PENDAHULUAN
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari appendisitis akut yang terjadi bila
Appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh omentum
dan/atau lekuk usus halus.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix
terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya
Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat dengan Plicaileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus
mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu
berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan
oleh lokasi Caecum. Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan
menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis
pada usia tersebut.2,3
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dari arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus. Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang
dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri. Bila terjadi
penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren. Gambaran histologi
Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya. Pada usia
15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya
mengalami obliterasi pada orang dewasa.1,2,3
2
Gambar 2.1. Appendix vermicularis 1
3
Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Appendiks menghasilkan lendir 1-2
ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan
pada patogenesis apendisitis.Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi
virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.3
2.3 Epidemiologi
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang
dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. Sekitar 7 % dari populasi akan
mendapatkan apendisitis dalam Insiden apendisitis tertinggi pada kelompok umur 10-30
tahun. Apendisitis merupakan kedaruratan bedah paling sering di Negara- Negara Barat.
Namun dalam tiga- empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna.
Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam
menu sehari-hari. Apendisitis akut adalah kasus bedah akut abdomen yang merupakan
indikasi paling sering untuk segera dilakukan tindakan bedah dimana lebih dari 250.000
pasien dioperasi dengan suspek apendisitis di United State setiap tahun. 1,2
2.4.1 Obstruksi
4
mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
sepertimeasles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Apendisitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat
tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Apendisitis. 3,4
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal
mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix
normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan
intraluminal. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,
mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah
epigastrium.3,4
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi
tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan
tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual,
muntah dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix
dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke
kuadran kanan bawah.4
5
dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah.
Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi
perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas ante mesenterik. Di awal
proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB,
dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Apendisitis,
khususnya pada anak-anak. 3
Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietal sebelum terjadi
perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di
retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi
di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau
Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Apendisitis dapat menyebabkan nyeri saat
6
berkemih,atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi Appendix akan menyebabkan
terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan
progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap
perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6
C, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat
tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam
tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak
memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir
penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih
tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abses tersebut dapat
diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.3,4
Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering di-
jumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.3
2.4.2 Bakteriologi
Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal.
Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Apendisitis didapatkan bakteri jenis
anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang
normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika
pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding
lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Apendisitis
acuta ke Apendisitis gangrenosa dan Apendisitis perforata. Apendisitis
merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis
bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.3,4
Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Flora pada
Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri
ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix,
Apendisitis acuta dan Apendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes
7
fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria
dapat ditemukan.3,4
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Apendisitis perforata dan
non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, sering kali
pasien telah mengalami perbaikan. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien
dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat –obatan atau penyakit lain dan
pasien yang mengalami abscess setelah terapi Apendisitis. Perlindungan antibiotik
terbatas 24-48 jam pada kasus Apendisitis non perforata. Pada Apendisitis perforata,
antibiotik diberikan 7- 10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak
demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal
dan transperitoneal masih kontroversi.2,3
Pada tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan
kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan
kondisi tertentu pada pencernaan. Apendisitis, penyakit Divertikel, carcinoma
Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara
8
orang yang memakan makanan dengan kandungan serat lebih tinggi. Burkitt
mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora
normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.2,3
Apendisitis akut
Apendisitis kronik
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema,
dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan
appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif danpasif. Nyeri dan defans
muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
9
c. Apendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu,
hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah(pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
2.5.5.Apendisitis Kronis
10
2.6. Manifestasi klinis 1,2,3
b. Gejala muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan kelanjutan dari rasa
sakit yang timbul permulaan, hal ini terjadi pada 59.3% penderita. Gejala rasa mual pula
terjadi pada 46.7 % penderita.
d. Demam tidak tinggi (kurang dari 38⁰C) juga ditemui pada 21.8% penderita, kekakuan
otot, dan konstipasi.
e. Apendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri
lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa lebih
tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya.
f. Nyeri tekan di daerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di
daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal.
11
2.7.1 Pemeriksaan Fisik
2) Auskultasi : peristaltik usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
3) Palpasi : nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans
muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut
kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Jika sudah terbentuk
abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat membendung daerah
apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari (waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang fixed
dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka
massa dapat diraba pada RT (Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasanya ditemukan distensi perut. Secara klinis, dikenal beberapa
manuver diagnostic.
a) Rovsing’s sign: dikatakan positif jika tekanan yang diberikan pada perut kuadran kiri
(LLQ) abdomen menghasilkan sakit disebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
b) Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot
psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau
abses.
12
c) Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian digerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada caraini menunjukan
peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
d) Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri
di RLQ)
g) Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau
Appendix letak pelvis.
13
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan
nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Penyakit
infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium
yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium
merupakan alat bantu diagnosis. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil
laboratorium nilai leukosit dan neutrophil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil
yang karakteristik.
Hintung Leukosit
Hintung leukosit adalah menghintung jumlah leukosit per milimeterkubik
atau microliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem
pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroosganisme atau jaringan asing,
sehingga hintung jumlah leukosit merupakan indikator yang baik untuk
mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.
Jumlah leukosit dipengaruhi oleh umur, penyimpangan dari keadaan basal
dan lain-lain. Pada bayi baru lahir jumlah leukosit tinggi, sekitar 10.000 –
30.000/ul. Jumlah leukosit tertinggi pada bayi umur 12 jam yaitu antara 13.000-
38.000 /ul. Setelah itu jumlah leukosit turun secara bertahap dan pada umur 21
tahun jumlah leukosit berkisar antara 4500-11.000/ul. Pada keadaan basal
jumlah leukosit pada orang dewasa antara 5000-10.000/ul. Jumlah leukosit
meningkat setelah melakukan aktifitas fisik yang sedang, tetapi jarang lebih dari
11.000/ul.
Bila jumlah leukosit lebih dari nilai rujukan, maka keadaan tersebut disebut
leukositosis. Leukositosis dapat terjadi secara fisiologik maupun patologik.
Leukositosis yang fisiologik dijumpai pada kerja fisik yang berat, gangguan
emosi, kejang, takikardi paroksismal, partus dan haid. Leukositosis patologik
pula dijumpai pada proses infeksi atau radang akut. Peningkatan leukosit juga
bisa disebabkan oleh obat-obatan, misalnya : aspirin, prokainmid, allopurinol,
14
kalium yodida, sulfonamide, heparin, digitalis, epinefrin, dan antibiotika
terutama ampicillin, eritromisin, tetracycline, vancomisin dan streptomisin.
Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya leukositosis
11.000-14.000/mm3 dengan pemeriksaan hinting jenis menunjukan pergeseran
ke kiri hamper 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.00/mm3 maka umumnya
sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Kombinasi antara kenaikan angka
leukosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan
diagnose apendisitis akut. Tes laboratorium untuk apendisitis bersifat kurang
spesifik, sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konformasi
penegakan diagnosa. Jumlah leukosit untuk apendisitis akut adalah
>10.000/mm, sehingga gambaran leukositosis dengan peningkatan granulosit
dipakai sebagai pedoman untuk apendisitis akut. Kontrovesinya adalah beberapa
penderita dengan apendisitis akut, memiliki jumlah leukosit dan granulosit tetap
normal.
a) Foto polos abdomen - dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik
meragukan. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. perselubungan mungkin
terlihat ´ileal atau caecal ileus´ gambaran garis permukaan air-udara disekum atau
ileum. Patognomonik bila terlihat gambar fekalit.
15
USG abdomen mempunyai spesifisitas 88.09% dan sensitivitas 91.37% dalam
mendiagnosa apendisitis.
3) CT Scan - Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG.
Selain dapat mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari
6mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik. Pasien-
pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-
scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostic. Dinding pada appendix yang
terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”. Walaupun CT scan dapat
membatu mendiagnosa apendisitis lebih akurat dari USG dan mengurangi kejadian
apendektomy negative, pada anak-anak dan dewasa muda, paparan radiasi CT scan
menjadi perhatian khusus. Menurut suatu studi yang dilakukan di Korea pada tahun
2011, membuktikan bahwa pengunaan CT scan ‘Low Dose’ dosis rendah yaitu 116
mGy.cm setanding kepentingannya dengan ‘Standar Dose’ dosis standar yaitu 521
mGy.cm. Didapatkan hasil appendektomi negative pada penggunaan CT scan dosis
rendah adalah 3.5% dan CT scan dosis standar adalah 3.2 %. Maka penggunaan CT
scan dosis rendah sebagai pemeriksaan radiologis lini pertama pada penderita suspek
apendisitis dapat berguna dalam mengurangi appendektomi negatif dan juga
mengurangi jumlah paparan radiasi.
16
Gambar 2.3: inflamasi apendik dengan Gambar 2.4: Pembesaran tubular.6
apendik ‘target sign’.6
Foto polos Tidak ada tidak ada peran dalam diagnosis apendisitis
akut, namun dapat menunjukkan adanya
fekolit pada beberapa kasus.
Computed Indentifikasi apendik yang dengan sensitivity 94% dan spesifisiti 95%
Tomography abnormal atau apendikolit yang dalam diagnosis apendisitis akut.
Scanning terkalsifikasi bersamaan inflamasi
periappendiceal
17
2.8. Diagnosa Banding7,8
Diagnosis banding dari Apendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin.
c) Pada pria dewasa muda - Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda
adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada
skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit pada skrotumnya.
d) Pada wanita usia muda - Diagnosis banding apendisitis pada wanita usia muda lebih
banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory
disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral
dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila
terjadi ruptur ataupun torsi.
e) Pada usia lanjut - Apendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis.
Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari
traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
18
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat
daripada apendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan
apendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua,
pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan
laboratorium.
Selain dari itu beberapa diagnosis banding apendisitis akut yang perlu dipikirkan,
antara lain: Kolitis ditandai dengan feses bercampur darah, nyeri tajam pada perut
bagian bawah, demam dan tenesmus. Obstruksi usus biasanya nyeri timbul perlahan-
lahan di daerah epigastrium. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi
abdomen dan timpani, terdengar metalic sound pada auskultasi. Kelainan bidang urologi
seperti batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut
menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering
ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.
2.9. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks dilindungi oleh omentum
dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas
omentum dan gulungan usus halus, kemudian akan dilapisi oleh jaringan granulasi dan
biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak
dapat membentuk suatu pertahanan maka penderita dapat mengalami peritonitis umum,
masa yang terbentuk tadi akan terisi nanah yang semula berjumlah sedikit akan tetapi
dengan segera menjadi abses yang jelas batasnya.7,8
19
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa
periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata.
Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi
untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.9
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan
terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus
dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada
pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. Pada periapendikular infiltrat,
dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukanakan lebih sulit dan
perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut.8
Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau
puntanpa peritonitis umum.8
20
tingkat perforasi. Terapi konservatif dikatakan berhasil dalam 82,3% kasus, gagal dalam
11,4 kasus, dan dimana kekambuhannya 7,3%.8,9
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Terapi konservatif
pada periapendikular infiltrat antara lain:9
a. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi
c. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob.
Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala
apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang
atau abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.7,8,9
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya
48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka
harus dipertimbangkan appendiktomi. Batas dari massa hendaknya diberi tanda
(demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan
terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa
harus segera dibuka dan didrainase.8,9
a. LED
b. Jumlah lekosit
c. Massa periapendikular
b. Pemeriksaan Fisik
21
1) Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan
aksiler)
3) Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil
dibanding semula.
c. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil
lagi.
Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada
perbaikan operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini
berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat
menyebabkan timbulnya abses lokal atau pun suatu peritonitis generalisata. 9,10
22
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 9,10
a. Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh.
f. Perut distended
a. Pelvic Abscess
b. Subphrenic absess
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,
dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.
2.11. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika apendisitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada orang
tua. Kematian biasanya berasal dari sepsis emboli paru atau aspirasi; prognosis
membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.9,10
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis.
Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan
predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi
peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu
bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus dapat
terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut meliputi
pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.9,10
23
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak
diangkat. 9,10
24
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : Tn. CM
Usia : 25 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Sea II
No. Rekam Medik : 22.35.93
Masuk IGD tanggal : 18 januari 2015
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 18 jam SMRS
25
3.3. Pemeriksaan Fisik
(IGD, 18 Januari 2015)
Status Generalis
Kondisi umum: Tampak sakit sedang, compos mentis.
Berat badan : 65 kg
Ttinggi badan : 168 cm
Tanda vital : Tekanan Darah 120/80 mmHg
Frekuensi nadi 98 x/menit, teratur, isi cukup
Suhu 37,7 ºC
Frekuensi napas 20 x/menit, teratur, kedalaman cukup
Kepala : tidak ada deformitas
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, cekung ( - )
Mulut : Faring hiperemis ( - ), mukosa bibir basah
Leher : KGB tidak teraba pembesaran
Paru : sonor, vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing
Jantung : bunyi jantung I-II normal, tidak ada murmur dan gallop
Abdomen : lihat status lokalis
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat, CRT < 2”
Psoas Sign (+)
Status lokalis
Regio abdomen:
I : datar
P : lemas, nyeri tekan di regio kanan bawah abdomen, defans muskuler (-),
H/L tidak teraba, tidak teraba massa, Rovsing sign (+), Blumberg sign
(+)
P : timpani
A : BU (+) N
26
Pemeriksaan Alvarado Score:
Colok Dubur :
Tonus sfingter ani cekat, ampula kosong, mukosa licin, tidak teraba massa, nyeri tekan
(-). Pada sarung tangan setelah jari dikeluarkan dari anus tidak terdapat darah, feses
maupun lendir.
27
MCV 84.7 82-92 fl
Kimia Darah
Ureum darah 3.8 20-40 mg/dL
Kreatinin darah 1,1 0,5-1,5 mg/dL
SGOT 27.6 < 25 u/L
SGPT 21.8 < 30 u/L
GDS 184 70-200 mg/dL
Na 139 135-147 meq/I
K 3.8 3,5-5,5 meq/I
Cl 105 100-106 meq/I
3.5. Resume
Pasien usia 25 tahun, perempuan dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah sejak
18 jam sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri terasa di sekitar pusar kemudian
berpindah dan menetap di perut kanan bawah nyeri dirasakan hilang timbul. Pasien juga
mengeluh adannya demam. Demam dirasakan setelah adanya nyeri. Pasien juga
mengeluh mual, muntah sebanyak 1 kali. Buang air besar normal, tidak ada perubahan.
Buang air kecil normal, riwayat kencing berdarah atau keruh dan berpasir disangkal.
Pasien belum pernah berobat untuk keluhan ini. Pada pemeriksaan abdomen nyeri tekan
di region kanan bawah abdomen, Psoas sign (+), Rovsign sign (+). Pemeriksaan lab
ditemukan leukositosis.
3.6. Diagnosis
Diagnosis Kerja
Apendisitis akut
Diagnosis Banding
28
Batu ureter
Ileitis akut
Gastroenteritis
3.7. Penatalaksanaan
IVFD RL 20 gtt/mnt
Antibiotik
Analgetik
Rencana:
Konsul anestesi
Foto Thorax
EKG
29
Instruksi post operasi:
IVFD RL:D5 = 1:1 20 gtt/m
Inj Ceftriaxone 2x1 gram
Inj Ketorolac 3x1 amp
Inj Ranitidin 2x1 amp
Cek DL post op
30
S: Nyeri perut kanan bawah bekas operasi (+), mual (+), flatus (+)
O: Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak tidak sakit, kesadaran kompos mentis, aktif
Tanda vital : Tensi 110/80 Nadi 90 x/menit, Respirasi 16 x/menit, Suhu 36,5
C
Abdomen :datar, lemas, NT (-), hepar & lien tidak teraba, bising usus (+)
normal, tympani
Luka operasi : tenang, rembesan (-)
A: Post-operasi appendiktomi e.c. apendisitis akut (Hari ke I)
P: - IVFD RL
- Gentamycin 2x80 inj IV
31
- Ceftriaxone 2xi IV
- Ranitidine 2x1 IV
- Ketorolac 3x1 IV
- Metronidazole 3x500 mg inj IV
- Kateter terpasang
- Rawat luka
P: - Aff infus
- Aff Kateter
- Rawat luka
3. 8. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
32
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
33
Kemungkinan ileokolitis, perforasi sekum, divertikulitis, belum dapat
disingkirkan. Diagnosisnya baru bisa disingkirkan setelah dilakukan tindakan operasi.
Pada pasien ini diputuskan untuk dilakukan apendektomi. Sebelum dilakukan
tindakan ini, perlu diperhatikan untuk memperbaiki keadaan umum, seperti
pemasangan infus, pemberian antibotik. Infus untuk rehidrasi pasien, antibiotik
diberikan karena pada pasien ini terdapat leukositosis. Pada kasus tanpa komplikasi
antibiotik cukup diberikan dalam 24 jam pertama. Jika perforasi atau gangren
ditemukan, pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebril dan nilai leukosit
normal. Pilihan antibiotik untuk kasus ini adalah Ceftriaxone dengan dosis 2 x 1 g iv.
Ceftriaxone berasal dari golongan sefalosporin generasi III dengan spektrum antibiotik
luas dan termasuk antibiotik terpilih untuk kasus-kasus appendisitis. Nyeri pada pasien
ditatalaksana dengan pemberian analgesik ketorolac 30 mg injeksi iv.
Ketika peritonium dibuka, tampak omentum taksis ke kanan bawah, omentum
disisihkan Identifikasi caecum, tampak appendiks, letak antecaecal, panjang 6cm, lebar
1cm, hiperemis, perforasi (-). Dari laporan tersebut diagnosis apendisitis akut dapat
ditegakkan, sementara diagnosis banding lainnya ( perforasi sekum, ileokolitis,
divertikulitis ) dapat disingkirkan.
Tindakan post-operasi yang diberikan yaitu pemberian antibiotic ceftriakson 2x1
(Starxon) karena antibiotik yang diberikan mencakup antibiotik yang efektif untuk
bakteri gram(+), gram (-).3 pemberian Ketorolac 3x1 dimaksudkan untuk mengurangi
rasa nyeri setelah operasi, pemberian gastridin (ranitidine) 2 x 1 amp dimaksudkan
untuk mengurangi efek mual muntah post op.
Prognosis quo ad vitam pada pasien adalah bonam. Angka kematian akibat
apendisitis dapat dikatakan kecil, dengan angka mortalitas keseluruhan pada kasus
perforasi sekitar 3%.4 Setelah dilakukan tindakan apendektomi, kondisi pasien sudah
stabil. Hal ini dapat dilihat pada follow up dua hari setelah operasi. Prognosis quo ad
functionam pada pasien adalah bonam. Walaupun apendiks turut berperan dalam sistem
imunologis tubuh di saluran pencernaan, namun fungsinya tidak terlalu signifikan dan
apendektomi tidak berhubungan dengan predisposisi apapun terhadap sepsis atau
manifestasi imunokompromais lain.3 Prognosis quo ad sanactionam pada pasien adalah
bonam. Setelah dilakukan apendiktomi, apendisitis dapat dikatakan hampir tidak
34
berulang, meskipun pernah dilaporkan kasus "stump appendicitis" (apendisitis pada sisa
potongan apendiks setelah apendektomi), yang sangat jarang terjadi.2
35
DAFTAR PUSTAKA
1. D J Humes and J Simpson, Acute appendicitis, Clinical review , BMJ Vol 333
2008, Pg 530-534, Nottingham.UK.
2. Williams B A, Schizas A M P, Management of Complex Appendicitis. Elsevier.
2010. Surgery 28:11. p544-548.
3. Sjamsuhidajat S, de Jong W, editors : Buku ajar ilmu bedah. Ed.2; Jakarta:EGC,
2003
4. H F Ashdown, N D’ Souza, R J Stevens, Pain over speed bumps in diagnosis of
acute appendicitis: diagnostic accuracy study, BMJ 2012 : 345, Pg 1-7, UK.
5. Y H Kim, S Y Kim, Y J Lee, K P Kim. Low-Dose Abdominal Ct For Evaluating
Suspected Appendicitis. The New England Journal of Medicine. April 26, 2012.
6. B R. Toorenvliet, F Wiersma, R F R. Bakker, P J. Breslau, Routine Ultrasound
and Limited Computed Tomography for the Diagnosis of Acute Appendicitis,
World J Surg (2010) 34:2278–2285
7. L F Premanand, P S Aithala, C George, H B Suresh, D Acharya,
Ultrasonography Is Still A Useful Diagnostic Tool In Acute Appendicitis.
Journal Of Clinical And Diagnostic Research,2009 October [cited: 2009 October
5]; 3:1731-1736.
8. G R Paudel, C S Agrawal, R regmi. Conservative Treatment in Acute
Appendicitis. JNMA, Vol 49, No.4, October – December 2010. Nepal.
9. J T. Hamdi Is There a Place for Conservative Treatment of Acute Appendicitis?
Vol. 17 No. 1, pp: 11-17 (2010 A.D. / 1431 A.H.)
10. A Saber, A Mohammad, G M. Ellabban, Patient Safety in Delayed Diagnosis of
Acute Appendicitis, Surgical Science, 2011, 2, 318-321August 2011, Ismailia,
Egypt.
36