Rabies
Rabies
Oleh:
dr. Putu Amanda Yoga
Pembimbing:
dr. Ni Ketut Wenny Christiyanti
Sementara itu 30% pasien lainnya mengalami rabies paralitik. Rabies jenis ini
biasa tampak tidak begitu menonjol dibandingkan jenis furious. Perlahan-lahan
otot mengalami paralisis dimulai dari lokasi gigitan atau cakaran, penurunan
kesadaran muncul secara gradual hingga kematian. Jenis ini seringkali tidak
didiagnosis sehingga jumlahnya tidak sebanyak jenis furious. Pada rabies koma
biasanya terjadi mulai hari kesepuluh pasca pajanan walau durasinya bervariasi.
Tanpa perawatan intensif, kematian biasanya terjadi segera setelah koma.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien yang memiliki gejala ensefalitis dan dicurigai dengan rabies,
biopsi kulit dari tengkuk leher dapat dilakukan untuk mendeteksi antigen rabies
dalam persarafan di kulit dengan fluoresensi antibodi. Walau kurang diminati,
kerokan epitel kornea atau impresi sentuh kornea untuk fluoresensi antibodi
juga dapat digunakan. Tindakan ini membutuhkan anestesi okuler dan
sebaiknya dilakukan di dokter spesialis mata yang kompeten melakukan
prosedur ini.
Deteksi rabies juga dapat dilakukan dengan kultur virus dan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR). Sampel yang dapat diambil termasuk air
liur, biasanya virus akan tampak dalam 2 minggu pasca pajanan. Cairan
serebrospinal biasanya memberikan gambaran rabies dalam 1 minggu pasca
pajanan dengan monositosis. Tes glukosa dan protein biasanya normal.
Pemeriksaan jaringan otak biasa dilakukan postmortem dengan pewarnaan
imunohistokimia atau fluoresensi. Patognomonik yang ditemukan adalah
badan Negri atau badan inklusi sitoplasma dari virion yang terakumulasi dalam
neuron terinfeksi rabies. Biasanya ditemukan di horn of Ammon hipokampus
dan korteks otak.
5. Tata Laksana
Tata Laksana Farmakologis
Pasien dengan rabies simptomatik harus mendapat penanganan rawat inap
untuk mendapat bantuan pada sistem kardiopulmoner. Pemberian
vaksinasi rabies dan HRIG bsudah inefektif dan imunoglobulin rabies
biasanya terkait dengan kematian lebih cepat sehingga tidak disarankan.
Terlepas dari tatalaksananya, rabies simptomati biasanya fatal dengan
disfungsi otonom yang berujung pada aritmia jantung dan hipotensi.
Protokol Milwaukee atau yang juga dikenal dengan sebutan protokol
Wisconsin adalah metode penatalaksanaan rabies yang dilakukan dengan
membuat pasien jatuh dalam koma yang diinduksi secara kimiawi dan
memberikan obat-obatan antivirus. Koma ini bertujuan untuk melindungi
jaringan otaknya dari virus rabies sementara sistem imun tetap bekerja
memproduksi antibodi untuk melawan virus. Obat untuk menginduksi
koma yang diberikan adalah ketamin dan midazolam untuk menekan
aktivitas otak. Sementara itu obat antivirus yang diberikan adalah ribavirin
dan amantadin sembari mengamati respon sistem imunnya melawan virus.
Pasien pertama yang ditangani dengan metode ini pada masa kanak-kanak
dapat tumbuh dewasa walau dengan sequelae neurologis yang minimal.
Metode terapi lain seperti terapi imunomodulator dengan imunoglobulin
rabies, vaksin rabies, dan interferon masih belum memberikan bukti yang
sahih karena jumlah sampel yang belum cukup banyak. Steroid biasanya
diindikasikan pada reaksi vaksinasin atau edema serebral, namun
dikontraindikasikan karena meningkatkan laju mortalitas pada studi
hewan dan responnya terhadap vaksinasi sendiri.
6. Prognosis
Pada pasien yang tidak divaksin, rabies nyaris selalu menyebabkan kematian
setelah gejala neurologis tampak. PEP atau profilaksi pasca pajanan memiliki
tingkat kesuksesan untuk mencegah penyakit ini yang tinggi jika dilakukan
dengan benar, dalam 6 hari pasca pajanan. Jika dimulai segera, PEP memiliki
keefektifan 100% dalam mencegah rabies. Prosedur Milwaukee memiliki
tingkat kesuksesan 12%, lebih tinggi dibanding yang tidak dirawat dengan
prosedur tersebut.
KESIMPULAN