Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Malaria adalah penyakit infeksi parasit paling penting yang menginfeksi


manusia dengan komplikasi neurologis yang ditimbulkan. Malaria Serebral bisa
dibilang merupakan salah satu bentuk penyakit non-traumatik yang paling umum
di dunia. Malaria menginfeksi sekitar 5% populasi dunia setiap saat dan
menyebabkan sekitar 0,5 sampai 2,5 juta kematian setiap tahunnya. Ada empat
spesies malaria yang dapat menginfeksi manusia. Plasmodium Vivax,
Plasmodium Ovale, Plasmodium Falciparum, Plasmodium Malariae, dan
Plasmodium Knowlesi.
Malaria terutama terjadi pada pasien dengan latar belakang imunitas yang
rendah dan juga anak-anak yang tumbuh di daerah endemik, atau pelancong yang
berasal dari daerah non-endemik malaria, namun terpapar malaria di kemudian
hari. Komplikasi malaria tergantung pada usia pasien dan paparannya. Pada 2
tahun pertama kehidupan, anemia berat adalah ciri khas dari malaria berat. Pada
anak-anak yang lebih tua dapat mengalami kejang dan malaria serebral, kemudia
pada orang dewasa bisa ditemukan gagal ginjal akut, edema paru akut, disfungsi
hati, dan malaria serebral mungkin terjadi. Asidosis metabolik umum terjadi pada
semua umur.
Malaria adalah penyakit multi sistem, dan prognosisnya sering bergantung
pada derajat kerusakan organ. Plasmodium ditularkan oleh nyamuk Anopheles
betina. Meskipun pada manusia parasit berkembang biak di hati, namun siklus
eritrositik yang paling berperan penting atas timbulnya penyakit. Merozoit yang
dilepaskan oleh hati menyerang eritrosit, dan terjadi tahap perubahan morfologis,
dan pada akhirnya membuat eritrosit pecah. Perubahan morfologi bisa dilihat pada
pemeriksaan apusan darah tepi.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium


yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara
alami ditularkan oleh penyakit Anopheles betina.2 Malaria Serebral sering
digunakan dalam istilah medis untuk menggambarkan adanya gangguan Sistem
Saraf Pusat yang berasal dari infeksi malaria. Malaria Serebral adalah suatu akut
ensefalopati yang memenuhi 3 kriteria, yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan
atau koma yang menetap > 30 menit setelah kejang (GCS < 11, Blantyre coma
scale < 3) disertai adanya Plasmodium Falciparum yang ditunjukkan dengan
hapusan darah dan penyebab lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan.5

Dalam laporan kasus keterlibatan otak bisa disebabkan oleh Plasmodium


Falciparum.1 Definisi klinis malaria serebral menurut The World Health
Organization’s (WHO) mencakup hal berikut: Blantyre Coma Score ≤ 2,
ditemukan parasit Plasmodium falciparum padas pemeriksaan apusan darah tepi,
dan tidak ada penyebab koma lainnya misalnya meningitis dan hipoglikemia.
Diagnosis definitif dari malaria serebral bergantung pada pemeriksaan post-
mortem pada otak.3

2.2 Epidemiologi
Malaria Falciparum adalah penyebab utama kesehatan yang
menyebabkan kecacatan dan kematian di negara tropis. Meskipun 40% populasi
dunia berisiko, kebanyakan penularan terjadi di Afrika di mana anak-anak di
bawah usia 5 tahun paling sering terkena dan terjadi penurunan kejadian pada
anak yang lebih tua dengan imunitas yang mulai meningkat. Di Asia Tenggara,
malaria lebih sering terjadi pada orang dewasa dengan ciri klinis yang berbeda.
Setiap tahun, ada lebih dari 500 juta kasus ditemukan. 1% kasus infeksi
bisa berkembang menjadi malaria berat. Malaria berat dapat bermanifestasi
sebagai anemia, hipoglikemia, asidosis metabolik, kejang berulang, koma atau
kegagalan multipel organ dan diperkirakan menyebabkan lebih dari satu juta

2
kematian setiap tahunnya. Malaria serebral adalah manifestasi neurologis malaria
berat yang paling parah. Dengan kejadian 1.120 per 100.000 kasus per tahun di
daerah endemik seperti Afrika. 3
Di Indonesia penyakit ini ditemukan di seluruh kepulauan Nusantara. Pada
tahun 2003 malaria sudah tersebar di 6.053 desa pada 226 kabupaten di 30
propinsi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sumatera Barat, jika dilihat dari
Annual Malaria Incident (AMI), kasus malaria tahun 2006 sekitar 0,47 per 1000
penduduk, tahun 2007 meningkat menjadi 1,77 per 1000 penduduk. Malaria
Serebral merupakan komplikasi terberat Malaria Falciparum dengan angka
mortalitas tertinggi di dunia, yaitu 20-50%. Penelitian di Indonesia mendapatkan
angka mortalitas mencapai 21,5%-30,5%.4

2.3 Etiologi

Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit plasmodium. Species


plasmodium pada manusia adalah Plasmodium falciparum, penyebab Malaria

Tropika. Plasmodium vivax, penyebab Malaria Tertiana. 
 Plasmodium

Malariae, penyebab Malaria Malariae (Quartana). Plasmodium Ovale, penyebab


Malaria Ovale.2

Kini Plasmodium Knowlesi yang selama ini dikenal hanya ada pada
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), ditemukan pula ditubuh manusia.
Penelitian sebuah tim internasional yang dimuat dalam jurnal Clinical Infectious
Diseases memaparkan hasil tes pada 150 pasien malaria di rumah sakit Serawak,
Malaysia, Juli 2006 sampai Januari 2008, menunjukkan, dua pertiga kasus malaria
disebabkan infeksi Plasmodium Knowlesi.2

Plasmodium Falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat dan


bahkan dapat menimbukan suatu variasi manisfestasi-manifestasi akut dan jika
tidak diobati, dapat menyebabkan kematian. Seorang dapat terinfeksi lebih dari
satu jenis plasmodium, dikenal sebagai infeksi campuran (mixed infection). Pada
umumnya lebih banyak dijumpai dua jenis plasmodium, yaitu campuran antara
Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Vivax atau Plasmodium Malariae.

3
Kadang- kadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus, meskipun hal ini
jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka
penualaran tinggi.2

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Siklus hidup plasmodium

Pada saat nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit


yang berada dikelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah
selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel
hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati
yang terdiri dari 10.000-30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus
eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Sebagian
tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon hati, tetapi ada yang
menjadi bentuk dormant yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat
tinggal di dalam hati selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.2

Pada suatu saat imunitas tubuh menurun, hipnozoit akan menjadi aktif
sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh). Merozoit yang berasal dari
skizon hati yang pecah akan masuk keperedaran darah dan menginfeksi sel
darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari
stadium sporozoit sampai skizon. Proses perkembangan aseksual ini disebut
skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit
yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus
eritrositer. Setelah sampai 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang
menginfeksi sel darah merah akan membentuk stadium seksual (gamet jantan
dan betina).2

Siklus pada nyamuk anopheles 
 apabila nyamuk anopheles betina

menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet


jantan dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang

menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. 
 Pada

4
dinding luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya
menjadi sporozoit yang bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia.2

2.4.2 Masa inkubasi

Yaitu rentan waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis
yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung species
plasmodium.2

Tabel 1. Masa Inkubasi Penyakit Malaria

Salah satu gejala malaria yang paling awal adalah demam yang timbul saat
pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam mulai timbul bersamaan
pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen.2

Antigen ini akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang


mengeluarkan berbagai macam sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor
(TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh manusia.2

5
Gambar 1. Siklus hidup plasmodium.

2.4.3 .Patofisiologi Malaria Cerebral

Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Falciparum akan mengalami proses


sekuestrasi, yaitu tersebarnya eritrosit yang berparasit ke pembuluh kapiler
organ dalam tubuh. Eritrosit yang mengandung parasit muda (bentuk cincin)
bersirkulasi dalam darah perifer tetapi eritrosit berparasit matang terlokalisasi
pada pembuluh darah organ. Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan
membentuk knob yang berisi berbagai antigen Plasmodium falciparum. Sitokin
(TNF, IL6) yang diproduksi oleh sel makrofag ataupun limfosit akan
menyebabkan terekspresinya reseptor endotel kapiler. Pada saat knob tersebut
berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses cytoadherence.
Akibatnya terjadi obstruksi pembuluh kapiler yang menyebabkan iskemia
jaringan. Terjadinya sumbatan ini didukung terbentuknya “rosette”, yaitu
bergerombolnya sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah
lainnya (gambar 2).5

Gambar 2. Cytoadherence dan resetting.

Mekanisme patofisiologi yang mendasari Malaria Serebral tidak


sepenuhnya dipahami. Beberapa teori terbaru yang jelas pada Malaria
Serebral, diantaranya yaitu hipotesis mekanikal, Hipotesis ini berhubungan
dengan infected red blood cells (iRBC) cytoadherence dan penurunan

6
deformabilitas, menyebabkan anemia, bentukan rosette dan obstruksi
mikrovaskuler; kemudian hipotesis permeabilitas didasarkan pada gangguan
blood brain barrier (BBB) dan peningkatan permeabilitas vaskuler, diikuti
dengan senyawa toksik yang mencapai parenkim otak dan menyebabkan
gangguan neurologis.5

2.4.4 Hipotesis Mekanikal

a. Cytoadherence

Pada infeksi Plasmodium falciparum, di permukaan eritrosit akan


dijumpai knob membrane yang disebut PfEMP-1 yang memediasi
melekatnya eritrosit pada reseptor endotel kapiler dan venula, yang disebut
cytoadherence. Cytoadherence ini merupakan mekanisme parasit
menghindari respon imun host dan dibersihkan dari limpa. Reseptor sel
endotel pembuluh darah yang berikatan dengan PfEMP-1 adalah CD-36,
Intercellular adhesion molecular-1 (ICAM-1), Vascular cell adhesion
molecul-1 (VCAM-1), PECAM-1, ELAM-1, thrombospondine dan
Chondroin sulfat. Dari beberapa protein reseptor endotel kapiler dan venula
yang teriden fikasi, ICAM-1 dianggap paling berperan penting dalam
patogenesis malaria serebral.5

b. Rosette

Eritrosit yang terinfeksi akan mengalami perlekatan dengan eritrosit


yang tidak terinfeksi (membentuk rosette) dan juga akan mengalami
perlekatan dengan eritrosit lain yang terinfeksi (autoagglutination). Selain
proses cytoadherence yang mengakibatkan obstruksi pembuluh kapiler,
sumbatan ini juga didukung oleh terbentuknya rosette.5

2.4.5 Hipotesis Permeabilitas

a. Gangguan Blood Brain Barrier

7
Salah satu struktur yang penting dalam perlindungan sistem saraf otak
adalah blood brain barrier atau sawar darah otak. Komponen penyusun
blood brain barrier yaitu sel endotel kapiler, perisit, foot processes of
astrocytes dan basal membrane serta neuron yang membentuk unit
neurovaskular. Selama infeksi, parasit menginvasi sel endotel dan
memodulasi permeabilitas vaskular. Sel endotel adalah semiprofessional
antigen- presenting cells, memicu kostimulasi sel T dan aktivasi sel imun
spesifik. Hal ini menimbulkan pelepasan mediator inflamasi dan kerusakan
sel yang terinfeksi oleh efektor seperti sel T CD8+ yang berperan utama
pada malaria serebral. Selama infeksi, gangguan barrier dapat disebabkan
oleh pelepasan mediator radang, interaksi komponen mikrobial dengan
reseptor sel endotel. Gangguan barier ini dapat menyebabkan keadaan
patologi melalui edema, inflamasi dan obstruksi yang menyebabkan
jaringan menjadi iskemik.5

b. Senyawa Toksik

Adam dkk mendukung bahwa cytoadherence dapat mengaktifasi


kejadian signaling sekunder serupa yang terjadi pada leukosit. Kejadian
signaling sekunder ini menyebabkan perubahan fungsional blood brain
barrier, yang menyebabkan senyawa toksik masuk ke dalam Sistem Saraf
Pusat. Selama malaria serebral, terjadi peningkatan cytoadherence. Toksin
utama interaksi Plasmodium falciparum dengan Intercellular adhesion
molecular-1 (ICAM-1) bertanggungjawab terhadap produksi NO dalam sel
endotel yang menyebabkan apoptosis.5

2.5 Gejala Klinis

Masa inkubasi malaria falciparum 9 – 10 hari, rata-rata 12 hari. Gejala


prodromal yang sering adalah lesu, lemah, nyeri tulang, sakit kepala, rasa
dingin, tidak nafsu makan, mual, muntah dan diare, dapat disertai panas.9

Malaria serebral juga dikenal sebagai ensefalopati simetrik oleh karena


terdapatnya tanda-tanda UMN simetrik. Tonus otot dan refleks dalam atau

8
refleks tendon biasanya meningkat disertai klonus lutut dan kaki, bersama
dengan respons plantar ekstensor yang bervariasi. Refleks dinding perut dan
refleks kremaster tak dapat dibangkitkan. Tanda-tanda ini berguna untuk
membedakan dari gangguan perilaku akibat demam atau penyebab lain.
Disfungsi batang otak, dapat terjadi pada malaria serebral atau hipoglikemia.
Pada stadium deserebrasi dan dekortikasi sering ditemukan deviasi mata ke
atas, ekstensi leher, bibir mencucur, tetapi refleks primitif lain biasanya tidak
dijumpai. Umumnya pola nafas mendengkur periodik. Setelah itu terjadi
perburukan progresif fungsi batang otak dan dapat mengarah ke gagal nafas
atau gagal jantung.9

Kejang terjadi pada 40 % pasien dewasa dan umumnya anak-anak dengan


malaria serebral. Paling sering kejang umum dibanding kejang parsial.
Penyebab kejang tersebut mungkin disebabkan hipoksia serebral, demam,
hipoglikemia, gangguan metabolik lain seperti asidosis laktat, obat antimalaria
dan eklampsia pada wanita hamil.9

Manifestasi klinis yang didapatkan pada malaria serebral dibagi menjadi 2


fase, yaitu :10

a. Fase prodromal: gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh


sakit pinggang, mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang
menggigil, dan sakit kepala.
b. Fase akut: gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan
timbulnya komplikasi seperti sakit kepala yang sangat hebat, mual,
muntah, diare, batuk berdarah, gangguan kesadaran, pingsan, kejang,
hemiplegi dan dapat berakhir dengan kematian. Pada fase akut ini dalam
pemeriksaan fisik akan ditemukan cornea mata divergen, anemia,
ikterik, purpura, akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang
meningeal.
Gejala klinis malaria cerebral berbeda pada anak dan orang dewasa,
namun terdapat tiga gejala utama pada dewasa dan anak-anak: (1) penurunan
kesadaran dengan demam tak spesifik; (2) kejang umum dan gejala sisa

9
neurologik; (3) koma yang terjadi selama 24 – 72 jam, awalnya dapat
dibangunkan tetapi kemudian tidak sadar.9
Gejala Klinis malaria serebral, antara lain ditemukannya trias
malaria (demam, menggigil dan berkeringat), nyeri kepala, gejala
gangguan mental, nyeri tengkuk, kaku otot, kejang umum, diare, muntah,
delirium dan syok.10

2.6 Diagnosis dan Pemeriksaan

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemerikasaan penunjang.

a. Anamnesis

Untuk mendiagnosis malaria diperlukan anamnesis rinci tentang tanda


dan gejala, asal penderita, apakah dari daerah endemik malaria, riwayat
bepergian ke daerah endemik malaria, riwayat pengobatan kuratif maupun
preventif terhadap malaria.9

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik Sering dijumpai splenomegali dan


hepatomegali. Gangguan kesadaran atau koma 3 juga dapat ditemukan pada
penderita malaria serebral, biasanya koma dialami kurang lebih 24 – 72 jam
dengan GCS < 11 pada orang dan anak Blantyre coma score < l0.9

c. Pemeriksaan penunjang

Epilepsi simptomatik kronik mungkin berhubungan dengan


perkembangan astrosit yang disebabkan oleh invasi organisme tersebut ke
vaskuler. Pada pemeriksaan patologik jaringan otak penderita yang
meninggal pada stadium lanjut, tampak gambaran granuloma Durck yang
terbentuk dari reaksi astroglia.11

10
Gambar 3 : Microglia Akibat Granuloma Perivascular Pada Malaria Serebral
dengan Pewarnaan HE

1. Pada pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis dijumpai bentuk


aseksual dari Plasmodium falciparum.
2. Tidak ditemukan infeksi lain.
3. Hipoglikemi, hiponatremi, hipofosfatemi, pleositosis sampai 80
sel/mikron3, limfosit sampai 15 sel/mikron.1
4. Analisa cairan serebrospinal di dapatkan adanya peningkatan
limfosit > 15/ul.
5. CT dan MRI kepala didapatkan edema serebral.

2.7 Penatalaksanaan

1. Terapi farmakologi2,6,7,8

Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral.


Penanganan dan pencegahan kejang penting untuk menghindari aspirasi.
Penangan yang dapat dipilih yaitu diazepam intrave 10 mg atau intra-rektal
0,5-1,0 mg/kgBB, paradelhide 0,1 mg/kgBB, fenitoin 5 mg/kgBB intravena,
atau dengan pemberian fenobarbital 3,5mg/kgBB (umur diatas 6 tahun) untuk
mengurangi status konvulsi

11
Terapi malaria serebral meliputi terapi spesifik anti malaria (OAM). Obat
pilihan anti malaria tergantung sensivitasnya terhadap Plasmodium falciparum.
Namun, banyak dipakai dalam pengobatan malaria Serebral yaitu artesunat,
artemeter, dan kina hidroklorida.

a. Artesunate.

Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per-iv,


sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-
iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat
ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang
sama. Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan
dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisininpiperakuin (DHP) atau
ACT lainnya selama 3 hari + primakuin. Pada pemakaian artesunate
tidak memerlukan penyesuaian dosis bila gagal organ berlanjut.

b. Artemeter

Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB intramuskular.


Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali
sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah
dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisininpiperakuin (DHP) atau ACT lainnya selama 3 hari
dengan primakuin.

c. Kina hidroklorida

Kina melalui intravena merupakan pilihan untuk malaria yang


disebabkan oleh Plasmodium falsiparum pada daerah yang tidak tersedia
derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester pertama.
Pemberian Kina hidroklorida pada malaria berat secara intramuskuler
untuk pra rujukan. Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa
termasuk untuk ibu hamil, loading dose 20 mg/kgBB dilarutkan dalam
500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.

12
Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose
5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis
maintenance 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl
selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan
dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan dosis maintenance
seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per-oral. Apabila
sudah sadar/dapat minum, obat pemberian kina iv diganti dengan kina
tablet per-oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian 3 kali sehari
(dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang
pertama).

2. Terapi suportif7,8

Jika fasilitas tidak atau kurang memadai untuk merawat malaria cerebral,
maka persiapkan penderita dirujuk ke rumah sakit ataupun fasilitas yang lebih
memadai dan memiliki fasilitas perawatan intensif. Tindakan yang harus
lakukan yaitu seperti mengawasi tanda vital, hindari trauma, baringkan/
posisikan tidur sesuai kebutuhan, pemberian cairan, dan memberikan anti
konvulsan jika pasien kejang.

2.8 Komplikasi

Malaria serebral adalah keadaan darurat medis yang memerlukan penilaian


dan penanganan klinis yang mendesak. Kesadaran yang berubah, kejang, ataksia,
hemiparesis dan gangguan neurologis dan psikiatri lainnya bisa ditemukan pada
kasusu malaria serebral. Kematian bisa terjadi dan pasien yang bertahan
memberikan gejala sisa dari cedera otak berupa gangguan neurokognitif jangka
panjang seperti kesulitan dalam berbicara dan gangguan ingatan.6

2.9 Prognosis

Pada malaria serebral, mortalitas tergantung kecepatan penderita tiba di


RS, kecepatan dan ketepatan dalam penanganan diagnosis, dan kegagalan fungsi

13
organ. Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan
fungsi, maka semakin baik prognosisnya. 8

2.10 Diagnosis Banding

a. Meningitis
Untuk membedakan meningitis bakterial dan malaria cerebral diperlukan
hasil dari pemeriksaan laboratorium, diantaranya penemuan plasmodium pada
apusan darah, hitung leukosit pada CSS, kultur darah dan CSS, serta tes antigen
bakteri pada CSS.11
b. Tifoid ensefalopati

Pemeriksaan darah dapat menentukan jenis bakteri atau parasit yang


menyebabkan ensefalopati yang di derita, baik akibat salmonella typhii maupun
plasmodium Tetanus.9

Pada malaria dan tetanus yang terjadi pada anak sering menunjukkan gejala
opistotonus. Hal tersebut harus dibedakan melalui anamnesis yang detail, seperti
riwayat luka sebelumnya dan demam yang menyertai. pada tetanus terdapat
riwat luka sebelumnya yang merupakan port de entry kuman Clostridium tetani.
Riwayat demam hanya ditemukan pada 60% pasien tetanus. Pada malaria
serebral gejala opistotonus biasanya dibarengi dengan keadaan koma (penurunan
kesadaran), tidak seperti pada tetanus yang kesadarannya baik.9

c. Penyakit pembuluh darah otak (stroke hemoragik/nonhemoragik)

Pada malaria serebral, demam timbul sebelum kelainan neurologik,


sedangkan pada penderita stroke, demam timbul setelah kelainan neurologik dan
biasanya dijumpai lateralisasi.12

d. Penyakit endokrin/metabolik (diabetes dan tiroid)

Salah satu gejala malaria serebral adalah koma (penurunan kesadaran).


Namun koma pada malaria serebral dan koma oleh penyebab lain harus dibedakan
untuk penatalaksanaan. Koma diabetik dapat diketahui dari pemeriksaan gula

14
darah. Koma hipotiroid dan krisis tiroid dapat diketahui dari gejala klinik yang
lain.12

2.11 Pencegahan

Pencegahan Penyakit dapat dicegah dengan melakukan dengan cara:2,8

a. Mencegah gigitan vektor dengan cara membunuh nyamuk menggunakan


insektisida, tidur dengan mengunakan kelamb dan mencegah kesempatan
nyamuk berkembang biak.
b. Menggunakan kemoprofolaksis, hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko
terinfeksi malaria, dan apabila terinfeksi gejala klinisnya tidak berat. Obat
malaria yang dipakai adalah doksisiklin 1,5 mg / kg BB/ hari selama tidak
lebih dari 4-6 minggu untuk plasmodium falsiparum dan klorokuin
digunakan untuk plasmodium vivax Dosis 5 mg/ kg BB/ minggu, diminum
1 minggu sebelum ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah kembali.

15
BAB III

KESIMPULAN

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium


yang hidup dan berkembang biak di dalam sel darah manusia. Penyakit ini secara
alami ditularkan oleh penyakit Anopheles betina.
Anopheles infektif mengisap manusia sehingga sporozoit yang ada pada
liur nyamuk masuk ke peredaran pembuluh darah. Sporozoit masuk kedalam sel
hati dan menjadi skizon hati. Ketika imunitas tubuh menurun skizon hati masuk
ke pembuluh darah dan menyerang eritrosit, hal ini akan merangsang mediator
inflamasi yang menyebabkan eritrosit menempel pada endotel pembuluh darah
sehingga terjadi penyumbatan pembuluh darah (trombosis) dan menyebabkan
iskemik jaringan.
Malaria Serebral adalah suatu akut ensefalopati yang memenuhi 3
kriteria, yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap > 30
menit setelah kejang (GCS < 11, Blantyre coma scale < 3) disertai adanya
Plasmodium Falciparum yang ditunjukkan dengan hapusan darah dan penyebab
lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan. Obat pilihan anti malaria tergantung
sensivitasnya terhadap Plasmodium falciparum. Namun, banyak dipakai dalam
pengobatan malaria Serebral yaitu artesunat, artemeter, dan kina hidroklorida.
Komplikasi yang dapat terjadi pada malaria serebral yaitu pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran, kejang, ataksia, hemiparesis dan gangguan
neurologis, bahkan kematian dapat terjadi pada malaria serebral. Prognosis
malaria serebral tergantung kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan dan
ketepatan dalam penanganan diagnosis, dan kegagalan fungsi organ. Semakin
sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan fungsi, maka
semakin baik prognosisnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Newton RJCC, Hien TT White N: Neurological Aspects of tropical


Disease Cerebral Malaria. 2000; 69:443-411.
2. Putra IRT: Malaria dan Permasalahannya. Malaysia: Kedokteran Syiah
Kuala; 2011.
3. Vareta J, Valim C, Montgomery J: Human cerebral malaria and
Plasmodium falciparum genotypes in Malawi. BioMed Central Ltd; 2012.
4. Nurhayati: Status Hematologi Penderita Malaria Serebral. Padang:
Fakultas Kedokteran Andalas;2009.
5. Husna M, Prasetyo H, Aspek Biomolekuler dan Update Terapi Malaria
Serebral Biomolecular Aspects and Update On Treatment Of Cerebral
Malaria. Malang: Rumah Sakit dr. Saiful Anwar: 2016.
6. Siregar LM: Malaria Berat Dengan Berbagai Komplokasi. Malaysia:
Kedokteran Syiah Kuala; 2015
7. Rahayu. Malaria Cerebral. Universitas Muhammadiyah Malan: 2011
8. Sudoyo A W, Setyohadi B, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi 5. Interna Pulishing. Jakarta :2009
9. Divisi penyakit tropic dan infeksi departemen penyakit dalam FK
USU/ RS H. adam malik. Malaria Berat:2008.
10. Munthe, C.E. Malaria Serebral. Cermin Dunia Kedokteran No. 131: 2001.

11. Berkley JA, Mwangi I, Mellington F, Mwarumba S, Marsh K.‘Cerebral


malaria versus bacterial meningitis in children with impaired
consciousness’ QJM, 151-7. 1999.

12. Dondorp, Arjen M. Pathophysiology, clinical presentation and treatment


of cerebral malaria, 10, pp67-77. 2005.

17

Anda mungkin juga menyukai