Anda di halaman 1dari 14

INFEKSI TETANUS

Disusun oleh:

dr. Ade Irma Malyana Artha

Dokter Pendamping:

dr. Ni Ketut Wenny Christiyanti, S.Ked

PROGRAM INTERNSIP

PUSKESMAS BANJAR 1, BULELENG – BALI

TAHUN 2017
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang ditandai dengan gangguan neuromuskular
akut berupa kekakuan dan kejang otot akibat eksotoksin spesifik (tetanospasmin) dari kuman
anaerob Clostridium tetani. Tetanospasmin yang diproduksi mampu menghambat
neurotransmitter GABA dan glisin sehingga tidak terjadi hambatan aktivitas refleks otot. Spasme
otot dapat terjadi lokal (di sekitar infeksi), sefalik (mengenai otot-otot kranial), umum atau
generalisata (mengenai otot-otot kranial maupun anggota gerak dan batang tubuh). Spasme
seringkali terjadi pada otot-otot leher dan rahang yang mengakibatkan penutupan rahang (trismus
atau lockjaw).1,2
Hingga saat ini tetanus masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup
mendapat perhatian sebab minimnya akses program imunisasi yang kurang serta tata laksana
tetanus modern yang membutuhkan fasilitas perawatan intensive care unit (ICU) yang jarang
tersedia untuk penderita tetanus berat. Faktor-faktor lain yang juga memperburuk prognosis
infeksi ini yaitu masa inkubasi yang singkat, stadium penyakit yang berat, terutama pada usia
lanjut usia dan neonatus, kenaikan suhu yang tinggi, pengobatan yang lambat, serta munculnya
komplikasi berupa status konvulsi atau gagal jantung.1,3
Tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah diserangnya serta tata
laksana yang kompleks pada pasien penderita tetanus mengharuskan kita untuk waspada
terhadap pencegahan penyakit ini, salah satunya adalah dengan melakukan perawatan luka dan
tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yag luka secara benar dan tepat. Hal yang harus kita
ketahui dalam mewaspadai infeksi tetanus adalah kekebalan aktif yang pernah diterima oleh
seseorang juga harus diperkuat dengan pemberian booster untuk meningkatkan kekebalan tubuh
seseorang.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Mortalitas tetanus di Negara berkembang cukup tinggi yang melebihi 50% dengan angka
kematian mencapai 80.000-1.000.000 orang per tahun, yang sebagian besar terjadi pada
neonatus. Bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung melaporkan 156 kasus tetanus di tahun
1999-2000 dengan angka mortalitas mencapai 35,2%. Penelitian di RS Sanglah, Bali tahun 2003-
2004 mendapatkan 54 kasus tetanus dengan angka mortalitas mencapai 47%.1

Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang tergolong bakteri gram
positif. Dalam keadaan biasa, bakteri ini berada dalam bentuk spora dan dalam kondisi anaerob
berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi eksotoksin berupa neurotoksin
tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah yang menimbulkan gejala-gejala penyakit tetanus.
Bentuk spora bakteri ini berada di sekitar kita, terutama pada karat-karat besi, tanah, rumput-
rumput, bambu, kotoran hewan dan manusia. Untuk pertumbuhannya, kuman ini membutuhkan
suasana anaerob yang akan terjadi apabila luka disertai dengan banyak jaringan nekrotik di
dalamnya, atau luka bernanah akibat infeksi bakteri lain, seperti bakteri Staphylococcus aureus.1,2

Jenis-jenis luka yang cenderung menyebabkan penyakit tetanus antara lain luka dengan
patah tulang terbuka, luka tembus, luka berisi benda asing, terutama pecahan kayu, luka dengan
infeksi piogenik, luka dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka
superfisial yang nyata berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang (lebih dari 4
jam), abortus dengan septis, persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat
tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit dengan jaringan
nekrotik, segala macam tipe gangren, operasi bedah pada saluran cema mulai dari mulut sampai
anus, dan otitis media puralenta.1,3

1.1 Patofisiologi

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob.
Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam
periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu
jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah
kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus;
pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah
pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan
anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan
toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang
bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki
efek klinis.3,4
Mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat, yaitu
pada neuromuscular junction toksin masuk dan bermigrasi melalui jaringan perineural ke
susunan saraf pusat. Toksin yang berikatan pada neuromuscular junction akan menyebar melalui
saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan,
kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Selain itu, diketahui bahwa
toksin juga dapat melalui pembuluh limfe dan darah masuk ke susunan saraf pusat.1,2

Gambar
2.1

Patogenesis Tetanus
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah vesicle
associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptide tunggal.
Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini
mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan
glisin dan γ-aminobutyric acid (GABA). Hal ini menyebabkan kegagalan menghambat refleks
motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak.1,2

1.2 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi infeksi tetanus berbeda-beda di tiap individu, umumnya berkisar 3-21 hari
(rata-rata 7 hari). Selang waktu sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme
pertama disebut periode onset. Makin singkat periode onset (<48 jam) atau periode inkubasi (<7
hari) menunjukkan makin berat penyakitnya. Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas
trias, yaitu: rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Kelompok otot dengan jalur
neuronal pendek mudah terinfeksi, karena gejala yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat
masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Spasme otot muncul
spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik, visual, auditori, atau emosional.2,4
Manifestasi klinis tetanus bervariasi, terdiri dari 4 macam, yaitu:

a. Tetanus lokal

Berupa kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot di sekitar
atau proksimal luka. Tetanus jenis ini dapat berkembang menjadi tetanus umum,
tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.2,3

b. Tetanus sefalik

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari. Hal ini
dapat disebabkan oleh luka di area kepala, otitis media kronis, atau adanya benda
asing dalam rongga hidung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan
ciri khas trismus, risus sardonicus (ekspresi muka menyeringai), sakit tenggorokan,
dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus.
Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan
penampakan tidak simetris.2,3

c. Tetanus umum/generalisata2,3,4

Gejala klinis dapat berupa trismus (50%) akibat kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang mengakibatkan kaku kuduk dan sulit
menelan, kekakuan dada, perut, punggung (opistotonus), rasa sakit dan kecemasan
yang hebat serta kejang umum. Gejala-gejala ini terjadi akibat rangsangan ringan
seperti sinar, suara, dan sentuhan dengan kesadaran pasien yang tetap baik.

Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianosis atau asfiksia. Suhu tubuh dapat naik sedikit, ataupun mencapai 40oC.
Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai
takikardi, bahkan ada kemungkinan pasien meninggal. Diagnosa tetanus ini
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.

Gambar 2.2 Gejala-gejala Tetanus

d. Tetanus neonatorum2

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat. Infeksi
C. tetani masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang
masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh
penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-
obatan tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya neonatal tetanus. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan
untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh kekakuan dan spasme.

Masa inkubasi neonatal tetanus berkisar antara 3 -14 hari, tetapi bisa lebih pendek
atau pun lebih panjang. Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya masa
inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosis makin buruk. Prognosis
tetanus neonatus buruk bila umur bayi yang terinfeksi kurang dari 7 hari, masa
inkubasi 7 hari atau kurang, periode timbulnya gejala kurang dari 18 jam, serta
dijumpai spasme otot.

Gambar 2.3 Tetanus neonatorum

Komplikasi Tetanus

Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi
serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas
atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan
apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot
adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme
atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Komplikasi pada
tetanus lainnya dapat terjadinya akumulasi sekret berupa pneumonia serta kompressi fraktur
vertebra dan laserasi lidah akibat kejang. Selain itu bisa terjadi rhabdomyolisis dan gagal
ginjal.2,3

Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat
berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa
minggu lagi. Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot
tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan
berlangsung 1-2 minggu.4
1.3 Klasifikasi Infeksi Tetanus1,4

Sistem penilaian tetanus yang tersering menggunakan skala Ablett. Selain itu juga terdapat
Phillips score dan Dakar score.

Tabel 2.1 Severitas Tetanus Menurut Ablett

Tabel 2.2 Phillips Score

Keterangan
<9 = severitas ringan
9-18 = severitas sedang
> 18 = severitas berat

Tabel 2.3 Dakar Score


Dakar Score
Faktor Prognosis
Score 1 Score 0
Periode inkubasi <7 hari ≥7 hari atau tidak diketahui
Periode onset <2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus, fraktur
Selain dari yang disebut atau tidak
Tempat masuk terbuka, luka operasi, injeksi
diketahui
intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam >38,4oC <38,4oC
Dewasa >120x/menit Dewasa <120x/menit
Takikardi
Neonatus >150x/menit Neonatus <150x/menit
Keterangan
Skor 0-1 = prognosis ringan, mortalitas <10%
Skor 2-3 = prognosis moderat, mortalitas 10-20%
Skor 4 = prognosis buruk, mortalitas 20-40%
Skor 5-6 = prognosis sangat buruk, mortalitas >50%

1.4 Tata Laksana

Prinsip tata laksana pada infeksi tetanus, yaitu membuang sumber tetanospasmin,
menetralisasi toksin yang tidak terikat, dan perawatan penunjang (suportif) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.1

Membuang Sumber Tetanospasmin

a. Manajemen luka

Semua luka yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C. tetani harus mendapat
perawatan luka, jika perlu dilakukan debridemen. Pada luka traumatik, riwayat imunisasi
pasien perlu didapatkan. Tetanus Toksoid (TT) dapat diberikan jika riwayat booster terakhir
lebih dari 10 tahun atau riwayat imunisasi tidak diketahui. Bila riwayat imunisasi terakhir
lebih dari 10 tahun lalu, maka tetanus immunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan
luka bukan faktor penentu pemberian TIg.1,4

b. Eliminasi bakteri
Antibiotik yang menjadi drug of choice yaitu Metronidazol loading dose dengan dosis inisial
15 mg/kgBB/jam selanjutnya 30 mg/kgBB/hari tiap 6 jam selama 7-10 hari. Obat ini efektif
mengurangi jumlah kuma dalam bentuk vegetatif. Sebagai alternatif, dapat digunakan
penisilin rokain 1,2 juta unit IM atau IV tiap 6 jam selama 10 hari. Jika terjadi
hipersensitivitas, dapat diberikan Tetrasiklin 500 mg PO tiap 6 jam selama 10 hari, atau
Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis selama 10 hari. Antibiotik yang digunakan hanya
dapat mengeradikasi C. tetani, tetapi tidak berdampak pada gangguan neurologis yang sudah
terjadi.1,4

Netralisasi Toksin yang Tidak Terikat

Antitoksin harus diberikan untuk menetralisasi toksin-toksin yang belum berikatan.


Human tetanus immunoglobulin (HTIG) harus segera diinjeksikan secara IM dengan dosis total
3000-10.000 unit, terbagi dalam 3 dosis yang sama dengan tempat penyuntikan di tiga tempat
berbeda. Untuk bayi, injeksi HTIG diberikan sebanyak 500 IU IM dosis tungal. Dosis HTIG
sebagian dapat diinjeksikan di tempat sekitar luka. HTIG hanya dibutuhkan sekali penyuntikan
sebab waktu paruhnya selama 25-30 hari, makin cepat penyuntikan maka efektivitas makin
baik.1,3,4
Anti tetanus serum (ATS) dapat digunakan sebagai alternatif, tetapi perlu dilakukan skin
test terlebih dahulu untuk menguji hipersensitivitas. Dosis 100.000-200.000 unit diberikan
50.000 IU IM diikuti dengan 50.000 IU dengan dosis IV lambat pada hari pertama. Pada hari
kedua diberikan ATS dosis 60.000 IU IM dan 40.000 IU IM pada hari ketiga. ATS juga dapat
disuntikkan di area sekitar luka bila pembedahan eksisi luka memungkinkan.1,4

Saat pasien sembuh sebelum keluar dari rumah sakit, wajib diberi injeksi vaksin Tetanus
Toksoid (TT) untuk memberikan kekebalan aktif, sebab pasien yang sudah pernah terinfeksi
tetanus dan dinyatakan sembuh maka tidak memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi tetanus.
Pemberian Tetanus toksoid diberikan dengan dosis inisial 0,5 mL toksoid IM dalam 24 jam
pertama. TT dapat disuntikkan bersamaan dengan antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dengan alat suntik yang berbeda.1

Terapi Suportif
Pasien-pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU guna bisa diobservasi secara
kontinu. Penanganan jalan napas menjadi prioritas, waspada terhadap hal-hal yang mengganggu
respirasi seperti spasme otot, spasme laring, aspirasi, ataupun dosis besar sedatif. Selain itu,
pasien sebaiknya dirawat di ruang isolasi dengan kondisi kamar yang tenang dan gelap untuk
menghindari rangsangan dari luar guna meminimalkan risiko spasme paroksismal yang
dicetuskan oleh stimulus ekstrinsik. Selain itu, tetap dilakukan pengaturan keseimbangan cairan
dan elektrolit disertai pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah sebagai penuntun terapi.
Pasien juga diposisika sedemikian rupa guna mencegah pneumonia aspirasi.1,4

Diet cukup kalori (3500-4500 kalori per hari) dan protein (100-150 gr). Bentuk makanan
tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila trismus, makanan dapat diberikan per
sonde atau parenteral.1
Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis guna mengurangi
spasme otot dan rigiditas. Dosis diazepam yang direkomendasikan yaitu 0,1-0,3 mg/kgBB/kali
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis. Pada pasien usia <2 tahun, dosis diazepam yang
direkomendasikan yaitu 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg tiap 3 jam.1,2
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5
mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10 mg/kali diulang setiap kali kejang.
Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 6 x 0,5
mg/kgBB/kali sehari (dosis maksimal 240 mg/hari).2

Pada pasien anak, spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal (BB <10
kg) dan 10 mg per rektal (BB≥10 kg) atau secara intravena dengan dosis 0,3 mg/kgBB/kali. Bila
dalam kondisi tetanus yang berat, dosis diazepam dapat diberikan sampai 480 mg/hari dengan
bantuan ventilasi mekanik. Tanda klinis membaik bila tdak dijumpai spasme spontan, badan
masik kaku, kesadaran membaik (tidak koma), serta tidak dijumpai gangguan pernapasan.
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak
diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus.1,2

1.5 Pencegahan Infeksi Tetanus


Pencegahan tetanus pada pasien yang belum terpapar bakteri C. tetani dilakukan dengan
vaksin Tetanus Toksoid (TT) dengan suntikan booster tiap 10 tahun. Penderita yang pernah
terinfeksi tetanus tidak memiliki kekebalan tubuh aktif terhadap seragan ulangan, artinya
penderita tersbut memiliki kesempatan yang sama untuk terinfeksi tetanus lagi dibandingkan
dengan orang lainnya yang tidak pernah diimunisasi. Hal ini dikarenakan toksin yang masuk ke
dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan antitoksin alami sebab tetanospasmin
sangat poten dan toksisitasnya sangat cepat, meskipun dalam konsentrasi yang minimal.4,5

Tindakan pencegahan tetanus terhadap orang yang luka sebaiknya dilakukan dengan
sebaik-baiknya, yaitu dengan perawatan luka secara baik dan benar, pemberian vaksin tetanus,
pemberian antitoksin tetanus, serta pemberian antibiotik yang tepat. Perawatan luka secara benar
dilakukan guna mengeradikasi bakteri C. tetani yang berkontak langsung dengan luka,
membuang jaringan yang tidak vital lagi untuk mencegah suasana anaerob serta sebaik mungkin
melakukan rekonstruksi/eksplorasi luka sehingga terjadi suasana yang aerob. Perawatan luka
harus dilakukan secepat mungkin disertai teknik aseptic yang tepat serta dilakukan teknik
perwatan luka dengan meratakan pinggiran luka yang compang-camping, mengangkat jaringan
yang sudah diragukan vitalitasnya, serta mengangkat benda asing sampai tidak ada yang
tertinggal.4,5
Tabel 2.4 Profilaksis Tetanus

Guna pencegahan infeksi tetanus pada luka yang berisiko, antitoksin tetanus harus segera
diberikan, yaitu heterologous antitoksin (ATS) dan human tetanus immunoglobulin (HTIG). ATS
diambil dari serum kuda yang telah divaksinasi sebelumnya. Jadi, ATS ini mengandung protein
kuda yang dapat diterima tubuh sebagai zat asing dan dapat menimbulkan reaksi sensitivitas
yang hebat pada pemberian kedua dan seterusnya sehingga harus dilakukan skin test terlebih
dahulu sebelum penyuntikan intramuskular. HTIG dibuat dari serum manusia dan sangat minim
memberikan dampak hipersensitivitas. HTIG dapat disuntikkan pada pasien dengluka yang
kotor, luka yang cenderung berisiko infeksi tetanus, pasien yang belum pernah mendapat
imunisasi aktif sebelumnya, ataupun pasien dengan proteksi tetanus parsial. Dosis pemberian
berbeda-beda sesuai usia, yaitu 250-500 IU pada dewasa, 250 IU pada anak di atas 10 tahun, 125
IU pada anak usia 5-10 tahun, serta 75 IU pada anak di bawah 5 tahun.2,4,5
Daftar Pustaka

1. Laksmi, NKS. Penatalaksanaan tetanus. Cermin Dunia Kedokteran (CDK)-222. 2014; 41:
p. 823-7
2. Hinfey PB. Brusch JL, editor. Tetanus. 2017. [Dikutip tanggal 25 November 2017].
[Diunduh dari: https://emedicine.medscape.com/article/229594-overview]
3. Ritarwan K. Tetanus. USU Digital Library. 2004; p. 1-10
4. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Tetanus. 2015. [Dikutip tanggal 25
November 2017]. [Diunduh dari: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook
/tetanus.html]
5. Alberta Health Services. Tetanus prevention, prophylaxis, and wound/injury management
standard. Immunization Program Standards Manual Population, Public, and Aboriginal
Health. 2016; p. 1-6

Anda mungkin juga menyukai