Preskas Annisa Mardhiyah - Hemoptisis Ec TB Paru
Preskas Annisa Mardhiyah - Hemoptisis Ec TB Paru
Oleh:
Annisa Mardhiyah
NIM 1113103000054
Pembimbing:
dr. Darma Setya Kusuma, Sp.P
Bismillahirahmanirahim.
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat Izin dan
Rahmat-Nya lah saya dapat menyelesaikan case dalam Kepaniteraan Klinik Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di RSUP
Fatmawati.
Shalawat dan salam saya haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang-
benderang dan penuh dengan ilmu pengetahuan seperti ini, semoga kita senantiasa
menjadi pengikutnya hingga akhir zaman.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada para pengajar, fasilitator, serta narasumber SMF Ilmu Paru RSUP Fatmawati
khususnya dr. Darma Setya Kusuma, Sp.P selaku pembimbing.
Saya menyadari case ini tidak luput dari kekurangan dan jauh dari sempurna,
oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak.
Demikian yang dapat saya sampaikan, Insya Allah makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 8 Januari 2017
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
ILUSTRASI PASIEN
1. Identitas Pasien
2. Anamnesis
Keluhan utama : Batuk darah lima hari sebelum pasien masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami batuk keluar darah sebanyak tiga kali sebelum pasien
masuk rumah sakit, yaitu pada tanggal 2, 4, dan 6 Januari 2017. Darah berwarna
merah segar dan disertai warna kehitaman. Saat keluar darah disertai batuk dan
juga rasa mual. Volume darah yang keluar sekitar satu gelas. Sebelumnya pasien
sudah merasakan keluhan batuk berdahak warna putih selama satu bulan.
Keluhan tersebut disertai badan lemas, penurunan berat badan dan nafsu makan.
Keringat di malam hari (+), sesak (+), mual (+) demam naik turun (+).
Sebelumnya pasien sudah berobat ke RS di tempat tinggal dan diberi obat batuk,
tetapi keluhan tidak membaik. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada
keluhan.
4
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluhan yang serupa di keluarga pasien. Tidak ada riwayat penyakit
paru di keluarga pasien. Kakek dan ibu pasien menderita diabetes mellitus. Ibu
pasien meninggal karena diabetes mellitus.
Pasien jarang berolahraga. Pola makan pasien tidak menentu, pasien makan
tiga kali sehari, tetapi waktu makannya tidak teratur. Pasien senang
mengkonsumsi jamu beras kencur.
3. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
TD = 110/70 mmHg
FN = 90x/menit
FP = 18x/menit
Suhu = 36,7oC
5
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
Paru :
Inspeksi dada Kanan Kiri
Depan Dada simetris saat statis dan dinamis
Barrel chest (-)
Belakang Dada simetris saat statis dan dinamis
Barrel chest (-)
Palpasi dada Kanan Kiri
Depan Fremitus raba kanan dan kiri sama, normal
Belakang Fremitus raba kanan dan kiri sama, normal
Perkusi dada Kanan Kiri
Depan Sonor Sonor
Belakang Sonor Sonor
Auskultasi paru Kanan Kiri
Depan Vesikuler, Vesikuler,
wheezing (-), rhonki(-), wheezing (-), rhonki(-),
Belakang Vesikuler, Vesikuler,
wheezing (-), rhonki(-), wheezing (-), rhonki(-),
6
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
30/12/16
7
Keton Darah 1.00 0.00 - 0.60 mmol/l
ANALISA GAS
DARAH
pH 7,401 7,370 - 7,440
pCO2 27,9 35 - 45mmHg
pO2 116,5 83 - 108 mmHg
BP 762,0
HCO3 16,9 21 - 28mmol/L
O2 saturasi 98,3 95 - 99 %
BE -6,2 -2,5 - 2,5 mmol/L
Total CO2 17,8 19 - 24 mmol/L
03/01/17
03/01/17 Nilai Rujukan
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Glukometer 142 <90
KIMIA KLINIK
LEMAK
Trigliserida 99 <150 mg/dl
Kolesterol total 109 <200 mg/dl
Kolesterol HDL 25 34 - 88 mg/dl
Kolesterol LDL 77 < 130 mg/dl
direk
04/01/17
04/01/17 NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Glukometer 226 <90
HEMATOLOGI
LED 77 0,0-10,0 mm
05/01/17
05/01/17 NILAI RUJUKAN
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
LED 78 0,0-10,0 mm
8
HEMOSTASIS
APTT 31,7 26,3 - 40,3 detik
Kontrol APTT 30,7
9
Pemeriksaan Radiologi
28/12/2016
10
Diagnosis banding
- Pneumonia
- Bronkitis
- Hematemesis
6. Tatalaksana
Suportif
Medikamentosa
- Rifamipisin 450 mg 1 x 1
- Isoniazid 300 mg 1 x 1
- Pirazinamid 1000 mg 1 x 1
- Etambutol 1000 mg 1 x 1
Tatalaksana simptomatis
- Codein 10 mg 3 x 1
- Omeprazol 40 mg 1 x 1
- Ondansetron 4 mg 3 x 1
7. Prognosis
- Ad vitam : bonam
- Ad fungsionam : bonam
- Ad sanationam : bonam
8. Anjuran
- Pemeriksaan sputum BTA sediaan langsung sebaiknya dilakukan sebanyak
tiga kali (SPS)
- Pemeriksaan sputum biakan mikroorganisme
11
- Konsultasi ke penyakit dalam untuk memastikan apakah ada sumber
perdarahan dari saluran gastrointerstinal
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis.
3.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2016, diketahui bahwa terdapat sekitar 10,4
juta kasus TB baru di seluruh dunia pada tahun 2015, dimana 56% kasus terjadi pada
laki-laki, 34% perempuan, dan 10% kasus anak. Dari jumlah tersebut, 60% berasal
dari India, Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan dengan angka
tertinggi di India yaitu 2,8 juta. Jumlah kasus baru ini meningkat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang berdasarkan laporan WHO tahun 2015 berjumlah 9,6
juta kasus.
13
3.1.3 Etiologi
TB disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis
merupakan bakteri yang bersifat tahan asam, berbentuk batang lurus, dan berukuran
lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Struktur utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat
yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Selain itu dinding M. tuberculosis memiliki lapisan lemak yang tinggi
(60%). Struktur dinding yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol
3.1.4 Patogenesis
Kuman TB dapat ditularkan melalui udara dari penderita TB aktif dan masuk
ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Ketika tubuh terpapar pertama kali oleh
kuman TB, maka akan terjadi infeksi primer, dimana kuman yang masuk bisa sampai
ke bagian terminal saluran pernafasan dan menetap serta berkembang biak di
alveolus. Infeksi kuman TB dapat menyebabkan penyakit TB atau tidak, hal tersebut
terutama dipengaruhi oleh kondisi imunitas tubuh pejamu.
Kuman TB yang masuk ke dalam saluran pernafasan akan memicu respon
imun bawaan yang diperankan oleh sel makrofag, kuman TB di fagosit oleh sel
makrofag, tetapi kuman TB menghambat maturasi fagosom, sehingga kuman TB
dapat berkembang biak dan menyebar menyebabkan bakteremia. Proses ini juga
diikuti peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Afek primer
bersama dengan limfadenitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini kemudian dapat mengalami salah satu hal berikut :
1. Sembuh tanpa meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Penyebaran secara bronkogen,
baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Penyebaran
secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh,
jumlah serta virulensi kuman.
14
Pada kondisi imunitas yang adekuat, sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetapi sebaliknya, jika daya tahan tubuh lemah, kuman dapat
menyebar dengan mudah ke organ-organ lain dan dapat menimbulkan kondisi yang
berbahaya seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa.
3.1.5 Klasifikasi
TB diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu:
1. Berdasarkan lokasi nya
TB Paru, yaitu TB yang terjadi pada parenkim paru, termasuk di
dalamnya adalah TB milier
TB Ekstra paru, yaitu TB yang terjadi pada organ selain paru,
diantaranya kelenjar limfe, pleura, abdomen, saluran kemih, selaput
otak, kulit, sendi, dan tulang.
2. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
TB kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah menjalani terapi OAT
sebelumnya atau sudah pernah tetapi kurang dari satu bulan
Pasien yang sudah pernah menjalani pengobatan TB sebelumnya lebih
dari satu bulan, terbagi menjadi:
15
- Kasus kambuh, yaitu pasien yang sudah selesai pengobatan dan
dinyatakan sembuh dan saati ini di diagnosis TB berdasarkan klinis
dan pemeriksaan mikrobiologis
- Kasus putus berobat (Lost-to-follow up), yaitu pasien yang tidak
memulai pengobatan atau pengobatan putus selama dua bulan atau
lebih.
- Kasus gagal berobat, yaitu pasien yang sudah menjalani pengobatan
tetapi gagal (tb nas 2014)
3. Berdasarkan hasil uji kepekaan obat
Mono resistan (TB MR), yaitu pasien yang resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR), resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR), resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R)
secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR), TB MDR disertai resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT
lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR), resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).
4. Berdasarkan status HIV
Pasien TB dengan HIV positif, dinyatakan dengan hasil tes HIV
sebelumnya atau saat didiagnosis TB positif
Pasien TB dengan HIV negatif, dinyatakan dengan hasil tes HIV
sebelumnya atau saat didiagnosis TB negatif
Pasien TB yang tidak diketahui status HIV
16
3.1.6 Diagnosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan mikrobiologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Gejala utama pada penyakit TB adalah batuk berdahak selama dua minggu
atau lebih, batuk berdarah, sesak nafas, badan lemas, penurunan BB dan nafsu makan,
malaise, berkeringat malam hari tanpa aktivitas fisik, serta demam lebih dari satu
bulan.
Pasien dewasa dengan gejala-gejala tersebut patut dicurigai TB dan harus
dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk dapat menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik
langsung, biakan, dan tes cepat. Pemeriksaan dilakukan dengan mengumpulkan dahak
pasien dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS). Pengambilan dahak pertama (sewaktu) dilakukan pada saat pasien
datang pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatanm, kemudian pengambilan kedua
(pagi) dilakukan pasien di rumah pada pagi hari kedua, dan pengambilan ketiga
dilakukan di fasyankes ketika pasien datang untuk menyerahkan dahak pagi.
Pasien dinyatakan TB jika salah satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
Pada pasien yang semua hasil pemeriksaan dahaknya negatif, dilakukan pemeriksaan
klinis dan penunjang, penegakan diagnosis TB dilakukan berdasarkan hasil
pemeriksaan radiologis yang menunjukkan gambaran TB, yaitu:
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
17
3.1.7 Tatalaksana
Pengobatan pasien TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki
kualitas hidup pasien, mencegah kekambuhan dan kematian, serta mencegah
penularan TB. pengobatan TB dilakukan dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang minimal mengandung empat macam obat untuk mencegah terjadinya
18
resistensi terhadap kuman TB. Pengobatan harus diberikan dengan dosis yang tepat,
dalam jangka waktu yang cukup, serta dilakukan pengawasan oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) sampai selesai pengobatan.
Pengobatan TB terbagi menjadi (1) Tahap awal, dimana pengobatan bertujuan
untuk menurunkan jumlah kuman yang ada di dalam tubuh secara efektif dan
dilakukan setiap hari dalam jangka waktu dua bulan; dan (2) Tahap lanjutan yang
bertujuan untuk membunuh sisa kuman yang ada di dalam tubuh.
OAT lini pertama terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E), dan Streptomisin (S). Sedangkan lini kedua terdiri dari Kanamycin
(Km), Capreomycin (Cm), Levofloxacin (Lfx),
Moxifloxacin (Mfx), Ethionamide
(Eto), Cycloserin (Cs) dan Para Amino Salicylic (PAS).
19
OAT yang digunakan di Indonesia berdasarkan Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3
Kategori 1 diberikan pada pasien TB baru yang terdiagnosis secara
bakteriologis ataupun klinis dan pasien TB ekstraparu
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5(HR)3E3
Kategori dua diberikan untuk pasien TB yang BTA + dan sudah pernah
menjalani pengobatan TB sebelumnya. Termasuk dalam kategori ini adalah pasien
yang sudah pernah menyelesaikan pengobatan OAT kemudian kambuh, pasien
yang sudah pernah menyelesaikan pengobatan OAT namun gagal, dan pasien
yang putus berobat.
Kategori anak : 2HRZ/4HR
Untuk pengobatan pada kategori 1 maupun dua dapat diberikan dalam bentuk
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) ataupun dalam bentuk kombipak.
OAT KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosis
pemberian OAT-KDT ini disesuaikan dengan berat badan pasien.
Dosis OAT KDT Kategori 1
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paket
20
kombipak ini dapat diberikan pada pasien yang terbukti mengalami efek samping
pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.
21
3.2 Hemoptisis
3.2.1 Definisi
Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan yang
terjadi di saluran napas di bawah laring.
3.2.2 Klasifikasi
Hemoptisis diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan,
yaitu:
Batuk darah ringan; jumlah darah yang dikeluarkan kurang dari 25 ml/24 jam,
Batuk darah sedang; jumlah darah 25 - 250 ml/24 jam
Batuk darah masif; jumlah darah lebih dari 600 ml/24 jam.
Adapun kriteria untuk menyatakan batuk darah masif yang mengancam nyawa yaitu :
Batuk darah > 600 ml/24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti.
Batuk darah < 600 ml/24 jam tetapi > 250 ml/24 jam dan pada pemeriksaan Hb <
10 gr%, batuk darah masih berlangsung.
Batuk darah < 600 ml/24 jam tetapi > 250 ml/24 jam dan pada pemeriksaan Hb
>10 gr% dan pada pengamatan selama 48 jam dengan pengobatan konservatif,
batuk darah masih berlangsung.
Sumber perdarahan yang terjadi pada hemoptisis bisa berasal dari sirkulasi
pulmoner yang memperdarahi alveolar dan duktus alveolar ataupun dari sirkulasi
bronkial yang memperdarahi trakea, bronkus, bronkiolus, esofagus, mediastinum
posterior, dan vasa vasorum arteri pulmoner.
Sirkulasi bronkial terdiri dari arteri dan vena bronkialis. Sirkulasi pulmoner
berperan dalam pertukaran gas dan cenderung memiliki tekanan yang rendah,
sehingga perdarahan yang berasal dari sirkulasi pulmoner hanya menyebabkan
hemoptisis dengan volume yang sedikit, sedangkan sirkulasi bronkial cenderung
memiliki tekanan tinggi, sehingga seringkali menyebabkan hemoptisis masif.
3.2.3 Etiologi
22
antara penyebab hemoptisis tersebut, infeksi merupakan penyebab yang paling
banyak dengan presentase 60-70%.
Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi pada saluran pernafasan yang dapat
menyebabkan terjadinya hemoptisis. Perdarahan yang terjadi pada tuberkulosis
disebabkan oleh rupturnya aneurisma arteri pulmoner (aneurisma Rasmussen),
pecahnya anastomosis bronkopulmoner, atau proses erosif pada arteri bronkialis.
Proses inflamasi yang terjadi akibat infeksi kuman TB dapat merusak dinding endotel
dan jaringan elastin pembuluh darah, sehingga pembuluh darah mudah ruptur dan
menyebabkan terjadinya perdarahan.
3.2.4 Diagnosis
Pada hemoptisis, darah kelur menyertai batuk, berwarna segar, dan bersifat
basa. sedangkan pada hematemesis, darah keluar disertai mual dan muntah, berwarna
kehitaman, bercampur dengan makanan, dan bersifat asam. perdarahan pada
epistaksis biasanya disebabkan karena trauma dan sumber perdarahan dapat di
lokalisasi dengan pemeriksaan rinoskopi anterior dan orofaring.
Untuk mengetahui volume darah yang keluar, darah ditampung dalam pot
selama 24 jam. Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mencegah pasien agar
tidak syok. Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan untuk membantu menegakan
diagnosis penyakit yang mendasari terjadinya batuk darah, memperkirakan apakah
terjadi aspirasi, dan mengetauhi lokasi sumber perdarahan.
23
3.2.5 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan hemoptisis terdiri dari tiga poin, yaitu (1)
menghentikan perdarahan; (2) mencegah asfiksia; dan (3) mengobati penyebab
perdarahan.
Prioritas utama dalam penatalaksanaan hemoptisis adalah menjaga jalan nafas,
oksigenasi yang optimal, serta stabilisasi status hemodinamik. jika sumber perdarahan
di ketahui, pasien dapat diposisikan dengan posisi lateral dekubitus dengan
menghadap ke sisi yang sakit. Hal ini dilakukan untuk mencegah aspirasi darah ke
paru yang sehat. Penting untuk dilakukan edukasi terhadap pasien agar tidak menahan
batuk, karena hal tersebut dapat menyebabkan asfiksia akibat darah yang menumpuk
di saluran nafas.
24
Evaluasi jalan nafas dan pemantauan tanda vital perlu dilakukan secara
berkala. Jika perdarahan yang terjadi hanya sedikit atau berupa bercak dan tidak
mengganggu proses pertukaran gas, maka sebaiknya diagnosis ditegakkan terlebih
dahulu untuk menentukan terapi yang sesuai. Pada pasien hemoptisis ringan yang
hasil pemeriksaan radiologinya tidak menunjukkan kelainan, dapat diobservasi rawat
jalan dan dipertimbangkan pemberian antibiotik jika berdasarkan klinis pasien
dicurigai mengalami infeksi saluran pernafasan. Jika dicurigai keganasan dapat
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan CT scan dan bronkoskopi.
Pasien yang mengalami hemoptisis masif perlu penanganan yang intensif oleh
karena angka mortalitas yang tinggi. Pada kasus hemoptisis masif, 75% kematian
disebabkan karena asfiksia akibat pembekuan dalam saluran nafas.
Langkah utama dalam penanganan hemoptisis masif adalah sebagai berikut:
1. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien.
Pada tahap ini pasien diberikan oksigen, resusitasi cairan, serta koreksi
koagulopati. Observasi dilakukan secara berkala sambil dicari sumber
perdarahan.
2. Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab perdarahan.
Jika pasien sudah dalam kondisi stabil, dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk mengetahui sumber dan penyebab perdarahan. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan foto toraks, CT scan toraks, angiografi, dan
bronkoskopi
3. Terapi spesifik
Pemberian terapi spesifik bertujuan untuk menghentikan perdarahan
serta mencegah terjadinya perdarahan berulang. Dapat dilakukan bilasan
garam fisiologis, pemberian epinefrin, serta trombin fibrinogen dengan
menggunakan bronkoskop. Selain itu pasien juga perlu diberikan pengobatan
sesuai dengan penyakit yang mendasari terjadinya perdarahan.
25
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Anamnesis
Dari hasil anamnesis diketahui pasien mengalami keluhan batuk
berdahak sejak 1 bulan dan dahak berwarna putih. Selain itu keluhan pasien
disertai sesak, badan lemas, dan penurunan berat badan. Pasien mengeluh
batuk dan keluar darah pada tanggal 2, 4, dan 6 Januari 2017. Darah yang
keluar berwarna merah segar disertai warna kehitaman. Pasien memiliki
riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu, pasien bekerja sebagai
asisten rumah tangga. Majikan nya yang tinggal di rumah yang sama
menderita batuk sudah lama. Pasien jarang berolahraga dan senang
mengkonsumsi jamu kencur beras.
Berdasarkan hasil anamnesis tersebut, pasien ini diduga menderita
tuberkulosis. kemungkinan lain yang bisa juga menyebabkan keluhan serupa
dan keluhan batuk darah adalah penyakit pneumonia dan bronkitis, tetapi jika
dilihat dari manifestasi klinis nya, gejala-gejala yang dialami pasien ini lebih
mengarah ke tuberkulosis, seperti batuk lebih dari dua minggu, penurunan
berat badan, demam naik turun, dan berkeringat di malam hari. sedangkan
pada pneumonia gejala batuk cenderung disertai sesak dan demam tinggi.
Selain itu pasien memiliki faktor risiko berupa kontak dengan orang yang
menderita batuk lama.
Batuk darah yang dialami pasien kemungkinan disebabkan karena
tuberkulosis. Tetapi tetap perlu diperhatikan apakah ada kemungkinan muntah
darah. Berdasarkan deskripsi pasien, batuk darah berwarna merah segar dan
disertai warna kehitaman. Pasien mengatakan saat keluar darah disertai rasa
mual. Penjelasan dari pasien tersebut masih kurang jelas dan darah yang
keluar tidak dapat diobservasi secara langsung karena pasien hanya mengeluh
batuk darah sebelum masuk RS, sehingga masih belum dipastikan apakah
darah yang keluar berasal dari saluran pernafasan atau pencernaan. Selain itu
pasien memiliki riwayat penyakit gastrointestinal berupa gastritis.
26
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan LED,
hiperglikemia, hiponatremia. Hal ini menunjang diagnosis TB, dan
menyingkirkan diagnosis banding pneumonia karena tidak didapatkan
leukositosis.
Selain itu pada pemeriksaan radiologi berupa foto thorax PA tampak
infilttrat di lapang atas paru kiri dan kanan yang menunjukkan kesan TB.
Pasien ini juga sudah dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis
langsung sewaktu. Hasil pemeriksaan tersebut positif 3 dan pemeriksaan
Genpert menunjukkan hasil positif terdeteksi kuman TB dengan kadar sedang.
Hasil pemeriksaan tersebut menegakkan diagnosis TB pada pasien ini.
4. Tatalakasana
Karena pasien datang dengan keluhan batuk darah, perlu dilakukan
stabilisasi hemodinamik terlebih dulu. Pasien diberi terapi suportif berupa
Nacl 0,9% 500cc. Selain itu perlu dilakukan observasi tanda vital secara
berkala untuk mencegah terjadinya syok ataupun asfiksia. Batuk darah perlu
ditampung untuk menilai volume darah yang keluar dalam 24 jam. Tetapi
karena pasien tidak mengeluh batuk darah lagi maka cukup diberikan terapi
suportif dan pemantauan tanda vital.
Untuk pengobatan TB, pasien diberikan OAT kategori 1, karena pasien
ini termasuk kasus TB baru yang terdiagnosis dari pemeriksaan bakteriologis
berupa sputum BTA sediaan langsung dan pemeriksaan cepat. Regimen yang
27
diberikan yaitu Rifampisin dengan dosis 450mg, Isoniazid 300 mg,
Pirazinamid 1000mg, dan Etambutol 1000mg.
Untuk pengobatan DM pada pasien tetap dilanjutkan. Tetapi perlu
dipertimbangkan bahwa pemberian sulfonilurea dapat menurun efektifitasnya
jika diberikan bersamaan dengan OAT, sehingga dosis perlu ditingkatkan atau
obat DM bisa diganti dengan golongan lain atau insulin.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2002
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. 2011. DEPKES RI.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. 2016.
4. Bidwell JL and Panchner RW. Hemoptysis: Diagnosis and Management.
American Family Physician Journal Vol 72, No 7. : 2005.
5. Kasper DL, Fauci AS, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine 19th
Edition. McGrawHill.
6. Kumar V, Abbas AK, et al. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease
9th edition. Philadelphia: Elsevier, 2015.
7. Rasmin, Menaldi. Hemoptisis. Jurnal Respirologi. Departemen Pulmonologi &
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-SMF Paru RSUP Persahabatan.
29