Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kriminalitas atau kejahatan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak


lahir, warisan) juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal dapat
dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria dan dapat berlangsung pada usia
anak, dewasa atau pun lanjut umur. Tindak kejahatan bias dilakukan secara sadar oleh
para pelaku kejahatan, namun ada pula kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku
kriminal dimana orang tersebut dalam melakukan kejahatannya dipengaruhi oleh
minuman keras. Penyimpangan yang terjadi khususnya kebiasaan mengkonsumsi
minuman keras secara berlebihan hingga menyebabkan hilangnya kesadaran pada diri
sendiri atau dapat dikatakan mabuk yang pada akhirnya menimbulkan pelanggaran
bahkan tindak pidana yang sangat meresahkan masyarakat.
Meminum minuman keras secara berlebihan hingga hilangnya kesadaran bagi
pemakainya dapat dikatakan sebagai awal dari tindakantindakan yang melanggar aturan
hukum yang berlaku, baik itu kecelakaan kecelakaan lalu lintas, pemerkosaan,
pembunuhan, pencurian, penganiayaan, bahkan sampai pada tindak kekerasan dalam
keluarga yang pelakunya dapat dilakukan oleh siapa saja, baik wanita atau pria bahkan
anak dibawah umur sekalipun. Saat ini banyak terjadi tindak pidana kejahatan yang
sangat meresahkan masyarakat khususnya Daerah Ambarawa dan sekitarnya yang
berkaitan dengan tindak kriminal yang di sebabkan pengaruh minuman keras. Dari
contoh kasus dibawah dapat kita lihat bahwa pengaruh minuman keras menyebabkan
para pelaku tidak dapat mengendalikan dirinya, sehingga menyebabkan hilangnya nyawa
seseorang dan seorang lagi mengalami luka

1
Dalam suatu kasus tindak kriminal yang disebabkan pengaruh minuman keras,
para pelaku yang mengalami mabuk atau hilangnya kesadaran serta pengendalian diri
atas apa yang mereka perbuat, dapat diartikan sebagai suatu kondisi psikologis yang
dapat diidentifikasikan berbentuk gejala umum antara lain bicara tidak jelas,
keseimbangan kacau, koordinasi buruk, muka semburat, mata merah, dan kelakuan-
kelakuan aneh lainnya, sehingga seorang yang terbiasa mabuk kadang disebut sebagai
seorang alkoholik, atau pemabuk.

. B. Tujuan
1. Tujuan Umum
a. Mengetahui manajemen pasien dengan medikolegal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penanganan awal pasien dengan medikolegal.
b. Mengetahui penanganan lanjut untuk pasien dengan medikolegal.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Visum et Repertum


Visum et Repertum yakni berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan
“repertum” yaitu melaporkan. Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini adalah
apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertum merupakan suatu
laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa
yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti
lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya1.
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan
penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medic terhadap manusia baik
hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan
keilmuannya dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan2.
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung
tentang visum et repertum, yaitu pada Staatsblad ( Lembaran Negara ) tahun 1937
No. 350 yang menyatakan :
Pasal 1 :
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan
pada waktu menyelesaikan pelajaran di Negeri Belanda ataupun di Indonesia,
merupakan alat bukti yang syah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta
tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh dokter
pada benda yang diperiksa2.

1.2 Jenis dan Bentuk Visum et Repertum

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan


(termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah,
dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et
repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban
tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau
terdakwa atau saksi3.

3
Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas
sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan
pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin
tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia3.

1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan2.

Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada
surat permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis
atas semua hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat
digunakan untuk pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka
ringan datang ke dokter setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat
permintaan visum et repertum. Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan
datang ke dokter sebelum melapor ke penyidik, sehingga surat permintaan datang
terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil dengan komunikasi dan kerjasama antara
institusi kesehatan dengan penyidik.

Di dalam bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu


datang, luka-luka atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik
berikut uraian tentang letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan
khusus/penunjang, tindakan medis yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit
selama perawatan, dan keadaan akhir saat perawatan selesai. Gejala yang dapat
dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan, sedangkan yang subyektif dan tidak
dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum et repertum.

2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila2

Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada


dokter adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP
(meliputi perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya,
persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul).

4
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya
persetubuhan atau perbuatan cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta
usia korban. Selain itu juga diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan
seksual, kehamilan, dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana
tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena istilah
pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau
tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan
terjadinya, dan ada atau tidaknya tanda kekerasan. Bila ditemukan adanya tanda-tanda
ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa darah pada kuku korban, dokter
berkewajiban mencari identitas tersangka melalui pemeriksaan golongan darah serta
DNA dari benda-benda bukti tersebut.

3. Visum et Repertum Jenazah2

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki
atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas
tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan
jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

a. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan
jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
b. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi,
toksikologi, serologi, dan sebagainya.

Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan
penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di
atas.

5
4. Visum et Repertum Psikiatrik2

Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP
yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya
atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita
penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini.

Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana,
bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan
tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena
menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang
dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis
psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum.

Dalam Keadaan tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia


diragukan kondisi kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala
hakim juga meminta evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum
psikiatrik.

1.3 Fungsi dan Tujuan Visum et Repertum

Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus delicti)
yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah pada saat
persidangan berlangsung. Jadi VeR merupakan barang bukti yang sah karena
termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 1841.

Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu1:
- Keterangan saksi
- Keterangan ahli
- Keterangan terdakwa
- Surat-surat
- Petunjuk

6
Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu1:

- Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim


- Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
- Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat kesimpulan
VeR yang lebih baru

Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat
meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan
dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul
keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu
hasil pemeriksaan.

1.4 Penentuan Derajat dan Kualifikasi Luka

Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulan sebuah VeR perlukaan
adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, VeR dikatakan baik
apabila substansi yang terdapat dalam VeR tersebut dapat memenuhi delik rumusan
dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar belakang
individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikutsertaan dalam pendidikan
kedokteran berkelanjutan dan sebagainya3.

Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak padakorban dari segi fisik, psikis,
sosial dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka
panjang. Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam
menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa
keadilan. Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari
tiga tingkatan dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana
maksimum 3 bulan penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan
penganiayaan yang menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga
tingkatan penganiayaan tersebut diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk
penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk penganiayaan, dan pasal 352 (2)
7
KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka berat. Setiap kecederaan harus
dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut seorang dokter yang
memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam,
termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan. Rumusan hukum tentang
penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan
bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan”. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan
tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke
dalam kategori tersebut. Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang)
sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang
penyakit. Sehingga bila kita memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit”
akibat kekerasan tersebut, maka korban dimasukkan ke dalam kategori tersebut2.

Kata penganiayaan merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dalam istilah
kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya menimbulkan luka, maka dalam
kesimpulan visum et repertum kata penganiayaan diganti dengan kata “luka”. Dengan
demikian kualifikasi luka menjadi 3:
- Luka yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
- Luka yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan atau pencaharian
- Luka yang tergolong luka berat

Menurut KUHP pasal 90 yang tergolong luka berat adalah3 :


1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian
3. Kehilangan salah satu panca indera
4. Mendapat cacat berat

8
5. Menderita sakit lumpuh
6. Terganggu daya piker selama 4 minggu lebih
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

1.5 Penganiayaan

Pada kasus ini dapat dikatakan sebagai penganiayaan, dimana definisi dari
penganiayaan adalah “Dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan
itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”. Dan dalam kasus penganiayaan pelaku
dapat terjerat dalam pasal 351 s/d 355 tergantung pada derajat keparahan yang
dialami korban, sebagaimana tercantum dalam KUHP BAB XX tentang
penganiayaan.(1)
 Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
 Pasal 352
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu
terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(3) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

 Pasal 353
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.

9
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
 Pasal 354
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
 Pasal 355
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Berdasarkan luka yang diperoleh korban juga dapat menentukan jenis dan lama
hukuman bagi pelaku. Adapun kualifikasi luka pada korban hidup, yaitu :(3)
1. Luka ringan/ luka derajat I/ luka golongan C
Luka derajat I adalah apabila luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau tidak
menghalangi pekerjaan korban. Hukuman bagi pelakunya menurut KUHP Pasal 352
ayat 1.
2. Luka sedang/ luka derajat II/ luka golongan B
Luka derajat II adalah apabila luka tersebut menyebabkan penyakit atau menghalangi
pekerjaan korban untuk sementara waktu.(3) Hukuman bagi pelakunya menurut KUHP
Pasal 351 ayat 1 atau 353 ayat 1.(2)
3. Luka berat/ luka derajat III/ luka golongan A

Luka derajat berat menurut KUHP Pasal 90 ada 6, yaitu :


 Luka atau penyakit yang tidak dapat sembuh atau membawa bahaya maut (NB:
semua luka tembus yang mengenai kepala, dada, atau perut dianggap membawa
bahaya maut).
 Luka atau penyakit yang menghalangi pekerjaan korban selamanya.
 Hilangnya salah satu panca indera korban.
 Cacat besar
 Terganggunya akan selama >4 minggu
 Gugur atau matinya janin dalam kandungan ibu.

10
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

 Nama : Tn. J
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 43 tahun
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Warga Negara : Indonesia
 Agama : Islam
 Alamat : Bandungan , Semarang
 Status Perkawinan : menikah

A. ANAMNESIS
Seorang laki-laki berumur 43 tahun datang ke RSUD Ambarawa dengan keluhan
mengalami tindak pemukulan oleh orang yang tidak dikenal. Pemukulan terjadi pada
tanggal 5 Maret 2017 pukul 02.00 WIB. Menurut keterangan korban, pelaku sedang
dalam keadaan mabuk. Tiba-tiba pelaku datang menghampiri korban dan langsung
memukul kepala bagian atas dan korban sempat melawan.

B. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital Sign : TD : 120/70 mmHg HR : 84 x/menit RR : 22x/menit

C. STATUS GENERALIS
 Kepala : Hematom dan luka lecet pada dahi kanan atas berwarna
kemerahan, temporal di atas telinga sebelah kiri terdapat hematom. Hematom
pada kepala bagian belakang.

 Mata : DBN
 Leher : Luka lecet geser
 Thorax : DBN
 Abdomen : DBN
 Ekstremitas : Pada pangkal jari telunjuk dan kelingking kiri terdapat luka lecet
geser berwarna kemerahan. Pada lengan kiri terdapat hematom berwarna
kemerahan.

D. DESKRIPSI
11
 Pada dahi bagian kanan atas terdapat memar, bentuk tidak beraturan, warna
kemerahan, kondisi bersih, dasar kulit, ukuran 3x1,5 cm, dan luka lecet tekan
pada dahi bagian kanan atas, bentuk tidak beraturan, warna kehitaman, arah tegak
lurus, kondisi bersih, dasar kulit, ukuran 0,5x2 cm. Terdapat benjolan di kepala
sebelah kiri 2 cm di atas daun telinga dan terdapat benjolan di bagian belakang
kepala dengan ukuran diameter 3 cm.
 Pada leher sebelah kiri terdapat luka lecet geser berbentuk garis berwarna
kehitaman dengan arah dari belakang ke depan, kondisi bersih, dasar kulit, ukuran
3cm.
 Pada pangkal jari telunjuk kiri terdapat luka lecet geser bentuk tidak beraturan,
warna kemerahan, arah dari bawah ke atas, kondisi bersih, dasar kulit, ukuran
1x0,5 cm. Pada pangkal jari kelingking kiri terdapat luka lecet geser bentuk tidak
beraturan, warna kemerahan, arah dari bawah ke atas, kondisi bersih, dasar kulit,
ukuran 1x0,5 cm. Pada lengan bawah kiri tepat pada sumbu tengah bagian
belakang terdapat luka memar, bentuk tidak beraturan, warna kemerahan, ukuran
10x3 cm.

Usulan Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Kerja

Hematom dan Vulnus Ekskoriasi

Penatalaksanaan

 Perawatan luka
 Asam Mefenamat 500 mg tablet 3x1

Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam

12
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 2 jam SMRS setelah dipukuli
orang yang tidak dikenal dalam keadaan mabuk dan pasien tidak sempat melawan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan luka memar pada dahi, belakang kepala, di atas telinga, dan
lengan bawah kiri. Luka lecet tekan pada dahi bagian kanan atas. Luka lecet geser pada
leher sebelah kiri, pangkal jari telunjuk kiri, dan pangkal jari kelingking kiri. Kemudian
pada pasien dilakukan rawat luka dan diberikan obat pereda nyeri. Luka yang dialami
pasien kemungkinan oleh kekerasan tumpul. Cedera tersebut tidak mengancam nyawa
(luka ringan).
Setelah pemukulan tersebut pasien langsung ke RSUD Ambrawa untuk meminta
visum seharusnya pasien melapor dahulu kepada polisi untuk dibuatkan laporan resmi
untuk permintaan pembuatan surat visum. Tetapi dalam keadaan seperti ini
diperbolehkan tetap membuat surat visum dahulu di RS tetapi korban atau pasien setelah
itu wajib melapor ke pada pihak polisi bahwa telah visum di RS.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau
pekerjaan sebagaimana bunyi pasal 352 KUHP. Umumnya yang dianggap sebagai hasil
dari penganiayaan ringan adalah korban dengan “tanpa luka” atau dengan luka lecet atau
memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/ yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh
tertentu.

13
Pada kasus ini dapat disimpulkan telah terjadi tindak penganiayaan sesuai dengan
KUHP Pasal 351 ayat 1 dan berdasarkan luka yang dialami korban adalah luka derajat I/
luka ringan/ luka golongan C dimana luka tersebut tidak menimbulkan penyakit atau
tidak menghalangi pekerjaan korban. Hukuman bagi pelakunya menurut KUHP Pasal 352
ayat 1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada


Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga
Kelapa Gading, Rabu 10 Juli 2004

2. Budiyanto, Arif; Widiatmaka, Wibisana. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik.


Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Kedokteran Universitas Indonesia

3. Hoediyanto; A. Hariadi. 2010. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan


Medikolegal. Surabaya. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
4. http://hukumpidana.bphn.go.id/babbuku/bab-xx-penganiayaan/

14

Anda mungkin juga menyukai