PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tranfusi darah secara filosofis mengandung makna luhur, yaitu naluri
kehidupan manusia untuk menolong sesamanya. Darah ditranfusikan kepada
resipien harus dilakukan uji kecocokan golongan darah antara darah pendonor
dengan darah resipien. Uji kecocokan inipun harus diyakini ketepatannya
dengan melakukan uji reaksi silang (crossmatching) sampai 3 tahap.
Mengingat pentingnya transfusi sebagai terapi, penetapan golongan darah dan
persyaratan lain yang harus dipenuhi agar transfusi berjalan dengan baik.
Reaksi silang perlu dilakukan sebelum melakukan transfusi darah
untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan darah donor. Mayor
crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor dan Minor
Crossmatch adalah serum donor dicampur dengan sel penerima. Jika golongan
darah ABO penerima dan donor sama, baik mayor maupun minor test tidak
bereaksi. Jika berlainan umpamanya donor golongan darah O dan penerima
golongan darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian
sehingga Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat
ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang
menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu
kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi
pada suhu 37OC. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya digunakan
cara Crossmatch dengan high protein methode.
B. Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan crossmatch dua donor.
2. Mahasiswa dapat mengetahui kecocokan darah pendonor dengan darah
resipien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Darah selalu dihubungkan dengan kehidupan, baik berdasarkan kepercayaan
saja maupun atas dasar bukti pengamatan. Penggunaan darah yang berasal dari
individu lain dan diberikan secara langsung ke pembuluh darah juga sudah lama
pula dilakakukan, paling tidak sejak abad pertengahan. Pada mulanya, pemberian
darah seperti ini dan kini yang dikenal sebagai transfusi tidak dilakukan dengan
landasan ilmiah, tidak mempunyai indikasi yang jelas dan dilakukan sembarang
saja. Tindakan ini lebih banyak dilakukan atas dasar yang lebih bersifat
kepercayaan, misalnya darah sebagai lambang kehidupan. Indikasi juga tidak
jelas, bukan terutama untuk mengobati penyakit atau memperbaiki keaadaan
karena perdarahan. Lebih sering hal ini dilakukan untuk tujuan seperti peremajaan
jaringan (rejuvenilisasi). Pelaksanaannya juga tidak didasarkan atas pengetahuan
yang cukup. Oleh karena itu tidak heran bila pada masa itu banyak korban karena
tindakan yang dilakukan secara sembarang ini, baik pada donor maupun pada
penerima darah. Bahkan pernah ada suatu masa, tepatnya abad ke-17 dan 18
transfusi dilarang dilakukan di Eropa.
Barulah pada akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20. Fenomena ini dapat
dipahami dengan jelas dan tepat, sehingga tindakan transfusi dapat dilakukan
dengan cara yang jauh lebih aman. Pada masa itu, seorang dokter berkebangsaan
Austria dan bekerja di New York, Karl Landsteiner, menemukan melalui sejumlah
besar pengamatan, bahwa darah manusia yang berasal dari dua orang yang
berbeda tidaklaah selalu dapat dicampur begitu saja tanpa perubahan fisik apapun.
Dalam kebanyakan pengamatan, pencampuran darah yang berasal akan
menyebabkan timbulnya pegendapan sel-sel darah merah. Peristiwa mengendap
sel tersebut dinamai sebagai aglutinasi. Pengamatan selanjutnya memperlihatkan,
bahwa peristiwa ini melibatkan SDM dan bagian cair dari darah, yaitu serum atau
plasma. Serum sesorang tidak dapat mengendapkan SDM orang itu sendiri atau
SDM yang berasal dari orang lain, yang bila darahnya dicampur dengan darah
orang yang pertama, tidak menyebabkan pengendapan. Akan tetapi, bila darah
dari 2 orang berbeda dicampur dan aglutinasi terjadi, maka bila serum dari salah
satu dari orang tersebut dicampur dengan SDM dari orang yang lainnya, akan
terjadi aglutinasi.
Hemolisis atau lebih dikenal dengan kejadian pecahnya sel darah merah
secara normal didalam tubuh tidak dapat dihindari apabila sel darah merah atau
eritrosit sudah mencapai usianya, dengan pecahnya sel darah merah atau eritrosit
didalam tubuh secara normal tubuh direspon untuk membentuk sel darah merah
yang baru. Haemoglobin yang keluar dari sel darah merah atau eritrosit akan
diuraikan oleh organ tubuh yang bertanggung jawab dan bagian yang penting dari
penguraian ini akan dimanfaatkan kembali untuk pembentukan sel darah merah
yang baru. Pada kejadian yang tidak normal jumlah sel darah merah yang pecah
lebih besar dari pada pembentukan sel darah merah yang baru dan mengakibatkan
dari peruraian Hb akan membubung tinggi dan sangat mengganggu organ lain
(organ tubuh).
Kejadian hemolisis yang tidak normal (abnormal) bisa disebabkan oleh
beberapa faktor dari dalam tubuh (invivo) sendiri, misalnya kondisi sel darah
merah itu sendiri kurang baik, atau bisa disebabkan oleh faktor luar (invitro), dari
faktor luar bisa dijumpai akibat dari faktor transfusi darah, karena disebabkan
adanya reaksi antibodi terhadap antigen yang masuk kedalam tubuh atau pada sel
darah merah dan risikonya akan lebih besar apabila sel darah merah donor yang
ditransfusikan tidak cocok dengan antibodi yang berada dalam plasma donor
dengan sel darah merah pasien. reaksi hemolisis in vivo karena transfusi ini
disebut reaksi hemolitik transfusi. Reaksi hemolitik bisa terjadi secara langsung
(direck or indirec) dan dapat berakibat fatal, dan bisa juga reaksinya baru muncul
beberapa waktu kemudian setelah transfusi ( delay hemolitik tarnsfution reaction).
Akibat yang fatal dari reaksi transfusi dikarenakan ketidak cocokan golongan
darah ABO ( antibodi-A,-B,-AB ) yang dibuat secara teratur menurut golongan
darah masing-masing. Disamping itu mungkin ada antibodi lain yang mungkin
dibentuk secara alamiah tetapi tidak beratur ( antibodi -Lewis,-A1,-P1 dll ) atau
antibodi immun
Reaksi transfusi yang baru muncul beberapa waktu kemudian setelah transfusi
( delay hemolitik tarnsfution reaction ) bisa disebabkan karena darah donor
sesungguhnya tidak compatible denga darah pasien, namun dalam reaksi
silang/uji silang serasi menhasilkan false-compatible
Reaksi silang (Crossmatch = Compatibility-test) perlu dilakukan sebelum
melakukan transfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan
darah donor. Pengartian Crossmatch adalah reaksi silang in vitro antara darah
pasien dengan darah donornya yang akan di transfusikan. Reaksi ini dimaksudkan
untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu nantinya akan
dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau adakah plasma donor yang
turut ditransfusikan akan melawan sel pasien didalam tubuhnya hingga akan
memperberat anemia, disamping kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi
yang biasanya membahayakan pasien.
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu mencegah reaksi
hemolitik tranfusi darah bila darah didonorkan dan supaya darah yang ditrafusikan
itu benar-benar ada manfaatnya bagi kesembuhan pasien.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima dan donor
sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi berarti cocok. Jika berlainan,
misalnya donor golongan darah O dan penerima golongan darah A maka pada test
minor akan terjadi aglutinasi atau juga bisa sebaliknya berarti tidak cocok
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga
Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan
cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan hasil percobaan.
Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja tidak dapat
mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada suhu 37 derajat
Celcius. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya digunakan cara
Crossmatch dengan high protein methode. Ada beberapa cara untuk menentukan
reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi silang pada
objek glass
Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibody
kelas IgM yang kuat biasanya menggumpalkan erythrosit yang mengandung
antigen yang relevam secara nyata, tetapi antibody yang lemah sulit dideteksi.
Banyak antibodi kelas IgG yang tak mampu menggumpalkan eryhtrosit walaupun
antibody itu kuat. Semua pengujian antibodi termasuk uji silang tahap pertama
menggunakan cara sentrifugasi serum dengan eryhtrosit. Sel dan serum kemudian
diinkubasi selama 15-30 menit untuk memberi kesempatan antibodi melekat pada
permukaan sel, lalu ditambahkan serum antiglobulin dan bila pendertita
mengandung antibodi dengan eryhtrosit donor maka terjadi gumpalan. Uji saring
terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil yang
kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
BAB III
METODE PERCOBAAN
A. Metode Percobaan
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan crossmatching satu donor ini
adalah metode tabung.
B. Prinsip Percobaan
Prinsip crossmatching ada dua yaitu Mayor dan Minor, yang penjelasnya
sebagai berikut
1. Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor.
Maksudnya apakah sel donor itu akan dihancurkan oleh antibody dalam
serum pasien.
2. Minor crossmatch adalah serum donor dicampur dengan sel penerima.
Yang dengan maksud apakah sel pasien akan dihancurkan oleh plasma
donor. Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah.
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah spoid, tabung
reaksi, pipet tetes, rak tabung, sentrifuge, dan inkubator.
2. Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sampel darah
golongan darah A, B, AB dan O, kapas alkohol, reagen Bovin Albumin
(BA) 22%, suspensi sel darah merah 5%, larutan salin (NaCl 0,9%), larutan
CCC dan reagen AHG
D. Prosedur Kerja Persiapan Bahan
a. Persiapan Sampel
a) Disiapkan alat dan bahan yang ingin digunakan
b) Dilakukan pengambilan darah vena
c) Dimasukkan kedalam tabung EDTA
d) Dihomogenkan
e) Disentrifuge
f) Dipisahkan sel darah dan plasma
b. Pembuatan Bahan
a) Pencucian sel darah merah
1. Disiapkan alat dan bahan yang ingin digunakan
2. Ditambahkan larutan NaCl 0,9% sebanyak ¾ tabung kedalam
SDM
3. Dihomogenkan
4. Disentrifuge selama 2-3 menit dengan kecepatan 2.000 rpm
5. Dibuang larutan NaCl 0,9% yang berada diatas SDM
6. Diulangi langakah 1 -5 sebanyak 3x
b) Pembuatan larutan suspensi sel daran merah 5%
1. Disiapkan alat dan bahan yang ingin digunakan
2. Dimasukkan larutan NaCl 0,9% sebanyak 19 tetes kedalam tabung
reaksi
3. Ditambakan 1 tetes SDM
4. Dihomogenkan
c) Pembuatan AP
1. Dibuat larutan pool SDM 5% yaitu 1 tetes suspense 5% Donor 1
dan 2 dihomogenkan.
2. Dibuat pool plasma yaitu dipipet 2 tetes plasma donor 1 dan 2 lalu
dihomogenkan
3. Diambil 1tetes pool SDM 5% ditambahkan 2 tete pool plasma tadi
lalu dihomogenkan.
E. Cara Kerja dan Hasil Pengamatan
A. Tabel Cara Kerja
Medium Saline (Fase 1)
Mayor test Minor test Auto control PA
2 tetes plasma OS + 2 tetes plasma Dn 2 tetes plasma OS + 1 tetes pool
1 tetes susp sel Dn + 1 tetes susp sel 1 tetes susp sel OS SDM 5%
5% OS 5% 5% Dn1+Dn2
+
2 tetes pool
plasma
Dn1+Dn2
Dikocok perlahan-lahan agar homogen, kemudian putar 3000 rpm selama 15
detik. Dibaca reaksi dengan menggoyangkan tabung perlahan-lahan dan reaksi
dilanjutkan
Medium Bovine Albumin 22% (Fase 2)
Ditambahkan masing-masing tabung 2 tetes Bovine Albumin 22%
Dikocok agar homogeny, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 15 menit
putar 3000 rpm selama 15 detik dibaca hasil reaksi
Medium Anti Globulin (Fase3)
Dicuci 3 kali dengan saline kemudin reaksi dilanjutkan dengan ditambahkan
kedalam masing-masing tabung 2 tetes Anti Human Globulin, dikocok perlahan-
lahan kemudian putar 3000 rpm selams 15 detik dibaca reaksi
Coombs Control Cell (CCC)
Dikontrol semua tabung bila hasil uji silang serasi negative dengan CCC.
Ditambahkan kedalam masing-masing tabung dengan 1 tetes CCC
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tabel Hasil Pengamatan
Medium Saline (Fase 1)
Mayor test Minor test Auto control PA
2 tetes plasma OS + 2 tetes plasma Dn 2 tetes plasma OS + 1 tetes pool
1 tetes susp sel Dn + 1 tetes susp sel 1 tetes susp sel OS SDM 5%
5% OS 5% 5% Dn1+Dn2
+
2 tetes pool
plasma
Dn1+Dn2
Dikocok perlahan-lahan agar homogen, kemudian putar 3000 rpm selama 15
detik. Dibaca reaksi dengan menggoyangkan tabung perlahan-lahan dan reaksi
dilanjutkan
C. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pemeriksaan crossmatching dua
donor. Crossmacth merupakan pemeriksaan yang dilakukan sebelum
melakukan transfusi darah ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
adanya antibodi IgG pada plasma pasien atau donor yang akan bereaksi
dengan sel darah donor atau pasien dan memastikan bahwa darah donor
sudah sesuai dan cocok untuk ditransfusikan pada pasien dan untuk
memastikan bahwa transfusi darah tidak menimbulkan reaksi apapun pada
pasien.
Crossmatching adalah proses pengujian darah pasien terhadap sampel
donor potensial, menemukan kecocokan dari kompatibilitas. Pemeriksaan
ini untuk mengetahui apakah sel darah merah donor bisa hidup didalam
tubuh pasien, dan untuk mengetahui ada tidaknya antibodi IgM maupun IgG
dalam serum pasien (mayor) maupun dalam serum donor yang melawan sel
pasien (minor). Pada crossmatching ini ada 2 reaksi silang yang akan
dilakukan yaitu Mayor dan Minor.
Pada crossmatching dua donor ini dilakukan dengan 4 macam reaksi
yaitu Mayor, Minor, Auto control (AK) , dan AP. Pada reaksi mayor
eritrosit donor yang mengandung antigen direaksikan dengan plasma atau
serum resipien yang mengandung antibodi. Pada reaksi minor eritrosit
resipien direaksikan dengan serum/plasma donor. Auto Kontrol (AK) disini
eritrosit dan serum resipien direaksikan. Pada AP direaksikan antara eritrosit
dan plasma dari donor 1 dan donor 2.
Pemeriksaan crossmatching ini dilakukan melalui 3 fase yaitu fase salin,
fase penambahan bovine albumin dan fase penambahan AHG kemudian
dilanjutnya dilakukan verifikasi dengan CCC. Pada fase 1 atau fase salin,
fase ini untuk menilai kecocokan antibody alami dengan antigen eritrosit
antara donor dan resipien fase ini dapat menunjukkan penggolongan darah
ABO. Fase 1 dilakukan dengan cara pada tabung mayor 1 tetes SDM 5%
donor ditambahkan 2 tetes plasma resipien, lalu pada tabunng minor 1 tetes
SDM 5% resipien ditambahkan 2 tetes plasma donor, kemudian pada AK I
tetes SDM 5% resipien ditambahkan 2 tetes plasma resipien, lalu pada AP
diisi 1 tetes pool SDM 5% donor 1 + donor 2 ditambahkan 2 tetes pool
plasma donor 1 + donor 2, dan selanjutnya dihomogenkan lalu disentrifuge
selama 15-20 detik kemudian dibaca hasil. Pada fase ini diperoleh hasil
negatif tidak terbentuk aglutinasi sehingga dapat lanjut ke fase selanjutnya,
tetapi jika hasil yang diperoleh positif maka pemeriksaan harus dihentikan
dan dicarikan donor yang baru, hal ini biasanya terjadi jika terjadi kesalahan
pada saat penentuan golongan darah.
Fase 2 penambahan bovin albumin 22% fase ini bertujuan untuk
mendeteksi antibody anti-Rh dan meningkatkan sensitivitas tes antiglobulin
dengan menggunakan media bovin albumin 22%. Antibodi kelas IgM yang
kuat biasanya menggumpalkan eritrosit yang mengandung antigen yang
relevam secara nyata, tetapi antibodi yang lemah sulit dideteksi. Banyak
antibodi kelas IgG yang tak mampu menggumpalkan eritrosit walaupun
antibodi itu kuat antibody IgG merupakan tipe antibody warm sehingga
dapat bereaksi secara cepat pada suhu 370C. Fase 2 dilakukan dengan cara
pada masing-masing tabung dari fase 1 yaitu mayor, minor dan AK
ditambahkan 2 tetes BA 22% lalu diinkubasi selama 15 menit pada suhu
370C ini bertujuan untuk memberi kesempatan antibodi melekat pada
permukaan sel. Selanjutnya disentrifuge selama 15-20 detik kemudian
dibaca hasil jika negative maka dilakukan pencucian sebanyak 3 kali. Pada
fase ini diperoleh hasil negative dan dapat dilanjutkan ke fase 3, sebaliknya
jika hasilnya positif terjadi aglutinasi maka harus dihentikan karena adanya
kemungkinan perbedaan Rh pada donor dan resipien.
Fase 3 yaitu dengan penambahan AHG (Anti Human Globulin), fase ini
untuk mendeteksi keberadaan antibody IgG yang dapat menimbulkan
masalah dalam transfusi yang tidak dapat terdeteksi pada kedua fase
sebelumnya. Pada fase ini dilakukan dengan cara pada masing-masing
tabung tadi dari fase 2 ditambahkan 2 tetes AHG kemudian disentrifuge
selama 15-20 detik lalu dibaca hasil. Diperoleh hasil yaitu negative tidak
terbentuk aglutinasi yang berarti tidak ada antibody IgG pada sampel darah
resipien ataupun donor sehingga transfusi darah dapat dilakukan, sebaliknya
jika tejadi aglutinasi yang berarti ada antibody IgG baik itu dari resipien atau
donor maka transfuse tidak dapat dilakukan karena antibody ini nantinya
akan bereaksi dengan antigen dalam darah donor sehingga harus dicarikan
donor yang lain lagi
Terakhir yaitu dilakukan validasi dengan menggunakan larutan CCC
yaitu pada masing-masing tabung tadi mayor, minor, AK dan AP
ditambahkan 2 tetes CCC lalu disentrifuge kemudian dibaca hasil jika
hasilnya positif terjadi aglutinasi berarti proses crossmasstching yang
dilakukan sudah benar sedangkan jika hasilnya negatif tidak terbentuk
aglutinasi maka pada proses crossmatching yang dilakukan ada kesalahan
atau kekeliruan dalam pengerjaannya .
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan praktikum crossmatching dua donor ini maka diperoleh
hasil yaitu pada fase 1 atau fase salin diperoleh hasil pada mayor, minor, AK
dan AP negative tidk terbentuk aglutinasi. Fase 2 penambahan BA 22%
diperoleh hasil pada masing-masing tabung tadi negative lalu pada fase 3
penambahan AHG diperoleh hasil pemeriksaan negatif terakhir yaitu validasi
dengan CCC diperoleh hasil positif aglutinasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan
crossmatching ini maka dapat disimpulkan bahwa darah resipien dan donor
memiliki kecocokan sehingga transfuse darah dapat dilakukan.
B. Saran
Selama praktikum berjalan praktikan harus mematuhi aturan laboratorium,
memakai APD lengkap untuk menghindari terjadinya kecelakaan kerja, serta
selalu teliti dan hati-hati selama proses pengerjaan
DAFTAR PUSTAKA