Anda di halaman 1dari 9

DEKONSTRUKSI PEMAKNAAN JIHAD: CATATAN KRITIS

KUTUB AT-TUROTS ATAS TERORISME


Oleh: Robbah Munjiddin Ahmada
A. Pendahuluan
Hakikatnya, Islam dan kedamaian adalah setarikan nafas. Di tilik dari sisi
lughowi, Islam bermakna al-inqiyad wa al-khudhu’, aw ad-dukhul fi as-silmi –
dhid al-harb- (perjanjian dan penyerahan, atau masuk dalam kedamaian –sebagai
lawan dari kekerasan/ peperangan). Sementara dari sisi syar’i, Islam terbagi
menjadi dua makna. Pertama al-i’tirof al-lisany (pengakuan secara lisan) atas
pondasi-pondasi Islam berupa keyakinan atas Allah sebagai Tuhan, Nabi
Muhammad sebagai Rasul-Nya, melaksanakan zakat, puasa, dan haji. Kedua, at-
tashdiq (jujur) baik dalam hati, lisan, implementasi dalam kehidupan, termasuk
pula penyerahan diri kepada Allah.1

Dalam konteks ini, seorang dapat mewujudkan Islam dalam kehidupannya,


mutlak harus mengetahui segenap nilai yang telah digariskan oleh utusan Allah,
pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad. Berkaitan dengan nilai tersebut, Ibnu
Katsir dalam tafsirnya, memberikan paparan yang jelas tentang Nabi Muhammad,
bahwa ia adalah seorang yang lemah lembut. Tak jauh beda, Abdullah bin Umar
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidaklah seorang yang kasar. Ia seorang
yang tahu adat, tidak senang membuat gaduh, bukan tipe pembalas keburukan
dengan keburukan, melainkan sosok Nabi yang senang memaafkan.2

Pada level praktik keberagamaan umat Islam, memang tidak bisa


dipungkiri ada realitas keberislaman yang menunjukkan ke arah berbeda. Narasi
kekerasan, ancaman, teror, menjadi satu identitas yang melekat, pun tanpa ragu
disandarkan pada ajaran Islam. Hasil survey yang dilakukan Wahid Foundation
dan Lingkar Survey Indonesia mengungkap, jika 11 juta dari 150 juta penduduk

1
Muhammad Abdul Aziz al-Khuly, al-Adab an-Nabawy (Beirut:Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2012), 7.
2
Paparan ini merupakan penjelasan atas tafsir QS. Ali Imron: 159 berbunyi : ‫فبما رحمة من هللا لنت لهم‬
)951( ‫ولو كنت فظ غليظ القلب لنفضو من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم‬. Lihat Abu al-Fida al-Hafidz Ibu Katsir
ad-Dimasyqy, Tafsir Alquran al-Adzim al-Juz’u al-Awwal (Beirut: Darl Fikr, 2011), 380.

1
muslim Indonesia siap melakukan tindakan radikal. Sementara 600 ribu penduduk
muslim Indonesia teridentifikasi pernah melakukan tindakan radikal.3

Realitas keberislaman yang demikian, memang tidak bisa dilepaskan dari


pemahaman keagamaan. Meminjam penjelasan Endang Turmudzi dan Riza
Shihbudi, paling tidak ada tiga alasan yang menjadi sebab munculnya radikalisme
–yang pada gilirannya menjadi “pintu masuk” terorisme, pen.–4. Tiga alasan
tersebut yakni; pertama, interpretasi akan teks agama. Kenyataan bahwa teks
agama (baca: Alquran, hadis, ijma’) banyak yang bersifat umum, lantas
memberikan space tafsir atas apa yang dibaca. Kedua, pengaplikasian atas hasil
interpretasi, sebagai tindak lanjut dari pemahaman. Ketiga, kondisi sosial, politik,
baik domestik atau internasional yang melingkupi.5

Pada titik ini, interpretasi atas teks keagamaan nyatanya menjadi


pembahasan penting –dengan tanpa mengabaikan faktor lain–. Maka dalam
kaitannya antara Islam dengan terorisme, diperlukan suatu kajian akademik, guna
mengetengahkan pemahaman yang acapkali berujung pada teror, seperti
pemahaman jihad dan anasir lain, seperti shiyal (teror). Lebih-lebih kajian
akademik tersebut didasarkan pada kutub at-turots yang merupakan al-maraji’ al-
mu’tabar (rujukan yang bisa dipertanggungjawabkan) dalam Islam.

B. Jihad dan Teror: Tinjauan Kutub at-Turots


Istilah kutub at-turots merupakan istilah yang lazim digunakan kalangan
pesantren. Secara kebahasaan, turots bermakna tinggalan/ warisan.6 Jika

3
Tempo, “Yenny Wahid: 11 Juta Warga Siap Lakukan Tindakan Radikal” dalam
https://nasional.tempo.co/read/847391/yenny-wahid-11-juta-warga-siap-lakukan-tindakan-radikal
(Diakses 17 Oktober 2017). Data yang diperoleh tahun 2016 tersebut, berpotensi mengalami
peningkatan jika merujuk pada serangkaian aksi teror, seperti bom thamrin, kampung melayu,
hingga bom panci Bandung.
4
Dari sisi etimologi, radikalisme bermakna “faham...yang menghendaki adanya perubahan dan
perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan”. Sementara terorisme yakni
“tindakan pengacau dalam masyarakat untuk mencapai tujuan”. Lihat Pius Aprianto, M. Dahlan
Bisri, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 648-749. Khamami Zada melihat
radikalisme dalam kaitannya dengan Islam, sebagai menggambarkan tipe keberagamaan seseorang
atau kelompok yang sering dicitrakan lekat dengan pemahaman tekstual, ekstrem, militan, rigid,
dan kaku. Lihat Khamami Zada, Islam Radikal (Jakarta:Teraju, 2002), 13-15.
5
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta:LIPI Press,
2005), 10-11.
6
Majalah Pesantren, edisi 01/2013, 15

2
digabungkan dengan kata kutub, bisa dimaknai sebagai kitab-kitab peninggalan/
warisan ulama terdahulu. Memang harus diakui, di masyarakat, istilah kutub at-
turots kurang begitu populer jika dibandingkan dengan kitab kuning. Namun
sebenarnya dua istilah ini (baca: kutub at-turots dan kitab kuning) hadir dengan
makna senada.7
Kehadiran kutub at-turots menjadi satu standar pemahaman keberislaman
yang komprehensif. Meski terjadi penyebutan yang berbeda, namun tidaklah
mengurangi hakikat daripada rujukan keislaman tersebut. Malik Madani
memaparkan, jika kitab-kitab peninggalan ulama masa lalu ini, menjadi syarat
tatkala “ingin memahami Islam secara runtut, historis, sehingga kita tidak
tercerabut dari khazanah keilmuan Islam masa lalu”.8
Sebagai al-maraji’ al-mu’tabar, kutub at-turots menyediakan pembahasan
keagamaan yang sangat luas, baik dalam kaitannya dengan ibadah vertikal,
maupun horizontal. Termasuk pembahasan tentang jihad dan shiyal. Secara
komparatif, berikut akan dipaparkan pendapat para ulama yang tertuang dalam
kutub at-turots terkait dengan jihad dan shiyal dan anarsir yang berkaitan
dengannya.
Dalam hal ini, memang tidak bisa dipungkiri akan adanya persandingan
antara jihad dengan qital (perang) pada kutub at-turots. Meskipun demikian,
tatkala ditelaah lebih lanjut, akan ditemukan satu benang merah dalam hal rahmah
(kedamaian) yang merupakan hakikat Islam. Para pengarang kitab memberikan
penggambaran yang apik atas masalah yang diketengahkan, sehingga pada posisi
yang demikian, bisa diambil jahitan data sebagai pembacaan ruh rahmah dalam
Islam. Berikut gambarannya.

Dalam Fath al-Qorib, as-Syaikh Muhammad ibn Qosim al-Ghazi


memaparkan bahwa jihad di era Nabi Muhammad pasca-hijah ke Madinah,
dihukumi fadhu kifayah. Ibn Qosim al-Ghazi melanjutkan, pasca-wafatnya Nabi
Muhammad, jihad terbagi menjadi dua hukum. Pertama, “an yakuunuu
bibiladihim, fa al-jihadu fardhu kifayatin ala al-muslimin fi kulli sanatin”. (jika

7
Ibid.
8
Ibid.

3
non-muslim berada pada kawasan umat Islam, maka jihad hukumnya fardhu
kifayah9 setiap tahun atas setiap muslim).10

Hukum kedua yakni fardhu ‘ain,11 jika “an yadkhula al-kuffaru baldatan
min bilaad al-muslimin aw yanziluu qoriibaan minhaa fa al-jihadu hiinaidzin
fardhu ainin alaihim fayalzamu ahlu dzalika al-baladi ad-daf’u li al-kuffari bi
maa yumkin minhum” (jika non-muslim hendak menyerang kawasan yang
diduduki umat Islam, atau mendekati kawasan umat Islam, maka jihad dalam
kasus ini hukumnya menjadi fardhu ain. Penduduk kawasan tersebut diwajibkan
memberikan perlawanan sesuai dengan kemampuannya).12

Penjelasan lebih detail terkait persandingan jihad-qital bisa dilacak dalam


syarah (penjelasan) kitab Fath al-Qorib, yakni kitab Quut al-Habiib al-Ghoriib
karya ulama kenamaan Indonesia, as-Syaikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-
Jawi. Dalam penjelasan bab jihad, Syaikh Nawawi memaparkan bahwa jihad
bermakna qital diperintahkan/ dihukumi oleh Allah, setelah Nabi Muhammad
melakukan hijrah ke Madinah. Sementara sebelum Nabi Muhammad hijrah, jihad
dalam pemaknaan qital justru mamnu’an (dilarang). Sebab di awal dakwahnya,
Nabi Muhammad diberikan amanah untuk tabligh (menyampaikan), indzar
(memberi peringatan), dan berpesan tentang kesabaran.13

Jihad dalam konteks ini, berkaitan dengan komunitas non-muslim dan


(bisa disebut) sifatnya defensif. Sifat defensif ini tergambar dalam ketentuan
hukum fardhu kifayah dan fardhu ain di atas, bahwa umat Islam mengambil posisi
untuk mempertahankan Islam. Penggambaran defensif ini terlihat dalam kalimat
“an yakuunuu bibiladihim” (jika non-muslim berada pada kawasan umat Islam)
dan “an yadkhula al-kuffaru baldatan min bilaad al-muslimin aw yanziluu

9
Fardhu kifayah adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim, namun tatkala ada satu
muslim saja yang melakukan, maka gugurlah kewajiban pada muslim lainnya.
10
As-Syaikh Muhammad ibn Qosim al-Ghozi, Fath al-Qorib al-Mujib (Indonesia: al-Haramain,
2005), 58.
11
Fardhu ain adalah kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslim yang harus dilakukan.
Tidak boleh diwakilkan, pun tidak gugur meski orang lain telah melakukan.
12
Ibid.
13
As-Syaikh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi, Quut al-Habib al-Ghoriib (Indonesia: al-
Haramain, 2005), 255.

4
qoriibaan minhaa” (tatkala non-muslim hendak menyerang kawasan yang
diduduki umat Islam, atau mendekati kawasan umat Islam). Belum lagi perintah
jihad bermakna qital diperintahkan Allah setelah Nabi Muhammad diberikan
amanah untuk tabligh, indzar, dan berpesan tentang kesabaran.

Pada titik ini qital bisa dibaca sebagai varian jihad (setelah varian jihad
lainnya) yang lebih soft, dan idealnya ditempatkan sebagai pilihan terakhir dalam
berjihad. Persis sebagaimana tertuang dalam al-Fiqhi al-Manhaji al-Syafii
disebutkan, bahwa jihad dan qital (perang) adalah dua hal yang berbeda. Qital
adalah salah satu dari beragam macam-macam bentuk jihad, dalam arti jihad tidak
bisa dilokalisir menjadi qital semata, lebih-lebih dimaknai jihad adalah qital.
Jihad bermakna luas, dalam arti, bisa al-jihad bi at-ta’lim (jihad melalui
pengetahuan/ intelektualitas), atau al-jihad bi badzli al-maal (jihad melalui harta).
Memang, sekali lagi, tidak bisa dipungkiri ada varian jihad sebagai al-qitaal ad-
difa’i (jihad perang perlawanan).14

Berkenaan dengan teror, pembahasan ini bisa didasarkan pada terminologi


shiyal dalam kutub at-turots. As-Syaikh Zainuddin ibn Abd al-Aziz al-Malibari
dalam Fath al-Muin menyebut shiyal wa huwa al-isthitholatu wa al-wutsuub ala
al-ghoiri (yakni dominasi dan penyerangan kepada orang lain).15 Ini bisa
dipahami dengan kerangka pelaku teror adalah pelaku dominasi dan penyerangan
kepada orang lain. Dalam Fath al-Muin terminologi shiyal mendapatkan porsi
pembahasan cukup panjang, termasuk solusi sebagai penyelesaian aktifitas yang
meresahkan masyarakat tersebut.

Dalam penjelasannya, Syaikh Zainuddin al-Malibari memaparkan jika


menanggulangi pelaku teror harus bi al-akhof fa al-akhof (melalui tahapan-
tahapan yang soft). Lebih lengkapnya, ulama kelahiran Malabar ini menulis “wa
al-yadfa’ as-shoil al-ma’shum bi al-akhof fa al-akhof in amkana ka harobin, fa
zajari bi kalamin, fastighosatin, aw tahasshuni bi hashonatin, fa dhorbin biyadin
fa bi sauthin, fa bi ashon, fa qoth’in, fa qotlin” (menangulangi pelaku teror

14
Tim Pembukuan ANFA’ 2015, Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam Fath al-Qorib (Kediri:
Lirboyo Press, 2016), 645.
15
As-Syaikh Zainuddin ibn Abd al-Aziz al-Malibari, Fath al-Muin (Surabaya: al-Hidayah, tt), 132.

5
dilakukan dengan tahapan-tahapan yang soft, sebutlah seperti berlari dari
ancaman/ teror tersebut, melawannya dengan perkataan, meminta tolong kepada
orang lain, berlindung di tempat berlindung yang representatif, memukulnya
dengan tongkat. Kalau toh belum bisa menanggulangi perbuatan yang mengancam
tersebut, bisa dengan mematahkan anggota tubuhnya, atau bahkan membunuh).16

Sampai pada titik ini, bisa ditarik benang merah, bahwa kutub at-turots
memberikan penjelasan pemaknaan jihad yang luas, pun tawaran atas
penanggulangan tindakan teror. Jika ditarik kesimpulan, akan muncul; a). meski
jihad acapkali bersanding dengan qital, namun tidak menghilangkan ruh rahmah
dalam Islam; b). ruh rahmah itu terlacak dalam perintah yang “turun” akhir,
setelah perintah tabligh (menyampaikan), indzar (memberi peringatan), dan
berpesan tentang kesabaran, selain pula sifat qital defensif; c). jihad bermakna
luas (baca: bervariasi) seperti al-jihad bi at-ta’lim (jihad melalui pengetahuan/
intelektualitas), atau al-jihad bi badzli al-maal (jihad melalui harta); d). upaya
menanggulangi perilaku teror, ancaman yang membahayakan masyarakat melalui
tahapan-tahapan yang soft hingga tahapan yang hard.

C. Dekonstruksi Pemaknaan Jihad: Tawaran Menangkal Terorisme

Sebagaimana tertuang dalam penjelasan sebelumnya, bahwa Fath al-Muin


menggariskan, jika penanggulangan perilaku teror, harus “bi al-akhof fa al-
akhof” (melalui langkah-langkah yang soft). Pada referensi lain, yakni Tafsir al-
Qur’an al-Adzim karya Ibnu Katsir, juga bisa ditemukan bahwa mengingatkan
adalah cara menolong orang-orang yang terlanjur melakukan perbuatan dzalim17 –
sebutlah kedzaliman itu seperti perilaku yang membahayakan kehidupan orang
lain–. Berpijak pada paparan di atas, hemat penulis, dekonstruksi bisa menjadi
satu tawaran.

Dekonstruksi adalah langkah soft untuk memberikan peringatan. Secara


prinsipil, Jacques Derrida melalui dekonstruksi menghendaki adanya satu upaya

16
Ibid.
17
Abi al-Fida al-Hafidz Ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Alquran Al-Adzim Al-Juz’u Ats-Tsany,
548.

6
“menggoyang” hal yang sudah mapan. Ia menempatkan teks –yang mengandung
makna dan merupakan dasar pemahaman– sebagai hal yang penting untuk dibaca
(kembali). Aditya Akbar Hakim menyebut “berkat dekonstruksi Derrida, makna
kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan
stabil. Tetapi makna selalu berubah.” Bahwa dalam hal ini, adanya klaim
kebenaran absolut, kebenaran tunggal, dipertanyakan kembali, lebih-lebih tidak
lagi diterima.18

Memang harus diakui, pola keberislaman yang kaku, mencerminkan


adanya keyakinan atas kebenaran tunggal. Melalui dekonstruksi, Derrida
menghendaki perubahan kebenaran tunggal tersebut, meski tidak serta merta
membongkar, lantas mengganti dengan hal yang baru sama sekali. Tidak. Dalam
hal ini, dekonstruksi tidak serta merta menafikan pemahaman yang sudah ada,
tetapi mencoba melahirkan pemahaman baru yang dapat menjadi alternatif.19
Dekonstruksi menghendaki adanya pembongkaran kerangka opositif ala
modernisme, bahwa kerangka opositif yang mempertentangkan dua hal (ala
modernisme), dinilai mengandung makna bahwa ada yang disingkirkan di satu
sisi dan ada yang diistimewakan di sisi lainnya.20

Dalam konteks Islam dan terorisme ini, ada struktur opositif berupa
pembenaran jihad ekstrem sebagai jihad utama dan jihad dengan pemaknaan yang
luas, di sisi lainnya. Struktur pertentangan yang demikian, pada gilirannya
melahirkan makna ideal (sebuah makna yang dielu-elukan, dikejar dan diharapkan
bisa diraih, istimewa) bahwa jihad haruslah melakukan tindakan ekstrem;
kekerasan. Sementara jika tidak demikian (baca: jihad dengan ekstrem) tidak
dikategorikan sebagai jihad, dan diikuti pelabelan-pelabelan negatif (atas
pemaknaan diluar jihad ekstrem). Pemahaman inilah yang harus didekonstruksi.

18
Aditya Akbar Hakim, Dekonstruksi Kehidupan Beragama dalam Novel Sang Pencerah, 4.
Diakses pada laman http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/article/3623/21/article.pdf (Diakses pada
(17 Oktober 2017)
19
Akhmad Riduwan, Metode Dekonstruksi Derrida dalam Riset Akuntansi. Diakses pada laman
http://multiparadigma.lecture.ub.ac.id/files/2014/12/METODE-DEKONSTRUKSI-DERRIDA-
Akhmad-Riduwan.pdf (Diakses pada 17 Oktober 2017).
20
I.B. Wirawan, Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana, 2013), 284.

7
Pada titik ini, teks –sebagai hal vital dalam dekonstruksi– harus dibaca
ulang untuk menelaah duduk permasalahan seputar jihad dalam Islam. Atas hal
ini, sebenarnya, tinjauan kutub at-turots atas jihad dan teror di atas, bisa menjadi
satu pemahaman alternatif, bahwa pemaknaan jihad sangatlah luas. Jihad dengan
narasi kekerasan hanya satu dari varian jihad. Itupun harus defensif. Pembacaan
ulang atas teks yang kemudian melahirkan satu pemahaman alternatif ini, pada
langkah selanjutnya, harus ditransformasikan, sehingga terjadi dekonstruksi
pemaknaan jihad yang kaku. Inilah yang disebut dengan konsep deskripsi
(description) dan transformasi (transformation) yang tatkala digabungkan menjadi
dekonstruksi (deconstruction).21

D. Penutup

Dekonstruksi menyediakan satu kerangka pembongkaran pemaknaan jihad


melalui pembacaan ulang atas teks. Bahwa teks kitab suci, ataupun literatur-
literatur yang menjadi rujukan, dapat didialogkan dan dipahami dengan pemikiran
terbuka, sebagai jembatan mengubah pemahaman yang kaku. Pendialogan –
dengan deskripsi dan transformasi– ini akhirnya akan mewujudkan dekonstruksi
dan bersamaan lahir pemahaman baru yang lebih terbuka. Untuk itu, segenap
elemen bangsa harus proaktif menyemai narasi kedamaian, salah satunya melalui
dekonstruksi pemaknaan jihad. Dekonstruksi akan menghadirkan narasi jihad
yang selaras dengan hakikat Islam yang damai.

Maraji’

ad-Dimasyqy, Abu al-Fida al-Hafidz Ibu Katsir. 2011. Tafsir Alquran al-Adzim
al-Juz’u al-Awwal (Beirut: Darl Fikr)
_________________________________. 2011. Tafsir Alquran Al-Adzim Al-
Juz’u Ats-Tsany, (Beirut: Darl Fikr).
al-Ghozi, As-Syaikh Muhammad ibn Qosim. 2005. Fath al-Qorib al-Mujib
(Indonesia: al-Haramain).

21
Reza Alexander Antonius Wattimena, Metode Dekonstruksi Jacques Derrida, diakses pada
laman https://rumahfilsafat.com/2009/11/29/derrida-dan-dekonstruksi/ (Diakses 17 Oktober 2017).

8
al-Jawi, As-Syaikh Muhammad Nawawi ibn Umar. 2005. Quut al-Habib al-
Ghoriib (Indonesia: al-Haramain)
al-Khuly, Muhammad Abdul Aziz. 2012. al-Adab an-Nabawy (Beirut:Dar al-
Kotob al-Ilmiyah).
al-Malibari, As-Syaikh Zainuddin ibn Abd al-Aziz. tt. Fath al-Muin (Surabaya:
al-Hidayah).
Aprianto, Pius. M. Dahlan Bisri. 1994. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola
Hakim, Aditya Akbar, Dekonstruksi Kehidupan Beragama dalam Novel Sang
Pencerah, 4. Diakses pada laman
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/article/3623/21/article.pdf (Diakses
pada (17 Oktober 2017).
Majalah Pesantren, edisi 01/2013.
Riduwan, Akhmad, Metode Dekonstruksi Derrida dalam Riset Akuntansi. Diakses
pada laman
http://multiparadigma.lecture.ub.ac.id/files/2014/12/METODE-
DEKONSTRUKSI-DERRIDA-Akhmad-Riduwan.pdf (Diakses pada 17
Oktober 2017).
Tempo, “Yenny Wahid: 11 Juta Warga Siap Lakukan Tindakan Radikal” dalam
https://nasional.tempo.co/read/847391/yenny-wahid-11-juta-warga-
siap-lakukan-tindakan-radikal (Diakses 17 Oktober 2017).
Tim Pembukuan ANFA’ 2015. 2016. Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam
Fath al-Qorib (Kediri: Lirboyo Press).
Turmudi, Endang. Riza Sihbudi (ed.). 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia
(Jakarta:LIPI Press)
Wattimena, Reza Alexander Antonius, Metode Dekonstruksi Jacques Derrida,
diakses pada laman https://rumahfilsafat.com/2009/11/29/derrida-dan-
dekonstruksi/ (Diakses 17 Oktober 2017).
Wirawan, I.B. 2013. Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana).
Zada, Khamami. 2002. Islam Radikal (Jakarta:Teraju).

Anda mungkin juga menyukai