Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN RINOSINUSITIS

A. PENGERTIAN
Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus
paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu
berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri pathogen yang terdapat di
saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat
pula terjadi akibat fraktur dan tumor (Benninger dan Gottschall, 2006; Soetjipto dkk,
2006).
Rinosinusitis merupakan peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal, yang
selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks osteomeatal oleh infeksi, obstruksi
mekanik atau alergi (Hwang dkk, 2009; Jorissen dkk, 2000; Baroody, 2007).
Rinosinusitis adalah peradangan mukosa nasal dan sinus paranasal, dikatakan
kronis apabila berlangsung paling sedikit 12 minggu (CDK, 2010).
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih
mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
sebagai rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007).
Rinosinusitis merupakan penyakit peradangan yang menyerang organ sinus
paranasal dan kavitas nasal. Sejak pertengahan tahun 1990, kata sinusitis telah diganti
menjadi istilah rinosinusitis, dimana jarang ditemukan kasus sinusitis tanpa rhinitis dan
juga penyakit rhinitis yang selalu disertai dengan sinusitis. (Lee, 2008).
Rinosinusitis kronik (RSK) atau sering disebut sinusitis kronik didefinisikan
sebagai gangguan akibat peradangan dan infeksi mukosa sinus paranasalis dan pada
mukosa hidung yang telah mengalami perubahan reversibel maupun irreversible dengan
berbagai etiologi dan faktor predisposisi dan 1,2,3 berlangsung lebih dari 12 minggu RSK
masih merupakan tantangan dan masalah dalam praktek umum maupun spesialis
mengingat anatomi, etiologi serta penanganannya yang kompleks (Harowi dkk, 2011).
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu,

1|LAPORAN PENDAHULUAN
dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor
(Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009).
Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah yang lebih tepat karena sinusitis jarang
tanpa didahului rinitis dan tanpa melibatkan infl amasi mukosa hidung. Rinosinusitis
menjadi penyakit berspektrum infl amasi dan infeksi mukosa hidung dan sinus paranasal.
Rinosinusitis didefinisikan sebagai gangguan akibat infl amasi mukosa hidung dan sinus
paranasal; dikatakan kronik apabila telah berlangsung sekurangnya 12 minggu
(Benninger dkk, 2003).
Menurut American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery 1996,
rinosinusitis adalah peradangan kronik pada satu atau lebih mukosa sius paranasal. Secara
embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis
hampir selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta
hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. Berdasarkan Task force yang dibentuk
oleh American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic
Society (ARS), rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai rinosinusitis yang berlangsung
lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua
gejala minor (Hwang dkk, 2003; Jirapongsananuruk, 1998 cit Setiadi 2009).
Rinosinusitis (maksila) adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal
(sinus maksila), ditandai oleh dua atau lebih gejala, diantaranya terdapat sumbatan
hidung/obstruksi/ kongesti, atau ada sekret hidung (anterior/ posterior nasal drip), rasa
nyeri/tertekan pada wajah, berkurang atau hilangnya penghidu; juga temuan endoskopik:
adanya sekret mukopurulen terutama dari meatus medius, atau edema/sumbatan mukosa
terutama di meatus medius dan atau adanya perubahan mukosa dalam kompleks
osteomeatal dan atau sinus pada temuan tomografi komputer/ CT scan) (Fokkens dkk,
2007)

B. KLASIFIKASI
Pinheiro et al. (1998) dalam CDK (2010), membagi rinosinusitis ditinjau dari
lima aksis, yaitu:
1. Gambaran klinis (akut, subakut, dan kronik)

2|LAPORAN PENDAHULUAN
Menurut Konsensus International (2004) dalam Soetjipto & Wardani (2007) membagi
rinosinusitis menjadi:
a. Akut dengan batas sampai 4 minggu
b. Sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu
c. Kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu
Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang
menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut berulang pertahun yang
masing-masing serangan lebih dari 10 hari.
2. Lokasi sinus yang terkena (maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan sphenoidalis)
3. Organisme yang terlibat (virus, bakteri, atau jamur)
4. Keterlibatan ekstrasinus (komplikasi atau tanpa komplikasi)
5. Modifikasi penyebab spesifik (atopi, obstruksi komplek osteomeatal)
Klasifikasi lain didasarkan ditemukan ada tidaknya alergi, membagi rinosinusitis
menjadi alergi dan nonalergi atau berdasarkan ada tidaknya infeksi dibagi dalam
rinosinusitis infeksi dan noninfeksi. Rinosinusitis infeksi biasanya didahului dengan
infeksi saluran nafas atas akut yang disebabkan virus, biasanya infeksi bakteri merupakan
lanjutan dari infeksi virus. Infeksi virus biasanya akan membaik tanpa terapi setelah 2
minggu. Virus yang biasa menjadi penyebab adalah virus influenza, corona virus dan
rinovirus. Infeksi virus sering diikuti infeksi bakteri terutama kokkus (streptococcus
pneumonia dan staphilococcus aureus) dan haemophilus influenza. Rinosinusitis kronik
noninfeksi Bisa disebabkan alergi, faktor lingkungan (misalnya polutan) dan penyebab
fisiologik atau yang berkaitan dengan usia (misalnya rinitis vasomotor dan perubahan
hormonal).
Pembagian berdasarkan derajat sinusitis digunakan gambaran radiologis untuk
menunjukkan berat ringannya penyakit. Pembagian secara radiologis telah banyak
dilakukan di antaranya menurut Lund MacKay. Pembagian menurut sistem Lund
MacKay didasarkan pada pengukuran obyektif kelainan masing-masing sinus dengan
skor 0 bila tidak ditemukan kelainan, skor 1 bila ditemukan opasitas parsial, skor 2 bila
ditemukan opasitas total sinus, dan penilaian patensi osteomeatal komplek. Sistem ini
banyak dipakai karena mampu mengukur kelainan masing-masing sinus secara obyektif,

3|LAPORAN PENDAHULUAN
dapat dipakai untuk kasus individual, dan mempertimbangkan kondisi komplek
osteomeatal (Zeinreich, 2004).

C. ETIOLOGI
1. Faktor Host
a. Umur, Jenis Kelamin dan Ras
Rinosinusitis kronik merupakan penyakit yang dapat mengenai semua
kelompok umur, semua jenis kelamin dan semua ras.
b. Riwayat Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis akut biasanya didahului oleh adanya infeksi saluran
pernafasan atas seperti batuk dan influenza. Infeksi saluran pernafasan atas dapat
menyebabkan edema pada mukosa hidung, hipersekresi dan penurunan aktivitas
mukosiliar. Rinosinusitis akut yang tidak diobati secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus dan menciptakan predisposisi
infeksi.
c. Infeksi Gigi
Infeksi gigi merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis maksila. Hal ini terjadi karena sinus maksila mempunyai hubungan
yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas. Hubungan ini dapat
menimbulkan masalah klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula
oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi sinus maksila.
d. Rinitis Alergi
Alergi merupakan suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan
bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun.39 Rinitis alergi
adalah suatu penyakit manifestasi reaksi hipersensitifitas tipe I (Gell & Comb)
yang diperantarai oleh IgE dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama.
Gejalanya berupa hidung beringus, bersin-bersin, hidung tersumbat dan gatal.
Peranan alergi pada rinosinusitis kronik adalah akibat reaksi anti gen anti
bodi menimbulkan pembengkakan mukosa sinus dan hipersekresi. Mukosa sinus

4|LAPORAN PENDAHULUAN
yang membengkak dapat menyumbat ostium sinus dan mengganggu drainase
sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, yang selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan. Kejadian yang berulang terus-menerus dapat menyebabkan
rinosinusitis kronis.
e. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis.
f. Asma
Asma merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis
kronik. Sebesar 25-30 % penderita asma dapat berkembang menjadi polip hidung
sehingga mengganggu aliran mukus.
g. Kelainan anatomi hidung
Kelainan anatomi seperti septum deviasi, bula etmoid yang membesar,
hipertrofi atau paradoksal konka media dan konka bulosa dapat mempengaruhi
aliran ostium sinus, menyebabkan penyempitan pada kompleks osteomeatal dan
menggangu clearance mukosilia sehingga memungkinkan terjadinya
rinosinusitis.
h. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti sindroma kartagener dan fibrosis kistik
dapatmengganggu transport mukosiliar (sistem pembersih). Sindrom kartagener
atau sindrom silia immortal merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
dimana terjadi kekurangan/ketiadaan lengan dynein sehingga menyebabkan
terjadinya gangguan pada koordinasi gerakan silia dan disorientasi arah dari
denyut silia. Gangguan pada transport mukosiliar dan frekuensi denyut silia
menyebabkan infeksi kronis yang berulang sehingga terjadi bronkiektasis dan
rinosinusitis. Pada fibrosis kistik terjadi perubahan sekresi kelenjar yang
menghasilkan mukus yang kental sehingga menyulitkan pembersihan sekret. Hal
ini menimbulkan stase mukus yang selanjutnya akan terjadi kolonisasi kuman
dan timbul infeksi.

5|LAPORAN PENDAHULUAN
2. Faktor Agent
Rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh beberapa bakteri patogen
seperti Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Bacteroides,
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan Basil gram (-). Selain bakteri, rinosinusitis
juga dapat disebabkan oleh virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza
virus dan Adenovirus) dan jamur (Aspergillus dan Candida).
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang memengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik yaitu polusi
udara dan udara dingin. Paparan dari polusi udara dapat mengiritasi saluran hidung,
menyebabkan perubahan mukosa dan memperlambat gerakan silia. Apabila
berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Udara dingin
akan memperparah infeksi karena menyebabkan mukosa sinus membengkak. Hal ini
membuat jalannya mukus terhambat dan terjebak di dalam sinus, yang kemudian
menyebabkan bakteri berkembang di daerah tersebut

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam
tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. Sinus
paranasal terdiri dari empat pasang sinus yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid,
dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal berfungsi sebagai pengatur kondisi
udara, penahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi suara,
peredam perubahan tekanan udara, dan membantu produksi mucus untuk membersihkan
rongga hidung.
Secara embriologik sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Semua rongga sinus dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa
hidung, berisi udara dan semua sinus mempunyai muara (ostium) di dalam rongga
hidung. Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel

6|LAPORAN PENDAHULUAN
anterior sinus etmoid. Kelompok posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan
sinus sfenoid.

7|LAPORAN PENDAHULUAN
1. Pembagian Sinus Paranasal
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal terbesar dan terdapata pada
daerah tulang maksila. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus
kemudian berkembang mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml (34 x 33 x
23mm) saat berusia 15-18 tahun. Bentuk sinus maksila ini adalah seperti
piramida dengan bagian puncak menghadap ke lateral dan meluas ke arah
prosesus zygomatikus dari maksila.
Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang kadang juga gigi taring dan
gigi molar M3. Akar-akar gigi tsb dapat menonjol ke dalam sinus sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan rinosinusitis.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan
keempat fetus. Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.7 Volume sinus ini sekitar 6–
7 ml (28 x 24 x 20 mm). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini.
c. Sinus Etmoid
Sinus etmoid merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru
dilahirkan. Pada saat janin yang berkembang pertama adalah sel anterior diikuti
oleh sel posterior. Sel tumbuh secara berangsur-angsur sampai umur 12 tahun.
Gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml (33 x 27 x 14
mm). Bentuk sinus etmoid seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh
sekat yang tipis.
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal yang berhubungan dengan sinus frontal. Di dalam etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya

8|LAPORAN PENDAHULUAN
ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
rinosinusitis frontal dan peradangan di infindibulum dapat menyebabkan
rinosinusitis maksila.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid merupakan rongga yang terletak di dasar tengkorak, tidak
berhubungan dengan dunia luar sehingga jarang terkena infeksi. Sinus ini
terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.7 Sinus sfenoid
dibentuk di dalam kapsul rongga hidung dari hidung janin dan tidak berkembang
hingga usia 3 tahun.
Sinus mencapai ukuran penuh pada usia 18 tahun dengan volume sekitar
7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Sebelah superior sinus sfenoid berbatasan dengan fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferior dengan atap nasofaring,
sebelah lateral dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna dan sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa posterior di daerah pons

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor: patensi ostium, fungsi silia dan
kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut
merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan
menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat udem hasil proses
radang di area kompleks ostiomeatal. Blokade daerah kompleks ostiomeatal
menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang
berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksi dan retensi sekret
serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk
berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya
dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks ostiomeatal. Siklus
ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks ostiomeatal untuk memperbaiki
drainase dan aerasi sinus.
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor

9|LAPORAN PENDAHULUAN
di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi
steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan
seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada
mukosa dan kerusakan silia.

Pathway

Pathway Rinosinusitis

10 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
F. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala
mayor dan 2 gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi
dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN (Busquets JM , 2000 ; Draft , 1995 ;
Stankiewicz, 2001).
1. Gejala Mayor :
a. Hidung tersumbat
b. Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND
c. Sakit kepala
d. Nyeri / rasa tekan pada wajah
e. Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)
2. Gejala Minor :
a. Demam, halitosis
b. Pada anak; batuk, iritabilitas
c. Sakit gigi
d. Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.
Gejala dan Tanda Klinis : (Ballenger, 1997 cit Setiadi 2009).
1. Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Secara
anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus) dipisahkan dari lumen
sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin tanpa tulang hanya oleh
mukosa, karenanya sinusitis maksila sering menimbulkan nyeri hebat pada gigi-
gigi ini.
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada sinusitis. Wolff
menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya kongesti
dan udema di ostium sinus dan sekitarnya. Penyebab sakit kepala bermacam-
macam, oleh karena itu bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit
pada sinus. Jika sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral
dan makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala lebih

11 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
sering unilateral dan meluas kesisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus
akan meningkat jika membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba
digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat
ataupun saat berada dikamar gelap.
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan
berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan
pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam
rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena.
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada
penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium bau yang tidak
tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering adalah hilangnya
penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya sumbatan pada fisura olfaktorius
didaerah konka media. Oleh karena itu ventilasi pada meatus superior hidung
terhalang, sehingga menyebabkan hilangnya indra penghindu. Pada kasus kronis,
hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament terminal nervus olfaktorius,
meskipun pada kebanyakan kasus, indra penghindu dapat kembali normal setelah
infeksi hilang.
2. Gejala Objektif
a. Pembengkakan dan udem
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut, dapat terjadi
pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari
mendapati sensasi seperti pada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan supuratif, sinus-
sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan semacam ini.
Adanya pus dalam rongga hidung seharusnya sudah menimbulkan kecurigaan
adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di meatus medius biasanya merupakan

12 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
tanda terkenanya sinus maksila, sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena
sinus-sinus ini bermuara ke dalam meatus medius.

G. KOMPLIKASI
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan antibiotika.
Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
1. Osteomielitis dan abses subperiostal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral.
2. Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Variasi yang
dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita
dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.
3. Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma
bronkial

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus
yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior dan rinoskopi posterior.
2. Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik
tidak tersedia.

13 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
3. Pemeriksaan radiologi
a. Foto rontgen sinus paranasal
Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA dan
Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi
jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa.
Permukaan mukosa yang membengkak dan udema tampak seperti suatu densitas
yang paralel dengan dinding sinus.
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus
alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi
atau daerah periodontal.
Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya
batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak.
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada
penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-
Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah.
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal,
rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita,
lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek
osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT
scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi
Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid,
Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1
: Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.

14 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
4. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena
dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal
penyebab sinusitis.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus
media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor.

I. DIAGNOSIS
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of Otolaryngic
Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS) adalah rinosinusitis yang
berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor
disertai 2 gejala minor atau lebih (Setiadi M, 2009).

J. PENATALAKSANAAN
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista,
jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui
dengan kelainan yang ditemukan (Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang
memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya.
1. Medikamentosa
a. Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat diberikan
sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup β-laktamase seperti pada
terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin klavulanat atau ampisillin
sulbaktam, sefalosporin generasi kedua, makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan
antibiotik diteruskan mencukupi 10 – 14 atau lebih jika diperlukan.
Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti
siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika diduga ada
bakteri anaerob, dapat diberi metronidazole.

15 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi
kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan.
b. Terapi Medik Tambahan
Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor α-adrenergik
dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan
sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi.
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine.
Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus
dilakukan dengan hati-hati.
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan
hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama
(lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medika mentosa.
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih
dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian
juga kemungkinan imunoterapi.
Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik
yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine,
fexofenadine dan loratadine.
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal
terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya
merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis.
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan
non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal,
keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius
hilang.
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus.
Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa
keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat

16 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot
merata.
2. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik adekuat dan
optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan indikasi tindakan bedah.
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc,
trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat
dilaksanakan. Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan
drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami. Namun dengan berkembangnya
pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus
konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan
patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan
antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam
bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif
yang lebih efektif dan fungsional. Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop
dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat
lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus. Jaringan
patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang
tersumbat diperlebar. Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal
tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri.

17 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT RHINOSINUSITIS
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Nama ,umur, sex, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan
2. Riwayat Penyakit sekarang
Penderita mengeluah hidung tersumbat,kepala pusing, badan terasa panas, bicara
bendeng.
3. Keluhan utama
Biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus, tenggorokan.
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
- Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
- Pernah menedrita sakit gigi geraham
5. Riwayat keluarga :
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Riwayat spikososial
- Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih)
- Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
- Pola persepsi dan tata laksanahidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa memperhatikan
efek samping.
- Pola nutrisi dan metabolisme
Biasanya nafsumakan klien berkurang karena terjadi gangguan pada hidung
- Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering pilek
- Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
- Pola sensorik

18 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek terus menerus
(baik purulen , serous, mukopurulen).
8. Pemeriksaan fisik
- status kesehatan umum : keadaan umum , tanda viotal, kesadaran.
- Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa
merah dan bengkak)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan mucus berlebih.
2. Nyeri sehubungan dengan adanya sumbatan drainase sinus.
3. PK: Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya daya tahan tubuh.
4. Cemas berhubungan dengan ancaman terhadap atau perubahan dalam status
kesehatan.
5. Gangguan persepsi sensori penghidu berhubungan dengan Sumbatan pada fisura
olfaktorius

RENCANA KEPERAWATAN

DIANGOSA
NO
KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
DX
DAN KOLABORASI
1 Bersihan jalan nafas tidak NOC : NIC :
efektif berhubungan Respiratory status : Airway Management
dengan mucus berlebih Ventilation Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
Respiratory status : atau jaw thrust bila perlu
Airway patency Posisikan pasien untuk memaksimalkan
Aspiration Control ventilasi

19 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
Kriteria Hasil : Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
Mendemonstrasikan jalan nafas buatan
batuk efektif dan suara Pasang mayo bila perlu
nafas yang bersih, Lakukan fisioterapi dada jika perlu
tidak ada sianosis dan Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
dyspneu (mampu Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
mengeluarkan sputum, tambahan
mampu bernafas Lakukan suction pada mayo
dengan mudah, tidak Berikan bronkodilator bila perlu
ada pursed lips) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
Menunjukkan jalan Lembab
nafas yang paten Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
(klien tidak merasa keseimbangan.
tercekik, irama nafas, Monitor respirasi dan status O2
frekuensi pernafasan
dalam rentang normal, Airway Suction
tidak ada suara nafas Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
abnormal) Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
Mampu suctioning.
mengidentifikasikan Informasikan pada klien dan keluarga tentang
dan mencegah factor suctioning
yang dapat Minta klien nafas dalam sebelum suction
menghambat jalan dilakukan.
nafas Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan
tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
dalam setelah kateter dikeluarkan dari
nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien

20 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan
suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila
pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan
saturasi O2, dll.

2 Nyeri berhubungan NOC : NIC :


dengan adanya Pain
sumbatan
Level, Pain Management
drainase sinus Pain control, Lakukan pengkajian nyeri secara
Comfort level komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
Kriteria Hasil : durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
Mampu mengontrol presipitasi
nyeri (tahu penyebab Observasi reaksi nonverbal dari
nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
nonfarmakologi untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
mengurangi nyeri, Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
mencari bantuan) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
Melaporkan bahwa Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan
nyeri berkurang lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri
dengan menggunakan masa lampau
manajemen nyeri Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
Mampu mengenali menemukan dukungan
nyeri (skala, intensitas, Kontrol lingkungan yang dapat
frekuensi dan tanda mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
nyeri) pencahayaan dan kebisingan
Menyatakan rasa Kurangi faktor presipitasi nyeri
nyaman setelah nyeri Pilih dan lakukan penanganan nyeri
berkurang (farmakologi, non farmakologi dan inter
Tanda vital dalam personal)
rentang normal Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan

21 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
intervensi
Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri

Analgesic Administration
Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
Cek riwayat alergi
Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)

22 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
3 PK: Infeksi Setelah Pantau SDP (neutrofil dan limfosit)
dilakukan tindakan asu Pantau tanda dan gejala infeksi primer dan
han keperawatan sekunder
……x 24 jam Pantau gejala septicemia
diharapkan perawat Pantau efek antibiotic
akan mencegah, mena Pantau tanda dan gejala virus oportunistik
ngani dan (herpes, varicella dll)
meminimalkan infeksi Pantau tanda dan gejala infeksi jamur
dengan gejala: (stomatitis, esofagitis, meningitis)
Suhu meningkat Kaji dan pantau infeksi bakteri pada
Urine buram/ bau flor pulmonal
Ulser pada sisitem Anjurkan intake nutrisi ditingkatkan
gastrointestinal Kurangi prosedur infasif
Perubahan jumlah
SDP khususnya
neutrofil dan limfosit
Adanya nyeri pada
perineum
4 Cemas berhubungan NOC : NIC :
dengan ancaman terhadap Anxiety control Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
atau perubahan dalam Coping Gunakan pendekatan yang menenangkan
status kesehatan Impulse control Nyatakan dengan jelas harapan terhadap
Kriteria Hasil : pelaku pasien
Klien mampu Jelaskan semua prosedur dan apa yang
mengidentifikasi dan dirasakan selama prosedur
mengungkapkan Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
gejala cemas Temani pasien untuk memberikan keamanan
Mengidentifikasi, dan mengurangi takut
mengungkapkan dan Berikan informasi faktual mengenai
menunjukkan tehnik diagnosis, tindakan prognosis

23 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
untuk mengontol Dorong keluarga untuk menemani anak
cemas Lakukan back / neck rub
Vital sign dalam batas Dengarkan dengan penuh perhatian
normal Identifikasi tingkat kecemasan
Postur tubuh, ekspresi Bantu pasien mengenal situasi yang
wajah, bahasa tubuh menimbulkan kecemasan
dan tingkat aktivitas Dorong pasien untuk mengungkapkan
menunjukkan perasaan, ketakutan, persepsi
berkurangnya Instruksikan pasien menggunakan teknik
kecemasan relaksasi
Barikan obat untuk mengurangi kecemasan

5 Gangguan persepsi Setelah Kaji seberapa besar kehilangan sensasi bau


sensori penghidu dilakukan tindakan asu pada klien
berhubungan dengan han keperawatan Kenalkan pasien dengan berbagai sensasi bau
Sumbatan pada fisura ……x 24 jam seperti aroma makanan, parfum dll
olfaktorius diharapkan pasien Jelaskan pada pasien tentang keadaannya dan
dapat mekanisme bau sehingga pasien jelas dengan
mempertahankan keadaannya
fungsi pembau dan Kolaborasikan pemeriksaan selanjutnya dan
mencegah kerusakan terapi
yang lebih parah Memberi helth education kepada pasien
dengan kriteria hasil: mengenai penurunan fungsi pembau
Mempertahankan Libatkan keluarga dalam pengobatan dan
fungsi pembau perawaatan

6 Kurang pengetahuan b.d NOC : NIC :


kurangnya informasi Kowlwdge : disease Teaching : Disease Process
mengenai kondisi, prog process Berikan penilaian tentang tingkat
nosis dan tindakan Kowledge : health pengetahuan pasien tentang proses penyakit
pengobatan Behavior yang spesifik

24 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
Kriteria Hasil : Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
Pasien dan keluarga bagaimana hal ini berhubungan dengan
menyatakan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
pemahaman tentang Gambarkan tanda dan gejala yang biasa
penyakit, kondisi, muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat
prognosis dan program Gambarkan proses penyakit, dengan cara
pengobatan yang tepat
Pasien dan keluarga Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna
mampu melaksanakan cara yang tepat
prosedur yang Sediakan informasi pada pasien tentang
dijelaskan secara kondisi, dengan cara yang tepat
benar Hindari harapan yang kosong
Pasien dan keluarga Sediakan bagi keluarga atau SO informasi
mampu menjelaskan tentang kemajuan pasien dengan cara yang
kembali apa yang tepat
dijelaskan perawat/tim Diskusikan perubahan gaya hidup yang
kesehatan lainnya mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi di masa yang akan datang dan
atau proses pengontrolan penyakit
Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan cara
yang tepat atau diindikasikan
Eksplorasi kemungkinan sumber atau
dukungan, dengan cara yang tepat
Rujuk pasien pada grup atau agensi di
komunitas lokal, dengan cara yang tepat
Instruksikan pasien mengenai tanda dan
gejala untuk melaporkan pada pemberi
perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat

25 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
DAFTAR PUSTAKA

Acala V. 2010. CDK: Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis
Rinosinusitis Kronik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr. Sardjito

Benninger MS, Gottschall J. 2006. Rhinosinusitis: clinical presentation and diagnosis. In: Itzhak
Brook, ed. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and
Francis Group

Harowi MR dkk. 2011. Kualitas Hidup Penderita Rinosinusitis Kronik Pasca-bedah.


Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito

Carpenito, LJ. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River

Kentjono WA. 2004. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. Dalam: Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Unair/RS Dr. Soetomo

Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,


Restuti RD, eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala &
leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River

Rahmi AD, Punagi Q. 2008. Pola penyakit Subbagian Rinologi di RS Pendidikan Makassar
periode 2003-2007. Makasar: Bagian Ilmu Kesehatan THT FK Universitas
Hasanuddin. Dipresentasikan di PIT IV Bandung

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika

26 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N
Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional endoscopic sinus surgery di
Indonesia pada panel ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes

Share this article :

27 | L A P O R A N P E N D A H U L U A N

Anda mungkin juga menyukai