Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN PUSTAKA

A Pengertian
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan
lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan
vestibulum nasi.
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang
jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang
ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh
keganasan di kepala dan leher.
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang
dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga
tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga
sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam
keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh
sinus.

B Epidemiologi dan etiologi


Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu 2
sampai 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di Departemen THT FKUI-RSCM,
keganasan ini ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT. Rasio
penderita laki-laki banding wanita sebesar 2:1.
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil
industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid,
kromium, minyak isopropyl dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat
kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus jauh lebih besar. Banyak laporan
mengenai kasus adeno-karsinoma sinus etmoid pada pekerja-pekerja industri
penggergajian kayu dan pembuatan mebel. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin
atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-
buahan dan sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.

1
Di Amerika Serikat, insidensi tumor hidung tiap tahun kurang dari 1:100.000
penduduk, yang menyumbang sekitar 3% kanker dari saluran pernapasan atas. Di
Jepang dan Uganda, frekuensi tumor ini dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan
Amerika Serikat.
Kecuali untuk tumor non-epitel, tumor hidung ganas hampir tidak ditemukan
pada anak-anak. Prevalensi tumor hidung ganas meningkat sesuai umur yaitu
7:100.000 pada pasien dalam delapan dekade.
Risiko kanker meningkat pada tukang kayu, tukang sepatu dan boot, dan
pembuat furniture. Karena kompleksnya paparan faktor lingkungan pada kelompok
ini, agen yang berperan sulit diidentifikasi. Paparan hidrokarbon juga meningkatkan
juga meningkatkan kanker hidung.
Sekitar 55% tumor hidung dan sinus berasal dari sinus maxillary, 35% dari
kavum nasi, 9% sinus ethmoid, dan 1% sinus frontal dan sphenoid dan septum. Untuk
tumor yang besar, asal tumor sulit untuk diidentifikasi.

C Jenis Histopatologi
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di
daerah sinonasal. Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang
non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemomma, osteoma,
displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik misalnya
ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.
Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur,
adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas
adalah hemangioperisitoma, bermacam-macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma
dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma
malignum, plasmasitoma atau pun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di
daerah ini.
Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat
ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted,
displasia fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada jenis-jenis ini tindakan operasi harus
radikal.

2
D Klasifikasi Tumor :
1. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip
dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis
papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut
papiloma inverted. Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak
jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah
menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah
bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa
yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal
dan mendorong bola mata ke anterior.
2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul
oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar.
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid
(15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang
terkena.
Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga
sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi
jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik.
Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang
sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.
3. Invasi Sekunder
a. Pituitary adenomas
b. Chordomas
c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor
odontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor
orbita dan apparatus lakrimal)

3
Stadium Tumor Ganas Sinonasal
Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di
Indonesia adalah klasifikasai UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma
di sinus maksila, etmoid dan rongga hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan
frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang ditemukan. Perlu
diingat bahwa keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di
kulit sekitar hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor
hidung dan sinus paranasal.
Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan
T1, tumor terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, tumor meluas ke orbita, sinus
sphenoid dan frontal dan atau rongga intrakranial.
Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan dengan N0 (tidak
diketemukan metastasis ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar
limfa leher dengan ukuran diameter terbesar kurang atau sama dengan 3 centimeter
(cm), N2 (diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan N3 (diameter
terbesar lebih dari 6 cm). metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada
metastasis) dan M1 (ada metastasis).
Pembagian sistem TNM menurut Simson sebagai berikut:
T : Tumor.
T—1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T—2 :
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.
T—3 :
a. Invasi ke m. pterigoid.
b. Invasi ke orbita
c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.
d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.

4
T—4 :
a. Invasi ke lamina kribrosa.
b. Invasi ke fosa pterigoid.
c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontralateral.
d. Invasi ke lamina pterigoid.
e. Invasi ke selule etmoid posterior.
f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar getah bening regional.


N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.
N—2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.
M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.
M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1
dan 2), stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam
stadium lanjut dan sulit menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh
hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.
Stadium :
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IV a T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IV b Semua T N3 M0
Stadium IV c Semua T Semua N M1

5
E Manifestasi Klinis
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di
dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar,
sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga
mulut, pipi, orbita atau intrakranial.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut5:
1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea.
Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar
dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia,
protosis atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau
ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak
pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena
nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi.
Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media
maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi
trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
Saat pasien berobat biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal lain yang juga
menyebabkan diagnosis terlambat adalah karena gejala dininya mirip dengan rhinitis
atau sinusitis kronis sehingga sering diabaikan pasien dan dokter.

F Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau tidak. Jika ada proptosis, perhatikan arah pendorongan bola mata. Jika

6
mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksilaris, jika ke bawah dan
lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid.
Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui
rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor
jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah
merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke
medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun
tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.

G Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan
menentukan perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Foto polos
berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan
padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dibuat suatu tomogram atau CT scan.
CT scan merupakan sarana terbaik karena lebih jelas memperlihatkan perluasan
tumor dan destruksi tulang. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor
dengan jaringan normal tetapi kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi
tulang.
Foto polos toraks diperlukan untuk melihat adanya metastasis tumor di paru.

H Diagnosis
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera
dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi
atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi
karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah
dengan angiografi.

7
I Penatalaksanaan
Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya seperti
radiasi dan kemoterapi sebagai ajuvan sampai saat ini masih merupakan pengobatan
utama untuk keganasan di hidung dan paranasal. Pembedahan masih di indikasikan
walaupun menyebabkan morbiditas yang tinggi bila terbukti dapat mengangkat
tumor secara lengkap. Pembedahan di kontraindikasikan pada kasus-kasus yang
telah metastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah
mengenai kedua orbita.
Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis atau residif atau
jenis yang sangat baik dengan kemoterapi misalnya limfoma malignum.
Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu
dilakukan dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan).
Untuk tumor ganas, tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya
dilakukan maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total atau radikal.
Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai dinding
sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan
maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk
ke rongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kalau perlu kraniotomi,
tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf.

J Rekonstruksi dan Rehabilitasi


Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan
rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan
dan berbicara dengan baik, di samping perbaikan kosmetis melalui operasi bedah
plastik. Dengan tindakan-tindakan ini pasien dapar bersosialisasi kembali dalam
keluarga dan masyarakat.

K Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal, cara tepat dan
akurat. Faktor-faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor

8
primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas
sayatan, terapi ajuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan
banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan
hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.
Walaupun demikian pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan
memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan
meningkatkan angka bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh
stadium tumor.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim. 2006. Data Poli Rawat Jalan Sub Bagian Rinologi 2000-2005. Jakarta:
Bagian THT FKUI – RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
2. Cody, DeSanto et al. 2000. Neoplasma of the Nasal Cavity in in Cummings –
Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed. New York: Maple Vail Book
Manufacturing Group Mosby-Year Book.
3. Depkes RI. 2003. Pola Penyakit 50 Peringkat Utama Menurut DTD Pasien
Rawat. Jakarta: Jalan Di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003, Depkes RI.
4. Hosemann W. 2001. Role of Endoscopic Surgery in Tumor. In: Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases of The Sinuses, Diagnosis and Management.
London: Hamilton.
5. Roezin, A. et al. 2007. Tumor Hidung dalam : Soepardi E, Iskandar N, eds.,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: BP
FK UI.
6. Rousch GC. 1999. Epidemiology of Cancer of The Nose and Paranasal Sinuses
-Current Concepts in Cummings – Otolaryngology - Head Neck Surgery 3rd ed.
New York: Maple Vail Book Manufacturing Group Mosby-Year Book.

10

Anda mungkin juga menyukai