Anda di halaman 1dari 12

RABIES

Oleh:
dr. Putu Amanda Yoga

Pembimbing:
dr. Ni Ketut Wenny Christiyanti

PUSKESMAS BANJAR I BULELENG


2017
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi & Etiologi


Rabies adalah sebuah penyakit yang menyebabkan inflamasi pada otak
manusia dan mamalia lainnya. Penyakit ini disebabkan oleh virus jenis
lyssavirus yang disebarkan dari cakaran atau gigitan hewan yang terinfeksi. Air
liur hewan yang terinfeksi dapat menyebarkan virus rabies jika mengalami
kontak dengan mata, mulut, atau hidung. Di dunia, hewan yang paling banyak
menyebabkan rabies adalah anjing. Risiko penularan penyakit ini dapat
dicegah dengan program vaksinasi hewan dan pengendalian hewan. Imunisasi
pada manusia juga disarankan pada kelompok orang yang berisiko tinggi
seperti bekerja dengan hewan penular rabies atau berada di tempat endemik
rabies.
Semua hewan berdarah hangat, termasuk manusia, mamalia, dan burung dapat
terinfeksi rabies walau pada kebanyakan burung bersifat asimptomatik.
Kebanyakan hewan yang terinfeksi virus ini dapat menularkannya ke manusia
seperti kelelawar, monyet, rakut, rubah, sapi, serigala, anjing, dan kucing yang
terinfeksi. Virus ini biasanya menetap di sistem saraf dan air liur hewan yang
simptomatik. Hewan yang terinfeksi rabies biasanya lebih agresif, dapat
menyerang tanpa provokasi, dan menunjukkan perilaku yang tidak wajar akibat
modifikasi patogen.
Setelah menginfeksi manusia, virus akan masuk ke sistem saraf perifer dan
melalui saraf aferen menuju sistem saraf pusat. Pada fase ini virus sulit
dideteksi dan vaksinasi masih dapat mencegah timbulnya rabies. Ketika virus
mencapai otak, virus akan menyebabkan esefalitis dengan cepat dan memulai
timbulnya gejala. Ketika gejala timbul, terapi jarang sekali efektif dan
menyebabkan mortalitas pada 99% kasus. Rabies juga dapat menyebabkan
inflamasi pada korda spinalis.
2. Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi rabies. Sumber:
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1130&sectionid=79739517
Patofisiologi rabies berbeda berdasarkan manifestasi klinisnya. Patofisiologi
rabies paralitik diduga disebabkan oleh penyusunan ulang sel anterior horn
korda spinalis. Bukti yang ada saat ini menunjukkan disfungsi saraf perifer
berdasarkan studi elektrofisiologi. MRI dengan jelas menunjukkan keterlibatan
sel anterior horn pada pasien paralitik. Pada kedua bentuk rabies, substansia
grisea korda spinalis dan sel horn anterior terlibat dalam gambar axial gradient-
echo T2-weighted walau kolumna posterior dan lateral juga tampak terlibat.
Lebih lanjut lagi, tampak perubahan hiperintensitas ringan pada batang otak,
hipokampus, hipothalamus, substansia alba dalam dan subkortikal, serta
substansia grisea dalam dan kortikal. Penemuan ini biasanya tampak jelas sejak
hari ketiga dari pajanan, bahkan saat pasien dalam keadaan sadar. Ketika pasien
koma, lesi semakin jelas terlihat pada batang otak, hipothalamus, dan cabang
persarafan tulang belakang.
Pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan adanya disfungsi saraf perifer
dengan temuan demielonisasi dan varian GBS aksonal. Disfungsi saraf perifer
disimpulkan dari adanya demielinasi multifokal bersama neuropati sensorik,
penurunan kecepatan konduksi, perpanjangan latensi distal, dan hilangnya
amplitudo motorik dan sensorik tanpa potensial denervasi. Gejala neuropati
lokal dapat disebabkan oleh dorsal root ganglionopathy.
Pada rabies paralitik mekanismenya melibatkan kerusakan sel saraf dan
antibodi, baik neutralizing antibody maupun autoantibodi terhadap antigen
saraf perifer. Faktor lain yang diduga memicu adalah mekanisme dependan sel.
Pada pemeriksaan patologi, derajat inflamasi saraf perifer pada rabies paralisis
lebih berat dibanding furious rabies.
3. Manifestasi Klinis
Rata-rata masa inkubasi rabies adalah 1-3 bulan namun gejala dapat timbul dari
hitungan hari hingga lebih dari 1 tahun pasca pajanan. Gejala awal yang timbul
adalah demam disertai rasa kesemutan yang tidak wajar, sensasi tertusuk atau
terbakar (paresthesia) pada lokasi luka.
Selama fase prodromal virus menyebar ke sistem saraf pusat, terjadi inflamasi
berbahaya pada otak dan korda spinalis. Manifestasi klinis biasanya timbul
lebih jelas pada masa-masa ini, dengan gejala non-spesifiknya berupa rasa
tidak enak badan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, demam, menggigil,
faringitis, mual, muntah, diare, ansietas, insomnisa, hingga depresi .
Periode neurologis akut merupakan periode yang menunjukkan tanda-tanda
perkembangan gangguan sistem saraf pusat. Durasinya selama 2-7 hari. Gejala
biasa berupa fasikulasi otot, priapisme, dan kejang baik fokal maupun umum.
Terdapat dua jenis bentuk rabies yang dapat terjadi. Pasien dengan furious
rabies menunjukkan gejala hiperaktivitas, bersemangat, hidrofobia (takut air),
dan kadang aerofobia (takut angin). Keluhan dapat disertai halusinasi dan
keinginan untuk menggigit. Dalam beberapa jam hingga hari keluhan dapat
bersifat episodik dan ditengarai oleh fase di mana pasien tampak tenang,
kooperatif, periode lucid. Episode furious dapat dipicu oleh stimulus visual,
auditorik, taktil, dan bahkan spontan. Setelah beberapa hari kematian terjadi
akibat henti jantung-paru.

Sementara itu 30% pasien lainnya mengalami rabies paralitik. Rabies jenis ini
biasa tampak tidak begitu menonjol dibandingkan jenis furious. Perlahan-lahan
otot mengalami paralisis dimulai dari lokasi gigitan atau cakaran, penurunan
kesadaran muncul secara gradual hingga kematian. Jenis ini seringkali tidak
didiagnosis sehingga jumlahnya tidak sebanyak jenis furious. Pada rabies koma
biasanya terjadi mulai hari kesepuluh pasca pajanan walau durasinya bervariasi.
Tanpa perawatan intensif, kematian biasanya terjadi segera setelah koma.

4. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien yang memiliki gejala ensefalitis dan dicurigai dengan rabies,
biopsi kulit dari tengkuk leher dapat dilakukan untuk mendeteksi antigen rabies
dalam persarafan di kulit dengan fluoresensi antibodi. Walau kurang diminati,
kerokan epitel kornea atau impresi sentuh kornea untuk fluoresensi antibodi
juga dapat digunakan. Tindakan ini membutuhkan anestesi okuler dan
sebaiknya dilakukan di dokter spesialis mata yang kompeten melakukan
prosedur ini.
Deteksi rabies juga dapat dilakukan dengan kultur virus dan metode
Polymerase Chain Reaction (PCR). Sampel yang dapat diambil termasuk air
liur, biasanya virus akan tampak dalam 2 minggu pasca pajanan. Cairan
serebrospinal biasanya memberikan gambaran rabies dalam 1 minggu pasca
pajanan dengan monositosis. Tes glukosa dan protein biasanya normal.
Pemeriksaan jaringan otak biasa dilakukan postmortem dengan pewarnaan
imunohistokimia atau fluoresensi. Patognomonik yang ditemukan adalah
badan Negri atau badan inklusi sitoplasma dari virion yang terakumulasi dalam
neuron terinfeksi rabies. Biasanya ditemukan di horn of Ammon hipokampus
dan korteks otak.

Gambar 2. Negri body pada rabies.1


Hal lain yang dapat ditemukan termasuk kongesti serebran dan inflamasi yang
tipikal pada ensefalitis. Kematian sel neuron juga dapat tampak pada
kebanyakan kasus. Walau begitu, hanya 70% dari sampel biopsi jaringan otak
pasien ensefalitis rabies yang memberiksan gambaran ini. Pemeriksaan
mikroskop elektron lebih sensitif dan memberikan gambaran virion berbentuk
seperti peluru.
Analisis gas darah biasanya memberikan gambaran alkalosis respiratorik dari
hiperventilasi pada periode prodromal dan fase neurologi akut, kemudian
diikuti oleh asidosis respiratorik seiring perburukan dan depresi napas. Pada
pemeriksaan darah, leukosit bisa normal atau meningkat. Pada urinalisis dapat
ditemukan albuminuria dan piuria steril.
Menjelang progresi fase neurologis rabies, pemeriksaan radiologi dada dapat
memberikan gambaran infiltrat akibat aspirasi, pneumonia nosokomial, acute
respiratory distress syndrome (ARDS), atau gagal jantung kongestif.
Pada MRI dan CT-scan otak biasanya tidak ada kelainan yang tampak
sementara pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) biasanya memberikan
gambaran perubahan ke arah ensefalopati. Amplitudo EEG bisa menurun
drastis dan meniru kematian otak pada satu minggu awal penyakit akibat
vasospasme umum arteri serebral. Hal ini juga bisa ditunjang dengan adanya
kelainan refleks pupil yang anisokor atau menetap akibat disautonomia. Hal ini
bisa kembali seiring dengan kembalinya aliran darah.

5. Tata Laksana
 Tata Laksana Farmakologis
Pasien dengan rabies simptomatik harus mendapat penanganan rawat inap
untuk mendapat bantuan pada sistem kardiopulmoner. Pemberian
vaksinasi rabies dan HRIG bsudah inefektif dan imunoglobulin rabies
biasanya terkait dengan kematian lebih cepat sehingga tidak disarankan.
Terlepas dari tatalaksananya, rabies simptomati biasanya fatal dengan
disfungsi otonom yang berujung pada aritmia jantung dan hipotensi.
Protokol Milwaukee atau yang juga dikenal dengan sebutan protokol
Wisconsin adalah metode penatalaksanaan rabies yang dilakukan dengan
membuat pasien jatuh dalam koma yang diinduksi secara kimiawi dan
memberikan obat-obatan antivirus. Koma ini bertujuan untuk melindungi
jaringan otaknya dari virus rabies sementara sistem imun tetap bekerja
memproduksi antibodi untuk melawan virus. Obat untuk menginduksi
koma yang diberikan adalah ketamin dan midazolam untuk menekan
aktivitas otak. Sementara itu obat antivirus yang diberikan adalah ribavirin
dan amantadin sembari mengamati respon sistem imunnya melawan virus.
Pasien pertama yang ditangani dengan metode ini pada masa kanak-kanak
dapat tumbuh dewasa walau dengan sequelae neurologis yang minimal.
Metode terapi lain seperti terapi imunomodulator dengan imunoglobulin
rabies, vaksin rabies, dan interferon masih belum memberikan bukti yang
sahih karena jumlah sampel yang belum cukup banyak. Steroid biasanya
diindikasikan pada reaksi vaksinasin atau edema serebral, namun
dikontraindikasikan karena meningkatkan laju mortalitas pada studi
hewan dan responnya terhadap vaksinasi sendiri.

 Tata Laksana Non-farmakologis


Profilaksis pasca pajanan atau post-exposure prophylaxis (PEP) dengan
vaksinasi rabies atau dan imunoglobulin rabies merupakan langkah efektif
untuk mencegah penyakit pada pasien yang sudah terpajan risiko sebelum
timbulnya gejala rabies sesuai dengan manifestasi klinis. Luka bekas
gigitan dan cakaran sebaiknya dicuci dengan sabun selama 15 menit,
povidone iodine, atau deterjen
Jenis kontak yang membutuhkan profilaksis rabies atau tidak dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Profilaksis pada rabies. Sumber: WHO
Semua pajanan kategori II dan III memiliki risiko perkembangan menjadi
rabies dan risikonya meningkat bila mamalia yang menggigit termasuk
vektor spesies atau reservoir rabies, tampak sakit atau menunjukkan
perilaku tidak wajar, ada luka pada mukosa atau membran yang
terkontaminasi saliva hewan, gigitan tidak dipicu provokasi, dan hewan
tidak divaksin walau pada daerah epidemis status vaksinasi tidak menjadi
penentu apakah seseorang mendapat vaksin atau tidak.

Berikut adalah algoritma yang diterapkan di Indonesia berdasarkan


Peraturan Menteri Kesehatan.
Gambar 3. Algoritma profilaksis rabies. Sumber:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/Infoda
tin-Rabies-2016.pdf
Pencegahan rabies
Rabies adalah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi sehingga
vaksinasi rabies pada anjing merupakan metode yang paling efisien secara
ekonomi. Vaksinasi hewan terutama anjing telah menurunkan prevalensi
rabies secara signifikan di banyak negara terutama Amerika Latin.
Pencegahan rabies juga dapat dilakukan dengan mengontrol anjing
peliharaan agar tidak menggigit orang lain.
Imunisasi pada manusia sebelum pajanan juga merupakan metode yang
aman dan efektif, sangat direkomendasikan pada orang yang senang
bepergian terutama di luar ruangan dan daerah rural, menikmati bersepeda,
berkemah, atau mendaki gunung, serta pendatang yang tinggal di daerah
dengan risiko tinggi pajanan terhadap rabies.
Pekerjaan-pekerjaan yang berisiko tinggi terpajan rabies juga membutuhkan
imunisasi pra-pajanan seperti pekerja laboratorium yang bekerja dengan
virus rabies hidup dan virus terkait rabies lain (Lyssavirus). Pekerja yang
seringkali memiliki kontak langsung dengan kelelawar, karnivora, dan
mamalia di daerah endemik rabies juga dapat merasakan manfaat vaksinasi
ini. Selain itu, anak-anak juga dianggap memiliki risiko lebih tinggi karena
sering bermain dengan hewan dan dapat mengalami gigitan yang parah atau
bahkan tidak melaporkan gigitan, terutama di daerah dengan risiko tinggi

6. Prognosis
Pada pasien yang tidak divaksin, rabies nyaris selalu menyebabkan kematian
setelah gejala neurologis tampak. PEP atau profilaksi pasca pajanan memiliki
tingkat kesuksesan untuk mencegah penyakit ini yang tinggi jika dilakukan
dengan benar, dalam 6 hari pasca pajanan. Jika dimulai segera, PEP memiliki
keefektifan 100% dalam mencegah rabies. Prosedur Milwaukee memiliki
tingkat kesuksesan 12%, lebih tinggi dibanding yang tidak dirawat dengan
prosedur tersebut.
KESIMPULAN

Rabies merupakan penyakit infeksi akibat Lyssavirus yang menyerang sistem


persarafan. Penyakit ini dapat ditularkan oleh berbagai jenis mamalia ke manusia,
terutama anjing, kucing, kera, dan kelelawar. Penyakit ini biasanya menimbulkan
efek fatal jika sudah mencapai stadium klinis. Tata laksana pasien ini adalah dengan
profilaksis pasca pajanan atau PEP dan protokol Milwaukee. Penyakit ini dapat
dicegah dengan vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gompf SG (2017). Rabies: Background, Etiology, Epidemiology. [online]


Emedicine.medscape.com. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/220967-overview [Accessed 4 Nov.
2017].
2. 1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill;
2012.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran jilid II.
Ed ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
4. World Health Organization. Rabies Fact Sheet No. 99. 2013. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/ [Accessed 4 Nov. 2017]
5. Hemachudha T, Wacharapluesadee S, Mitrabhakdi E, Wilde H, Morimoto K,
Lewis RA. Pathophysiology of human paralytic rabies. Journal of NeuroVirology,
11: 93–100. 2005

Anda mungkin juga menyukai