Siti Hudaiyah atau akrab disapa Haha merupakan mahasiswa aktif Departemen Silvikultur Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Disela-sela menjalankan perkuliahan, Haha juga aktif berorganisasi,
ko-asisten praktikum, dan terkadang menulis. Ia berharap agar mahasiswa kehutanan mampu
menyumbangkan gagasan-gagasan yang lebih besar untuk keberlanjutan hutan Indonesia.
Indonesia tidak pernah luput dari catatan kelam kebakaran hutan. Kawasan hutan Indonesia seluas 125,9
juta hektare merupakan anugerah, dan dalam waktu yang bersamaan bisa juga menjadi musibah karena
kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi sering parah dan berdampak serius bagi lingkungan dan
kesehatan. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai sorotan di mata dunia karena mencerminkan tata kelola
hutan yang buruk. Lalu, mengapa kebakaran hutan di Indonesia terus terjadi?
1. Pra kemerdekaan
a. Penggunaan api diperkirakan mulai lebih dari ratusan tahun yang lalu yang dibuktikan dengan
adanya timbunan sisa-sisa terbakarnya vegetasi di dalam tanah di hutan hujan tropis.
b. Peningkatan populasi di Jawa pada tahun 1870 menyebabkan hilangnya hutan-hutan primer di
Jawa yang disertai dengan aktivitas manusia: api untuk berburu, kesenangan, pembersihan
lahan, akses, dan perubahan hutan menjadi lahan peternakan.
c. Asap tercium sampai bermil-mil jauhnya di laut pada saat penjelajah Eropa mendarat di
Kalimantan.
d. Kebakaran hutan menjadi dasar aturan (ordonansi) pada masa pemerintah Hindia Belanda
maupun kerajaan antara lain:
1) Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura (1927) pasal 20
2) Provinciale Bosverordening Midden Java (pasal 14) yang menyebutkan upaya kesiapsiagaan
menghadapi musim kebakaran di bulan Mei sampai dengan November dan tata cara
penggunaan api (pembakaran) di perbatasan hutan.
3) Rijkblad-Soerakarta Ongko 11 (tahun 1939) yang memuat “anulak bencana geni ing alas”
atau tatatanan untuk menolak bencana yang diakibatkan oleh api di dalam hutan.
(Soedarmo, 1999).
e. Pembukaan ratusan ribu hektar hutan untuk perkebunan karet, kopi, dan teh, baik di Jawa
maupun Sumatera pada masa sebelum kemerdekaan mulai muncul saat transmigrasi penduduk
Jawa sebelum kemerdekaan yang dilakukan oleh bangsa Eropa ke wilayah Sumatera Bagian
Utara.
2. Pascakemerdekaan
Periode kebakaran hutan dalam skala besar yang terjadi di Indonesia dimulai dari tahun 1982-1983,
1987, 1991, 1994, 1997-1998, dan 2015.
a. 1982/1983
Tahun 1982/1983 terjadi kemarau panjang yang menjadi pemicu kebakaran besar di Kalimantan
Timur yang menghancurkan 3,2 juta hektar dengan kerugian mencapai lebih dari 6 triliun rupiah.
b. 1987
Tahun 1987 tercatat hutan seluas 66.000 Ha terbakar (luas total diperkirakan sepuluh kali lebih
luas dari angka tersebut) yang menyebar mulai dari Sumatera bagian barat, Kalimantan sampai
Timor sebelah timur.
c. 1991
Tahun 1991 pada lokasi-lokasi yang hampir sama dengan kebakaran pada tahun 1987 dengan
luas 500.000 Ha dan menimbulkan dampak terjadinya asap pada skala lokal.
d. 1994/1995
Tahun 1994 terjadi kebakaran besar di Pulau Sumatera dan Kalimantan dengan luasan 500.000
Ha pada tahun 1991 dan lebih dari 5 juta hektar pada tahun 1994 akibat kemarau panjang.
Bencana asap tersebar hingga Malaysia dan Singapura yang kemudian mendasari beberapa
proyek dan kerjasama Internasional dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
e. 1997/1998
Kebakaran hutan tahun 1997/1998 menjadi bencana lingkungan paling buruk sepanjang abad
karena membakar hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan seluas 11,7 juta hektare
dan menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7 miliar dolar. Kebakaran menyebabkan bencana
asap, lumpuhnya transportasi massal, roda perekonomian masyarakat, dan kesehatan
penduduk hingga negara tetangga dan mengganggu stabilitas politik.
f. 2002-2009
Kebakaran hutan besar juga terjadi pada periode tahun 2002, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan
2009 baik di areal milik perusahaan perkebunan, konsesi hutan dan milik masyarakat yang
tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran periode ini memiliki kekhasan karena terjadi
dengan modus operandi yang jelas yaitu penyiapan lahan untuk pembakaran baik yang
dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan baik kehutanan maupun perkebunan. Dampak
terhadap lingkungan menjadi-jadi karena instansi yang berwenang sudah mulai kewalahan dan
tidak sedikit yang ikut bermain karena menyangkut mitra bisnis atasannya.
g. 2010-2015
Diketahui bahwa jumlah titik api mulai tahun 2010 hingga 2013 adalah 4.152, 22.128, 20.850,
15.107. Luas kebakaran hutan yang tercatat pada tahun 2013 dan 2014 adalah 4.918,74 dan
44.411,36 hektare. Bencana kebakaran hutan dan lahan dengan skala besar periode ini terjadi
pada tahun 2015 mencapai 2,61 juta Ha dan menghasilkan emisi dari kebakaran gambut sebesar
389.804,21 Gg CO2 eq. Perkiraan biaya ekonomi akibat kebakaran mencapai Rp 221 triliun. Hal
ini menyebabkan terganggunya sistem transportasi, melumpuhkan perekonomian masyarakat,
kesehatan, bencana asap hingga mencapai Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
h. 2016-sekarang
Indonesia mendapat kecaman dari berbagai pihak atas kebakaran besar pada tahun 2015 dan
banyak belajar sehingga angka kebakaran terus menurun dari tahun ke tahun. Luas kebakaran
hutan pada tahun 2016-September 2018 yaitu 14.604,84, 11.127,49, dan 4.666,39 hektare.
Kebakaran hutan dan lahan terus terjadi dari tahun ke tahun, dan titik api selalu menyebar di
beberapa wilayah bagian di Indonesia.
1. Kerusakan fisik
Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan tegakan, kebun, bangunan, tanah, dan air. Hutan yang
terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya
tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir.
2. Kerusakan biologis
Kebakaran hutan mengubah sifat fisika-kimia dan biologi tanah, mengubah iklim mikro akibat
hilangnya tumbuhan, menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, terganggunya suksesi alami,
terganggunya produksi bahan organik dan proses dekomposisi.
3. Pencemaran lingkungan
Pencemaran yang terjadi berupa penurunan kualitas udara, pencemaran tanah, dan pencemaran air,
juga turut memberikan andil terjadinya efek rumah kaca.
4. Transportasi
Kepekatan asap yang memperpendek jarak pandang sehingga mengganggu transportasi baik darat,
laut, maupun udara.
5. Kesehatan
Timbulnya asap yang mengganggu kesehatan masyarakat terutama masyarakat seperti infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia, iritasi mata dan kulit. Selain itu,
diduga kebakaran hutan ini dapat menghasilkan racun dioksin, yang dapat menyebabkan kanker dan
kemandulan bagi wanita.
6. Sosial
7. Ekonomi
Dampak ekonomi kebakaran hutan antara lain meliputi dibatalkannya jadwal transportasi darat-air
dan udara, hilangnya tumbuh-tumbuhan terutama tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi,
biaya pengobatan masyarakat, turunnya produksi industri dan perkantoran, biaya pengendalian
kebakaran hutan, serta anjloknya bisnis pariwisata.
Masyarakat di sekitar kawasan hutan seringkali menggunakan api untuk persiapan lahan. Metode
penggunaan api dalam kegiatan persiapan lahan dilakukan karena murah dari segi biaya dan efektif
dari segi waktu dan hasil yang dicapai cukup memuaskan.
Kegiatan pembalakan liar banyak menghasilkan lahan-lahan kritis rawan terbakar. Kegiatan
pembalakan liar seringkali meninggalkan bahan bakar (daun, cabang, dan ranting) yang semakin lama
semakin bertambah di kawasan hutan. Bahan bakar ini akan mengering dan sangat bepotensi sebagai
penyebab kebakaran hutan pada musim kemarau. Selain itu, areal yang terbuka juga memperbesar
peluang penyebaran kebakaran hutan.
Masyarakat sekitar kawasan hutan tidak lepas dari ternak dan penggembalaan. Hutan akan dibakar
pada masa-masa tertentu agar dapat menumbuhkan rumput dengan kualitas bagus dan tingkat
palatabilitas tingi untuk pakan ternak.
5. Perambahan hutan
Bertambahnya jumlah keluarga dan semakin kompleknya kebutuhan hidup, menuntut penduduk
untuk menambah luasan lahan garapan mereka dengan cara membuka hutan agar hasil pertanian
mereka dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Sebab lain
Sebab lain yang bisa menjadi pemicu terjadinya kebakaran adalah faktor kurangnya kesadaran
masyarakat terhadap bahaya api berupa ketidaksengajaan dari pelaku yang interaksinya tinggi
dengan hutan.
Ketentuan pidana mengenai kebakaran hutan diatur dalam pasal 78 Ayat 3 yaitu: Barang siapa dengan
sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat 3 Huruf d, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar
rupiah). Pasal 78 Ayat 4: Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 Ayat 3 Huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp.1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Namun demikian usaha ini belum sepenuhnya diterapkan di seluruh wilayah yang rawan kebakaran di
Indonesia, sehingga kebakaran masih terus terjadi hingga saat ini. Keterbatasan sarana prasarana di
lapangan menjadi tantangan terberat dalam penanganan kebakaran hutan. Disamping itu, lemahnya
pengawasan dan penegakan hukum juga menjadi titik kelemahan penanganan kebakaran di Indonesia
yang harus dikoreksi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2018. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan
(Ha) per Provinsi di Indonesia Tahun 2013-2018. Diakses dari http://sipongi.menlhk.go.id pada
tanggal 30 September 2018.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2018. SiPongi. Diakses dari
http://sipongi.menlhk.go.id/manggalaagni/sipongi pada tanggal 30 September 2018.
Partono, S. 2014. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia dan Upaya Pengendaliannya. Yogyakarta:
Seminar Benih Unggul untuk Hutan Tanaman Restorasi Ekosistem dan Antisipasi Perubahan
Iklim Di Yogyakarta.
Rasyid, Fahmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar Widyaiswara 1(4): 47-
69.
Trinirmalaningrum, Dalidjo, N., Siahaan, F.R., Wisyanto, U., Achsan, I.A., Primandari, T., Wardana, K.W.
2015. Dibalik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015. Jakarta: The Asia
Foundation.