Anda di halaman 1dari 3

Adik Soeharto Itu telah Pergi…

PROBOSUTEDJO meninggal dunia di usia 88 tahun pada


Senin (26/3) pukul 07.05 WIB di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Pihak rumah sakit enggan
membeberkan terkait sakit yang diderita Probosutedjo.
“Saya tidak bisa mengutarakan terkait hal itu,” ujar
Humas RSCM, Lastin, saat dihubungi HARIAN
NASIONAL, Senin. Yang pasti, pendiri Universitas Mercu
Buana itu dirawat di RSCM sejak 22 Maret lalu.

Probosutedjo lahir pada 1 Mei 1963 di Desa Kemusuk,


Bantul, Yogyakarta. Di masa Orde Baru, Probosutedjo
sering disebut-sebut sebagai adik tiri Soeharto. Di Memoar
Romantika Probosutedjo, Saya dan Mas Harto yang ditulis
oleh Alberthiene Endah, Probo membantahnya.

“Rumor yang menyebutkan saya saudara tiri Mas Harto


menjadi satu dari sekian banyak kontroversi yang
berkobar-kobar selama masa pemerintahan kakak saya,”
kata dia.

Probo mengatakan bahwa dirinya dan Mas Harto, begitu


biasanya ia memanggil Soeharto, adalah satu perut dari
Ibu Sukirah. Namun, pernyataan dalam memoar itu justru
tidak cocok dengan cerita Soeharto dalam otobiografi
Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang
diceritakan kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH.
Padahal, buku terbit pada 1989, sedangkan memoar terbit
pada 2010.

“Saya adalah anak ketiga. Dari istri pertama, beliau


(ayahnya Kertosudiro) mempunyai dua anak. Sebagai duda
beliau menikah lagi dengan ibu saya (Sukirah). Tetapi,
hubungan orangtua saya kurang serasi hingga… mereka
bercerai,” tutur Soeharto.

“Beberapa tahun kemudian Ibu Sukirah menikah lagi


dengan seseorang bernama Atmopawiro. Pernikahan ini
melahirkan tujuh anak…”

Sementara itu di memoarnya, Probo menjelaskan bahwa


bapaknya bernama Purnomo yang memiliki leluhur
pejuang. “Nama bapak setelah menikah berganti menjadi R
Atmopawiro…,” ujar dia.

Terlepas dari kontroversi itu, sosok Probosutedjo tak bisa


lepas dari keluarga Soeharto. Dalam biografi Siti Hartinah
Soeharto Ibu Utama Indonesia, Abdul Gafur menulis bahwa
sejak usia 15 tahun Probo telah tinggal bersama Soeharto
yang masih membujang sewaktu di Yogyakarta. Setelah
Soeharto menikah, ia kembali ke Kemusuk.

Probo remaja waktu itu juga ikut bergerilya. Ketika ia


kembali ke sekolah, Soeharto memberi dia hadiah sebuah
sepeda. “Tamat sekolah pemuda Probo ingin merantau ke
Sumatera. Ongkos tidak ada. Apa boleh buat sepeda
kesayangannya itu dijualnya dan berangkatlah ia ke
Medan,” tulis Gafur.

Di perantauan Probo menjadi guru di Pematangsiantar. Ia


memang memiliki latar pendirikan guru dan kuliah di
jurusan Sejarah B-1 yang lulus pada 1961. Di
Pematansiantar, ia mendirikan SMP Progresif menjadi
kepala sekolah dan guru Taman Siswa Pematangsiantar.

“Berhenti mengajar, Probo kemudian bekerja di PT Orici,


Medan (1963), lalu mendirikan PT Setia Budi Murni (1964-
1966), dan akhirnya pindah ke Jakarta, saat abangnya
Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden,” tulis Kompas
5 Agustus 1984. Probo moncer sejak mendirikan PT Mercu
Buana dan dianggap sebagai pengusaha pribumi sukses.
Perusahaannya termasuk Kedaung Group.

Soal kesuksesan Probo yang menonjol itu pernah


disinggung oleh Mashuri Saleh, tetangga Soeharto sewaktu
tinggal di Jalan Agus Salim, yang kemudian menjadi
Menteri Pendidikan dan Penerangan Indonesia (1977-
1982). Salim Said, mantan wartawan, dalam bukunya Dari
Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian, menuliskan,
bahwa Mashuri pernah mengingatkan Soeharto mengenai
adiknya, Probosutedjo. “Adik Soeharto ini pada awal Orde
Baru mendadak menjadi pebisnis besar. Jawa
Soeharto,’Kalau saya bisa memperkaya orang lain,
mengapa saya tidak boleh memperkaya keluarga saya
sendiri,” tulis Salim.

Sementara itu di mata warga Kemusuk, Probo adalah sosok


yang dermawan. Fauzan Muarifin, Camat Sedayu, Bantul,
Yogyakarta, mengatakan, almarhum semasa hidupnya
adalah sosok dermawan. “"Yang juga selalu diingat
masyarakat sini, kalau ke sini suka bagi-bagi duit kepada
anak sekolah," kata Fauzan yang ikut menyambut proses
pemakaman seperti dikutip Antara, kemarin.

Jenazah Probo yang tiba di Bantul, Yogyakarta, Senin sore,


langsung dimakamkan pukul 19.30 di Makam
Somenggalan, makam para pejuang yang lokasinya tidak
jauh dari rumah kediaman di Jalan Pedes, Desa
Argomulyo, Bantul. Probo dimakamkan berdampingan
dengan makam ayahnya, Atmopawiro.
Sejumlah keluarga dan kerabat tampak hadir: istri
Probosutedjo Ratmini Probosutedjo serta keenam anaknya,
lalu Titiek Soeharto dan Mamiek Soeharto.

Sahabatnya, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Indonesia Sri Edi Swasono menilai Probo
adalah sosok yang mencintai konsep ekonomi kerakyatan.

"Beliau sempat memimpin Himpunan Pengusaha Pribumi


(Hippi). Konsep ekonomi kerakyatan bagi Probosutedjo
diwujudkan dengan upaya nyata dengan membantu
mendorong perputaran ekonomi rakyat kecil, khususnya di
Dusun Kemusuk. Jadi, bagi beliau ekonomi kerakyatan
bukan teori, bukan konsep," kata dia.

Jauh sebelum komentar Sri Edi, Probo yang sempat


menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI)
1999-2004 pernah mengklaim, bahwa, “Saya ini seorang
marhaenis," kata mantan aktivis Golkar itu, seperti dikutip
dari Kompas, 2 Februari 1999.

“Probosutedjo mengaku sejak lama ia telah menjadi


anggota PNI. Pada masa Orde Lama, ia tercatat sebagai
Ketua Pemuda Demokrat di Pematangsiantar. Dengan
fasih dalam pertemuan itu Probosutedjo berbicara tentang
marhaenisme dan relevansi ajaran Bung Karno itu dalam
masa sekarang,” lanjut Kompas.

Dalam wawancara dengan wartawan Kompas Noorca M


Massardi dan Chrys Kelana itu, Probo blakblakan tentang
dirinya, tak terkecuali tentang kematian. Cita-cita Anda
ingin meninggal dalam keadaan bagaimana, tanya Kompas.
“Ya kalau sebagai orang agama, meninggal itu dalam
keadaan baiklah. Jangan merugikan orang lain. Kita hidup
di dunia ini, yang perlu itu meninggalkan nama baik.
Jangan sampai nama kita sedang jelek, kita meninggal.
Wah rusak he he he,” kata Probo yang mengidolakan tokoh
wayah Bima itu.

Selamat jalan, Pak Probo….

Anda mungkin juga menyukai