Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Post Traumatic Epilepsy


2.1.1. Definisi
Post traumatic epilepsy (PTE) adalah dua atau lebih berulangnya
bangkitan tak terprovokasi setelah alami cedera kepala (CK). Bangkitan tak
terprovokasi didefinisikan sebagai bangkitan yang terjadi setelah satu minggu
pasca cedera kepala. Sedangkan bangkitan yang terjadi dalam 7 hari pertama
pasca cedera kepala didefinisikan sebagai bangkitan terprovokasi.7
Cedera kepala atau cedera kranioserebral adalah cedera yang mengenai
kepala dan otak, baik yang terjadi secara langsung (kerusakan primer) maupun
tidak langsung (kerusakan sekunder). Cedera kepala primer terjadi pada saat
rudapaksa, termasuk akibat prosedur pembedahan kepala, sedang cedera kepala
sekunder terjadi setelah rudapaksa seperti edema serebri, rusaknya sawar darah
otak, nekrosis jaringan, dan lain-lain.2

2.1.2 Epidemiologi
PTE merupakan kasus epilepsi terbanyak dengan onset dewasa muda
danmerupakan penyebab epilepsi dapatan (acquired epilepsy) terbanyak.8
Bangkitan pasca cedera kepala berhubungan dengan beratnya cedera yang
dialami.9,10 Meskipun kejadian epilepsi pada populasi umum diperkirakan 0,5-2%,
kejadian PTS untuk semua jenis cedera kepala adalah 2-2,5% pada populasi
pendud1uk.
Risiko epilepsi pada cedera kepala bergantung pada jenis cedera kepala,
lokasi dan derajat keparahan cedera kepala. Secara klinis, derajat keparahan
cedera kepala dapat dibagi menjadi tiga kelompok,yaitu:2
1. Cedera kepala ringan ringan: GCS 14-15, Loss of consciousness (LOC)
< 10 menit, post traumatic amnesia (PTA) < 24 jam dan tidak ada defisit
neurologis.

2
2. Cedera kepala sedang: GCS 9-13, LOC ≥30 menit s.d <6 jam, PTA
<7hari, tidak ada defisit neurologis.
3. Cedera kepala berat: GCS 3-8, LOC ≥6 jam, PTA ≥ 7hari, dan terdapat
defisit neurologis.
Angka kejadian kasus cedera kepala berat tercatat sebesar 10-15% untuk
orang dewasa dan 30-35% untuk anak-anak.Di Amerika Serikat, kejadian cedera
otak paling tinggi diantara orang dewasa muda, hal ini tercermin dalam kejadian
PTE dalam kelompok usia yang relevan. PTS dini lebih sering terjadi pada anak-
anak, sementara PTS terlambat lebih umum pada orang dewasa yang lebih tua.10,11
Insiden epilepsi pada tahun pertama pasca cedera kepala ringan berjumlah
kurang dari 1% (tetapi 3 kali dibanding populasi umum); pasca cedera kepala
sedang berjumlah kurang dari 1% (tetapi 7 kali dibanding populasi umum) dan
pasca cedera kepala berat sekitar 6% (tetapi 100 kali dibanding populasi umum).12
Secara kumulatif dalam 5 tahun, angka probabilitas untuk mengalami PTS pada
cedera kepala berat adalah 10%.13 Namun pada cedera kepala ringan yang
mengalami early PTS mengindikasikan ada penyebab lain atau sistemik yang
memerlukan evaluasi lebih lanjut.9
Sedangkan bila berdasarkan jenis cedera kepala, pasien dengan cedera
kepala terbuka (open/penetrating) mempunyai risiko PTS yang jauh lebih tinggi
(35-50%) dibanding cedera kepala tertutup (closed/non-penetrating).14 Pada
cedera kepala tertutup, kepala membentur atau terbentur objek atau terguncang
hebat, mengakibatkan akselerasi dan deselerasi otak yang berdampak cedera coup
dan counter coup atau cedera difus jaringan otak dimana akson, pembuluh darah
atau keduanya dapat terkoyak sehingga menyebabkan kontusio, perdarahan
subarachnoid (PSA), atau epidural hematom (EDH).15 Risiko epilepsi paling
tinggi adalah dalam 2 tahun pertama pasca cedera kepala.14 Dari seluruh pasien
epilepsi parsial, lebih dari 50% bangkitannya berasal dari lobus temporal.
Tingginya insidensi fokus di lobus temporal disebabkan oleh rendahnya ambang
bangkitan di struktur lobus temporal, terutama di struktur limbik di lobus temporal
bagian mesial.1,15

3
2.1.3. Klasifikasi
Istilah post traumatic epilepsy (PTE) perlu dibedakan dengan post
traumatic seizure (PTS), yaitu setiap bangkitan yang terjadi sebagai gejala sekuele
cedera otak. Kejang simptomatik akut setelah cedera kepala dikenal sebagai
kejang pasca trauma, yang merupakan kejang yang terjadi sebagai akibat trauma
di otak. Berdasarakan waktu terjadinya, PTS dibagi menjadi immediate, early dan
late PTS. Kejang pada immediate PTS terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam
setelah trauma. Early PTS adalah kejang yang terjadi dalam waktu 7 hari setelah
terjadi trauma di otak, sedangkan late PTS adalah kejang yang terjadi setelah 7
hari terjadinya trauma otak. Kejang yang terjadi 1 kali setelah 7 hari trauma otak
dianggap sebagai late PTS.5
Sedangkan bangkitan kejang yang terjadi berulang setelah satu minggu
pasca cedera kepala disebut sebagai recurrent late PTS atau PTE. Namun, apabila
terjadi 2 kali kejang yang berselang lebih dari 24 jam diantara kedua kejang maka
dianggap sebagai epilepsi post trauma. Definisi ini sesuai dengan definisi
operasional/ praktis tentang epilepsi. Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang
ditandai dengan kondisi minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2
bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih
dari 24 jam atau satu bangkitan tanpa provokasi dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2
bangkitan tanpa provokasi dan yang terakhir sudah ditegakkan diagnosis sindrom
epilepsi.5,16,17

2.1.4. Etiologi
Sesuai definisi, PTE merupakan hasil dari cedera otak. Namun faktor
risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap PTE meliputi:10,18
1. Usia kurang dari 5 tahun atau lebih dari 65 tahun
2. Cedera kepala berat, cedera kepala terbuka (open/penetrating)
3. Fraktur cranial depresi atau linear
4. Kontusio serebri, perdarahan intraserebri akut terutama hematoma subdural
5. Early PTS

4
6. Riwayat alkoholisme kronis
7. Abnormalitas focal neuroimaging persisten atau kelainan elektroensefalografi
(EEG) pada periode post acute injury atau setelah 1 bulan pasca cedera kepala
8. Defisit neurologis menetap
9. Lesi pada regio temporal atau frontal tampak pada CT scan

2.1.5. Patofisiologi
Cedera kepala menyebabkan banyak perubahan baik secara struktural,
fisiologis dan biokimia pada otak.8 Patofisiologi yang berupa perubahan struktur,
fisiologis dan biokimia yang menimbulkan kejang pasca trauma belum begitu
banyak dipahami, tapi faktor yang menginisiasikannya dan menimbulkan
perubahan tersebut sudah diketahui antara lain hipersensitif post sinap,
menurunnya mekanisme inhibisi, timbunan besi karena perdarahan, faktor genetik
dan lain-lain.19 Pemeriksaan secara histopatologi dari jaringan otak setelah terjadi
trauma memperlihatkan terjadinya suatu gliosis yang reaktif, axon retraction ball,
degenerasi Wallerian dan formasi mikroglial dalam lesi dimassa putih.
Mekanisme dari patofisiologinya diketahui melalui 2 cara yaitu karena adanya
timbunan besi dan terjadi aktifasi dari kaskade asam arakidonat.16
Mekanisme PTS berdasarkan waktu terjadinya dibagi menjadi tiga, yaitu
immediate PTS, early PTS dan late PTS. Kejang yang terjadi dalam 24 jam
setelah cedera kepala (immediate PTS) merupakan kejang terprovokasi dan bukan
merupakan bangkitan epilepsi, demikian pula early PTS. Hal ini disebabkan
karena kejang yang terjadi sebagai akibat langsung abnormalitas neurologik dan
sistemik dari trauma fase akut. Pada fase akut trauma akan terjadi cedera primer
dimana terjadi pelepasan neurotransmiter terutama glutamat yang akan diikuti
dengan aktivasi kanal ion dan masuknya kalsium. Kondisi ini berakibat jejas
eksitotoksik yang ditandai dengan kerusakan mitokondria dan pengurangan
energi, pembengkakan neuron dan glia serta kematian sel. Pada kerusakan primer
juga terjadi kerusakan sawar darah otak dan vaskuler. Struktur kortikal otak
terutama hipokampus merupakan bagian yang rentan terhadap kerusakan akibat

5
cedera kepala, terutama cedera kepala sedang dan berat. Adanya kejang yang
terjadi diawal cedera kepala akan memperberat kerusakan yang terjadi.20
Cedera sekunder meliputi berbagai faktor fisiologik dan seluler yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan. Cedera otak akan memicu terjadinya
kaskade inflamasi, respon dari growth factor, edema, disfungsi mitokondria, stress
oksidatif sebagai akibat terbentunya radikal bebas dan ROS, kematian sel yang
lambat, gangguan homeostasis kalsium, hipoksia dan iskemia. Namun otak juga
berusaha untuk membangun meknisme “self repair” seiring dengan
perkembangan kerusakan jarinag sekunder. Mekanisme ini ditandai dengan
remodeling sirkuit sinap, sprouting akson, plastisitas sinap, gliosis, neurogenesis
dan angiogenesis. Berbagai mekanisme tersebut berkontribusi terhadap pemulihan
fungsi, tapi disisi lain juga berkontribusi terhadap terbentuknya kejang spontan.20

Gambar 1. Kejang yang terjadi pada cedera kepala 20


Mekanisme epilepsi post trauma, dimana kejang terjadi saat reorganisasi
sirkuit sinap dalam waktu lebih dari 7 hari setelah cedera kepala, dianggap
epilepsi post trauma karena menggambarkan perubahan pada struktur dan fungsi
neuron secara permanen. Lebih dari 90% dari epilepsi post trauma terjadi dalam
10 tahun pertama setelah cedera kepala dan lebih banyak terjadi pada cedera
kepala berat dibandingkan cedera kepala ringan dan juga terkait apakah jejas
trauma langsung mengenai hipokampus dan neokorteks bagian dari otak yang

6
rentan terhadap jejas. Cedera kepala menginisiasi respon yang berturutan berupa
gangguan aliran darah dan vasoregulasi, rusaknya sawar darah otak, peningkatan
tekanan intrakranial, perdarahan fokal atau difus, inflamasi, nekrosis, dan
rusaknya jaras-jaras dan pembuluh darah.21 PTE diyakini sebagai hasil dari proses
yang progresif yang terjadi antara waktu trauma otak dan timbulnya kejang
berulang spontan (silent periode). Studi pada hewan dengan menggunakan fluid
percussion model, menunjukkan kehilangan selektif interneuron hilar pada girus
dentata atau adanya serabut-serabut halus (mossy fibers) yang mudah dirangsang
yang bertahan sehingga dapat menyebabkan hipereksitabilitas sel.9
Kejang terjadi akibat ketidakseimbangan antara pengaruh inhibisi dan
eksitatori pada otak. Terdapat 2 mekanisme epileptogenesis pada pasien dengan
CK yaitu adanya disinhibisi dan timbulnya hubungan fungsional baru yang
bersifat eksitatorik. Teori lain mengatakan, setelah terjadi perdarahan intrakranial,
sel darah merah akan lisis menjadi besi dan hemoglobin yang akan menghasilkan
radikal bebas (ROS). Radikal bebas ini akan memulai suatu reaksi kimia di
membran sel saraf dengan hasil akhir berupa rusaknya aktivitas Na+K+ ATPase
yang akan menurunkan ambang rangsang kejang, pada saat yang sama juga
meningkatkan produksi neurotransmiter eksitasi asam aspartat dan glutamat dan
menurunkan produksi neurotransmiter inhibisi GABA.21 Asam-asam amino
eksitatorik ini juga akan menyebabkan keluarnya kalium ke ekstrasel
(meningkatkan eksitabilitas neuron) dan masuknya kalsium ke dalam sel
(menghasilkan radikal bebas).21,22
Dengan demikian, PTE ini lebih dipengaruhi oleh terbentuknya glial
scars, produk pemecahan hemoglobin, kematian interneuron inhibisi, atau
terganggunya koneksi neuronal melalui terbentuknya neosinapsis yang abnormal
yang berpotensi besar bersifat eksitatorik.14,22 Terdapat 2 tipe epileptogenesis
yakni focal epileptogenesis dan generalized epileptogenesis. Pada focal
epileptogenesis terjadi asinkronisasi pada saraf hipokampus dan saraf kortikal
sedangkan generalized epileptogenesis akibat interaksi yang abnormal pada
thalamocortical. Lesi kortikal tampak penting dalam asal-usul aktivitas epilepsi.22

7
Gambar 2. Patogenesis epilepsi22

2.1.6. Gambaran klinis


Iktal semiologi adalah tanda dan gejala kejang epilepsi yang tergantung
dengan tipe kejang dan lokasi. Manifestasi klinis sangat bervariasi dan tergantung
area kortikal yang terlibat. Pasien dengan epilepsi lobus frontalis dicirikan oleh
bangkitan berulang yang bersumber dilobus frontalis, seringkali jenis bengkitan
bersifat parsial sederhana atau parsial kompleks, kadang-kadang dengan bangkitan
umum sekunder. Manifestasi klinis bersifat refleksi dari area spesifik tempat
cetusan bersumber, mulai dari gangguan perilaku sampai dengan gejala motorik
atau perubahan tonus/postur rubuh. Kejang sering disalah artikan sebagai kejadian
psikogenik nonepileptik. Secara klinis kejang lobus frontalis berbeda dengan
kejang nonepileptik dimana lebih stereotipik, tidak bertujuan dan durasinya lebih

8
singkat.23,24 Semiologi PTS sama dengan bangkitan oleh penyebab kejang lainnya,
yang dapat meliputi bangkitan sederhana, bangkitan parsial kompleks, sampai
bangkitan umum tonik klonik, kecuali bangkitan umum absans. Early PTS pasca
CK lebih sering sebagai bangkitan umum tonik klonik walaupun hanya ada lesi
fokal kerusakan otak. Late PTS lebih bermanifestasi sebagai bangkitan fokal dan
dapat menjadi bangkitan umum tonik klonik, paling tidak satu kali bangkitan.8,9
Berdasarkan klasifikasi ILAE 1981, bangkitan epilepsi dibagi menjadi
generalized seizures, partial/focal seizures dan unclassified epileptic seizures.
Generalized seizures ialah kejang bersifat simetris di kedua sisi dan tanpa
didahului kejang lokal seperti absence seizures, myoclonic seizures⁄jerks (simple
or multiple), clonic seizures, tonic seizures, tonic-clonic seizures dan atonic
seizures (astatic).25

Gambar 3. Generalized seizures (Ropper dkk., 2005)

9
Sedangkan partial/focal seizures ialah kejang parsial yang diawali dari
gejala yang bersifat lokal. Bentuk kejang parsial antara lain simple partial
seizures, complex partial seizures dan partial seizures berkembang menjadi
generalized seizures sekunder. Simple partial seizures ialah kejang parsial yang
timbul tanpa adanya kehilangan/perubahan kesadaran dan fungsi psikologis.
Berdasarkan macam-macam sistem saraf yang dipengaruhi kejang fokal simpel
terbagi kembali menjadi beberapa jenis: 1. Motoris, jika lesi berasal dari lobus
frontalis 2. Somatosensoris/panca indera akan bermanifestasi dalam bentuk aura
3. Otonom dan 4. hanya psikologis. Sedangkan pada complex partial seizures,
pasien mengalami hilang kesadaran, diawali dengan kejang parsial yang lambat
laun bertambah progresif dan akhirnya pasien kehilangan kesadaran atau dari awal
sudah terjadi hilang kesadaran.25

Gambar 4. Partial seizures (Ropper dkk., 2005)

10
2.1.7. Diagnosis
Pendekatan diagnosis post traumatic epilepsy (PTE) mempunyai sasaran berikut:
A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Untuk mendiagnosis PTE, penderita harus memiliki riwayat cedera kepala
dalam 2 tahun terakhir, mempunyai faktor risiko untuk epilepsi dan tidak ada
riwayat bangkitan sebelum cedera kepala. Anamnesis (auto dan alloanamnesis)
haruslah cermat, teliti, terarah, sistematis tentang pola serangan, usia, riwayat
penyakit dahulu serta riwayat epilepsi dalam keluarga. Menyaksikan bangkitan
secara langsung (dengan video EEG monitoring), merupakan cara yang paling
efektif dalam mendiagnosis PTE. Pemeriksaan fisik dan neurologis dilakukan
untuk menyingkirkan diagnosis banding.13
B. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah dan LCS bertujuan
untuk menyingkirkan adanya penyebab kejang lain yang bersumber dari infeksi
sistem saraf pusat.13
C. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan neurofisiologi berupa EEG menggambarkan aktivits fisik
listrik otak sehingga dapat menujang diagnosis bangkitan epilepsi. EEG dapat
digunakan untuk mendiagnosis kelainan bangkitan tetapi sebagian besar penderita
PTE tidak memiliki kelainan EEG ”epileptiform” yang indikatif untuk epilepsi,
namun berguna dalam menentukan lokasi fokus epilepsi. EEG juga dapat
mengukur luas kerusakan tapi tidak dapat menetapkan kemungkinan
perkembangan epilepsi, sekitar 20% pasien dengan PTE mempunyai EEG negatif
pada 3 bulan pertama setelah cedera. Anomali mungkin ada berkisar dari
perlambatan dari aktivitas dasar dari gelombang lesi lambat di fokus yang
terlokalisasi. Pasien dengan immediate seizure, rangkaian gelombang paku pada
aktivitas fokal yang lambat akan lebih dikenali, umumnya pada regio temporal.
EEG akan sangat berguna untuk memprediksi kemungkinan kekambuhan dari
kejang sebelum terapi pencegahan. 26,27

11
Sebagai contoh, sebuah studi restrospektif dari EEG menemukan pasien
dengan cedera kepala tidak adanya nilai yang mampu memprediksi suatu
abnormalitas EEG fokal atau umum. Akan tetapi studi ini termasuk semua
abnormalitas dan tidak secara khusus menilai resiko pola epileptiform. EEG
berharga sebagai faktor prognosis pada orang-orang yang telah mengalami kejang.
Interictal pada epilepsi ditandai dengan epileptiform spike atau sharp wave. Fokal
EEG ditemukan sebulan setelah cedera kepala dengan resiko meningkat
meningkat setelah early seizure.28
2. Pemeriksaan Neuroimaging (CT-Scan, MRI)
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI diindikasikan pada penderita PTE untuk
mendeteksi adanya lesi otak. MRI merupakan gold standard dan CT-Scan dapat
digunakan jika MRI tidak tersedia. Namun seperti pemeriksaan EEG, MRI tidak
memiliki nilai yang spesifik untuk memprediksi timbulnya atau remisi pada
PTE.13

2.1.8. Tatalaksana
Tatalaksana epilepsi post trauma mencakup medikamentosa dengan
pemberian antikonvulsan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 86% pasien
yang mengalami satu kali bangkitan tanpa provokasi pasca cedera kepala akan
mengalami kejang yang kedua dalam 2 tahun. Hal ini menunjukkan risiko untuk
berkembangnya PTE cukup tinggi pada pasien yang mengalami bangkitan tanpa
provokasi.7 Oleh karena itu, pengobatan antikonvulsan jangka panjang
direkomendasikan pada pasien setelah mengalami late PTS yang pertama, dan
diberikan minimal 2 tahun bebas bangkitan.8,9,13
Early post traumatic seizure merupakan faktor resiko terhadap epilepsi
post trauma, oleh karena itu diperlukan upaya untuk pencegahan terjadinya early
PTS. Guideline yang dikeluarkan oleh Brain Trauma Foundation bersama
American Academy of Neurology merekomendasikan pemberian fenitoin dalam 7
hari setelah cedera kepala berat untuk profilaksis terjadinya PTS. Levitiracetam
efektif dan aman digunakan sebagai alternatif selain fenitoin untuk profilaksis
early PTS.5,29 Sebuah penelitian lainnya menyebutkan bahwa early PTS dapat
dicegah dengan fenitoin, levitiracetam dan carbamazepin adalah pilihan kedua

12
sedangkan fenobarbital dan asam valproat tidak dipertimbangkan untuk indikasi
profilaksis. Dari beberapa penelitian dikatakan pemberian obat anti kejang untuk
profilaksis tidak begitu bermanfaat untuk pencegahan late Post Traumatic Seizure
pada pasien cedera kepala. Tapi jika late Post Traumatic Seizure telah terjadi,
maka obat anti kejang harus diberikan setelah timbulnya kejang pertama.26,28
Berikut beberapa pedoman untuk pengobatan dan pencegahan PTS antara lain:14
1. Antikonvulsan diberikan dalam 24 jam pertama pasca cedera kepala,
mengurangi terjadinya early PTS (Level 1)
2. Antikonvulsan yang diberikan segera setelah cedera kepala tidak mengurangi
angka kematian atau persistent vegetative state atau terjadinya late PTS (> 1
minggu pasca cedera kepala) (Level 1)
3. Obat lain yang seaman dan seefektif phenytoin dalam pengobatan dan
pencegahan bangkitan pasca cedera kepala adalah levetiracetam (Level 1)
4. Fenitoin dan karbamazepin mempunyai efek negatif terhadap kemampuan
kognitif, terutama pekerjaan dengan komponen motor dan kecepatan, yang secara
teoritis mempunyai pengaruh negatif pada proses belajar selama rehabilitasi
(Level 1)
5. Penggunaan glukokortikoid setelah cedera kepala tidak menurunkan kejadian
late PTS, penggunaan dini (<2 hari pasca cedera kepala) berhubungan dengan
peningkatan aktivitas bangkitan (Level 2)
Selain itu dalam memulai pengobatan epilepsi, terdapat prinsip yang patut
ketahui antara lain mengurangi dan menghilangkan serangan, terapi dimulai sedini
mungkin, pilihan obat sesuai jenis epilepsi, obat diupayakan tunggal, dosis
minimal yang efektif, efek samping minimal, biaya terjangkau serta terapi harus
berdasarkan evidence-based clinical practice.29
Karbamazepin, fenitoin dan asam valproat adalah beberapa obat anti
epilepsi (OAE) pilihan yang efektif untuk penanganan pertama bangkitan umum
sekunder. Obat-obat ini juga merupakan obat pilihan untuk bangkitan parsial.
OAE pada mulanya diberikan tunggal dan dosis rendah kemudian dinaikkan
dosisnya secara perlahan sampai dosis terapi atau timbul efek samping (ES),
namun bila bangkitan terkontrol dan tidak ada ES yang muncul, maka dosis

13
dipertahankan. Apabila bangkitan belum terkontrol walaupun sudah mencapai
dosis terapi atau timbul ES, maka obat yang kedua harus ditambahkan. Apabila
dengan obat yang kedua, bangkitan terkontrol, maka obat yang pertama dapat
diturunkan perlahan sampai obat yang kedua dapat dijadikan obat tunggal.30
Tabel 1. Obat pilihan antiepilepsi untuk dewasa

Tipe
First line Second line
bangkitan

Tonic clonic • Sodium valproate • Lamotrigine*

• Carbamazepine • Oxcarbamazepine*

• Phenytoin

Absence • Sodium valproate • Ethosuximide

• Lamotrigine*

Myoclonic • Sodium valproate • Lamotrigine*

Partial • Carbamazepine • Lamotrigine*

• Phenytoin • Oxcarbamazepine*

• Sodium valproate

Unclassifiable • Sodium valproate • Lamotrigine*

Fenitoin merupakan pilihan untuk bangkitan parsial maupun bangkitan


umum, kecuali mioklonus dan lena. Disamping itu juga efektif untuk status
epileptikus, sindrom Lennox-Gastaut dan sindrom epilepsi pada anak.
Penanganan status epileptikus dengan pemberian fenitoin setelah diazepam
2mg/kgBB intravena dengan kecepatan 5mg/menit sampai maksimum 20mg.
Setelah itu fenitoin diberikan secara intravena dengan dosis 15 – 18 mg/kgBB
pelan-pelan dengan kecepatan maksimal 50 mg/menit. Dosis rumatan fenitoin

14
200-400mg/hari. Fenitoin efek sampingnya berupa gangguan kognitif dan fungsi
psikomotor terlebih pada pasien setelah cedera kepala berat. Pada beberapa
penelitian pasien dengan PTE tanpa pemberian antikonvulsan juga beresiko
mengalami gangguan neurobehavior.29,30
Pemberian preparat glukokortikoid dalam 1 hari pasca cedera kepala dapat
meningkatkan risiko terjadinya late PTS. Menurut Watson et al., hal ini karena:
(1) glukokortikoid mengeksaserbasi eksitotoksisitas dan oxidative injury pada
neuron hipokampus, (2) glukokortikoid mempercepat proses epileptogenesis di
amygdala pada kindling model, (3) glukokortikoid menginduksi perubahan atrofik
dan menekan neurogenesis di hipokampus. Tseng et al., menyatakan bahwa
glukokortikoid mempotensiasi kerusakan neuron ketika ada iskemia, dimana
kortikosteroid membuat neuron lebih rentan terhadap metabolic insults, seperti
iskemia-hipoksia otak dengan mengeksaserbasi kaskade eksitasi asam amino-
kalsium.31 Pemberian glukokortikoid pada kasus-kasus neurologi harus dibatasi
untuk kondisi spesifik dimana manfaat melebihi risiko yang ditimbulkan, seperti
pada edema otak karena tumor otak, dimana setelah pemberian glukokortikoid,
terdapat perbaikan klinis yang bermakna. Hal ini oleh karena glukokortikoid
memperbaiki permeabilitas vaskuler, mengurangi produksi LCS sehingga
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial serta mengurangi pembentukan
radikal bebas.31,32
Penanganan jangka panjang kejang post trauma biasanya diteruskan
dengan fenitoin, walaupun fenobarbital, karbamazepine atau sodium valproat
dapat digunakan. Obat-obat ini sangat berguna. Oleh sebab itu, respon dari pasien
dapat digunakan sebagai acuan penggunaannya. Disarankan pengobatan dengan
obat tunggal. Penambahan obat dilakukan bila pengobatan monoterapi gagal yang
disebabkan timbulnya kejang walaupun pasien dalam pengawasan kadar (level)
obat yang kuat. Terapi harus dilanjutkan hingga 1 tahun setelah kejang terakhir
keputusan untuk mengurangi dan tidak melanjutkan penggunaan antikonvulsan
harus dilakukan sendiri.28,29

15
Tabel 2. Obat pilihan antiepilepsi untuk anak-anak

Prinsip dasar penghentian obat dilakukan secara bertahap dalam jangka


waktu 3-6 bulan. Penghentian haruslah atas persetujuan pasien atau keluarga.
Selain itu indikasi penghentian terapi ialah bebas serangan sama sekali 2 tahun
atau lebih dengan rekaman EEG tanpa aktivitas epileptiform. Artinya, jika kejang
telah berhenti tapi rekaman EEG menunjukkan aktifitas epilepsi, penghentian
penggunaan antikonvulsan harus ditunda. Keputusan untuk tidak melanjutkan
pengobatan harus dijelaskan kepada pasien mengenai baik atau buruknya resiko
yang diterima. Sebanyak 13% pasien resisten terhadap pengobatan, walaupun
sudah diterapi secara agresif. Indikasi operasi dapat dipikirkan untuk pasien
seperti itu, apabila diketahui fokus epilepsinya.13 Eksisi yang dilakukan pada
fokus epileptogenik dapat menghilangkan epilepsi sebesar 50%-75%.33

16
2.1.9. Komplikasi
PTS berpotensi mengalami komplikasi berupa kemunduran fungsi kognitif,
perilaku dan keseluruhan status fungsional, selain juga mempengaruhi pemulihan
defisit neurologis, juga berpotensi menjadi status epileptikus. Penyebab kematian
pada epilepsi umumnya akibat penyakit lain yang tidak berkaitan dengan epilepsi
atau akibat langsung dari epilepsi yakni status epileptikus, kecelakaan sebagai
akibat bangkitan epilepsi dan sudden un-expected death.

2.1.10. Prognosis
Prognosis umumnya baik, 70–80% pasien yang mengalami epilepsi akan
sembuh, dan kurang lebih setengah pasien akan bisa lepas obat. Namun sebesar 20
-30% mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis. Hal ini menyebabkan
pengobatan semakin sulit. Sebanyak 5 % di antaranya kemudian akan tergantung
pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Pada pasien dengan lebih dari satu
jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologik
menunjukkan prognosis jelek.
Prognosis untuk epilepsi karena trauma lebih buruk dari yang untuk epilepsi
karena penyebab yang tidak ditentukan. Pasien dengan epilepsi post trauma
diperkirakan memiliki harapan hidup lebih pendek daripada orang dengan cedera
kepala yang tidak mendapat kejang. Dibandingan dengan mereka yang mengalami
cedera struktural tanpa kejang, pasien dengan epilepsi post trauama memerlukan
waktu yang lebih lama untuk pemulihan dari cedera dan memiliki banyak masalah
kognitif dan motorik. Sebagian besar penderita epilepsi post trauma memiliki
serangan pertama dalam 2 tahun setelah cedera kepala, angkanya dapat mencapai
89-90%. Pasien yang tidak mengalami kejang dalam waktu 3 tahun setelah cedera
hanya memiliki peluang 5% berkembang menjadi epilepsi. Semakin lama
seseorang tidak mengalami bangkitan, semakin rendah peluang epilepsi terjadi.34

17

Anda mungkin juga menyukai