Anda di halaman 1dari 8

Merawat Kebinekaan Melalui Organisasi Mahasiswa Daerah

Oleh M. Ilhamul Qolbi


Aktivis Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat
Aktivis Sekolah Guru Indonesia (SGI) Literat

Kebinekaan kita akhir-akhir ini sedang diuji. Isu agama yang dibungkus sedemikian
rupa semakin membuat segregasi antar kelompok hingga menimbulkan jurang pemisah yang
semakin dalam antar individu. Selain isu agama, menjelang Pilpres 2019 saat ini juga rawan
dengan adanya perselisihan karena berbeda pilihan. Masa kampanye saat ini yang dinilai oleh
Subhan SD dalam Kompas (Sabtu, 17/11) yang masih mengedepankan pertarungan daripada
persaudaraan, masih mengutamakan politik identitas daripada rasionalitas. Arena politik
hanya meninggalkan gaung kegaduhan suara, tidak menimbulkan suara merdu di telinga.
Wajarkah? Lantas, sejauh mana kebinekaan yang diwariskan oleh sejarah akan sampai pada
anak cucu kita?

Pertanyaan tentang masa depan kebinekaan sudah sepatutnya harus dijawab oleh
kaum muda saat ini. Masih ingatkah sejarah pemuda di Indonesia? Bangsa yang dikenal oleh
dunia dengan keberagamannya ini, salah satunya dilahirkan oleh peristiwa Sumpah Pemuda.
Jadi, jika pemuda menjadi masa depan bangsa dalam menjaga keberagaman, sudah
seharusnya karena mengingat sejarah panjang Indonesia salah satunya di tangan pemuda.

Masih ingat dengan sosok Abdul Rivai? Tulisannya di majalah Bintang Hindia, No.
14 (1905:105), mendefinisikan ‘kaum muda’ sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua)
yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga
diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan. Istilah ‘Bangsawan Pikiran’
merupakan ‘ningrat’ baru yang coba dibangun di masyarakat. Munculnya ‘Bangsawan
Pikiran’ itu memang ada kesamaan dengan istilah bangsawan yang sesungguhnya. Orang
yang mampu menikmati pendidikan saat itu hanya dari kalangan terpandang.

Walaupun berasal dari kalangan terpandang, kaum muda saat itu tetap konsisten
menjunjung tinggi nilai luhur pengetahuan dan gagasan kemajuan. Dari keseriusannya
memelihara bentuk kebangsawanan baru, para aktivis dari beragam latar etnik dan agama itu
meluaskan jaringan sosial sehingga melahirkan saling pengertian mengenai kepentingan
bersama yang mengarah pada usaha pencarian identitas kolektif baru. Media dalam
membentuk kesadaran baru itu melalui komunitas moral primordial (berbasis kesukuan-
kedaerahan dan keagamaan) yang dibentuk dalam wadah organisasi.

Kemunculan organisasi pemuda-pelajar itu dimulai dari Jong Java atas dasar
solidaritas kejawaan. Meminjam istilah Yudi Latif (Kompas, 28/10), hal itu membangkitkan
reaksi pembentukan organisasi-organisasi ‘tandingan’ seperti Jong Islamitmen Bond, Sekar
Rukun (pemuda Sunda), Pemuda Kaum Betawi, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak,
Jong Sumatranen Bond dan lain-lain, menemukan kode identitas kolektif baru bernama
‘kebangsaan Indonesia’. Organisasi Primordial itu membentuk peristiwa sejarah yang
dijadikan gerbang menuju kesatuan melalui Sumpah Pemuda.

Pelaku Kongres Sumpah Pemuda seperti Sugondo Djojopuspito (ketua kongres),


Muhammad Yamin (sekretaris), Amir Sjarifudin (bendahara), dan Johannes Leimena
(pembantu) menempati posisi-posisi penting seperti di Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI), Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dan pos-pos
kementerian atas dasar prinsip meritokrasi yang non-diskriminatif.

Selain itu, peristiwa itu juga mencerminkan keragaman latar sosiografis dari peserta
kongres. Selain tercermin dari kehadiran organisasi-organisasi yang telah disebutkan,
keragaman itu tampak dari turut serta dua perwakilan dari Papua (Aitai Karubaba dan Poreu
Ohee) dan beberapa peninjau Tionghoa (Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio
Djien Kwie) serta satu orang sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond (Kwe Thiam Hiong).
Representasi golongan keagamaan diwakili oleh Jong Islamieten Bond. Bercermin dari
peristiwa sejarah itu, bagaimana Jong Java dan sejenisnya itu di masa sekarang? Jika memang
masih ada, mampukah berkontribusi dalam merawat kebinekaan yang sudah dirintis oleh para
pendahulunya?

Zaman sudah berubah. Berakhirnya era penjajahan memunculkan sistem pendidikan


baru yang menjunjung tinggi nilai non deskriminatif. Dilihat dari angka pelajar di Perguruan
Tinggi pada tahun 2017, menurut catatan Badan Pusat Statistik terdapat 6.924.511 mahasiswa
Indonesia. Bahkan, di tahun 2018, mahasiswa baru mengalami kenaikan hingga tembus
angka 1,8 juta orang atau naik 2,2 persen, menyusul banyaknya kampus yang baru lahir di
Indonesia. Dari banyaknya jumlah mahasiswa itu, ‘Bangsawan Pikiran’ kelas perguruan
tinggi itu juga menjadi aktivis organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Menjawab
pertanyaan di atas, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, dan organisasi sejenis
lainnya muncul dengan bentuk baru.
Organisasi berbasis kedaerahan itu saat ini masih ada di lingkungan kampus. Kita
ambil satu contoh kasus di Ciputat, Tangerang Selatan. Daerah yang dikelilingi oleh beberapa
kampus negeri maupun swasta itu subur dengan organisasi mahasiswa, tidak terkecuali
organisasi mahasiswa berbasis kedaerahan. Kedaerahan itu bisa berbasis provinsi, seperti
Himpunan Mahasiswa Banten (HMB), Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi (FKMB),
Serumpun Mahasiswa Riau (Semari), dan lain sebagainya. Tidak hanya berbasis provinsi,
kehadiran organisasi berbasis kabupaten dan atau kota juga hadir seperti Forum Mahasiswa
Lamongan (Formala), Keluarga Mahasiswa Pelajar Daerah Brebes (KPMDB), Keluarga
Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) yang berasal dari Cirebon, Ikatan Mahasiswa
Tegal (IMT), dan masih banyak lagi yang lainnya. Organisasi tersebut bukan hanya ada di
Ciputat, tetapi tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Apakah organisasi yang disebutkan
di atas bisa disandingkan dengan Jong Java dan sejenisnya di era penjajahan dulu? Penulis
kira masih bisa, asal semangat yang mendasari organisasi itu tetap sama, walaupun saat ini
sudah merdeka.

Organisasi pemuda-pelajar itu dapat menjawab kegelisahan tentang munculnya


segregasi antar kelompok saat ini. Organisasi yang di dalamnya terdapat mahasiswa yang
sedang giat menyuarakan aspirasi idealismenya mampu menjadi semangat baru dalam
merawat kebinekaan melalui program. Program yang menjadi implementasi ide dari
anggotanya itu seharusnya berbasis pada prasyarat yang juga menjadi dasar tercetusnya
Sumpah Pemuda. Prasyarat itu antara lain: Kemauan, Sejarah, Bahasa, dan Hukum Adat.

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, prasyarat itu sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari Sumpah Pemuda. M. Yamin dalam pidato bertajuk ‘Persatuan dan
Kebangsaan Indonesia’ yang disampaikan pada hari pertama Kongres Pemuda II, 27 Oktober
1928, mengingatkan pentingnya pemuda berada di tengah-tengah persatuan dan kebangsaan.
Yamin mengungkapkan, faktor-faktor yang bisa menyatukan itu ialah sejarah, bahasa, hukum
adat, pendidikan dan kemauan. Dengan terjaminnya prasyarat itu, tiga sumpah persatuan
yang menjadi konsensus ‘keindonesiaan’ itu bisa dipertahankan.

Mardras Safwan dalam Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Sumpah Pemuda
(1994), mengungkapkan bahwa Yamin mengungkapkan persatuan Indonesia bukan sesuatu
yang kosong, tetapi dipersatukan oleh beberapa ikatan yang dibuat sendiri secara bersama
dan sejarah. Namun, prasyarat yang disepakati para pemuda menjadi dasar dari persatuan saat
itu kini luput dari perhatian. Saat ini, organisasi mahasiswa daerah tampil sebagai pemecah
keluputan itu. Prasyarat di atas lekat dimiliki oleh organisasi mahasiswa daerah. Dalam
tulisan ini, penulis akan mengambil satu contoh organisasi tersebut dalam Ikatan Mahasiswa
Tegal (IMT) yang ada di Ciputat.

Prasyarat kemauan menjadi titik awal perjuangan. Tanpa adanya kemauan, persatuan
tidak akan terwujud. Prasyarat ini pula yang dimiliki oleh organisasi daerah asal Tegal seperti
IMT Ciputat. Kemauan yang dimiliki oleh organisasi itu berdasarkan pada kesadaran kolektif
untuk menjalin persaudaraan sesama kampung halaman tanpa menihilkan pergaulan di luar
teman sedaerah.

Di tengah derasnya arus modernitas yang menggerus kerafian lokal, organisasi itu
mengawal putra-putri daerah di perantauan untuk tidak ikut serta terbawa arus ke arah
negatif. Dengan mencintai daerahnya, ia berarti mencintai Indonesia. Berbeda halnya dengan
dulu ketika Indonesia belum menjadi kesatuan. Ketika semangat dan perjuangan daerah yang
muncul, itu menjadi perjuangan primordial yang berakhir sia-sia. Tetapi saat ini, perjuangan
memajukan Indonesia berawal dari daerah. Salah satu buktinya terlihat dari program-program
pemerintah, salah satunya yaitu Dana Desa. Logika desa saya bagian dari Indonesia
sepertinya harus dibalik. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Emha Ainun Najib,
Indonesia adalah bagian dari desa saya. Jadi, yang muncul bukan hanya sekedar Tegal bagian
dari Indonesia, tetapi Indonesia bagian dari Tegal saya karena ada Indonesia, di dalam
Kabupaten dan Kota Tegal.

Kemauan persatuan itu juga terlihat ketika menghadapi tahun politik seperti sekarang
ini. IMT Ciputat yang tidak berafiliasi dengan partai politik apapun bersifat netral. Organisasi
daerah ini mendukung budaya meritokrasi yang sejalan dengan nilai luhur demokrasi. Sifat
netral itu juga diperjuangkan dalam memahami agama. Toleransi dan kerukunan beragama
tetap dijaga. Dalam menyikapi isu seperti yang terjadi pada tahun 2017, panasnya
perpolitikan di DKI Jakarta tidak memecah belah mahasiswa Tegal yang notabene tinggal di
daerah terjadinya gesekan itu.

Jika ada yang berpendapat bahwa pandangan itu akan menimbulkan paham
Chauvinisme, itu salah besar. Organisasi daerah ibarat rumah untuk pulang ketika mahasiswa
sudah lelah berpetualang menjajaki dunia luar. Di saatnya derasnya era digital seperti saat ini,
mahasiswa yang berada di perantuan perlu ‘rumah’ untuk kembali merenungi apa yang sudah
didapat dari dunia luar. Upaya filterisasi dibutuhkan agar sisi negatif dapat diminimalisir
dengan kearifan lokal yang dipunyai oleh masing-masing daerah. Organisasi daerah seperti
IMT Ciputat adalah ‘rumah’ bagi mahasiswa Tegal di perantauan.

Sejarah. Prasyarat yang kedua itu yang rentan dilupakan oleh generasi milenial.
Buktinya terlihat dari Headline surat kabar Kompas pada Senin, (2/11) memuat penelitian
yang dilakukan oleh Litbang Kompas mengenai sejarah. Penelitian itu menujukkan bawha
gambaran soal pahlawan berubah di kalangan generasi milenial. Hasil jajak pendapat itu
menemukan fenomena baru bahwa mayoritas responden (81,6 persen) tidak setuju jika
gambaran pahlawan diidentikkan dengan sosok yang merebut kemerdekaan melalui
perjuangan bersenjata. Bagi kaum milenial, kepahlawanan di masa kini lebih terkait dengan
perjuangan menyejahterakan masyarakat. Sebanyak 51,8 persen responden berpendapat
seperti itu. Selain itu, 39,5 persen responden berpendapat nilai kepahlawanan kini terkait
dengan perjuangan membela kebenaran. Hanya 4,6 persen kaum muda yang mengaitkan nilai
kepahlawanan dengan perjuangan kemerdekaan. Padahal, jika anak bangsa alpa terhadap
sejarah, persatuan tidak akan terwujud pada waktu Sumpah Pemuda.

Organisasi mahasiswa daerah seperti IMT Ciputat sudah seharusnya punya andil
dalam menyikapi hal itu. Lewat ‘rumah’ di tanah rantau mereka, para mahasiswa mengingat
identitas dan jati diri bangsanya. Seperti halnya program unggulan Festival Budaya Tegal,
program yang menjadi tempat beradu gagasan tentang budaya, mereka juga secara tidak
langsung mengingat akan sejarah daerahnya. Sejarah daerah tidak akan terlepas dari ikatan
sejarah kebangsaan secara nasional. Jadi, ketika mahasiswa Tegal mengingat budaya dan
sejarah daerahnya, secara bersamaan mereka juga akan menyadari bahwa ada Indonesia di
dalamnya.

Program Festival Budaya Tegal yang diadakan setiap tahun itu biasanya membuat
perlombaan. Lomba yang diangkat seperti Teater, Tari Tradisional, Apresiasi Puisi, dan lain
sebagainya. Lomba tersebut mengangkat bahasa daerah yang hampir di kalangan pemuda
sudah tidak digunakan lagi. Sasaran lomba ditujukan kepada Siswa tingkat SMA se-Kota dan
Kabupaten Tegal. Selain perlombaan, diskusi juga bergulir antara pemangku kebijakan
dengan seniman dan budayawan yang ada di Tegal. Lewat nuansa sejarah dan budaya itu,
mahasiswa yang berada di tanah rantau juga akan tetap mengenang daerah kelahirannya.

Jika prasyarat bahasa yang dimaksud merujuk Sumpah Pemuda tahun 1928,
sepertinya organisasi mahasiswa daerah, salah satunya IMT Ciputat malah menggunakan
bahasa daerahnya dalam menjalin aktivitas sehari-hari. Namun, dalam komunikasinya dengan
dunia luar, prasyarat itu masih digunakan dengan lintas organisasi. Saat ini keadaannya sudah
berubah dari era Sumpah Pemuda dulu. Seperti halnya dikatakan oleh Peneliti sosial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Thung Ju Lan. Konsep keindonesiaan sebagaimana
digagas oleh para pemuda tahun 1928 bisa jadi berbeda dalam benak generasi muda masa
kini. Hal itu dikarenakan upaya mahasiswa daerah menyelematkan bahasa daerah yang
hampir punah.

Saat ini, sikap bijak yang perlu dilakukan adalah mempelajari bahasa Indonesia,
menguasai bahasa Asing, dan mempertahankan bahasa daerah. Dikutip dari Tirto, (16/08/18),
bahasa daerah di Indonesia mencapai 652 pada 2018. Generasi milenial saat ini perlu
menghargai hukum adat yang berbeda-beda dan unik di seluruh penjuru negeri, salah satunya
bahasa daerah. Dengan menyadari bahwa adanya ragam bahasa di Indonesia, hal itu akan
memperkuat jiwa kemajemukan kita yang juga hampir punah akhir-akhir ini.

Hukum adat sebagai prasyarat persatuan sampai saat ini masih sangat relevan.
Perawatan identitas kearifan lokal sangat diperlukan. Coba bayangkan jika tidak adanya
organisasi daerah. Merebaknya isu kampus yang intoleran, seperti yang dilansir oleh Tirto
(08/11/17) menunjukkan bahwa intoleransi tubuh di banyak sekolah dan kampus. Penelitian
yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Ilmu dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta
menunjukkan bahwa terdapat 51,1 persen responden mahasiswa/siswa beragama Islam yang
memiliki opini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, yang dipersepsikan berbeda dari
mayoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Selain itu, 34,3 persen responden yang sama tercatat
memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama lain selain Islam.

Munculnya isu sektarian seperti itu memang menghawatirkan bagi generasi milenial
saat ini. Terkait hukum adat dalam konteks saat ini, penulis lebih cenderung mengaitkannya
dengan kearifan lokal sebagai upaya membendung isu intoleransi dan sektarian itu.

IMT Ciputat dengan basis Tegalnya, masih menjunjung tinggi nilai-nilai


keberagaman. Penulis ambil satu contoh dari fenomena persebaran hoaks dan isu provokasi
yang menyebar melalui media sosial salah satunya grup Whatsapp. Grup-grup Whatsapp
yang menjadi wadah antar anggota berkomunikasi, diugnakan sebagai tempat untuk berbagi
informasi dan saling mengingatkan jika ada salah satu dari anggota organisasi membagikan
berita-berita atau tulisan yang condong ke arah provokasi. Budaya Cipok, sebagai akronim
dari Moci (ngeteh) dan Ndopok (ngobrol) menjadi proses tabayyun dalam membahas suatu
hal yang bersifat komunal dan global. Selain itu, tokoh-tokoh yang sudah menjadi alumni di
organisasi itu pun aktif dalam Forum Komunikasi Umat Beragama baik skala daerah maupun
nasional.

Oleh karena itu, merajut keberagaman masih bisa dilakukan oleh generasi pemuda-
pelajar dengan belajar kepada pendahulunya. Jangan sampai kebinekaan berhenti di kita.
Putra-putri dan cucu kita kelak perlu mewarisi kebinekaan ini. Merawat kebinekaan ini
menjadi tantangan tersendiri karena jika dahulu para pemuda-pelajar itu yang dilawan
penjajah, sekarang musuhnya bangsa kita sendiri. Menjaga prasyarat hidup bersatu itu perlu
dijaga agar warisan keberagaman dengan bingkai persatuan tidak hanya sebagai sejarah masa
lalu.

Terakhir, penulis ingin mengucapkan selamat Hari Lahir kepada Ikatan Mahasiswa
Tegal (IMT) Ciputat yang sudah berumur 18 tahun pada tanggal 18 November 2018. Semoga
tetap konsisten merawat persaudaraan generasi muda daerah yang berkemajuan. Dirgahayu
IMT Ciputat. Tetaplah menjadi ‘rumah kebinekaan’ bagi mahasiswa Tegal di perantauan.
Biodata Penulis

M. Ilhamul Qolbi merupakan laki-laki kelahiran Tegal, 28 November 1995. Riwayat


pendidikannya dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Islamiyah Babakan Tegal, dilanjutkan
Madrasah Tsanawiyah Negeri Model Babakan Tegal, dan mengenyam pendidikan tingkat
SLTA di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Babakan Tegal. Setelah lulus, ia melanjutkan
pendidikannya di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta. Dalam aktivitasnya
di Ciputat, ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat
periode 2015-2016 dan menjadi Dewan Pertimbangan Organisasi sampai sekarang. Santri
Pondok Pesantren Mahadut Tholabah Babakan itu terdaftar sebagai guru Bahasa Indonesia di
SMA Dharma Karya Jakarta Selatan. Selain aktif mengajar, ia juga menjadi kontributor di
NU Online dan Harakatuna.com. Selain pendidikan formal, penulis juga pernah mengenyam
pendidikan dan pelatihan di Sekolah Guru Indonesia (SGI) Literat Dompet Dhuafa dan lulus
sebagai angkatan XXXI. Ia bisa dihubungi melalui email el.babakani@gmail.com atau via
Whatsapp dan SMS melalui nomor 085741112848.

Anda mungkin juga menyukai