Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Bencana (disaster) adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu


komunitas atau masyarakat yang mengakibatkan kerugian manusia, materi, ekonomi
atau lingkungan yang meluas yang melampaui kemampuan komunitas atau
masyarakat yang terkena dampak untuk mengatasi dengan menggunakan sumber
daya mereka sendiri.

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


mendefinisikan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda dan dampak psikologis (Anonim,2007).

Salah satu dari bencana yang ada di Indonesia adalah bencana gunungapi. Saat
ini terdapat 129 gunung berapi yang masih aktif dan 500 tidak aktif di Indonesia.
Gunung berapi aktif yang ada di Indonesia merupakan 13 persen dari seluruh gunung
berapi aktif di dunia, di mana 70 gunung di antaranya merupakan gunung berapi aktif
yang rawan meletus dan 15 gunung berapi kritis. Bahaya letusan langsung berupa
muntahan dan jatuhan material-material atau gas beracun. Dalam musim penghujan
gunung berapi dapat menimbulkan bahaya tidak langsung berupa aliran lahar atau
perpindahan material vulkanik yang membahayakan.

Dalam upaya mengantisipasi terjadinya kemungkinan ancaman letusan


rnssigunung dimaksud dan dalam rangka peningkatan kesiapsiagaan daerah, maka
perlu dilakukan penyusunan rencana kontijensi (Contingency Planning) di tingkat
provinsi maupun kabupaten/kota sesuai dengan ancaman yang dihadapi. Penyusunan
rencana kontijensi merupakan salah satu rencana yang dibuat pada tahapan
prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi terjadinya suatu bencana.
Rencana kontijensi dibuat untuk mem astikan apakah pemerintah daerah maupun
masyarakat siap dalam menghadapi potensi terjadinya suatu kondisi darurat
(bencana). Apabila bencana terjadi, maka Rencana Kontinjensi dapat dijadikan
Rencana Operasi Tanggap Darurat (Emergency Operation Plan) setelah terlebih
dahulu melalui kaji cepat (rapid assessment).

Laporan ini bertujuan untuk mengembangkan peta-peta untuk keperluan


rencana kontijensi bencana gunung berapi. Sebagai studi kasus adalah Gunung Lokon
yang terletak di Kota Tomohon Provinsi Sulawesi Utara. Mengingat pentingnya
aspek spasial dalam suatu rencana kontijensi, maka untuk pengembangan peta
tersebut perlu dikaji terlebih dahulu peta apa saja yang diperlukan dalam proses
melakukan pengambilan keputusan berbasis spasial.

1.2. Rumusan Masalah


1. Dampak Resiko yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana erupsi Gunung
Lokon.
2. Mekanisme pengelolaan potensi bencana yang ada di sekitar Gunung Lokon.
1.3. Tujuan
1. Mengidentifikasi ancaman bencana.
2. Menilai dampak dan mengelola Risiko bencana.
3. Menganalisis program-program yang dapat dilakukan untuk pengurangan risiko
bencana.
1.4. Lokasi
Kota Tomohon berada pada 1°15' Lintang Utara dan 124°50' Bujur Timur.
Luas Kota Tomohon berdasarkan keputusan UU RI Nomor 10 Tahun 2003 sekitar
11.420 Ha dengan jumlah penduduk mencapai 87.719 jiwa. Saat ini Kota Tomohon
terbagi menjadi 5 kecamatan, yaitu: Tomohon Utara, Tomohon Tengah, Tomohon
Timur, Tomohon Barat, Tomohon Selatan.

Kota Tomohon memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Minahasa

 Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Minahasa

 Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Minahasa

 Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Minahasa


Kota Tomohon terletak di ketinggian kira-kira 900-1100 meter dari permukaan laut
(dpl), diapit oleh 2 gunung berapi aktif, yaitu Gunung Lokon (1.689 m) dan Gunung
Mahawu (1.311 m). Suhu di Kota Tomohon pada waktu siang mampu mencapai 30
derajat Celsius dan 18-22 derajat Celsius pada malam hari.

Gunung Lokon memiliki ketinggian 1.580 m dari permukaan laut. Puncak gunung
Lokon berjarak sekitar 5.300 meter di sebelah barat laut dari Kota Tomohon dan sekita
6.700 meter di sebelah barat daya dari kota kecamatan Pineleng. Dari ibukota provinsi
Manado jaraknya hanya sekitar 20 kilometer di barat daya kota. Gunung Lokon terletak
pada koordinat 1,358°LU 124,792°BT
BAB II
METODOLOGI
2.1. Pengertian Dasar

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yag mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan atau faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU No. 24/2007).

Bahaya (hazard) adalah suatu fenomena fisik atau aktivitas manusia yang
berpotensi merusak, yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera, kerusakan
harta benda, gangguan soaial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan (ISDR, 2004).

Risiko (risk) adalah probabilitas timbulnya konsekuensi yang merusak atau


kerugian yang sudah diperkirakan (hilangnya nyawa, cederanya orang-orang,
terganggunya harta benda, penghidupan dan aktivitas ekonomi, atau rusaknya
lingkungan) yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara bahaya yang ditimbulkan alam
atau diakibatkan manusia serta kondisi yang rentan (ISDR, 2004).

2.2. Konsep Penanggulangan Bencana

Konsep penanggulagan bencana dimaksudkan untuk memperkecil dampak


negatif dari bencana alam dan kegiatan/usaha antara lain pencemaran udara,
pencemaran air permukaan, pencemaran tanah dan air tanah, serta pengurangan flora
dan fauna serta adanya korban jiwa.
Gambar 2.1 Upaya Pengelolaan Bencana

Gambar 2.2 Bagan Alir Metodologi Penyusunan Analisis Risiko Bencana


2.3. Data dan Peralatan

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliput data spasial dan nonspasial.
Data yang digunakan dalam pengembangan peta rencana kontijensi bencana gunung
berapi ini terdiri atas data spasial dan data nonspasial. Data spasial terdiri atas:

 Peta RBI
 Citra satelit Landsat
 Peta tematik
 Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Lokon

Adapun data nonspasial meliputi data kepadatan penduduk serta data sosial ekonomi.
Peralatan yang digunakan meliputi perangkat keras komputer dan perangkat lunak
pengolah citra dan sistem informasi geografis (SIG).

2.4. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian digambarkan secara skematis pada


Gambar 1 di bawah ini. Berikut penjelasan lebih detail dari tahapan pelaksanaan
penelitian yang dilakukan.

2.4.1. Persiapan

Kegiatan persiapan penelitian di antaranya adalah:

1) Identifikasi wilayah penelitian.


Studi kasus penelitian ini adalah wilayah Gunung Lokon di Kota Tomohon,
Provinsi Sulawesi Utara.
2) User Need Analysis
Sebagaimana tertera pada tujuan penelitian, pembuatan peta rencana kontijensi
bencana gunung berapi Lokon ini dibuat untuk dapat memberikan informasi
mengenai bencana Gunung Lokon agar tindakan tanggap darurat yang cepat,
tepat, dan akurat dalam rangka pengambilan keputusan jika terjadi bencana.
Untuk itu peta rencana kontijensi ini dibuat sedemikian rupa sehingga dapat
digunakan oleh berbagai keperluan yang terkait.

Guna mencapai hal tersebut, maka harus dilakukan analisis kebutuhan


pengguna (user need analysis). Dari hasil analisis ini kemudian dapat
disimpulkan ke dalam data dan jenis-jenis informasi apa saja yang nantinya
akan ditampilkan dalam Peta Rencana Kontijensi ini. Dari kesimpulan ini dapat
dianalisis juga kebutuhan data untuk pembangunan Pembuatan Peta Rencana
Kontijensi Bencana Gunung Berapi Lokon. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data-data sekunder, artinya data-data tersebut bukan
didapat dari pengamatan atau survei secara langsung akan tetapi didapat dari
instansi-instansi yang berkaitan. Dalam tahapan ini data yang digunakan dibagi
menjadi dua, yaitu: data spasial dan data atribut.

Gambar 2.3 Diagram Tahapan Pelaksanaan Penelitian


2.4.2. Pengolahan Citra Satelit
Pengolahan citra satelit dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ENVI
4.2. Tahapan pengolahan citra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses
rektifikasi dan pembuatan peta tutupan lahan.

Adapun langkah-lagkah yang dilakukan dalam pengolahan citra ini adalah:

1) Penentuan titik kontrol tanah; dalam hal ini titik kontrol tanah
menggunakan titik titik koordinat yang terdapat pada peta RBI.
2) Rektifikasi citra satelit dengan metode polinomial dan proses resampling
dengan menggunakan metode nearest neighborhood.
3) Klasifikasi citra ke dalam 8 kelas tutupan lahan (tubuh air, pemukiman,
semak belukar, hutan, perkebunan, sawah, tegalan, rawa).

2.4.3. Pembuatan Basis Data Spasial dan Nonspasial


Penyusunan basis data spasial dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10. Gambar di bawah ini memperlihatkan
tahapan pelaksanaan pembuatan basis data hingga layout peta-peta rencana
kontijensi gunung berapi.
Gambar 2.4 Diagram Alir Proses Pembuatan Basisi Data Spasial

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pembuatan basis data spasial adalah:

1) Melakukan konversi data-data dari AutoCAD (*dwg) ke dalam bentuk


shapefile (*shp).
2) Melakukan analisis spasial menggunakan metode overlay, intersect, dan
buffering terhadap data-data shapefile dengan keperluan analisis.
3) Menghitung luasan dari masing-masing kawasan hasil analisis spasial untuk
dimunculkan dalam atributnya.

Setelah itu dilakukan penyusunan basis data nonspasial (data atribut), analisis
spasial, dan pembuatan layout peta-peta luaran pada skala 1:150.000 dan
1:100.000.
BAB III
HASIL
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah peta rencana kontijensi bencana
Gunung Lokon, dimana dengan adanya peta rencana ini diharapkan dapat membantu para
pengambil kebijakan terutama pemerintah untuk memperhitungkan akibat dari bencana
gunungapi itu sendiri. Peta rencana ini kontijensi ini diperoleh dari hasil analisis spasial,
yang memberikan informasi tentang kerentanan fisik dan ekonomi, kerentanan sosial,
kawasan rawan bencana, dan kawasan risiko bencana dari Gunung Lokon. Peta rencana
kontijensi bencana gunungapi ini dihasilkan dari hasil analisis spasial, yang terdiri atas
peta kerentanan fisik dan ekonomi, peta kerentanan sosial, peta kawasan rawan bencana,
dan peta kawasan risiko bencana.

1) Peta Kerentanan Fisik dan Ekonomi

Gambar 3.1 Peta Kerentanan Fisik dan Ekonomi Gunung Lokon

Kerentanan fisik-ekonomi adalah unsur buatan dan kegiatan manusia yang dapat
terpengaruh atau berubah sebagai akibat dari aktivitas letusan Gunung Lokon. Kawasan
dengan penduduk yang memiliki kepadatan tinggi dan rendah mempunyai karakteristik
yang berbeda, dengan demikian kerentanannya juga akan berbeda tergantung pada
variabel dan parameternya. Di dalam menentukan tingkat kerentanan fisik-ekonomi
digunakan variabel penggunaan lahan kawasan eksisting dan variabel nilai ekonomi
dengan pengertian akan didapat suatu tingkatan atas penggunaan lahan eksisting atas
dasar nilai uang dimana semakin produktif fungsi suatu lahan maka semakin tinggi nilai
ekonominya. Tipologi kerentanan fisik-ekonomi kawasan Gunung Lokon terdiri dari 3
tingkatan yaitu permukiman dan sawah memiliki tingkat kerentanan tinggi, sedangkan
perkebunan, tegalan tergolong kerentanan sedang serta semak belukar, hutan, dan rawa
tergolong kerentanan rendah.

Tabel 3.1 Kerentanan Fisik-Ekonomi Kawasan Gunung Lokon

2) Peta Kerentanan Sosial

Kerentanan sosial adalah kehidupan manusia yang dapat terpengaruh atau berubah
sebagai akibat dari peristiwa aktivitas Gunung Lokon. Di dalam menentukan tingkat
kerentanan digunakan variabel kepadatan penduduk per desa dalam kawasan Gunung
Lokon dengan tingkatan sebagai berikut.
Tabel 3.2 Tingkat Kepadatan Penduduk di Sekitar Kawasan Rawan Bencana

Jumlah Luas
Kepadatan
No Desa Pendudu Wilayah
(Jiwa/Ha)
(Jiwa) (Ha)

1 KINILOW 2.053 600 3,42

2 KINILOW 1 2.754 450 6,12

3 KAKASKASEN 1 3.223 360 8,95

4 KAKASKASEN 2 3.976 378 10,52

5 KAKASKASEN 3 3.483 800 4,35

6 TINOOR 1 1.605 625 2,57

7 TINOOR 2 1.720 500 3,44

8 WAILAN 3.083 450 6,85

9 KAYAWU 2.524 613 4,12

10 TARATARA 1 3.565 1.250 2,85

11 TARATARA 2 3.045 1.204 2,53

13 TALETE 2 3.163 127 24,847

JUMLAH 34.194 7.357,3

*Sumber : BPBD Kota Tomohon, 2011

= Kepadatan Tinggi dengan tingkat kepadatan > 14,9 Jiwa/Ha (risiko tinggi)

= Kepadatan Sedang dengan tingkat kepadatan 7,4-14,8 Jiwa/Ha (risiko sedang)

= Kepadatan Rendah dengan tingkat kepadatan 0-7,4 Jiwa/Ha (risiko rendah)


untuk evakuasi dipilih 2 lokasi dengan rute sebagai berikut :

Gambar 3.2 Peta Rute Gunung Lokon

Dengan total penduduk(34.194) digunakan truk, bus, dan kendaraan roda 4 lainnya untuk
transportasi pengungsi, (1 truk dapat memuat sekitar 35 orang)
Gambar 3.3 Peta Kerentanan Sosial Gunung Lokon

3) Peta Kawasan Rawan Bencana

Gambar 3.4 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Lokon


Kawasan rawan bencana (KRB) gunung api adalah kawasan yang pernah terlanda
atau diidentifikasikan berpotensi terancam bahaya letusan baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Peta kawasan rawan bencana gunungapi adalah peta petunjuk tingkat kerawanan
bencana suatu daerah apabila terjadi letusan/kegiatan gunungapi, yang menjelaskan
tentang jenis dan sifat bahaya gunungapi, daerah rawan bencana, arah/jalur penyelamatan
diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan bencana.

Berdasarkan pada potensi bencana yang dapat terjadi pada masa mendatang, Peta
Kawasan Rawan Bencana Gunung Lokon dinyatakan dalam urut-urutan angka dari
tingkat kerawanan tinggi ke tingkat kerawanan rendah yaitu: Kawasan Rawan Bencana II,
dan Kawasan Rawan Bencana I.

a) Kawasan Rawan Bencana II

Kawasan Rawan Bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan panas,
lontaran batu (pijar), hujan abu lebat, dan lahar. KRB II ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

- Kawasan rawan terhadap aliran masa berupa awan panas, dan aliran lahar banjir

- Kawasan rawan terhadap material lontaran dan jatuhan seperti lontaran batu
(pijar), dan hujan abu lebat.

Pada KRB II masyarakat diharuskan mengungsi jika terjadi peningkatan kegiatan


gunungapi sesuai dengan saran Direktorat Vulkanologi sampai daerah ini dinyatakan
aman kembali. Pernyataan harus mengungsi, tetap tinggal di tempat dan kemudian sudah
aman kembali diputuskan poleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Beberapa desa yang termasuk dalam KRB II yaitu Kinilow, Kinilow 1,
Kakaskasen 1, Kakaskasen 2, Kakaskasen 3, Tinoor 1, Tinoor 2, Wailayn dan Kayawu.

b) Kawasan Rawan Bencana I

Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar atau
banjir. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan
berupa hujan abu dan lontaran batu (pijar). Kawasan ini dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Kawasan rawan bencana terhadap lahar/banjir. Kawasan ini terletak di sepanjang
sungai/dekat lembah sungai atau di bagian hilir sungai yang berhulu di daerah sekitar
kawah.

- Kawasan rawan terhadap hujan abu tanpa memperhatikan arah tiupan angin dan
kemungkinan terkena lontaran batu (pijar).

Pada KRB I masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan jika terjadi erupsi kegiatan
gunungapi dari hujan lebat, dengan memperhatikan perkembangan kegiatan gunungapi
yang dinyatakan Direktorat Viulkanologi.

Informasi ini sangat penting bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan penduduk
mana yang harus mengusngi atau masih dapat tinggal di tempat. Daerah yang termasuk
KRB I adalah Kinilow, Kinilow 1, Kakaskasen 1, Kakaskasen 2, Kakaskasen 3, Tinoor 1,
Tinoor 2, Wailayn dan Kayawu, Taratara 1, Taratara 2 dan Talete.

c) Kawasan Non-KRB
Kawasan Non-KRB adalah kawasan yang tidak berpotensi terlanda akibat erupsi
Gunung Lokon.

Tabel 3.3 Tingkat Kerentanan KRB

Skala Probabilitas :

1 = Tingkat Kerentanan Rendah

2 = Tingkat Kerentanan Sedang

3 = Tingkat Kerentanan Tinggi


4) Peta Kawasan Risiko Bencana

Gambar 3.5 Peta Kawasan Risiko Bencana Gunung Lokon

Kawasan risiko bencana adalah hasil perpaduan dari tingkat kerawanan dan
tingkat kerentanan. Tingkat kerawanan merupakan tipologi kerawanan kawasan yang
bersumber dari rekomendasi peta Kawasan Rawan Bencana dari Kementrian ESDM
sedangkan tingkat kerentanan merupakan perpaduan dari kerentanan fisik-ekonomi
dengan sosial. Kedua variabel ini dipadukan lalu diberi bobot dengan pertimbangan
KRB II akan memiliki nilai tinggi, KRB II bernilai sedang dan Non-KRB bernilai
rendah. Berikut ini hasil pembobotan atas analisis risiko bencana.
Tabel 3.4 Pembobotan Analisis Risiko Bencana

BOBOT KERENTANAN FISIK EKONOMI


KERENTANAN SOSIAL RENDAH (1) SEDANG (2) TINGGI (3)

RENDAH (1) 2 3 4

SEDANG (2) 3 4 5

TINGGI (3) 4 5 6

Keterangan Tabel:
2 – 3.333 : rendah; 3.334 – 4.666 : sedang; 4.667 – 6 : tinggi
Tabel 3.5 Pembobotan Analisis Rawan Bencana

BOBOT KERENTANAN FISIK–EKO & SOSIAL

KERAWANAN RENDAH (1) SEDANG (2) TINGGI (3)

Non KRB (RENDAH) (1) 2 3 4

KRB I (SEDANG) (2) 3 4 5

KRB II (TINGGI) (3) 4 5 6

Keterangan Tabel :

2 – 3.333 : rendah; 3.334 – 4.666 : sedang ; 4.667 – 6 : tinggi


BAB IV
WARNING SYSTEM

4.1 Status Peringatan Gunung Meletus

Empat status peringatan gunung meletus :


1. Aktif Normal
Status aktif normal artinya pada gunung api yang diamati tidak ada perubahan aktivitas
secara visual, seismik, dan kejadian vulkanik. Ini menunjukan tidak ada letusan hingga
kurun waktu tertentu.
2. Waspada
Status Waspada menunjukkan mulai meningkatnya aktivitas seismik dan mulai muncul
kejadian vulkanik. Pada status ini juga mulai terlihat perubahan visual di sekitar kawah.
Mulai terjadi gangguan magmatik, tektonik, atau hidrotermal, namun diperkirakan tak
terjadi erupsi dalam jangka waktu tertentu.
3. Siaga
Pada status Siaga ada peningkatan seismik yang didukung dengan pemantauan vulkanik
lainnya, serta terlihat jelas perubahan baik secara visual maupun perubahan aktivitas
kawah. Berdasarkan analisis data observasi, kondisi itu akan diikuti dengan letusan
utama. Artinya, jika peningkatan kegiatan gunung api terus berlanjut, kemungkinan
erupsi besar mungkin terjadi dalam kurun dua pekan.
4. Awas
Status Awas adalah kondisi paling memungkinkan terjadinya erupsi. Status Awas
merujuk letusan utama yang dilanjutkan dengan letusan awal, diikuti semburan abu dan
uap. Setelah itu akan diikuti dengan erupsi besar. Dalam kondisi ini, kemungkinan erupsi
besar akan berlangsung dalam kurun 24 jam.
4. 2 Sistem Peringatan Dini (Early Warning System)

4.2.1. Pengertian Sistem Peringatan Dini

Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) merupakan serangkaian


sistem untuk memberitahukan akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana
maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini pada masyarakat atas bencana
merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna
oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum peringatan dini yang
merupakan penyampaian informasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine,
kentongan dan lain sebagainya. Namun demikian menyembunyikan sirine hanyalah
bagian dari bentuk penyampaian informasi yang perlu dilakukan karena tidak ada
cara lain yang lebih cepat untuk mengantarkan informasi ke masyarakat.
Harapannya adalah agar masyarakat dapat merespon informasi tersebut dengan
cepat dan tepat. Kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena
waktu yang sempit dari saat dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan)
datangnya bencana. Kondisi kritis, waktu sempit, bencana besar dan penyelamatan
penduduk merupakan faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini. Semakin
dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi penduduk untuk
meresponnya.

Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu alur
proses analisis data-data mentah tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai
pertimbangan. Ketepatan informasi hanya dapat dicapai apabila kualitas analisis
dan sintesis yang menuju pada keluarnya informasi mempunyai ketepatan yang
tinggi. Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua bagian utama dalam peringatan
dini yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas data-data menjadi
informasi yang tepat dan menjadi hilir yang berupa usaha agar infomasi cepat
sampai di masyarakat.

4.2.2. Tujuan Sistem Peringatan Dini

Bagi masyarakat Indonesia, sistem peringatan dini dalam menghadapi


bencana sangatlah penting, mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah
Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam. Dengan ini diharapkan akan dapat
dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling tidak
mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan
dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi
masyarakat. Dalam siklus manajemen penanggulangan bencana, sistem peringatan
dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap kesiagaan, sistem
peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun
instrumentasinya.

Tujuan akhir dari peringatan dini ini adalah masyarakat dapat tinggal dan
beraktivitas dengan aman pada suatu daerah serta tertatanya suatu kawasan. Untuk
mencapai tujuan akhir tersebut maka sebelumnya perlu dicapai beberapa hal
sebagai berikut:

a. Diketahuinya daerah-daerah rawan bencana di Indonesia

b. Meningkatkannya knowledge, attitude dan practice dari masyarakat dan

aparat terhadap fenomena bencana, gejala-gejala awal dan mitigasinya.

c. Tertatanya suatukawasan dengan mempertimbangkan potensi bencana.

d. Secara umum perlu pemahaman terhadap sumberbencana.

4.2.3. Target dari Sistem Peringatan Dini

Target yang akan diberi peringatan dini adalah masyarakat dan aparat,
terutama yang tinggal di daerah rawan bencana. Target ini seharusnya mencakup
beberapa generasi dan beberapa kelas sosial masyarakat. Keterlibatan masyarakat,
aparat dan akademisi (peneliti dari multi disiplin, misal geografi, geologi, pertanian,
teknik sipil, ilmu sosial, dll) sangat penting dalam sistem peringatan dini. Sistem
peringatan dini akan lebih tepat apabila dirumuskan oleh ketiga komponen ini.
Apabila salah satu komponen saja yang dominan dikhawatirkna sistem ini tidak
akan berjalan efektif.

4.2.4. Pelaksanaan Sistem Peringatan Dini

Informasi dini terhadap bencana didapatkan dengan dua macam cara, yakni
sebagai berikut.
a. Konvensional

Secara konvensional, pengenalan bencana dilakukan dengan pengenalan


terhadap gejala-gejala alam yang muncul sebelum terjadinya bencana, yang
disesuaikan dengan karakteristik bencananya.

b. Modern

Secara modern, pengenalan bencana dilakukan dengan pemantauan


aktivitas di atmosfer secara periodik dengan satelit maupun peralatan
berteknologi tinggi. Pengenalan gejala bencana merupakan hal yang penting
dalam Early Warning System. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sebagian
besar Sistem Peringatan Dini Bencana Alam sulit untuk diaplikasikan. Biaya
instansi perangkat keras, perangkat lunak, jaringan telekomunikasi dan
operasionalnya memerlukan pendanaan yang sangat mahal. Dalam kondisi
seperti ini, maka kesiapsiagaan dan mengenali gejala alam akan munculnya
bencana merupakan jawaban yang paling memungkinkan.

Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harus diberdayakan dan


merespons sistem tersebut agar pengurangan jumlah korban bencana alam dapat
dihindari. Oleh karena itu, perlu peningkatan pemahaman kesadaran masyarakat
dan aparat terhadap kondisi daerahnya yang rawan, serta terhadap gejala-gejala
awal terjadinya bencana, tindakan darurat dan mitigasinya. Adapun gejala yang
biasanya nampak sebelum terjadinya bencana adalah sebagai berikut.

a. Gejala Letusan Gunungapi

• Hewan-hewan yang berada di dalam hutan keluar dari hutan menuju


wilayah yang lebih rendah

• Ular, tikus dan kecoa keluar sangat banyak dari dalam got

• Suhu udara terasa sangat panas di malam hari dan meningkat drastic
dibanding hari-hari biasa

Dengan mempertimbangkan penyebab utama ditetapkannya sistem


peringatan dini, serta tujuan dan targetnya, maka disarankan agar sistem
peringatan dini ini dilakukan dengan sistem pemberdayaan masyarakat, dengan
melibatkan aparat pemerintah dan akademisi sebagai fasilitator dan motivator.
Sistem ini harus dapat meningkatkan knowledge, attitude dan practice dari tiap
komponen yang ada dalam sistem tersebut. Syarat utama agar peringatan dini ini
dapat berhasil efektif, diperlukan komitmen pribadi dan aksi nyata dari tiap
individu/institusi dan komunikasi yang baik antar individu yang terlibat.
BAB V
RTD (RENCANA TINDAK DARURAT)
A. KEBIJAKAN
1. Minimalisasi korban meninggal
2. Penanganan bencana alam berbasiskan komunitas masyarakat
3. Titik berat kegiatan penanganan bencana banyak dilakukan pada fase pra bencana
4. Memadukan mitigasi fisik dan mitigasi non fisik
5. Memberikan perlindungan perhatian khususnya kelompok rentan , serta memenuhi
kebutuhan dasar secara realistis
6. Memberikan penyelamatan dan perlindungan kepada masyarakat sesuai skala
prioritas tanpa diskrimasi
7. Memberdayakan segenap potensi yang ada dan menghindari terjadinya ego sektor
8. Melakukan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat dan anatar negara
dalam menggalang bantuan , dengan tetap memperhatikan etika kebangsaan

B. STRATEGI
1. Membentuk posko utama dipakem sebagai fungsi manajemen dan koordinasi
penanganan bencana
2. Memenuhi pelayanan logistk dengan mendirikan posko-posko tenda pengungsian
dilengkapi dapur umum dan tetap memperhatikan kelompok rentan
3. Memenuhi pelayanan kesehatan dengan menyelenggarakan posko kesehatan
disetiap barak pengungsian dan balai kesehatan lain
4. Memenuhi pelayaanan sarana & prasarana kehidupan ( transport, tempat tinggal
sementara, sanitasi) di barak / tenda pengungsian ( MCK, air bersih) dengan tetap
memperhatikan kelompok rentan
5. Mengidentifikasi jenis-jenis bantuan , menghimpun bantuan serta
mendistribusikannya
6. Memberikan informasi yang jelas kepada pihak yang membutuhkan
7. Memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal dan nilai-nilai kebijakan dalam
penaganan bencana
8. Evakuasi korban, meninggal dunia dan yang masih hidup melalui relawan, tim
SAR , LSM, dll
9. Penanganan pengungsi ( Tenda, logistik, sarana, prasarana lainnya) lembaga
terkait
10. Mengidentifikasi negara-negara yang memungkinkan memberi bantuan secara
sukarela
11. Menyebarluaskan informasi tentang benca yang melalui media cetak dan
telematika
BAB VI
ANALISIS
Hasil dari laporan ini adalah peta rencana kontijensi bencana Gunung Lokon yang
terdiri dari peta kerentanan fisik dan ekonomi, peta kerentanan sosial, peta kawasan
rawan bencana, dan peta kawasan risiko bencana. Dengan adanya peta -peta ini,
diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan dalam merencanakan,
memprediksi, dan melakukan kegiatan penganggulangan bencana gunungapi, khususnya
Gunung Lokon. Keunggulan dari peta rencana kontijensi bencana gunungapi Gunung
Lokon yaitu dapat memberikan informasi untuk kesiapan menghadapi bencana dan
memprediksi dampak dari bencana letusan Gunung Lokon.
BAB VII
KESIMPULAN

Dalam laporan ini telah dikembangkan peta rencana kontijensi bencana gunungapi
dengan studi kasus Gunung Lokon. Peta-peta rencana kontijensi yang dihasilkan terdiri
atas peta kerentanan fisik dan ekonomi, peta kerentanan sosial, peta kawasan rawan
bencana, dan peta kawasan risiko bencana.

Peta rencana kontijensi yang dikembangkan dapat memberikan informasi yang


diperlukan dalam proses pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan bencana
gunungapi, khususnya untuk Gunung Lokon.

Peta kerentanan fisik-ekonomi menghasilkan informasi kerentanan fisik-ekonomi


kawasan Gunung Lokon yang diklasifikasikan ke dalam 3 tingkatan kerentanan, yakni
tinggi, sedang, dan rendah.

Peta kerentanan sosial menginformasikan tingkat kerentanan yang merupakan hasil


analisis berdasarkan variabel kepadatan penduduk per desa, di mana kawasan Gunung
Lokon diklasifikasikan ke dalam 3 tingkat kerentanan sosial, yakni tinggi, sedang, dan
rendah.

Peta kawasan rawan bencana Gunung Lokon menggambarkan potensi bencana


yang dapat terjadi pada masa mendatang, yang membagi kawasan Gunung Lokon
menjadi 2, yaitu Kawasan Rawan Bencana I dan Kawasan Rawan Bencana II. Kawasan
Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar atau banjir. Selama
letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu dan
lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana II adalah kawasan yang berpotensi
terlanda awan panas, lontaran batu (pijar), hujan abu lebat, dan lahar.

Kawasan risiko bencana adalah hasil perpaduan dari tingkat kerawanan dan tingkat
kerentanan. Peta kawasan risiko bencana diturunkan dari 2 variabel yakni tingkat
kerawanan dan tingkat kerentanan. Berdasarkan hasil analisis kedua variabel tersebut,
kawasan Gunung Lokon diklasifikasikan menjadi 3 tingkat risiko bencana, yaitu tinggi,
sedang, dan rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Modul Pelatihan Manajemen Kedaruratan dan Perencanaan Kontijensi, Bakornas PB.

Modul Workshop Perencanaan Kontijensi, BNPB.

https://adekabang.wordpress.com/2010/11/12/sistem-peringatan-dini-early-warning-system/

Anda mungkin juga menyukai