Anorektal
Anorektal
“MALFORMASI ANOREKTAL”
Oleh:
Sakina Usman, S.Ked
N 111 14 011
Pembimbing Klinik:
dr. H. Arif Husain, Sp.B
0
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Embriologi
2
berasal dari ektoderm dan diperdarahi oleh aa. Rektales, yang merupakan cabang
dari arteri pudenda interna. Tempat persambungan antara bagian endoderm dan
ektoderm dibentuk oleh linea pektinata, yang terdapat tepat di bawah kolumna
analis. Pada garis ini, epitel berubah dari epitel torak menjadi epitel berlapis
gepeng. (T.W.Sadler, 2009).
3
normal pada burung dan ada pada manusia untuk waktu yang singkat pada tahap
pertumbuhan. Sebelum manusia lahir, kloaka adalah struktur dimana colon,
saluran urin, dan genital bermuara kemudian keluar dari tubuh melalui satu
lubang. Manusia melalui suatu tahap pertumbuhan dimana kloaka merupakan
struktur yang normal, kemudian tumbuh lubang yang terpisah untuk rektum dan
traktus urin dan pada wanita juga terbentuk vagina. Perkembangan normal ini juga
terjadi pada perkembangan struktur yang disebut membran kloaka. Jika membran
ini tidak berkembang normal, kloaka mungkin masih terdapat setelah kelahiran
pada wanita atau pada pria akan berkembang bentuk dari anus imperforata.
(T.W.Sadler, 2009).
4
Gambar 2. Anatomi Anorektal
Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas rektum dan kanalis
analis ditandai dengan perubahan jenis, epitel. Kanalis analis dan kulit luar di
sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan
nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka
terhadap nyeri. Nyeri bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum,
sementara fisura anus nyeri sekali. (R.Sjamsuhidajat & de Jong, 2010)
5
superior ke arah kelenjar limf paraaorta melalui kelenjar limf iliaka interna,
sedangkan limf yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar
inguinal. (R.Sjamsuhidajat & de Jong, 2010)
Usus besar terdiri atas colon, rektum dan anus. Di dalam colon tidak
terjadi pencernaan. Sisa makanan yang tidak dicerna di dorong ke bagian
belakang dengan gerakan peristaltik. Air dan garam mineral diabsorbsi kembali
oleh dinding colon yaitu colon ascendenss. Sisa makanan berada pada colon
selama 1 sampai 4 hari. Pada waktu pembusukan dibantu oleh bacteria E. Coli.
Selanjutnya dengan gerakan peristaltik, sisa makanan terdorong sedikit demi
sedikit ke tempat penampungan tinja yaitu di rektum. Apabila lambung dan usus
halus telah terisi makanan kembali akan merangsang colon untuk melakukan
defekasi (reflek gastrokolik). Peregangan rektum oleh feses akan mencetuskan
kontraksi reflek otot-otot rektum dan keinginan BAB pada saat tekanan rektum
meningkat sampai sekitar 18 mmHg. Apabila tekanan ini mencapai 15 mmHg,
sfingter interior maupun eksterior melemas dan isi rektum terdorong keluar.
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter eksterior tercapai, terjadilah kontraksi
otot-otot abdomen (mengejan), sehingga membantu refleks pengosongan rektum
yang teregang. (R.Sjamsuhidajat & de Jong, 2010)
Distensi dari rectum oleh feses menginisiasi kontraksi reflex dari otot-
ototnya dan membuat keinginan untuk BAB. Pada manusia, saraf simpatis
6
mensuplai sfingter anal interna sebagai eksitatori, dimana parasimpatisnya sebagai
inhibitor. Sfingter ini rileks ketika rectum distensi. Suplai saraf ke sfingter anal
eksterna, otot skeletal berasal dari saraf pudenda. Sfingter ini terjaga dalam
keadaan kontraksi tonik, dan adanya distensi yang bertambah pada rectum akan
menambah tekanan dari kontraksi otot. Keinginan untuk BAB pertama kali
muncul pada saat tekanan rectum sekitar 18 mmHg. Ketika tekanan mencapai 55
mmHg, sfingter interna maupun eksterna rileks dan isi dari rectum dikeluarkan.
Inervasi
7
Inervasi dari rectum melalui saraf simpatis dan parasimpatis, saraf
simpatis berasal dari segmen L1-3, membentuk plexus mesenterikus inferior,
melewati plexus hipogastrik superior, dan turun sebagai saraf hipogastrik untuk
plexus pelviks. (R.Sjamsuhidajat & de Jong, 2010)
Saraf parasimpatis berasal dari sacral dua, tiga, dan empat dan bergabung
dengan saraf hipogastrik anterior dan lateral menuju ke rectum dan membentuk
plexus pelviks, dan dimana serat lewat untuk membentuk plexus periprostatik.
Setelah melewati plexus pelvis dan periprostatik Serat saraf simpatik dan
parasimpatik menuju rectum dan sfingter anal juga prostat, buli-buli, dan penis.
Cedera pada saraf ini dapat menyebabkan impotensi, disfungsi buli-buli, dan
kehilangan mekanisme normal dari defekasi. (R.Sjamsuhidajat & de Jong, 2010)
Segmen saraf yang berasal dari bagian sakrum mensuplai anus dan rektum,
uretra, buli-buli, dan vagina, termasuk berbagai komponen dari kompleks levator
ani (otot dan pelvis). Saraf ini juga berfungsi sebagai reseptor sensoris kulit pada
anus dan kulit sekitarnya. Batas dari anal kanal dan kulit di sekitar anus sangatlah
sensitif terhadap rasa sakit, sentuhan dingin, tekanan, regangan, dan gesekan.
Bukti menunjukkan bahwa reseptor sensori yang sejenis terdapat pada otot-otot
pelvis yang mengelilingi. Reseptor ini dapat membedakan isi rektum yang keras,
cair, atau gas. Anal kanal dan rektum di atas batas anal adalah yang paling tidak
sensitif terhadap nyeri tetapi sangat sensitif terhadap regangan. Kontinensia feses
terhadi pada saat batas anal, dinding rektum, dan otot yang mengelilinginya
menerima sensasi yang cukup dan diproses secara normal pada otak dan kemudian
sinyal yang cukup dikirim kembali ke berbagai otot yang mengontrol kontinensia.
Pada keadaan yang normal anal kanal tertutup kecuali ketika terjadi pergerakan
usus. Ketika defekasi terjadi, tekanan abdomen meningkat dan menyebabkan
8
dinding pelvis melemah dan otot-otot yang membuat kontinensia menjadi rileks.
(R.Sjamsuhidajat & de Jong, 2010)
2.3.Definisi
2.4.Epidemiologi
2.4 Patofisiologi
Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal
pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan yaitu adanya obstruksi
dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel
menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan
infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum
dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki2 biasanya letak tinggi, umumnya
fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak
rendah, fistula menuju ke urethra (rektourethralis).
Atresia anorektal terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses
pemisahan. Secara embriologis hindgut dari apparatus genitourinarius yang
terletak di depannya atau mekanisme pemisahan struktur yang melakukan
9
penetrasi sampai perineum. Pada atresia letak tinggi atau supra levator, septum
urorektal turun secara tidak sempurna atau berhenti pada suatu tempat jalan
penurunannya.
Urorektal dan rektovaginal bisa terjadi karena septum urorektal turun ke
bagian kaudal tidak cukup jauh, sehingga lubang paling akhir dari hindgut
berbelok ke anterior sehingga lubang akhir hindgut menuju ke uretra atau ke
vagina. Atresia rektoanal mungkin dapat meninggalkan jaringan fibrous atau
hilangnya segmen dari rektum dan anus, defek ini mungkin terjadi karena adanya
cedera vaskular pada regio ini sama dengan yang menyebabkan atresi pada bagian
lain dari usus. Anus imperforata terjadi ketika membran anal gagal untuk hancur.
2.5.Klasifikasi
Melbourne membagi berdasarkan garis pubocoxigeus dan garis yang melewati
ischii kelainan disebut :
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
I. Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam
berbagai derajat.
II. Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya
membran anus.
III Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-
macam jarak dari peritoneum.
IV. Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum
10
Modifikasi Klasifikasi (Wingspread 1984)
Penggolongan anatomis untuk terapi dan prognosis: (R.Sjamsuhidajat & de Jong,
2010)
Laki-laki: Golongan I
Kelainan Tindakan
1. Fistel urine Kolostomi neonatus
2. Atresia rekti Operasi definitif
3. Perineum datar Usia 4-6 bulan
4. Tanpa fistel. Udara > 1 cm
dari kulit pada invertogram
Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak puntung distal
rektum terhadap marka anus di kulit peritoneum. Pada teknik bayi diletakkan erek
terbalik (kepala di bawah) atau tidur telungkup (prone), dengan sinar horisontal
diarahkan ke trohanter mayor. Dinilai ujung udara yang ads di distal rektum ke
marka anus.
Laki-laki: Golongan II
Kelainan Tindakan
1. Fistel perineum
2. Membran anal meconeum tract Operasi definitif pada neonatus
3. Stenosis ani Tanpa kolostomi
4. Bucket handle
5. Tanpa fistel. Udara < 1 cm
dari kulit pada invertogram
Wanita: Golongan I
Kelainan Tindakan
1. Kloaka
2. Fistel vagina Kolostomi neonatus
11
3. Fistel anovestibuler atau
rektovestibuler
4. Atresia rekti
5. Tanpa fistel. Udara > 1 cm
dari kulit pada invertogram
Wanita : Golongan II
Kelainan Tindakan
1. Fistel perineum
2. Stenosis Operasi definitif pada neonatus
3. Tanpa fistel. Udara > 1 cm
dari kulit pada invertogram
Pada kelainan rendah (atau distal), rectum menembus otot levator anus
sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm. Kelainan
intermedia merupakan kelainan menengah, ujung rectum mencapai tingkat otot
levator anus tetapi tidak menembusnya, sedangkan kelainan pada supralevator
atau kelainan tinggi (proksimal) tidak mencapai tingkat otot levator anus, dengan
jarak antara ujung rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
12
Gambar. Klasifikasi Malformasi Anorektal (Levitt & Peña, 2007)
13
Gambar.Sindrom yang berhubungan dengan Malformasi anorektal (Levitt & Peña,
2007)
2.7.Diagnosis
Kelainan bentuk anorektum biasanya sedemikian jelas sehingga diagnosis
seringkali dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan melakukan
inspeksi secara cermat daerah perineum. Namun demikian, diagnosis kelainan
bentuk anorektum tipe I dan IV menurut klasifikasi Ladd dan Gross dapat
terlewatkan sampai diketahui bahwa bayi mengalami distensi perut dan tidak
dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekoneum. Bayi yang
mengalami kelainan tipe I, atau kelainan letak rendah, baik berupa stenosis
atau anus ektopik lazim mengalami kesulitan mengeluarkan mekoneum atau
mengeluarkan tinja yang menyerupai pita. Namun demikian, pada stenosis
yang ringan, bayi sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama beberapa
bulan setelah lahir. Megakolon sekunder dapat terbentuk akibat adanya
obstruksi kronik saluran cerna bagian bawah di daerah stenosis, yang sering
14
bertambah berat akibat mengerasnya tinja. Pada pemeriksaan colok dubur
dapat ditemukan daerah stenosis pada saluran anus atau rektum bagian bawah..
Bayi dengan kelainan tipe II yang tidak disertai fistula, atau ukuran fistula
terlalu kecil untuk dilalui mekoneum, lazim akan mengalami obstruksi usus
dalam waktu 48 jam segera setelah lahir. Di daerah anus seharusnya terbentuk
umumnya terdapat suatu penonjolan membran tipis yang tampak lebih gelap
dari kulit di sekitarnya, karena mekoneum terletak di balik membran tersebut.
Jika disertai fistula anokutaneus, maka akan ditemukan fistula dari daerah
lekukan anus yang berjalan ke arah anterior di dalam jaringan subkutan sampai
jarak tertentu; mekoneum dapat keluarkan melalui fistula ini.
Pada bayi perempuan dapat ditemukan fistula anovestibular atau
rektovestibular; yang pertama jauh lebih sering dijumpai. Fistula ini seringkali
sukar terlihat dan untuk menemukannya maka labia perlu dipisahkan dengan
spekulum hidung berukuran kecil dan kemudian dilakukan pemeriksaan secara
teliti pada dinding belakang vestibulum vagina. Fistula anovestibular seringkali
sukar dibedakan dengan fistula rektovestibular.
Pada tipe III, atau kelainan letak tinggi atau juga dikenal sebagai agenesis
rektum, di tempat anus seharusnya terbentuk biasanya terdapat suatu lekukan
yang berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih banyak dari kulit di
sekitarnya.
Sebagian besar tipe ini disertai adanya fistula, sehingga pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan muara lubang fistula pada dinding posterior vagina atau
perineum, atau tanda-tanda adanya fistula rektourinaria. Lubang fistula
rektovagina dapat ditemukan pada vestibulum atau jauh lebih tinggi pada
dinding posterior vagina di dekat serviks. Fistula rektourinaria, baik berupa
fistula rektouretra atau rektovesika, ditandai oleh keluarnya mekoneum serta
udara dari uretra. Fistula rektouretra jauh lebih banyak ditemukan dibanding
fistula rektovesika. Dari 41 kasus fistula rektourinaria yang ditemukan 37
kasus di antaranya berupa fistula rektouretra dan hanya 1 kasus berupa fistula
rektovesika, sementara 3 kasus lainnya tidak diketahui secara pasti.
15
Uretra di tempat mana lubang fistula rektourinaria membentuk suatu angulasi
ke arah atas. Oleh karena itu, kateter yang dimasukkan ke dalam uretra
seringkali lebih mudah masuk ke dalam rektum dibanding ke dalam kandung
kemih. Jika ditemukan keadaan semacam ini, maka fistula rektourin yang ada
mungkin berupa fistula rektouretra.
Diagnosis tipe IV dapat terlewatkan sampai beberapa hari karena bayi tampak
memiliki anus yang normal, namun saluran anus pendek dan berakhir buntu.
Manifestasi obstruksi usus terjadi segera setelah lahir karena bayi tidak dapat
mengeluarkan mekoneum. Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan
pemeriksaan colok dubur.
16
Leape (1987) menyatakan bila mekonium didapatkan pada perineum,
vestibulum atau fistel perianal berarti letak rendah . Bila pada pemeriksaan tidak
ditemukan adanya fistel, maka mungkin terdapat kelainan letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisi
udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan vertical
dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.
1. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan rutin tetap harus dilakukan untuk mencari ke lain-lain 50%
sampai 60% penderita ini mempunyai kelainan kongenital di tempat lain.
Yang sering ditemukan adalah:
a. pada traktus genito urinarius
b. kelainan jantung
c. traktus gastrointestinal, misalnya atresia esofagus, atresia
duodenum
d. tulang, misalnya tulang radius tidak ada.
17
3. Fistel vestibulum
Muara fistel di vulva di bawah vagina. Umumnya evakuasi feses lancar selama
penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai
makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam
keadaan optimal.
4. Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur
jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi.
5. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi.
Golongan 2
1. Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal. Dapat
berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marks anus yang
rapat ada di posteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
2. Stenosis ani
Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses
tidak lancar. Sebaiknya secepat mungkin lakukan tetapi definitif
3. Tanpa fistel
Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi.
b. laki-laki
Perlu diperhatikan hal-hal seperti berikut:
1. Perineum: bentuk dan adanya fistel
2. Urine: dicari ada tidaknya butir-butir mekonium di urin.
Dari kedua hal tersebut di atas pada anak laki dapat dibuat golongan-golongan
seperti berikut:
Golongan 1
18
1. Fistel urine
Tampak mekonium keluar dari orificium urethrae eksternum. Fistula dapat
terjadi bila terdapat fistula baik ke urethra maupun ke vesika urinaria. Cara
praktis untuk membedakan lokasi fistel ialah dengan memasang kateter urine.
Bila keteter terpasang dan urine jernih, berarti fistel terletak di urethra yang
terhalang kateter. Bila dengan kateter, urine berwarna hijau, berarti fistel ke
vesika urinaria. Evakuasi feses tidak lancar, dan penderita mernedukan
kolostomi segera.
2. Atresia rekti. Sama dengan wanita. Perineum datar. Menunjukkan bahwa
otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk sempurna.
3. Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Karena tidak ada evakuasi feses
maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan 2
1. Fistel perineum. Sama dengan wanita.
2. Membran anal. Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan
jalan mekonium di bawah kulit. Evaluasi feses tidak ada. Secepat mungkin
sebaiknya dilakukan terapi definitif.
3. Stenosis ani. Sama dengan wanita.
4. Bucket handle (gagang ember).
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember.
Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
5. Tanpa fistel
Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi feses,
sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.
19
2. Fistula pada bagian anterior perineum; fistula anokutaneus.
3. Lubang kecil pada letak yang normal : stenosis anal membran, stenosis
anal/anorectal.
- Bila ditemukan 1 lubang periksa urine apakah mengandung
mekoneum/tidak :
1. Mekoneum (-) foto knee chest position, kemungkinannya :
- Letak tinggi : agenesis anorectal tanpa fistula, agenesis anal tanpa fistula
- Letak rendah : imperforata anal membran.
2. Mekoneum (+), kemungkinannya :
- Letak tinggi : fistula recto-urethral, rectobulber, rectovesical.
b. Pada bayi perempuan :
1. Mekoneum (+) periksa perineum dan semua lubang :
- 1 lubang : fistula rectokloaka
- 2 lubang : fistula rectovaginal
- 3 lubang : fistula anovestibuler, rectovestibuler
2. Mekoneum (-) fistula (-), kemungkinannya :
- anorectal agenesis tanpa fistula
- anal agenesis tanpa fistula
- imperforate anal membrane
2.8.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan malformasi anorektal tergantung klasifikasinya. Pada
malformasi anorektal letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada
beberapa waktu lalu penanganan malformasi anorektal menggunakan prosedur
abdominoperineal pullthrough (APPT), tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries
pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero
sagital anorektoplasty, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus
dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan
pemotongan fistel .
20
Bedah tradisional tidak memperbolehkan tindakan pada bagian posterior
midline Karena otot pada bagian ini dipercaya menyebabkan inkontinensia pada
anak-anak. Sehingga pendekatan dokter bedah untuk malformasi ini
menggunakan kombinasi melalui, abdomen, sacral, dan perineum dengan lapang
pandang yang terbatas
Abdominoperineal pullthrough dilakukan dengan membuka rongga
abdomen agar mendapat visualisasi yang jelas dan identifikasi yang tepat dari otot
puborektalis. Pada operasi “pullthrough” ini bagian usus yang terbawah
dimobilisasi, dan saluran baru dibuat melalui dinding pelvis dengan menggunakan
satu pasang forsep kurva melaluinya, dipertahankan agar tetap dekat dengan
uretra, menuju letak dari anus yang baru dimana rectum dijahit dengan kulit
perineum, membentuk hubungan mukokutaneus.
Secara umum, ketika terdapat lesi letak rendah, yang diperlukan hanyalah
operasi daerah perineal tanpa kolostomi, sedangkan lesi letak tinggi memerlukan
kolostomi segera setelah lahir. Ketika terdapat kloaka persisten, saluran urin perlu
dievaluasi lebih teliti pada saat membuat kolostomi untuk memastikan bahwa
pengosongan yang normal dapat terjadi dan menentukan apakah buli-buli perlu
didrainase dengan vesikostomi. Jika ada keraguan terhadap jenis lesi, lebih aman
untuk melakukan kolostomi daripada membahayakan kesempatan jangka panjang
kontinensia pada bayi dengan melakukan operasi perineal yang tidak tepat.
Keberhasilan penatalaksanaan malformasi anorektal dinilai dari fungsinya
secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk
kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai Goalnya adalah defekasi secara
teratur dan konsistensinya baik.
Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran
rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan
pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi
banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan
operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai
21
klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran
rektum dan ada tidaknya fistula.
Leape (1987) menganjurkan pada :
Atresia letak tinggi & intermediet sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
Atresia letak rendah perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani
ekternus,
Bila terdapat fistula cut back incicion
Stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin , berbeda dengan Pena dimana
dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi.
Penatalaksanaan atresia ani ini bisa dilakukan juga secara preventif, yaitu dengan
cara antara lain :
a. Memberikan nasihat kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia
tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan awetan dan
alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
b. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika
sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat
berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
c. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari
konstipasi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa malformasi anorektal letak tinggi
dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan
diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini tehnik yang paling banyak
dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full
postero sagital anorektoplasti
Prinsip pengobatan operatif pada malformasi anorektal dengan eksplorasi
postero sagital anorektal plastik, akan banyak menggunakan kolostomi
perlindungan atau kolostomi sementara. Ada dua tempat kolostomi yang
dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi, yaitu: transversokolostomi (kolostomi
22
di kolon transversum) dan sigmoidostomi (kolostomi di sigmoid). Bentuk
kolostomi yang mudah dan aman adalah laras ganda (double barrel).
Kolostomi dilakukan pada saat neonates, manfaat melakukan kolostomi
adalah
a. mengatasi obstruksi usus
b. memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih
c. memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain.
Setelah dilakukan kolostomi, tindakan definitif akan dilakukan 3-4 bulan
kemudian. Dengan alasan pasien diharapkan telah memiliki keadaan umum yang
baik, fungsi peristaltis dari pasien sudah membaik. Dan komplikasi-komplikasi
untuk tindakan bedah sudah teratasi seperti gangguan sirkulasi, gangguan jalan
napas, dan keseimbangan cairan elektrolit telah terjaga. Kenapa diambil waktu 3-4
bulan karena menurut Albanese et al, semakin cepat perbaikan dari suatu
malformasi keongenital semakin baik hasil yang didapatkan dan juga lebih cepat
untuk melatih reflex defekasi dari otak merupakan hal yang sangat penting
23
· Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep
antibiotik diberikan selama 8- 10 hari.
· 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan
heger dilatation, 2x sehari dan tiap minggu dilakukan anal
dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai
mencapai ukuran ynag sesuai dengan umurnya .
Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk
UMUR UKURAN
1 – 4 Bulan # 12
4 – 12 bulan # 13
8 – 12 bulan # 14
1-3 tahun # 15
3 – 12 tahun # 16
> 12 tahun # 17
FREKUENSI DILATASI
Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 minggu 2 x dal;am 1 bulan
Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan
Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan
24
c. kontraksi otot yang baik pada colok dubur.
2. Evaluasi psikologis
Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau
sensasi saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orang tua dan kooperasi serta
keadaan mental penderita.
Skoring Klotz
VARIABEL KONDISI SKOR
25
Komplikasi mayor 3
26
Gambar. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus
perempuan9
27
DAFTAR PUSTAKA
Brunicardi, F., Andersen, D. K., Billiar, T. R., Dunn, D. L., Hunter, J. G.,
Matthews, J. B., et al. (2012). Schwartz's Principles of Surgery (9 ed.).
USA: Mc.Graw Hills.
Michael R. Harrison, M., Hanmin Lee, M., Tippi MacKenzie, M., & Lan
Vu, M. (2015). Anorectal Malformation. The Univesity of California , 1-
5.
28