Anda di halaman 1dari 8

Surat yang Terbuang

Ferry yang baru saja pindah, tidak bias segera mendapat kawan baru. Ia sangat kesepian di
rumah. Ferry menceritakan semua itu kepada Dedi, sahabatnya di Jakarta, lewat surat.ia
menceritakan bahwa anak-anak kampung tidak bisa bergaul dengannya dan ia ingin sekali pulang ke
Jakarta. Sepucuk surat belum dibalas, Ferry mengirimkan surat dalam dua hari sebanyak lima kali.
Namun, tidak ada satu pun yang dibalas oleh Dedi.

Ferry bingung mau ngapain. Main juga belum punya teman. Jadi ia menulis apa saja yang
ingin ditulisnya. Kertas-kertas yang sudah ditulisinya itu dibuangnya kekeranjang sampah. Kini
mungkin sudah ada lebih dari sepuluh lembar kertas.

Besoknya, kertas itu dibuang oleh pembantunya ke tempat sampah di belakang rumah.
Kertas-kertas itu berterbangan dihembus angin. Salah satunya ditemukan oleh Beni, tetangganya.
Beni membaca kertas itu. Ia marah sekali. Sebab isi surat itu berbunyi bahwa, Ferry benci dengan
anak-anak kampung. Ia ingin mengajak mereka semua berkelahi. Supaya mereka tahu kalau ia jago
karate dan ingin mengajak sahabatnya yang di Jakarta untuk menyerang bersama. Beni mengadu
kepada Anton dan teman-temannya. Mereka sangat marah dan ingin menyerang Ferry dahulu. Tapi
belum ad acara jitu untuk menjebak Ferry.

Pada malam minggu, orang tua Ferry mengundang tetangga sekitar untuk sekedar
berkenalan. Beni dan Anton mengunjugi rumah Ferry dengan terpaksa, karena orang tua mereka
menyuruhnya untuk datang. Beni dan Anton terpaksa berkenalan dengan Ferry. Ferry mengajak Beni
dan Anton ke kamarnya. Beni dan Anton jadi kikuk. Ferry bercerita, di Jakarta ia memiliki banyak
teman. Setiap hari minggu mereka datang. Ada yang membaca buku, ada yang bikin rujak. Ferry
ingin sekali mengajak teman-teman kampung untuk melakukan apa yang dilakukannya saat di
Jakarta.

Melihat keramahan Ferry, Anton tidak tahan menayakan perihal surat itu. Ferry melongo.
Lalu tertawa terbahak-bahak. Ferry pun mejelaskan bahwa ia hanya main-main saja, ia hanya iseng
karena ia kesepian, tidak punya teman. Beni dan Anton pun mengerti. Hampir saja mereka
mengerahkan anak-anak untuk menyerang Ferry. Ketiganya pun tertawa. Untunglah mereka ikut
menghadiri undangan ini. Kalau tidak salah paham itu pasti akan berakibat buruk.
Harta Karun di Kebun Nenek

Aku meceritakan mimpiku semalam kepada Ivan, Ucok, dan Irwan. Kata kakek yang ada di
mimpiku, di kebun nenekku tersimpan harta peninggalan Belanda. Namun, Ivan tidak percaya. Tapi
aku meyakinkan kepada Ivan kalau itu benar adanya. Aku dan ketiga temanku akan berkumpul di
rumah Irwan karena rumahnya paling dekat dengan rumah nenekku. Sekalian memetik pohon
rambutan. Pohon rambutan Irwan lagi berbuah banyak dan masak-masak.

Hari Sabtu, sepulang sekolah, kami pun berkumpul di rumah Irwan. Setelah istirahat kami
makan rambutan. Setelah itu kami berangkat ke rumah nenekku yang kosong. Sudah sebulan
nenekku tinggal dengan tanteku yang baru melahirkan anak pertama. Kata nenekku, ia mengajari
tanteku cara merawat bayi.

Aku mengeluarkan kunci rumah Nenek yang dititip di rumahku. Teman-temanku langsung
menuju kebun. Mereka mencabuti beberapa buah nanas yang sudah matang. Aku mengeluarkan
cangkul peninggalan Kakek. Aku mengajak mereka menyangkul sekarang, takut keburu sore. Lalu,
aku membagi-bagi cangkul. Aku tersenyum melihat teman-temanku yang giat mencangkul.

Ivan senang, ia mendapatkan uang ribuan logam di cangkulnya. Irwan pun juga
mendapatkan banyak logam. Mereka semakin bersemangat mencangkul.

Tidak terasa hari telah sore. Seluruh kebun sudah kami cangkul. Tapi kami balum
menemukan harta karun itu. Herannya, ketiga temanku tidak kesal. Mereka malah menghibur aku.
Aku jadi tidak enak. Sangat tidak enak. Akhirnya aku mengaku dosa pada ketiga temanku itu. Kalau
mimpiku itu semuanya bohong. Ucok pun marah dan membentakku tak percaya. Aku tertunduk
malu dan takut. Aku pun menjelaskan bahwa Nenek memberi tugas mencangkul seluruh halaman
ini. Sepulang dari tanteku, Nenek mau menanam berbagai bunga. Aku tidak kuat mencangkul
sendiri. Jadi, terpaksa aku berbohong. Uang-uang itu sengaja aku sebarkan kemarin. Aku meminta
maaf kepada ketiga temanku.

Ivan, Irwan, dan Ucok tampak sangat marah. Ivan berkata padaku untuk berterus terang
minta tolong, ia pasti akan mau membantu. Aku pasrah dimarahi. Sebab aku memang salah. Aku
juga pasrah waktu dihukum harus membuat es buah. Campuran es buah dari rumah Irwan, dan
nanas dari kebun nenekku. Aku kapok deh, berbohong.
Bukan Pohon Kepala

Nino adalah anak yang pandai di kelasnya. Ulagannya tidak pernah mendapat nilai delapan.
Paling jelek delapan. Tapi sayangnya, Nino adalah anak yang tidak teliti. Banyak tulisannya yang tidak
terbaca karena Nino salah menulis huruf.

Suatu hari Nino tidak ingat apa yang ditulis oleh pak guru di papan tulis. Sehingga ia
menanyakan apa yang ditulis kepada mamanya. Ia sangat tidak ingat ia hanya mengingat Pak
Parman berbicara mengenai pembuatan tempe. Mama dan papa tertawa bagitu menyadari
kekeliruan yang ditulis Nino. Ia menulis “keledai”, padahal seharusnya “kedelai”.

Keesokan harinya, di sekolah, Pak Parman membuat pengumuman. Barang siapa yang nilai
ulangannya serratus, akan mendapat hadiah. Sebab hari itu Pak Parman ulang tahun. Anak-anak
berusaha sebaik mungkin menjawab soal-soal ulangan, terutama Nino. Nino yang cerdas mengaggap
enteng soal-soal ulangan yang diberikan Pak Parman. Nino lebih dulu selesai, dan ia segera
mengumpulkan soal kertas ulangan.

Setelah kertas ulangan terkumpul semua, Pak Parman mengoreksi semua hasil ulangan.
Beberapa saat kemudian, Pak Parman mengumumkan hasilnya. Dari setiap banyak murid, tidak ada
nilai ulangannya betul semua. Pak Parman yakin anak muridnya pintar dan rajin belajar, tetapi
kurang teliti. Nino terkejut mendengar pengumuman Pak Parman. Padahal menurutnya, pertanyaan
Pak Parman gampang-gampang dan ia merasa telah menjawab semua pertanyaan dengan benar.
Kebetulan tadi malam, Nino sudah belajar soal-soal itu. Nino segera menanyakan nilainya kepada
Pak Parman.

Pak Parman mejelaskan bahwa dari sepuluh soal, Nino hanya salah satu soal. Ia hanya salah
menulis, ‘Pak Jani sedang memanjat pohon kepala’. Nino merasa malu. Ia sadar kalau ketidak
telitiannya membuat ia rugi. Kesalahan kecil, tapi sangat mengubah arti kata. Kedelai menjadi
keledai. Kelapa menjadi kepala. Tentu saja harus disalahkan, walaupun hanya beda satu huruf. Mulai
saat itu, Nino berjanji untuk lebih teliti.
Harga Sebuah Gasing Kayu

Minggu pagi, Roni berjanjian dengan Janna bertemu di pingiran kompleks perumahan, untuk
menukar sesuatu. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Janna muncul juga. Ia mengeluarkan
gasing kayu yang dililit tali tambang buatannya sendiri. Kini gantian, Roni menyerahkan mobil-
mobilan remote control. Jannah takut kalau ibu Roni marah saat mengetahui hal ini. Roni
meyakinkan kepada Janna bahwa ibunya takkan marah. Lagi pula ia sudah bosan memainkan mobil-
mobilan pemberian pamannya setahun yang lalu.

Janna berterima kasih kepada Roni. Mobil-mobilan itu akan diberikan kepada adiknya yang
sakit. Itu gara-gara ia minta dibelikan mainan mobil-mobilan remote control. Tapi uang ayah Janna
tidak cukup untuk membeli mainan mahal itu.

Sebenarnya, Janna hanya ingin meminjam mobil-mobilan itu supaya adiknya bias dibujuk
untuk minum obat. Tapi, Roni malah memberikan mobil-mobilan itu. Dengan syarat, Janna mau
mencarikannya sebuah gasing kayu. Roni ingin memeberikan gasing itu sebagai hadiah ulang tahun
ayahnya. Janna agak ragu, karena gasing buatannya tidak sebanding dengan mobil-mobilan Roni
yang mahal itu. Namun, Janna terpaksa melakukannya demi adiknya.

Sore harinya, Roni sibuk membungkus gasing kayu untuk ayahnya, sambal berbincang-
bincang dengan ibunya. Hati Roni agak takut, kalau ibunya menanyakan mobil itu. Tetapi, Roni
gembira bias memenuhi keninginan ayahnya untuk memiliki sebuah gasing kayu.

Tiba-tiba, Roni dan ibunya dikejutkan bunyi bel pintu. Ibu bergegas membuka pintu diikuti
Roni dibelakangnya. Janna datang kerumanya ingin mengembalikan mobil-mobilannya Roni. Roni
terkejut. Akhirnya Roni berterus terang pada ibunya. Ibunya mengangguk mengerti. Lalu, Ibu Roni
meyakinkan kepada Janna bahwa Roni sudah ikhlas memberikan mobil-mobilan itu, dan ibu Roni
bilang kepada Janna tidak usah tidak enak hati. Roni tidak menyangka ibunya akan berkata seperti
itu. Ia mengira ibunya akan marah.

Ibunya menasehati, sebaiknya orang tua diajak ngomong dulu, walau mainan itu milik kalian
sendiri. Ibu Roni percaya mereka anak-anak yang jujur. Roni dan Janna tersipu, lalu ia meminta maaf
kepada Ibu Roni. Ibu Roni juga menyampaikan, jika ingin melakukan kebaikan, jangan meminta
imbalan. Nanti tidak dapat pahala. Roni mengangguk semakin tersipu.
Sate Nangka

Nano dan Adi bermain ke rumah Nek Haris. Mereka memang suka ke sana sambil menemani
Nek Haris yang hanya tinggal sendirian. Ketika sampai disitu, Nano melihat ada buah nangka yang
sudah masak. Buah nangka itu akan dijual ke Bah A Hong yang biasanya datang dan membayar
seribu rupiah setiap buahnya. Adi pikir itu sangat lah tidak untung. Tetapi, Nek Haris merasa itu
sudah untung, karena masih ada orang yang mau datang membeli kepadanya. Ia tidak perlu
menurunkan itu dan membawanya ke pasar, karena ia sudah tidak kuat. Alhasil, Nano dan Adi
berniat untuk menjualnya, paling sedikit nenek mendapat 3000. Nek Haris menyetujuinya. Adi dan
Nano membawa buah nangka tersebut dengan karung goni ke ruma Nano.

Adi dan Nino membelah buah nangka itu. Isinya disayat, lalu bijinya dikeluarkan. Nano
menyiapkan batang-batang lidi. Buah nangka yang bijinya sudah dikeluarkan, ditusuknya dengan lidi.
Satu batang lidi berisi empat atau lima buah nangka. Satu jam kemudian, Nano dan Adi sudah
menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate nangka ditutup plastik bening. Mereka berjalan menuju
terminal bis dan angkot.

Sekejap saja, sopir-sopir dan kernet merubungi jualan mereka. Setusuk dijual dua ratus
rupiah. Nangka Nek Haris memang manis dan lezat. Di terminal itu saja, dalam watu singkat, sudah
habis tiga puluh tusuk. Mereka mendapatkan enam ribu rupiah. Sisa nangkanya mereka bawa
pulang.

Mata Nek Haris bekaca-kaca menyambut kedua anak itu. Mereka menyerahkan hasil
dagangan mereka kepada Nek Haris. Nek Haris memberikan sisa sate nangka kepada mereka dan ia
hanya mengambil empat ribu rupiah saja, sisanya untuk Nano dan Adi. Nino dan Adi awalnya tak
mau. Akhirnya ia menerimanya saja karena tak mau mengecewakan nenek yang berniat baik. Dalam
perjalanan pulang Nano dan Adi sangatlah senang. Berbuat kebajikan, memang selalu ada buahnya.
1) Cerpen apakah yang menarik buatmu, mengapa?
2) Tokoh mana yang kamu sukai, mengapa kamu menyukainya? Siapa pula tokoh yang tidak
kamu suka, mengapa?
3) Adakah kalimat atau ungkapan cerpen yang mengesankan buatmu, apa itu? Apa maknanya
bagimu?
4) Tulis rekomendasi kepada temanmu:
TUGAS BAHASA INDONESIA

Nama : Madinah Salsabillah Wahid


No. absen : 19
Kelas : 9-1

Anda mungkin juga menyukai