Anda di halaman 1dari 21

Paper Neurologi

EPILEPSI

Oleh:
HAFIZ RAMADHAN
140100060

Pembimbing
dr. Irina Keumala Nst, MKed(Neu), Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Epilepsi”. Penulisan
makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Neurologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Irina
Keumala Nst, Mked(Neu), Sp.S selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 25 November 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................1
1.2 Tujuan ................................................................................................2
1.3 Manfaat ..............................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................3
2.1 Definisi ...............................................................................................3
2.2 Epidemiologi.......................................................................................3
2.3 Klasifikasi ...........................................................................................4
2.4 Etiologi ...............................................................................................5
2.5 Faktor Resiko ......................................................................................6
2.6 Patofisiologi ........................................................................................8
2.7 Diagnosis ............................................................................................10
2.8 Tatalaksana .........................................................................................12
2.9 Komplikasi..........................................................................................14
BAB 3 KESIMPULAN .....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................17

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


2
Epilepsi adalah kondisi dimana seseorang mengalami kejang
berulang.Kejang didefinisikan sebagai gangguan sel saraf otak yang abnormal
dan tidak beraturan yang mengakibatkan gangguan motorik, sensorik, atau
fungsi mental sementara.Bangkitan epilepsi adalah suatu tanda atau gejala
sepintas yang disebabkan oleh aktivitas neuronal di otak yang bersifat sinkron
dan berlebihan.Epilepsi dapat menimbulkan bangkitan epileptik beserta
konsekuensinya yang bersifat neurobiologik, kognitif, psikologik, dan sosial.1

Epilepsi banyak terjadi di seluruh dunia, 80% diantaranya berada di


negara-negara berkembang. Meskipun penderitanya bisa diobati, tetapi terdapat
75% dari orang-orang yang menderita epilepsi menerima pengobatan yang
tidak tepat.2 Sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi fokal, yang
mencakup sekitar 60% dari seluruh sindrom epilepsi pada anak.1

Rata-rata kejadian epilepsi setiap tahun di Amerika Serikat diperkirakan


48 per 100.000 orang. Insidens epilepsi lebih tinggi pada anak-anak.3
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2006 insidens epilepsi di Eropa dan
Amerika Utara antara 25-53 per 100.000 setiap tahun.4 Insidens epilepsi di
Inggris Raya pada tahun 2010 sekitar 51 per 100.000 setiap tahun.2 Menurut
WHO pada tahun 2012 di negara maju kasus baru epilepsi per tahun antara 40-
70 per 100.000, sementara di negara berkembang diperkirakan mencapai 114
per 100.000.5 Data dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI) tahun 2012 penderita epilepsi aktif mencapai 1,8 juta dari seluruh
penduduk, sedangkan perkiraan penderita epilepsi baru yaitu 250.000 orang.6

1
1.1. Tujuan

Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk menguraikan teori-teori


tentang epilepsi mulai dari definisi hingga penatalaksanaannya. Penyusunan paper
ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat

Paper ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman


penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan
mengenal epilepsi, terutama tentang penegakan diagnosis dan tatalaksananya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang terjadi pada
sebagian orang di dunia. Gangguan ini ditandai dengan kejang berulang yang
merupakan episode singkat dari gerakan spontan yang melibatkan sebagian tubuh
saja (parsial) maupun seluruh tubuh (umum), yang dapat disertai dengan
hilangnya kesadaran serta gangguan pengendalian fungsi pencernaan dan
perkemihan.7 Definisi epilepsi menurut ILAE adalah suatu penyakit pada otak
yang ditentukan dengan adanya satu dari keadaan berikut: 1) setidaknya dua
kejang tak terprovokasi (atau refleks) yang muncul dengan interval lebih dari 24
jam, 2) satu kejang tak terprovokasi (atau refleks) dengan adanya kemungkinan
berulang (setidaknya 60%) dalam 10 tahun kedepan setelah adanya dua kejang tak
terprovokasi, 3) Diagnosis sindrom epilepsi.8

2.2 Epidemiologi

.Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi


menyerang 50 juta dari penduduk dunia. Secara global, sekitar 2,4 juta orang
didiagnosa menderita epilepsi setiap tahunnya. Di negara-negara maju, jumlah
kasus baru setiap tahunnya berkisar antara 30 sampai 50 penderita per 100.000
orang dalam populasi umum. Sedangkan di negara berkembang, angka kejadian
dapat mencapai dua kali lipat lebih tinggi.7 Beberapa penelitian di dunia
memperkirakan bahwa prevalensi rata-rata dari epilepsi adalah sekitar 8.2 per
1000 populasi umum. Meskipun demikian, mungkin saja terdapat kekeliruan
karena beberapa penelitian di negara-negara berkembang memperkirakan
prevalensi lebih dari 10 penderita per 1000 orang. Banyaknya orang di dunia yang
mungkin dapat mengalami setidaknya satu kali kejang diperkirakan sekitar 100
juta orang.9 Sedangkan di Indonesia, prevalensi penderita epilepsi di Indonesia
berkisar antara 0,5 – 4 % dengan rata-rata prevalensi epilepsi 8,2 per 1.000

3
penduduk. Bila jumlah penduduk di Indonesia berkisar 220 juta, maka
diperkirakan jumlah penderita epilepsi per tahunnya adalah 250.000.10

2.3 Klasifikasi

Berikut merupakan klasifikasi epilepsi berdasarkan International Leaque


Against Epilepsy (ILAE) 2017:

Gambar 1. Klasifikasi Epilepsi berdasarka ILAE 2017

Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE)11

1. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


2. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat kesadaran. Focal aware
seizure merujuk pada simple partial seizure pada klasifikasi sebelumnya

4
dan focal impaired awareness seizure merujuk pada complex partial
seizure.
3. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness
seizure bila terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama
periode kejang.
4. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan gejala atau
tanda pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior
arrest.
5. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian
aktivitas sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
6. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat
kesadaran. Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang
fokal dapat ditentukan hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
7. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat
menambahkan deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu
jenis kejang yang sudah ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal
emotional seizure dengan tonik pada lengan kanan dan hiperventilasi.
8. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang
tonik-klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk
kejang yang secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
9. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset,
terdapat perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
10. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak
ritmik yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang
regular tidak berkelanjutan.
11. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada
gejakan mengedip selama kejang absans.11

5
2.4 Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:[6]

a. Epilepsi idiopatik

Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar 40% diseluruh


dunia. Penyebab abnormalitas neuroanatomi maupun neuropatologi tidak
diketahui. Epilepsi idiopatik terjadi pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda
dengan MRI otak yang normal dan tidak ada riwayat kelainan medis yang
bermakna sebelumnya. Terdapat predisposisi genetik, beberapa sindrom epilepsi
idiopatik memiliki distribusi autosomal dominan yang mengakibatkan adanya
gangguan pada kanal ion.12

b. Epilepsi simptomatik

Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas struktur otak


yang mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari. Yang
termasuk kategori ini adalah kelainan perkembangan dan kongenital baik akibat
genetik maupun didapat, dan juga kondisi yang didapat. Sebagai contoh: cedera
kepala, infeksi SSP, lesi desak ruang, gangguan peredaran daeah otak, toksik,
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.12,13

c. Epilepsi Kriptogenik

Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih


belum dapat diidentifikasi. Termasuk disini adalah sindrom west, sindrom
Lennox-Gaustat, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan
ensefalopati difus.12

2.5 Faktor Resiko

a. Umur
Penyakit epilepsi dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi

terdapat perbedaan yang mencolok pada kelompok umur tertentu. Terdapat 30-

6
32,9% penderita epilepsi mendapat serangan pertama pada usia kurang dari 4

tahun, 50-51% terdapat pada kelompok umur kurang dari 10 tahun dan

mencapai 75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun, 15% penderita pada usia

lebih dari 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun.3

b. Jenis Kelamin
Di Irlandia pada tahun 2005 prevalensi penderita epilepsi lebih banyak

pada laki-laki sekitar 9,5/1000 dan pada perempuan sekitar 8,6/1000.14

Menurut WHO pada tahun 2012, tidak ada perbedaan yang signifikan

penderita epilepsi antara laki-laki dan perempuan. Penderita epilepsi pada

umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.3

c. Status Sosioekonomi
Tidak ada perbedaan yang signifikan penderita epilepsi oleh karena

sosioekonomi yang tinggi dan rendah. Biasanya penderita epilepsi lebih

banyak pada orang yang memliki sosioekonomi rendah.15

d. Genetika
Berdasarkan penelitian terbaru pada epilepsi diidentifikasikan bahwa

faktor keturunan jarang terjadi. Diperkirakan terjadinya epilepsi dengan faktor

penyebab idiopatik.16 Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan

biasanya terjadi pada masa anak- anak. Bila salah satu orang tua menderita

epilepsi kemungkinan anaknya menderita epilepsi adalah 5%.17

7
e. Ras atau suku bangsa
Tidak banyak perbedaan penderita penyakit epilepsi berdarkan

ras.Berdasarkan sebuah penelitian mengenai epilepsi didapatkan 1,7 kali orang

dengan kulit hitam menderita epilepsi dibandingkan dengan orang yang

berkulit putih.18

f.Cedera Kepala
Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Akibat cedera

dapat menyebabkan kejang- kejang atau baru terjadi 2- 3 tahun kemudian.17

Epilepsi banyak terjadi karena cedera kepala. Menurut WHO pada tahun 2012

cedera kepala mempunyai resiko besar dalam terjadinya penyakit epilepsi.2

Setiap tahun di Eropa sekitar 2 juta terjadi kasus cedera otak traumatis.18,19

2.6 Patofisiologi

Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi
karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar
neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada
membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain.12

Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat


dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam
perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).12

8
1. Mekanisme iktogenesis

Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang


berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan
neuron. Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan
fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,
jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbang-ligan; atau
perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap
Ca2+, mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan yang mengawali
kejang. Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari
perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan
konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan
struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler
menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada
konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada

kadar K2+. Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di
sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau
kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.20

2. Mekanisme epileptogenesis

a. Mekanisme nonsinaptik

Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar


K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+-K+
akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan
keikutsertaan angkutan Cl--K+, yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl-
inhibisi yang diaktivasi oleh GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi.
Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah
neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal
pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting
pada epileptogenesis.12

9
b. Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi
GABAergik dan peningkatan eksitasi glutamatergik.21

o GABA

Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal)


pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari
pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien
ini mengalami penurunan inhibisi.21

o Glutamat

Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan


peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului
kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi
selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan
hipokampus yang non-epileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik
di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik.21

2.7 Penegakan Diagnosa


Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang
yang tidak dipicu. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi
selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda
dan gejala pasien. Oleh karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama.22

Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat


diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan
yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan
mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi,
pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak.22

10
1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena


pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi:

a. Pola atau bentuk serangan

b. Lama serangan

c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan

d. Frekuensi serangan

e. Faktor pencetus

f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

g. Usia saat serangan pertama

h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik dan neurologi

Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda


meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis
sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota
tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral.
Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk
mencari tanda-tanda fokal atau lateral.21

11
3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan
sindrom epilepsi. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan
prediksi prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam
keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi
menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang tajam (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal.22

b. Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah pencitraan otak (neuroimaging)


bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada
pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan
CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik.
Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography
(SPECT), Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan
lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika
pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu
menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan.22

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin. Setiap kali terjadi serangan kejang yang berlangsung sampai
beberapa menit maka akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan

12
menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Pengobatan epilepsi dinilai
berhasil dan ODE dikatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau
penyakit ini menjadi terkontrol dengan obat-obatan.23

Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:


penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam


menangani penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan,
pendekatan yang “mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan epilepsi sering
membutuhkan pengobatan jangka panjang.23

Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi, memberikan


keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang unggul dibandingkan politerapi.
Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada tabel 2.124

Tabel 2.2. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya

Tipe kejang Lini pertama Lini kedua

Kejang parsial

Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide


Parsial kompleks, Lamotrigine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate

13
Kejang umum

Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide


Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin

Absans Ethosuximide Acetazolamide


Lamotrigine Clonazepam
Valproate

Absans atipikal, Valproate Acetazolamide


Atonik, Clonazepam
Tonik Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate

Mioklonik Valproate Acetazolamide


Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam

1. Terapi bedah epilepsi

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan


meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter. Pasien epilepsi
dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi selama 2
tahun dengan sedikitnya 2 OAE yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau
jika terapi medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.

14
Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang atau memisahkan seluruh
daerah epileptogenik tanpa mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal
didekatnya24

2.9 Komplikasi

Berikut adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat epilepsi:25,26


 Fase kejang dapat menyebabkan cedera fisik atau trauma. Jatuh, luka bakar,
fraktur, laserasi, dan memar dapat menurunkan kualitas hidup
 Lansia yang mengalami gejala epilepsi mengalami kehilangan kebebasan dan
kepercayaan diri. Mobilitas dan kepercayaan diri yang berkurang dapat
menyebabkan lansia dipindahkan ke tempat pelayanan lansia seperti panti
jompo.
 Epilepsi berhubungan dengan peningkatan prevalensi gangguan kesehatan
mental termasuk ansietas, depresi, dan pemikiran bunuh diri.
 Lansia dengan epilepsi memiliki tingkat mortalitas 2-3 kali lebih besar
dibanding populasi secara umum.

15
BAB 3

KESIMPULAN

Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang terjadi pada


sebagian orang di dunia. Gangguan ini ditandai dengan kejang berulang yang
merupakan episode singkat dari gerakan spontan yang melibatkan sebagian tubuh
saja (parsial) maupun seluruh tubuh (umum), yang dapat disertai dengan
hilangnya kesadaran serta gangguan pengendalian fungsi pencernaan dan
perkemihan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa yang akurat dan dibantu
dengan pemeriksaan penunjang. Klasifikasi dari epilepsi disesuaikan dengan
klasifikasi International Leaque Against Epilepsy 2017. Penanganan lini pertama
untuk epilepsi adalah terapi dengan obat-obatan. Tindakan bedah hanya
dipertimbangkan apabila terapi dengan obat-obatan mengalami kegagalan atau
disebut epilepsi refrakter.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Joint Epilepsy Council. Epilepsy Prevalence, Incidence and Other The


Statistis. 2011. www.jointepilepsycouncil.org.uk. Diakses 24 Maret 2014
2. Mangunatmadja, Irawan. 2012. News. http://www.fk.ui.ac.id. Diakses 5 April
2014
3. Shafer P, Joseph S. 2013. Epilepsy Statistic. www.epilepsyfoundation.org.
Diakses 30 Septembe2018
4. WHO. 2006. Neurological Disorders Public Health Challenges. Diakses 28
September 2018
5. WHO. 2012. Epilepsy. Fact sheet 999. Diakses 29 September 2018
6. Perdossi. 2012. Epilepsy. Perdossi.or.id. Diakses 29 September 2018
7. World Health Organization. 2017. Epilepsy. World Health Organization.
Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/
8. Acevedo V, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, Engel J Jr, et
al.2014. "ILAE Official Report: A Practical Clinical Definition Of Epilepsy".
Epilepsia 55.4 (2014): 475-482. Accesed 11 May 2017. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24730690
9. World Health Organization, International Bureau of Epilepsy, International
League Against Epilepsy. 2006. The Global Campaign Against Epilepsy “Out
of the Shadows” . World Health Organization
10. World Health Organization.2011. Epilepsy: Aetiology, Epidemiology and
Prognosis. Facsheet No 165, Revised February; 2011 [cited 2013 november
Available from :http://www.who.int
11. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higrashi N, et al.
Instruction Manual for the ILAE 2017 Operational Classification of Seizure
Types. Epilepsia. 58(4): 531-42.
12. Stafstrom CE. Recognizing Seizures and Epilepsy: Insights from
Pathophysiology. In: Miller JW, Goodkin HP, editors. Neurology in
Practice: Epilepsy. New Jersey: Wiley Blackwell; 2014.p. 3-20

17
13. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding.
In: Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. 4th ed. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair; 2014.p.19-32
14. Linehan, Christine, dkk. 2009. The Prevalence of Epilepsy in Ireland.
Brainwave The Irish Epilepsy Association. Irlandia
15. Pan American Health Organization (PAHO). 2013. Report on Epilepsy in
Latin America and The Caribbean. Washington DC
16. Waman,Stephen. 2000. Correlative Neuroanatomy. Mc.Graw-Hill. Edisi 24.
USA
17. Sidharta, Priguna. 2008. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian
Rakyat. Jakarta
18. Riana, Shinta. 2009. Pengaruh Epilepsi Terhadap Terjadinya Gangguan Daya
Ingat Pada Penderita Epilepsi Anak di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Tesis
Mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret
19. Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press.
Edisi ke 7. Yogyakarta
20. Noebels JL, Avoli M, Rogawski MA, Olsen RW. Jasper’s Basic Mechanism of
Epilepsies. New York: Oxford University Press; 2012.
21. Sunaryo, Utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Volume I,Nomor 1 Januari 2007, 49-56
22. Leach JP, O’Dwyer R. Diagnosis of Epilepsy. 1st ed. Epilepsy Simplified.
Malta: Gutenberg Press; 2011.p. 51-67
23. Smith, D. and Chadwick, D., 2001. The Management of Epilepsy. J Neurology
Neurosurgery Psychiatry, 70(suppl II): ii15-ii21.
24. Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael
(Ed.). Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins, 106-125
25. Diagnosis and management of epilepsy in adults; Scottish Intercollegiate
Guidelines Network - SIGN (2015)
26. Brodie MJ, Kwan P. Epilepsi in elderly people. BMJ, 2005;331:1317-21

18

Anda mungkin juga menyukai