhkan kematian dengan belas
kasihan. Dengan demikian, hukum yang bisa dibenarkkan secara etik dan valid mungkin
melarang tindakan yang dibenarkan secara moral pada kasus individu seperti itu.
Masalah yang banyak dibahas adalah bahwa praktek atau kebijakan yang
memungkinkan dokter untuk mengintervensi untuk menyebabkan kematian atau
meresepkan obat letal nanti akan berisiko penyalahgunaan dan bisa menyebabkan lebih
banyak kerugian daripada manfaat. Argumen ini bukan bahwa penyalahgunaan serius
akan terjadi segera, tapi bahwa mereka akan tumbuh sedikit demi sedikit seiring waktu.
Masyarakat bisa mulai dengan membatasi secara ketat jumlah pasien yang memenuhi
syarat untuk dibantu dalam kematiannya, tapi nanti akan melonggarkan batasan ini
sehingga kasus pembunuhan yang tak dibernarkan akan terjadi. Orang jahat akan belajar
bagaimana untuk menyalahgunakan sistem, sama seperti yang mereka lakukan sekarang
dalam menghindari pajak di batas sistem penghindaran pajak yang sah. Singkatnya,
jalan menuju pencabutan nyawa yang tak dibenarkan akan sangat licin dan kita mungkin
tidak akan pernah mencapainya.
Banyak yang mengabaikan argumen ini karena kurangnya data empiris yang
mendukung klaim yang terlibat di dalamnya, begitu juga karena mereka sangat
bergantung pada karakter metaforikal. Namun, beberapa slippery-slope arguments harus
dianggap serius.63 Mereka memaksa kita untuk berpikir apakah ancaman bisa
diakibatkan dari langkah pertama yang atraktif dan tampak baik-baik saja. Jika
masyarakat menyingkirkan beberapa batasan terhadap intervensi yang menyebabkan
kematian, beberapa aspek psikologi dan sosial akan makin mempersulit untuk
mempertahankan distingsi relevan pada prakteknya.
Penentang legalisasi physician-assisted dying bertahan bahwa praktek ini pada
akhirnya akan berujung pada eutanasia, bahwa kualitas perawatan paliatif bagi semua
pasien akan mengalami deteriorasi, bahwa pasien akan dimanipulasi atau dipaksa untuk
meminta mempercepat kematiannya, bahwa pasien dengan gangguan pengambilan
keputusan akan diperbolehkan untuk meminta bantuan semacam itu, dan bahwa anggota
kelompok yang rentan (ekonomi rendah, lansia, imigran, anggota ras dan etnis
minoritas, dst.) akan menerima dampak buruk dalam jumlah yang tak seimbang. Klaim
seperti ini tampak kredibel dibalik cahaya efek diskriminasi sosial berdasarkan
disabilitas, parameter pemotongan biaya dalam pendanaan layanan kesehatan dan
meningkatnya angka lansia dengan masalah medis yang membutuhkan semakin
banyaknya jumlah sumber daya finansial keluarga atau publik. Jika aturan yang
membolehkan physician-assisted dying menjadi kebijakan publik, risiko akan
meningkat bahwa orang dalam populasi ini akan terlantar atau disalahgunakan.
Misalnya, akan ada peningkatan risiko bahwa keluarga dan tenaga kesehatan
profesional mungkin meninggalkan terapi bagi neonatus cacat dan orang dewasa dengan
kerusakan otak berat untuk menghindari beban sosial dan familial. Jika pembuat
keputusan mencapai vonis bahwa beberapa neonatus dan orang dewasa memiliki
penyakit dengan beban yang sangat berlebihan atau hidup tanpa arti, maka logika yang
sama bisa diterapkan ke populasi pasien lain yang lemah dan sakit kritis yang
merupakan beban finansial dan emosional pada keluarga dan masyarakat.
Rasa takut ini dapat dipahami. Aturan moral terhadap secara pasif atau aktif
menyebabkan kematian orang lain bukanlah fragmen terisolasi. Mereka bagaikan
benang dalam serabut aturan yang menyokong kehormatan dalam hidup manusia.
Semakin banyak benang yang kita buang, semakin lemah serabut tadi. Jika kita
berfokus pada modifikasi perilaku dan kepercayaan, bukan aturan saja, pergeseran pada
kebijakan publik juga akan mengikis perilaku umum untuk menghargai hidup. Larangan
sering penting secara instrumental dan simbolis, dan menyingkirkan keduanya bisa
melemahkan perilaku, praktek dan batasan yang kritis.
Aturan yang menentang physician-assisted dying juga memberikan dasar
kepercayaan antara pasien dan tenaga kesehatan profesional. Kita berharap tenaga
kesehatan profesional untuk meningkatkan kesejahteraan kita pada segala kondisi. Kita
mungkin berisiko kehilangan kepercayaan publik jika dokter menjadi agen penyebab
kematian yang disengaja selain menjadi penyembuh dan pemberi perawatan. Namun, di
sisi lain, kita juga berisiko kehilangan kepercayaan jika pasien dan keluarga percaya
bahwa dokter meninggalkan mereka dalam penderitaan karena dokter kekurangan
keberanian untuk menawarkan bantuan yang dibutuhkan di saat paling kelam dalam
kehidupan mereka.64
Keberhasilan atau kegagalan argumen ini pada akhirnya berujung pada prediksi
spekulatif dari erosi progresif batasan moral. Jika konsekuensi buruk akan keluar dari
legalisasi physician-assisted dying dalam yurisdiksi, maka argumen ini akan menjadi
kuat dan praktik semacam itu akan terjustifikasi dalam yurisdiksi. Tapi seberapa kuat
bukti hinga terjadi konsekuensi buruk tadi? Apakah bukti mengindikasikan bahwa kita
tidak bisa mempertahankan distingsi yang kuat pada kebijakan publik antara, misalnya,
kematian yang diminta oleh pasien dan eutanasia involunter?65
Tak banyak penelitian yang mendukung jawaban yang diberikan secara tradisi
atas pertanyaan ini. Sebagian dari kita, termasuk penulis buku ini, yang menganggap
serius argumen tadi harus mengakui bahwa akan membutuhkan premis dalam bentuk
prinsip kehati-hatian, seperti “better safe than sorry.” Kecenderungan erosi moral yang
terjadi bukanlah hal yang bisa kita nilai saat ini. Argumen di tiap sisi akan spekulatif
dan analogis, dan penilai berbeda pada bukti yang sama bisa mencapai simpulan yang
berbeda. Kontroversi alot akan bertahan pada apa yang dianggap baik dan cukup bukti.
Bagaimana perlindungan prosedural Oregon bekerja, atau gagal bekerja, akan tetap
diamati dengan hati-hati. Pengalaman negara bagian tersebut cenderung membentuk
langkah selanjutnya yang harus diambil di negara bagian dan negara lain. Kegagalan
ODWDA akan menjadi kemunduran besar bagi pendukung “hak untuk mati dengan
menggunakan obat preskripsi.”
Namun hingga kini, tidak ada prediksi penyalahgunaan yang muncul di
Oregon.66 Restriksi statuta Oregon tidak melonggar maupun meluas. Tidak ada bukti
bahwa ada pasien yang meninggal tanpa sepersetujuan pasien itu sendiri. Jumlah pasien
yang mencari preskripsi dibawah statua ini juga masih rendah dan stabil (sekitar 60 per
tahun), dan percepatan kematian tidak selalu digunakan oleh individu yang diduga
rentan terhadap intimidasi atau penyalahgunaan. Mereka yang memilih physician-
assisted dying rata-rata berpendidikan menengah ke atas dan memiliki cakupan medis
yang lebih baik dari pada warga Oregon dengan penyakit terminal yang tidak mencari
bantuan dalam meninggal. Wanita, orang dengan disabilitas dan anggota ras minoritas
tidak mencari bantuan dalam meninggal. Banyaknya jumlah orang yang meminta
bantuan dalam meninggal adalah ras kaukasia, dan jenis kelamin peminta
mencerminkan populasi umum. Sementara, laporan mengindikasikan bahwa kualitas
perawatan paliatif sudah membaik di Oregon. Sekitar sepertiga pasien yang meminta
bantuan dalam meninggal pada akhirnya tidak menggunakan obat preskripsi tadi.67
Eksperimen Oregon pada physician-assisted suicide bersifat instruktif dan
meyakinkan pada berbagai aspek, tapi pada akhirnya muncul pertanyaan tentang
generalisabilitasnya sebagai model untuk seluruh Amerika Serikat dan negara lain,
sebagaimana muncul pertanyaan terkait eksperimen nasional lain di Belanda yakni
eutanasia.68

Permintaan valid untuk bantuan saat sekarat (aid-in-dying)


Kini kita bisa menuju pertanyaan inti – apakah beberapa tindakan membantu
kematian orang lain itu dibenarkan secara moral. Hak untuk mengendalikan kematian
seseorang telah bergeser dari penolakan terapi menjadi permintaan untuk aid-in-
dying.69 Mengasumsikan bahwa prinsip menghormati autonomi dan nonmalefisien
membenarkan untuk menghentikan terapi, justifikasi yang sama bisa diperluas pada
dokter yang meresepkan barbiturat atau memberikan bentuk bantuan lain yang diminta
oleh pasien kritis. Strategi ini berdasarkan pada premis bahwa aturan etik dan hukum
profesional harus menghindari inkonsistensi antara (1) hak kuat pilihan autonomi yang
membolehkan seseorang dalam kondisi kritis untuk menolak terapi sehingga
mengakibatkan kematiannya dan (2) penyangkalan hak autonomi serupa untuk
mengatur kematian melalui persetujuan mutual antara pasien dan dokter dibawah
kondisi yang sama kritisnya. Argumen ini paling kuat ketika kondisi yang ada sangat
membebani pasien, manajemen nyeri gagal memberi rasa nyaman bagi pasien dan
hanya dokter yang bisa dan bersedia untuk meringankan pasien tersebut. Saat ini, medis
dan hukum di sebagian besar yurisdiksi di Amerika Serikat ada di posisi canggung
untuk mengatakan hal ini ke pasien semacam itu, “Jika anda ada dalam terapi penopang
hidup, anda memiliki hak untuk menghentikan terapi dan kemudian kami bisa
membiarkan anda untuk meninggal. Tapi karena anda saat ini tidak, kami hanya bisa
membolehkan anda untuk menolak nutrisi dan hidrasi atau memberikan perawatan
paliatif hingga anda meninggal secara alami, tak peduli seberapa sakitnya, tak
bermartabat dan mahal.”
Jelas bahwa dua tipe otorisasi – penolakan terapi dan permintaan unuk aid-in-
dying – tidak sejalan dengan sempurna. Tenaga kesehatan profesional berkewajiban
untuk menghargai penolakan otonom terkait alat medis penopang hidup, tapi dia tidak
berkewajiban dalam kondisi biasa untuk menghargai permintaan otonom untuk aid-in-
dying. Namun, masalah kunci adalah bukan apakah dokter berkewajiban untuk
membantu dalam kematian, tapi apakah permintaan valid membuatnya diizinkan bagi
dokter (atau beberapa orang lain) untuk membantu aid-in-dying.
Tanggung jawab seorang dokter ke pasien bisa bergantung pada sifat permintaan
yang dibuat begitu juga sifat hubungan dokter-pasien yang telah ada sebelumnya. Pada
beberapa kasus tentang kepatuhan dokter terhadap permintaan, pasien dan dokter
mengejar kepentingan terbaik pasien dibawah persetujuan bahwa dokter tidak akan
meninggalkan pasien dan akan menjalankan apa yang menurut mereka berdua
kepentingan terbaik bagi pasien. Pada beberapa kasus, pasien berhubungan yang
berhubungan dekat dengan dokter keduanya menolak alat medis dan meminta
mempercepat kematian untuk mengurangi nyeri atau penderitaan. Penolakan dan
permintaan bisa jadi bagian sebuah rencana tunggal. Jika dokter menerima rencana,
beberapa bentuk bantuan muncul dari hubungan yang telah ada sebelumnya. Dari
perspektif ini, permintaan valid untuk aid-in-dying akan membebaskan responder dari
beban moral kematian, sama halnya seperti penolakan yang valid.
Argumen ini menunjukkan bahwa menyebabkan kematian seseorang itu salah
secara moral, ketika itu salah, karena intervensi tanpa izin akan menghalangi
kepentingan seseorang. Ini merupakan tindakan tak dibenarkan ketika itu merenggut
kesempatan dan kebaikan orang yang meninggal.70 Namun, jika orang tersebut dengan
bebas mengizinkan kematian, pembuatan keputusan otonom bahwa penghentian nyeri
dan penderitaan melalui kematian akan memberikan manfaat personal bukannya
halangan terhadap kepentingan, kemudian aid-in-dying aktif sesuai permintaan pasien
akan tidak akan melibatkan harming atau wronging. Membantu orang otonom sesuai
permintaannya akan kematian adalah dari sudut pandang ini, suatu cara untuk
menunjukkan rasa hormat pada pilihan orang itu sendiri. Sama halnya, menolak akses
seseorang ke individu lain yang ingin dan mampu memenuhi permintaan seseorang
menunjukkan suatu rasa tidak hormat yang mendasar pada otonomi seseorang.

Bantuan dokter yang tidak dibenarkan untuk mati


Faktanya adalah bahwa permintaan pasien sendiri pada bantuan untuk mati
haruslah dihormati dalam beberapa keadaan dan tidak pula semua kematian yang
dibantu dokter dengan permintaan pasien dapat di benarkan. Praktisi Jack Kevorkian
memberikan suaru contoh sejarah yang penting dari jenis bantuan dokter yang tidak
dibenarkan dimana masyarakat harus menghalangi dan bahkan melarangnya. Pada kasus
pertamanya adalah membantu dalam kasus bunuh diri, Janet Atkins seseorang nenek di
Oregon dengan penyakit Alzeimer, mencapai keputusan untuk mengakhiri hidupnya
daripada harus kehilangan kemampuan kognitifnya, yang mana dia diyakinkan bahwa
hal itu akan sekmakin memburuk. Setelah Adkins membaca di surat kabar bahwa
Kevorkian telah menciptakan suatu alat kematian, dia berkomunikasi dengannya melaui
telfon dan kemudian terbang dari Oregon ke Michigan untuk bertemu dengannya.
Mengikuti diskusi singkat, dia dan Kevorkian berkendara ke suatu taman di kota
Northam Oakland. Dia memasukkan suatu pipa kecil di tangannya dan memulai aliran
larutan garam saline. Mesinnya dikonstruksi agar Adkin dapat menekan tombol untuk
dapat menyuntikkan obat obatan yang lain, dan mengakhirinya dengan pottasium
clorida, yang akan mengakhiri hidupnya. Dia kemudian menekan tombolnya.71
Kasus ini menghasilkan beberapa perhatian. Janed adkins masih dinyatakan
menderita alzeimer tingkat pertama dan belum terlalu lemah. Pada usia 54 tahun, dia
masih dapat menikmati seluruh jadwal aktivitasnya dengan suaminya dan bermain tenis
dengan anak laki-lakinya. Dan mungkin dia masih dapat hidup dalam kehidupan yang
penuh arti untuk beberapa tahun lagi. Kemungkinan kecil bahwa diagnosa alzeimer
tersebut tidak benar, dan mungkin dia lebih tertekan secara psikologi daripada yang
dinilai oleh Kevorkian. Dia memiliki hubungan yang terbatas dengannya sebelum
berkolaborasi pada kematiannya. Dan dia tidak mendaftarkan pengujiannya untuk
mengkonfirmasi apakah diagnosanya atau tingkat kompetensinya untuk melakukan
bunuh diri. Benar, dia kurang memiliki keahlian profesional untuk mengevaluasinya
secara medis dan psikologis. Sorotan perhatian media juga memunculkan pertanyaan
apakah Kevorkian bertindak dengan tidak bijak untuk menghadirkan pempublikasian
untuk tujuan sosial dan untuk buku keempatnya yang akan datang.
Pengacara, dokter dan penulis dalam bioetik hampir secara universal tidak
menyukai tindakan Kevorkian. Kasus ini memunculkan ketakutan yang hadir dalam
argumen yang disebutkan sebelumnya tentang kematian yang dibantu dokter: kurangnya
kontrol sosial, tidak cukupnya pengetahuan medis, tidak adanya akuntabilitas, dan tidak
dapat di erifikasinya keadaan kematian seseorang pasien. Walaupun pendekatan
Kevorkian untuk membantu bunuh diri sangat mengecewakan, bebrapa pasiennya
memunculkan pertanyaan yang menyulitkan tentang kurangnya sistem pendukung
kesehatan untuk menangani masalah mereka. Memiliki pemikiran hampir setahun
tentang masa depannya, janet adkins memutuskan itu penderitaan berlanjut dan
melebihi manfaatnya. Keputusannya didukung oleh keluarga. Dia menghadapi masa
depan yang suram dari sudut pandang seseorang yang menghadapi kehidupan yang luar
biasa kuat, baik secara fisik maupun mental. Dia meyakini bahwa otaknya akan
perlahan mengalami kemunduran, secara progresif dan kehilangan fungsi kognitif,
bingung, kehilangan fungsi memori, frustasi berat, dan kehilangan kemampuan dalam
merawat diri. Dia juga percaya bahwa beban tanggung jawab untuk perawatannya akan
jatuh pada keluarganya. Dari sudut pandangnya, anjuran Kevorkian lebih baik daripada
yang anjuran yang diberikan oleh dokter lain, yaitu penolakan dalam membantu
kematiannya seperti yang dia inginkan.

Bantuan dokter yang dibenarkan pada kematian

Menyeimbangkan beberapa kesalahan dari Strategi Kevorkian ialah pada kasus bantuan
bunuh diri yang dibenarkan. Pertimbangan tindakan dokter Timothy Quill dalam
meresepkan barbiturat yang diinginkan oleh pasien berusia empat puluh lima tahun
yang menolak pengobatan dengan resiko tinggi, menyakitkan, dan sering kali tidak
berhasil pada kasus leukemia. Dia telah menjadi pasiennya selama bertahun-tahun. Dia
dan anggota keluarganya telah menyepakati tindakan tersebut sesuai keinginannya. Dia
sangat kompeten dan telah mendiskusikan dan menolak semua alternatif yang tersedia
untuk menghilangkan penderitaan. Kasus ini memenuhi persyaratan yang cukup untuk
membenarkan bantuan dokter dalam mengakhiri hidup. Kondisi ini termasuk:

1. Permintaan sukarela oleh pasien yang kompeten


2. Hubungan pasien-dokter yang berkelanjutan
3. Pengambilan keputusan secara bersama dan berdasarkan informasi oleh pasien
dan dokter
4. Lingkungan yang mendukung dalam pengambilan keputusan dengan tetap
menyelidiki dan kritis
5. Penolakan terhadap alternatif yang diberikan
6. Konsultasi terstruktur dengan pihak lain dalam dunia kedokteran
7. Ekspresi menetap pasien tentang preferensi terhadap kematian
8. Penderitaan yang tidak dapat diterima oleh pasien
9. Penggunaan sarana yang tidak menimbulkan rasa sakit dan senyaman mungkin

Meskipun tindakan Quill memuaskan pada kondisi ini, namun beberapa orang
menyatakan keterlibatan sebagai seorang dokter yang melanggar dan tidak dapat
dibenarkan. Beberapa kritikus menggunakan argumen slippery-slope, karena tindakan
seperti Quill jika dilegalkan, dapat mempengaruhi banyak pasien, terutama orang tua.
Beberapa orang gelisah dengan tindakan yang di lakukan Quill, yang ternyata
melanggar hukum New York State terhadap bunuh diri yang dibantu. Risiko
pertanggungjawaban pidana, terlebih lagi Quill berbohong kepada medis, untuk
mengurangi pemeriksaan yang melibatkan dirinya bahwa pasien rumah sakit telah
meninggal karena leukemia akut.72
Terlepas dari masalah ini, kami tidak mengkritik niat dasar Quill dalam
menangani pasien, keputusan pasien, atau hubungan mereka. Penderitaan dan
kehilangan kemampuan kognitif dapat merusak dan merendahkan pasien begitu parah
sehingga kematian adalah pilihan terbaik mereka. Dalam situasi yang tragis ini atau
dalam antisipasinya seperti dalam kasus-dokter ini, Quill tidak bertindak salah dalam
membantu pasien yang kompeten, atas permintaan mereka, untuk membawa kematian.
Isu-isu kebijakan publik tentang bagaimana menghindari pelanggaran dan mencegah
tindakan yang tidak dapat dibenarkan harus menjadi bagian utama dari diskusi kita
mengenai bentuk-bentuk bantuan dokter yang tepat, tetapi masalah ini seharusnya tidak
mempengaruhi pembenaran moral dari tindakan dokter dalam membantu kematian
pasien dalam konteks merawat pasien.

Daftar Pustaka
52. Ramsey, Ethics at the Edges of Life, p. 172.
53. President's Commission, Deciding to Forego Life-Sustaining Treatment.
54. See Frank A. Chervenak and Laurence B. McCullough, "Nonaggressive Obstetric Management." JAMA:
Journal of the American Medical Association 261 (June 16, 1989): 3439-40; and their "The Fetus as Patient:
Implications for Directive versus Nondirective Counseling for Fetal Benefit," Fetal Diagnosis and Therapy 6
(1991): 93-100.
55. Albert R. Jonsen and Michael J. Garland, "A Moral Policy for Life/Death Decisions in the Intensive Care
Nursery," in Ethics of Newborn In University of California, Institute of Governmental Studies, 1976), p. 148. A
report fro tensive Care, ed. Jonsen and Garland (Berkeley, CA: m the Nuffield Council on Bioethics uses the
concept of "intolerability" to describe situations where life-sustaining treatment would not be in the baby's "best
interests" because of the burdens imposed by "irremediable suffering." Critical Care Decisions in Fetal and
Neonatal Medicine: Ethical Issues (London: Nuffield Council on Bioethics, 2006). An overview of the
development of "neonatal bioethics" indicates that physicians' judgments about neonatal intensive care now
include both the baby's chances for survival and his or her anticipated quality of life. See John Lantos and
William L. Meadow, Neonaial Bioethics: The Moral Challenges of Medical Innovation (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 2006), p 10 et passim
56. See Steinbock and Norcross, Killing and Letting Die. 2nd ed.; Tom L. Beauchamp, ed., Intending Death (Upper
Saddle River, NJ: Prentice Hall, 1996); Jeff McMahan, "Killing, Letting Die, and Withdrawing Aid," Ethics
103 (1993): 250-79; David Orentlicher, "The Alleged Distinction between Euthanasia and the Withdrawal of
Life-Sustaining Treatment: Conceptually Incoherent and Impossible o Maintain," University of Illinois Law
Review (1998): 837-59; and James Rachels, "Killing, Letting Die, and the Value of Life," in his Can Ethics
Provide Answers? And Other Essays in Moral Philosophy (Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 1997), pp. 69-
79.
57. Assisted.suicide is the term often used to describe this practice. Although we sometimes use this term, we also
use broader language, such as "physician-assisted dying" or physician-arranged dying. e to find euphemisms
but because the broader language provides a more accurate Although the term suicide has the small advantage
of indicating that the one whose death the final act, other conditions such as prescribing and transporting t
because of a desir description. brought authorizes or performs substances may be as causally relevant as the
"final act" itself. For related conceptu ranklin G. Miller, Robert D. Truog, and Dan W. Brock, "Moral Fictions
and Medical Ethics." see F Bloethics 24 (2010): 453-60.
58. Howard Brody, "Messenger Case: Lessons and Reflections," Ethics-In-Formation 5 (1995): 8-9; John Roberts,
(August 13, 1994): 430. "Doctor Charged for Switching off His Baby's Ventilator," British Medical Journal 309
59. Cf. James Rachels, "Active and Passive Euthanasia," New England Journal of Medicine 292 (January 9 1975):
78-80; Franklin G. Miller, Robert D. Truog, and Dan W. Brock, "Moral Fictions Medical Ethics," Bioethics 24
(2010): 453-60; Roy W. Perrett, "Killing, Letting Die and the Bare Difference Argument," Bioethics 10 (1996):
131-39; and Dan W. Brock, "Voluntary Active Euthanasia," Hastings Center Report 22 (March-April 1992):
10-22
60. See Joseph J. Fins, A Palliative Ethic of Care: Clinical Wisdom at Life's End (Sudbury, MA: Jones & Bartlett,
2006); and Joanne Lynn et al., Improving Care for the End of Life: A Sourcebook for Health Care Managers
and Clinicians (New York: Oxford University Press, 2007).
61. Oregon Death with Dignity Act, Ore. Rev. Stat. S 127.800 et seq. This act explicitly rejects the la guagc of
"physician-as for medication to end one's life in a humane and dignified manne sisted suicide." It prefers the
language of a right patients have to make a "request
62. See Lawrence O. Gostin, "Deciding Life and Death in the Courtroom: From Quinlan to Cruzan, rg, and Vacco-
A Brief History and Analysis of Constitutional Protection of the 'Right to Die,'" JAMA: Journal of the
American Medical Association 278 (November 12, 1997): 1523-28; and Yale Kamisar, "When Is There a
Constitutional Right to Die? When Is There No Constitutional Right to Live?" Georgia Law Review 25 (1991):
1203-42
63. For discussions, see Douglas Walton, Slippery Slope Argumenis (Oxford: Clarendon, 1992); Govert den
Hartogh, "The Slippery Slope Argument," in A Companion to Bioethics. 2nd ed., ed. Helga Kuhse and Peter
Singer (Malden, MA: Wiley-Blackwell, 2009): 321-31; Christopher James Ryan, "Pulling up the Runaway: The
Effect of New Evidence on Euthanasia's Slippery Slope." Journal Medical Ethics 24 (1998): 341-44; Bernard
Williams, "Which Slopes Are Slippery?" in Moral ichael Lockwood (Oxford: Oxford University Press, 1985).
ilemmas in Modern Medicine, ed. M 37; and James Rachels, The End of Life: Euthanasia and Morality
(Oxford: Oxford University Press, 1986), chap. 10\\
64. See Timothy E. Quill and Christine K. Cassel, "Nonabandonment: A Central Obligation for Physicians," in
Physician-Assisted Dying: The Case for Palliative Care and Patient Choice, ed. Quill and Margaret P. Battin
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2004), chap. 2.
65. See Franklin G. Miller, Howard Brody, and Timothy E. Quill, "Can Physician-Assisted Suicide Be Regulated
Effectively?" Journal of Law, Medicine and Ethics 24 (1996): 225-32. Defenders of slippery-slope arguments
in this context include John Keown, Euthanasia. Ethics and Public Policy: An Argument Against Legislation
(Cambridge: Cambridge University Press, 2002); J. Pereira, "Legalizing Euthanasia or Assisted Suicide: The
Illusion of Safeguards and Controls." Current Oncology 18 (April 2011): e38-45; and David Albert Jones, "Is
There a Logical Slippery Slope from ntary to Nonvoluntary Euthanasia?" Kennedy Institute of Ethics Journal
21 (2011): 379-404 Opponents include L. W. Sumner, Assisted Death: A Study in Ethics and Law (New York:
Oxford University Press, 2011); and Report of the Royal Society of Canada Expert Panel, End-of-Life Decision
Making (Ottawa, ON: The Royal Society of Canada, December 2011), available at http:/www.rsc.ca/
documents/RSC_EOL_1 3_25_Twenty-five EN FINAL.pdf (accessed February 3. 2012). After examining the
laws and practical experience of jurisdictions around the world that au thorize assisted tter concludes: "Despite
the fears of opponents, it is...clear that the much- lippery slope has not emerged following decriminalization, at
least not in those jurisdictions for which evidence is available" (p. 90)
66. See, for example, Timothy E. Quill, Legal Regulation of Physician-Assisted Death-The Latest Report Cards,"
New England Journal of Medicine 356 (May 10, 2007): 1911-13: Susan Okie, "Physician- Assisted Suicide-
Oregon and Beyond," New England Journal of Medicine 352 (April 21, 2005): 1627-30; and Courtney
Campbell, "Ten Years of Death with Dignity." New Atlantis (Fall 2008): 33-46.
67. The information in this paragraph appears in the annual reports by the Oregon Department of Human Services.
See Oregon's Death with Dignity Act-2010, and previous annual reports, available at
http://public.health.oregon.gov/Provider PartnerResources/EvaluationResearch/Deathwith DignityAct/
Pages/index.aspx (accessed February 3, 2012). See also The Oregon Death with Dignity Act: A Guidebook for
Health Care Professionals Developed by The Task Force to Improve the Care of Terminally-Ill Oregonians,
convened by The Center tor Ethics in Health Care, Oregon Health & Science University. First Edition (print):
March 1998; Current Edition (2008 online; updated as informa- tion becomes aveilable):
http://www.ohsu,edu/xd/education/continuing-education/center-for-ethics/ ethics-outreach/upload/Oregon-
Death-with-Dignity-Act-Guidebook.pdf (accessed December 6, 2011).
68. See Report of the Royal Society of Canada Expert Panel, End-of-Life Decision Making, which examines the
international experience with laws authorizing assisted dying; and Guenter Lewy, Assisted Death in Europe and
America: Four Regimes and Their Lessons (New York: Oxford University Press, 2011).
69. See Bernard Gert, James L. Bernat, and R. Peter Mogielnicki "Distinguishing between Patients Refusals and
Requests," Hastings Center Report 24 (July-August 1994): 13-15; Leigh C. Bishop et al.. "Refusals Involving
Requests" (Letters and Responses), Hastings Center Report 25 July-August : 4; and Diane E. Meier et al., "On
the Frequency of Requests for Physician Assisted Suicide in n Medicine," New England Journal of Medicine
338 (April 23, 1998) 1193-1201.
70. Cf. Allen Buchanan, "Intending Death: The Structure of the Problem and Proposed Solutions," in Intending
Death, ed. Beauchamp, esp. pp. 34-38; Frances M. Kamm, "Physician-Assisted Suicide, the Doctrine of Double
Effect, and the Ground of Value," Ethics 109 (1999): 586-605; and Matthew Hanser, "Why Are Killing and
Letting Die Wrong?" Philosophy and Public Affairs 24 (1995): 175-201.
71. New York Times, June 6, 1990, pp. Al, B6; June 7, 1990, pp. A1, D22; June 9, 1990, p. A6; June 12, 1990, p.
C3; Newsweek, June 18, 1990, p. 46. Kevorkian's own description is in his Prescription: Medicide (Buffalo,
NY: Prometheus Rooks, 1991), pp. 221-31.
72. Timothy E. Quill, "Death and Dignity: A Case of Individualized Decision Making." New England Journal of
Medicine 324 (March 7, 1991): 691-94, reprinted with additional analysis in Quill, Deatlh and Dignity (New
York: Norton, 1993).

Anda mungkin juga menyukai