Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antomi Paru-paru (Pulmones)


Paru (pulmo) adalah organ vital respirasi. Fungsi utamanya adalah
mengoksigenasi darah dengan membawa udara yang diinspirasi ke dekat darah
vena pada kapiler paru. Dimulai pada larynx, dinding saluran napas ditopang oleh
cincin cartilage hyaline berbentuk sepatu kuda atau huruf C. Saluran napas
sublaryngeal merupakan pohon trakeobronkial. Trachea, yang terletak di dalam
mediastinum superior, merupakan batang pohon. Trachea akan bercabang dua
setinggi bidang thoracia transverses menjadi bronkus-bronkus utama (primer),
masing-masing ke setiap paru, yang berjalan inferolateral yang masuk ke dalam
paru pada hila.
Setiap bronkus utama membagi menjadi bronkus lobaris, dua di kiri dan
tiga di kanan, masing-masing menyuplai lobus paru. Setiap bronchus lobaris
terbagi menjadi beberapa bronchus segmentalis yang menyuplai segmen-segmen
bronchopulmonal. Di luar cabang langsung bronkus segmental adalah dari 20-25
generasi cabang yang akhirnya berakhir pada bronchioles terminalis. Setiap
bronciolus terminal menghasilkan beberapa generasi bronchioles respiratorius,
dan setiap bronchioles respiratorius membentuk 2-11 ductus alveolaris yang
dilapisi oleh alveolus. Alveolus paru merupakan unit struktural dasar pertukaran
gas dalam paru (Moore, 2013).
Paru (kanan dan kiri) terletak di samping kanan dan kiri mediastinum. Di
antaranya, di dalam mediastinum, terletak jantung dan pembuluh darah besar.
Paru berbentuk kerucut dan diliputi oleh pleura visceralis. Paru tergantung bebas
dan dilekatkan pada mediastinum oleh radiksnya. Paru kanan sedikit lebih besar
dari paru kiri, dan dibagi oleh fissura obliqua dan fissura horizontalis menjadi tiga
lobus; lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Paru kiri dibagi oleh satu
fissura (fissura obliqua) menjadi dua lobus: lobus superior dan lobus inferior
(Snell, 2012).

4
5

2.2 Tuberkulosis Paru


2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar
melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (Kemenkes
RI, 2014).

2.2.2 Epidemiologi
Sepertiga dari populasi dunia sudah terinfeksi oleh kuman TB.
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 menyatakan
bahwa terdapat 9,4 juta kasus baru TB, dan 1,7 juta orang meninggal
karena TB pada tahun 2009. Sebanyak 75% dari individu yang terinfeksi
kuman TB berada dalam kelompok usia 15-54 tahun (Hartono, 2014).
Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%)
terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang. Di antara mereka 75%
berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang
padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB
yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia (Amin, 2014).

2.2.3 Etiologi
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah Mycobacterium
tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai
ukuran 0,5-4 mikron × 0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus
atau agak bengkok, bergranular atau tidak mampunyai selubung, tetapi
mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipid (terutama asam
mikolat) (Widoyono, 2011).

2.2.4 Klasifikasi
Pembagian secara Patologis:
a. Tuberkulosis primer (childhood tuberculocis)
b. Tuberkulosis post-primer (adult tuberculosis)
6

Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klisifikasi baru


yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.
a. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat
kontak negatif, tes tuberkulin negatif.
b. Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi.
Disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.
c. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes
tuberkulin positif, radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis, dan mikrobiologis:
a. Tuberkulosis paru
b. Bekas tuberkulosis paru
c. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
a). Tuberkulosis paru tersangka yang diobati. Di sini sputum BTA
negatif tetapi tanda-tanda lain positif.
b). Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Disini sputum
BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.

2.2.5 Patogenesis
Mycobacterium tuberculosis memiliki suatu strategi patogenik:
pertama, mikroorganisme ini harus sukses bereplikasi dalam makrofag
hospes (makrofag alveoli); kedua, mikroorganisme ini harus tahan
terhadap respon imun hospes atau memodifikasi respon imun hospes yang
dapat menghambat replikasi mikroorganisme ini; ketiga, Mycobacterium
tuberculosis harus dapat bertahan dalam tubuh hospes pada stadium inaktif
sehingga berpotensi untuk menimbulkan reaktivasi di kemudian hari
(Mertianiasih, 2013).
Tuberkulosis merupakan penyakit kronis dengan fase kekambuhan-
penyembuhan berulang. Perjalanan infeksi Mycobacterium tuberculosis
dimulai dari akibat transmisi mikroba atau basil dari lesi jaringan organ
7

individu ke individu lain terutama melalui partikel terpercik (droplets


nuclei) yang merupakan suatu unit penularan (infectious units) dari paru
(Mertianiasih, 2013).
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak di dalam
sito-plasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan ber-bentuk sarang-
sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek
primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi disetiap
bagian jaringan paru. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi
penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB millier (Amin, 2014).
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis local), dan juga diikuti pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limfadenitis regional). Kompleks primer ini
selanjutnya dapat menjadi:
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak
terjadi.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotic, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi
pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ±10% di antaranya dapat
dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar secara : a). per kontinui-tatum, yakni
menyebar ke sekitarnya, b). secara bronkogen pada paru yang
bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga
tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c).
secara limfogen, ke organ tubuh lain-lainnya, d). secara
hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis
dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder).
Mayoritas reinfeksi mencapai 90% (Amin, 2014).
8

Infeksi pasca primer, apabila infeksi tidak mendapat pengobatan


obat antituberkulosis (OAT) yang tepat serta tergantung pada keadaan
imunitas penderita, maka infeksi ini dapat berkembang menjadi infeksi
pasca primer yang tidak progresif atau terjadi suatu lesi yang progresif
(Mertaniasih, 2013).

2.2.6 Manifestasi Klinis


Sebagian besar orang yang mengalami infeksi primer tidak
menunjukkan gejala yang berarti. Namun, pada penderita infeksi primer
yang menjadi progresif dan sakit (3-4% dari yang terinfeksi), gejalanya
berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Perjalanan penyakit dan
gejalanya bervariasi tergantung pada umur dan keadaan penderita saat
terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise. Demam timbul pada
petang dan malam hari disertai dengan berkeringat. Demam ini mirip
dengan demam yang disebabkan oleh influenza umum kadang-kadang
dapat mencapai suhu 40-41oC. Gejala demam ini bersifat hilang timbul.
Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa
lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan.
Pada wanita dapat terjadi amenorea. Gejala respiratorik berupa batuk
kering ataupun batuk produktif merupakan gejala yang paling sering
terjadi dan merupakan indikator yang sensitif untuk penyakit tuberkulosis
paru aktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena perkembangan
penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran
nodus limfe pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura,
ekstensi radang parenkim atau miliar. Nyeri dada biasanya bersifat nyeri
pleuritik karena terlibatnya pleura dalam proses penyakit. Hemoptisis
mulai dari yang ringan sampai yang masif mungkin saja terjadi
(Djojodibroto, 2015).
Pada reaktifasi tuberkulosis, gejalanya berupa demam menetap
yang naik dan turun (hectic fever), berkeringat pada malam hari yang
menyebabkan basah kuyup (drenching night sweat), kaheksia, batuk
9

kronik dan hemoptisis. Pemeriksaan fisik sangat tidak sensitif dan sangat
nonspesifik terutama pada fase awal penyakit. Pada fase lanjut diagnosis
lebih mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, terdapat demam,
penurunan berat badan, crackle, mengi dan suara bronkial. Tidak jarang
terjadi pula efusi pleura (Djojodibroto, 2015).

2.2.7 Faktor Risiko


Faktor risiko tertinggi dari tuberkulosis paru adalah:
a. Usia
Pada usia lanjut terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga
rentan tertular/terinfeksi TB paru. Selain itu pada usia lanjut terjadi
penambahan diameter anteroposterior dada, kekakuan otot, dan
penurunan fungsi paru sehingga memudahkan terjadinya penyakit
cardiopulmonal. Patogenesis TB paru pada usia lanjut diduga
berasal dari reaktivasi fokus dorman yang telah terjadi puluhan
tahun sebelumnya (Misnadiarly, 2007).

b. Jenis Kelamin
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada
perempuan. Pada masing-masing provinsi di seluruh Indonesia
kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan
terjadi di Kep. Bangka Belitung, kasus pada laki-laki hampir dua
kali lipat dari kasus pada perempuan (Kemenkes RI, 2014).

c. Riwayat Diabetes mellitus


Kejadian infeksi paru pada penderita diabetes mellitus (DM)
merupakan akibat kegagalan sistem pertahanan tubuh, dalam hal
ini paru mengalami gangguan fungsi pada epitel pernapasan dan
juga motilitas silia. Gangguan fungsi dari endotel kapiler vaskular
10

paru, kekakuan korpus sel darah merah, perubahan kurva disosiasi


oksigen akibat kondisi hiperglikemia yang lama menjadi faktor
kegagalan mekanisme pertahanan melawan infeksi (Wulandari,
2013).

d. Infeksi HIV
Penyakit HIV merusak fungsi imunitas seluler yang diperlukan
untuk mencegah reaktivasi tuberkulosis dan tingkat reaktivasi
antara HIV positif, pasien PPD-positif dapat setinggi 7-10% per
tahun (Ringel, 2012).
Infeksi HIV meningkatkan kemungkinan perkembangan dari
infeksi Mycobacterium tuberculosis untuk tuberkulosis aktif.
Risiko mengembangkan tuberkulosis pada orang dengan HIV
adalah antara 20 dan 37 kali lebih besar dibandingkan mereka yang
tidak memiliki infeksi HIV. Pasien dengan infeksi HIV yang
memiliki tuberkulosis paru memiliki kemungkinan basil tahan
asam yang terdeteksi dengan pemeriksaan sputum lebih rendah
Selain itu, data secara konsisten menunjukkan bahwa dada fitur
radiografi adalah atipikal dan proporsi tuberkulosis paru lebih
besar pada pasien dengan infeksi HIV lanjut dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki infeksi HIV (TB CARE I, 2014).

2.3 Kerangka Konsep

Faktor Risiko:
 Usia
 Jenis kelamin
Tuberkulosis Paru  Riwayat Diabetes
mellitus
 Infeksi HIV

Anda mungkin juga menyukai