Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Mioma uteri atau kanker jinak yang terdapat di uterus adalah tumor jinak
yang tumbuh pada rahim. Dalam istilah kedokteranya disebut fibromioma uteri,
leiomioma, atau uterine fibroid. Mioma uteri merupakan tumor kandungan yang
terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadiannya lebih tinggi antara 20% –
25 % terjadi pada wanita diatas umur 35 tahun, tepatnya pada usia produktif
seorang wanita, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen.
Berdasarkan penelitian World Health Organisation (WHO) penyebab dari
angka kematian ibu karena mioma uteri pada tahun 2010 sebanyak 22 kasus
(1,95%) dan tahun 2011 sebanyak 21 kasus (2,04%). Di Indonesia kasus mioma
uteri ditemukan sebesar 2,39% -11,7% pada semua pasien kebidanan yang di
rawat. Mioma uteri lebih sering ditemukan pada wanita kulit hitam dibandingkan
wanita kulit putih. Data statistik menunjukkan 60% mioma uteri terjadi pada
wanita yang tidak pernah hamil atau hamil hanya satu kali.
Berdasarkan otopsi novak didalam buku Winkjosastro, 2009 menemukan 27
% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita yang berkulit
hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi
sebelum menarche. Setelah menopause hanya kira–kira 10 % mioma yang masih
bertumbuh. Bahaya mioma uteri ini apabila tidak segera ditangani dapat
menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi karena terjadinya perdarahan
yang abnormal pada uterus dan selama usia reproduksi dapat menyebabkan
infertilitas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos
yang ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari
sel- sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Mioma uteri
berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya lebih dominan. Mioma
berwarna lebih pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin, dan apabila dibelah
bagian dalamnya akan menonjol keluar sehingga mengesankan bahwa permukaan
luarnya adalah kapsul.11

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan usia
reproduktif, yaitu sekitar 20%-25% dengan faktor yang tidak diketahui secara
pasti. Kejadian lebih tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya kejadian mioma uteri
antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan
estrogen. Insiden mioma uteri 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna
dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50%
kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna.11 Sebuah penelitian di AS dari
perempuan yang dipilih secara acak usia 35-49 tahun, kejadian mioma uteri pada
ras Arfika-Amerika sebanyak 60% pada usia 35 tahun dan >80% pada usia 50
tahun. Pada ras kaukasia angka kejadian menunjukkan 40% pada usia 35 tahun
dan hampir 70% pada usia 50 tahun. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri
ditemukan 2,39%-11,87% dari semua pasien ginekologi yang dirawat.8

C. ETIOLOGI
Etiologi pasti penyebab mioma uteri belum diketahui, dan diduga merupakan
penyakit multiaktorial. Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi
terjadinya mioma uteri, yaitu:

1. Pengaruh Hormonal
a. Estrogen
Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat
pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen.
Mioma uteriakan mengecil pada saat menopause dan pada pengangkatan
ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium
dan wanita dengan sterilitas. Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan
kehamilan, jumlah reseptor estrogen di miometrium normal berkurang. Pada

2
mioma reseptor estrogen dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi, tetapi
ekskresi reseptor tersebut tertekan selama kehamilan.
b. Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium. Pada mioma reseptor
ditemukan sepanjang siklus menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan
antagonis natural dari estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma
dengan dua cara yaitu: Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan
menurunkan jumlah reseptor estrogen pada mioma.
c. Hormon Pertumbuhan
Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon
yang mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat pada periode
ini memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari mioma selama
kehamilan mungkin merupakan hasil dari aksi sinergistik antara hormon
pertumbuhan dan estrogen.2

2. Faktor Predisposisi Mioma Uteri


a. Umur
Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun
yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20
tahun. Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. Pada
usia sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia
reproduksi, serta akan turun pada usia menopause. Pada wanita menopause
mioma uteri ditemukan sebesar 10%.
b. Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma
uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan
dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.10
c. Obesitas
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin
berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim
aromatase di jaringan lemak.2 Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen
tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan
prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.10
d. Paritas
Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk
terjadinya perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah
hamil atau satu kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri
berkembang pada wanita yang tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali.
e. Kehamilan

3
Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah
dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat
mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan
dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada
kemungkinan dapat mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat
juga mengurangi resiko mioma karena pada kehamilan hormon progesteron
lebih dominan.9

D. KLASIFIKASI

Gambar 2.2 klasifikasi mioma uteri

Mioma di uterus dapat berasal dari servik uteri (1-3%) dan selebihnya
adalah dari korpus uteri. Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah
pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara lain:
a. Mioma Submukosa
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini dijumpai 6,1% dari seluruh kasus mioma. Jenis ini sering memberikan
keluhan gangguan perdarahan. Mioma jenis lain meskipun dengan ukuran
besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma
submukosa meski berukuran kecil sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan.
b. Mioma Intramural
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena pertumbuhan
tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma,
maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan
konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam

4
pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke atas,
sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

c. Mioma Subserosa
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di
antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
d. Mioma Intraligamenter
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus
sehingga disebut wondering/ parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu
macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke
dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan
sabit. Apabila mioma dibelah maka akan tampak bahwa mioma terdiri dari
berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan (whorle
like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang
terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini.12

Gambar 2.3 Klasifikasi mioma uteri

E. DIAGNOSIS BANDING
a. Kista ovarium
b. Adenomiosis
b. Neoplasma ovarium

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan antara lain:
a. Faktor-faktor risiko terjadinya mioma uteri, seperti:
1) Umur
2) Menarche dini (<10 tahun)
3) Ras
4) Riwayat keluarga

5
5) Kehamilan
6) Kebiasaan merokok
b. Gejala dan tanda, seperti:
Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul
sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada, besarnya tumor,
perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang mungkin timbul yaitu:
1) Perdarahan abnormal yaitu dapat berupa hipermenore, menoragia dan dapat
juga terjadi metroragia merupakan yang paling banyak terjadi.
2) Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada
sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada mioma
ubmukosum yang akan dilahirkan, dapat pula pertumbuhannya
menyempitkan kanalis servikalis sehingga menyebabkan dismenore. Namun
gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas pada mioma uteri.
3) Gejala dan tanda penekanan (Pressure Effects) yang tergantung pada besar
dan tempat mioma uteri. Gejala yang timbul dapat berupa poliuri, retention
urine, obstipasi serta edema tungkai dan nyeri panggul.14
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi
pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan
memberi kesan adanya perubahan-perubahan degeneratif. Mioma lebih
terpalpasi pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan pada abdomen yang
disertai nyeri lepas dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari
ruptur vena pada permukaan tumor.
Pada pemeriksaan pelvis, serviks biasanya normal. Namun pada
keadaan tertentu, mioma submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi
serviks dan terlihat pada osteum servikalis. Kalau serviks digerakkan, seluruh
massa yang padat bergerak. Mioma uteri mudah ditemukan melalui
pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila
dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi
sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini adalah bagian dari
uterus. Pada kasus yang lain pembesaran yang licin mungkin disebabkan oleh
kehamilan atau massa ovarium.6
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-
kadang menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan
polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal
diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan
6
peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan
eritropoietin ginjal.14
b. Imaging
1) USG ( Ultrasonografi )
Untuk menghindari kesalahan sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG
pada wanita dengan gangguan perdarahan atau dengan nyeri perut bawah
yang hebat. Pemeriksaan transvaginal sonography dapat dilakukan untuk
lebih memastikan gambaran uterus fibroid. Untuk lebih memperjelas
pemeriksaan terhadap dinding dalam uterus dapat dilakukan dengan
sonohisterography yaitu dengan mengisi cavum uteri dengan larutan salin
selama pemeriksaan. Uterus fibroid ini biasa didiagnosa banding dengan
adenomiosis.4
2) Histeroskopi
Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika
mioma kecil serta bertangkai. dapat diangkat.4
3) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah dan ukuran mioma tetapi
jarang diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas
tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi
lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma.4

G. TATALAKSANA
Sebanyak 55% dari semua kasus mioma uteri tidak membutuhkan suatu
pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan
tidak menimbulkan gangguan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan
pemantauan setiap 3-6 bulan. Tatalaksana mioma uteri harus memperhatikan usia,
paritas, kehamilan, konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, gejala yang
ditimbulkan, lokasi, dan ukuran tumor. Bila kondisi pasien sangat buruk perlu
dilakukan perbaikan nutrisi, suplementasi zat esensial, maupun transfusi. Pada
keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala abdomen akut, perlu disiapkan
tindakan bedah cito untuk menyelamatkan pasien.11
1. Terapi Hormonal
Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis
memberikan hasil yang baik dalam memperbaiki gejala klinis mioma uteri.
Tujuan pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran mioma dengan jalan
mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis sebelum
dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor
sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal yang lainnya
seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala
pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri.6
7
2. Terapi Pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of
obstetricians and Gyneclogist (ACOG) dan American Society of Reproductive
Medicine (ASRM) adalah:
a. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.
b. Sangkaan adanya keganasan.
c. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
d. Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi tuba.
e. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.
f. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
g. Anemia akibat perdarahan.6
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Miomektomi
Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan
uterus. Miomektomi ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan
fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi. Tindakan ini
dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosum dengan cara ekstirpasi
lewat vagina. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan
memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-
50%.11
Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi
maupun dengan laparoskopi. Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding
abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus. Keunggulan melakukan
laparotomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan
miomektomi dapat ditangani dengan segera. Namun pada miomektomi dengan
laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar, sehingga akan
mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penyembuhan
paska operasi lebih lama, sekitar 4-6 minggu.
Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma
submukosum yang terletak pada kavum uteri. Keunggulan tehnik ini adalah
masa penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang serius jarang
terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan
elektrolit, dan perdarahan.
Miomamektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi.
Mioma yang bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah
secara laparoskopi. Mioma subserosum yang terletak didaerah permukaan
uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah
masa penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada
pembedahan ini termasuk perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti
8
usus, ovarium, rectum, serta perdarahan. Sampai saat ini miomektomi dengan
laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang
masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya.6, 14
b. Histerektomi
Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan
terpilih.11 Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh
kasus. Histerektomi dilakukan apabila didapati keluhan menorhagia,
metrorhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus
sebesar usia kehamilan 12-14 minggu.6 Tindakan histerektomi dapat dilakukan
secara abdominal (laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan
laparoskopi.
Histerektomi perabdominal dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu total
abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal histerectomym
STAH). Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
STAH dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti
perdarahan yang banyak, trauma operasi pada ureter, kandung kemih dan
rektum. Namun dengan melakukan STAH kita meninggalkan serviks, di mana
kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi. Pada TAH, jaringan
granulasi yang timbul pada pangkal vagina dapat menjadi sumber timbulnya
sekret vagina dan perdarahan paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi
pada pasien yang menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi
tidak melalui insisi pada abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir
seluruhnya merupakan prosedur operasi ekstraperitoneal, dimana peritoneum
yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul pada usus
dapat diminimalisasi. Tindakan histerektomi pervaginam tidak terlihat parut
bekas operasi pada dinding abdomen, sehingga memuaskan pasien dari segi
kosmetik. Selain itu kemungkinan terjadinya perlengketan paska operasi lebih
minimal, dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding histerektomi
abdominal

9
BAB III
KESIMPULAN

Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos
yang ditemukan pada rahim manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari
sel- sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid, dan kolagen. Penyebab
mioma uteri dapat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu hormonal, genetik, dan
faktor lingkungan sosial seperti usia, paritas, gizi, dan kehamilan. Adanya mioma
uteri tidak menimbulkan gejala yang spesifik karena gejala muncul berdasarkan
letak, ukuran, dan kecepatan tumbuh dari massa miom. Gejala yang umum adalah
adanya perdarahan uterus abnormal yang dapat menimbulkan anemia. Diantara
terapi hormonal dan terapi pembedahan, terapi mioma uteri yang terbaik adalah
pembedahan, yakni melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan terapi
histerektomi, prosedur histerektomi laparoskopi memiliki kelebihan disbanding
prosedur histerektomi abdominal kerana masa penyembuhan yang singkat dan
angka morbiditas yang rendah.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. A, Sylvia dan M, Lorraine S. 2006. “Gangguan Sistem Reproduksi”.


Pathophysiology: Clinical Concepts od Disease Processes Ed.6. Jakarta: EGC.
2. Djuwantono, T. 2004. Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi.
Mioma:Farmacia. Vol.3: 38-41.
3. E, Serdar. 2013. Uterine Fibroids. The New England Jaournal of Medicine.
1344-1355.
4. Goodwin, S dan Spies, T. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697.
5. Gross, K dan Morton, C. 2001. Genetic and Development of Fibroid. 44: 355-
349.
6. Hadibroto, Budi. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.38
(3): 254-259.
7. Hart, MD dan McKay, D. 2000. Fibroids in Gynecology Ilustrated. London:
Churchill Livingstone.
8. Joedosapoetro, M. 2005. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
9. ManuabaB.G.2003.Penuntun KepaniteraanKlinik Obstetric dan Ginekologi
Edisi Kedua. Jakarta: EGC.
10. Parker WH. 2007. Etiology, Syptomatology and Diagnosis of Uterin
Myomas.87: 725-733.
11. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
12. Repositoryusu.ac.id.//Mioma uteri
13. Snell. R. S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Edisi 6. EGC:
Jakarta.
14. Stewart, Faur, and Wise. 2002. Predictors of Subsequent Surgery for Uterin
Leiomiomata After Abdominal Myomectomi. 99: 426-432.
15. Zimmermann, Bernuit, Gerlinger, et al. 2012. “Prevalence, Symtoms and
Management of Uterine Fibroids: an International Internet-Based Survey.

11

Anda mungkin juga menyukai