Anda di halaman 1dari 74

DIKTAT MATA KULIAH

PENILAIAN PENCAPAIAN HASIL BELAJAR

Disusun Oleh:

TRI KUSNAWATI NIP. 132303689


NUNING CATUR S.W. NIP. 132299492

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA PRANCIS


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010

1 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Kesalahan terbesar yang bisa dibuat oleh manusia
di dalam kehidupannya adalah terus-menerus
mempunyai rasa takut bahwa mereka akan
membuat kesalahan (Elbert Hubbard)

2 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadapan Allah SWT karena berkat rahmat,
hidayah, dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan Diktat untuk Mata
Kuliah Teknologi Pengajaran Bahasa Prancis ini.

Tujuan penulisan diktat kuliah ini adalah untuk memberikan pemahaman,


pengetahuan, serta contoh-contoh yang praktis dan sederhana tentang Penilaian
Pencapaian Hasil Belajar. Contoh-contoh disesuaikan dengan lingkungan dan
kehidupan sehari-hari para pembaca, khususnya mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa Prancis. Oleh karena itu, diharapkan setelah membaca, mempelajari, dan
membuat beberapa latihan serta tugas, mahasiswa mampu membuat perencanaan
dan pelaksanaan penilaian pencapaian hasil belajar Bahasa Prancis.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan diktat ini. Akhirnya sumbang
saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan diktat ini. Semoga diktat ini
bermanfaat bagi seluruh pembaca, khususnya mahasiswa dan guru Bahasa
Prancis.

Yogyakarta, Desember 2010


Penulis

3 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 1
HAKIKAT EVALUASI

1.1 Pendahuluan
Kegiatan penilaian tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan
pendidikan dan pengajaran. Semua kegiatan pendidikan dan pengajaran
pasti selalu diikuti dengan kegiatan penilaian. Istilah penilaian yang
digunakan pada diktat ini sinonim dengan evaluasi. Untuk itu, seorang
pengajar (calon pengajar) harus mengetahui hakikat evaluasi. Dalam bab
ini kita akan membahas tentang pengukuran dan penilaian, definisi dan
komponen penilaian, penilaian sebagai suatu proses, serta tujuan dan
manfaat evaluasi.

1.2 Pengukuran dan Penilaian


Penilaian merupakan suatu proses untuk mengetahui (menguji)
apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu program telah
sesuai dengan tujuan atau criteria yang telah ditentukan (Tuckman dalam
Burhan Nurgiyantoro, 2001: 5). Untuk dapat memberikan penilaian secara
tepat, misalnya tentang kemampuan siswa dalam membuat surat pribadi
dalam bahasa Prancis, pengajar memerlukan data-data tentang
kemampuan siswa dalam hal tersebut. Selanjutnya, untuk memperoleh
data-data yang diperlukan, pengajar memerlukan alat penilaian yang
berupa pengukuran. Dengan demikian, pengukuran merupakan bagian
atau alat penilaian saja dan selalu berhubungan dengan data-data
kuantitatif yang biasanya berupa skor siswa.
Penilaian selalu berhubungan dengan aspek kualitatif dan aspek
kuantitatif, sedangkan pengukuran hanya berhubungan dengan aspek
kuantitatif. Aspek kuantitatif pada penilaian diperoleh dengan bantuan
pengukuran.

1.3 Definisi dan Komponen Penilaian


Penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses. Cronbach
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001: 7) penilaian adalah proses
pengumpulan dan penggunaan informasi yang dipergunakan sebagai
dasar pembuatan keputusan tentang program pendidikan.
Scriven dalam Burhan Nurgiyantoro (2001: 7) mengemukakan
bahwa proses penilaian terdiri dari tiga komponen, yakni:
a. Pengumpulan Informasi. Informasi merupakan suatu hal yang
sangat esensial karena informasi memberikan data-data yang akan
dipergunakan sebagai dasar pembuatan pertimbangan. Informasi
ini dapat bersifat kuantitatif atau kualitatif, umum atau khusus,
berkaitan dengan orang, materi, prestasi, program, proses, dan
sebagainya.
b. Pembuatan Pertimbangan. Pertimbangan yang dibuat diharapkan
tepat jika didukung oleh akuratnya informasi yang diperoleh dan
tepatnya penafsiran terhadap informasi tersebut. Pertimbangan

4 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
merupakan tafsiran terhadap kondisi yang ada sekarang dan
merupakan prediksi penampilan pada masa mendatang.
c. Pembuatan Keputusan. Pembuatan keputusan merupakan
pemilihan di antara sejumlah alternatif. Keputusan yang diambil
menuntut diikuti oleh tindakan. Pihak yang terlibat dalam
pengambilan keputusan tidak harus orang yang membuat
pertimbangan, namun bisa juga orang yang sama.

1.4 Penilaian sebagai Suatu Proses


Penilaian pada hakikatnya merupakan suatu proses yang harus
dilakukan pengajar sebagai bagian dari kegiatan pengajaran. Ten Brink
dalam Burhan Nurgiyantoro (2001: 10) mengemukakan tiga komponen
proses penilaian sebagai berikut.
a. Persiapan; berupa kesiapan dan persiapan pihak yang akan
melakukan kegiatan penilaian.
b. Pengumpulan data; berupa kegiatan untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan.
c. Evaluasi; berupa kegiatan pembuatan pertimbangan dan
pengambilan keputusan.

1.5 Tujuan dan Manfaat Evaluasi


Tujuan dan manfaat evaluasi antara lain yakni (Burhan
Nurgiyantoro, 2001: 15-16):
a. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan-tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan.
b. Untuk memberikan objektivitas pengamatan pengajar terhadap
tingkah laku hasil belajar siswa. Penilaian merupakan suatu proses
yang dilakukan secara berkesinambungan selama proses
pembelajaran yang diperoleh melalui pengamatan. Namun
pengamatan ini memiliki kelemahan yakni adanya subjektivitas.
Untuk meminimalkan subjektivitas ini, maka data-data hasil
pengamatan digabungkan dengan hasil pengukuran.
c. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang-bidang tertentu
atau topik-topik tertentu.
d. Untuk menentukan layak tidaknya seorang siswa dinaikkan ke
tingkat di atasnya atau dinyatakan lulus dari tingkat pendidikan
yang ditempuhnya.
e. Untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan.

1.6 Latihan dan Tugas


a. Jelaskan hakikat penilaian dan pengukuran.
b. Mengapa penilaian dapat memberikan umpan balik bagi kegiatan
belajar mengajar yang dilakukan? Jelaskan jawaban Anda.

5 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
REFERENSI
Burhan Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan
Sastra. Yogyakarta: BPFE.

6 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 2
PENILAIAN

A. PENDAHULUAN
Pada bab sebelumnya telah dibahas mengenai evaluasi yang di
dalamnya memuat perbedaan antara pengukuran dan penilaian. Penilaian
dalam bidang pendidikan khususnya dilakukan untuk menaksir tingkat
kemampuan seseorang secara tidak langsung melalui respon yang
diberikan. Untuk melakukan penilaian diperlukan alat, yang selanjutnya
disebut sebagai alat penilaian. Secara umum alat penilaian dibedakan
menjadi 2 (dua) macam yaitu tes dan nontes. Uraian berikut ini akan
membahas permasalahan tes dan nontes

B. TES DAN NONTES


1. Tes
Secara sederhana, tes merupakan metode/ cara untuk mengukur
kemampuan seseorang/ individu dalam hal kemampuan, pengetahuan,
dan keterampilannya dalam bidang tertentu. Jadi tes mempunyai 4
(empat) komponen utama, yaitu metode/ cara, alat ukur, yang diukur
(individu), dan bidang yang dites-kan.
Tes memiliki cakupan yang lebih luas dan kompleks daripada
nontes. Oleh karena itu, hal tentang tes akan dibahas lebih mendalam di
bagian lain.

2. Nontes
Nontes juga merupakan alat penilaian untuk memperoleh informasi
atau data. Informasi atau data yang diperoleh dari nontes ini umumnya
merupakan data bidang afeksi dan psikomotor yang secara tidak langsung
diperlukan untuk melengkapi data-data bidang kognisi yang diperoleh dari
penilaian secara tes. Data nontes akan memberikan penilaian secara
kualitatif. Ada 3 (tiga) macam nontes yang dapat dibaca sebagai berikut.
a. Kuesioner
Kuesioner (questionnaire) atau disebut juga angket,yaitu
serangkaian pertanyaan yang ditujukan kepada siswa (dalam penelitian
disebut sebagai responden). Pertanyaan tersebut diperlukan untuk
melengkapi data atas masalah-masalah tertentu yang dibutuhkan. Daftar
pertanyaan tersebut dapat bersifat terbuka, artinya siswa diperbolehkan
menuliskan pendapat mereka dan bersifat tertutup, siswa hanya memilih
alternatif jawaban yang telah disediakan. Daftar jawaban siswa
selanjutnya diberi skor dan dimasukkan dalam skala-skala tertentu.
Kuesioner ini merupakan cara yang mudah, murah dan sangat
mungkin dilaksanakan dalam suatu penelitian. Langkah-langkah dalam
melaksanakan kuesioner adalah sebagai berikut: 1) menentukan tujuan
kuesioner, 2)menentukan kelompok sampling (dalam hal ini siswa/
responden), 3)menyusun kuesioner itu sendiri, 4)dokumentasi/ pencatatan
kuesioner, dan 5) interpretasi hasil kuesioner.

7 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
b. Wawancara
Wawancara (interview) merupakan cara untuk memperoleh
informasi yang dilakukan oleh pewawancara dengan cara mewawancarai
(menanyakan)kepada yang diwawancarai. Dalam hal ini, penanya atau
pewawancara adalag guru atau peneliti, sementara yang diwawancarai
adalah siswa atau responden. Secara umum, wawancara dibedakan
menjadi wawancara terstruktur atau terpimpin dan wawancara bebas.
c. Pengamatan
Sering juga disebut dengan istilah observasi, yaitu metode atau
cara-cara menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis
mengenai suatu hal (tingkah laku) secara langsung baik terhadap individu
maupun kelompok. Pengamatan memerlukan pencatatan karena
membutuhkan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan tes.
Pengamatan secara garis besar dapat dibedakan menjadi pengamatan
secara tertruktur dan pengamatan tak berstruktur.

C. TEKNIK TES
Ada beberapa definisi tentang tes dari beberapa ahli. Secara sederhana,
tes merupakan tugas (atau tugas-tugas) yang diberikan guru kepada
murid. Biasanya orang awam atau bahkan murid akan menyebutnya
sebagai soal, soal tes, atau soal ujian. Padahal tugas-tugas tersebut
merupalan alat tes atau instrument tes. Kebalikan dari nontes, maka tes ini
berurusan dengan data kuantitatif. Setelah tes dilaksanakan, maka data
yang diperoleh perlu dioleh dan dilambangkan dalam sebuah angka atau
skor. Ada beberapa tes yang dapat dilihat sebagai berikut.

1) Berdasarkan Jumlah Individu yang Mengikuti Tes


a) Tes Individu
Tes yang dikerjakan secara individu (seorang diri)
b) Tes kelompok
Tes yang dikerjakan secara kelompok

2) Berdasarkan Jawaban yang dikehendaki atau tagihan


a) Tes Perbuatan
Tes yang menuntut jawaban atau respon dengan cara
melakukan sesuatu secara psikomotor. Misalnya ketika guru
memberikan tes kepada murid, “Fermez la porte, s’il vous plait!”.
Jawaban yang dihekendaki adalah tindakan seorang siswa
menutup pintu.
b) Tes Verbal
Tes yang menghendaki jawaban dari siswa secara tingkah laku
verbal (berbicara atau menulis), yaitu jawaban dalam kalimat.
Oleh karena ini dari cara menjawabnya, tes verbal ini dapat
dibedakan lagi menjadi tes lisan dan tes tulis.

8 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
3) Speed Test dan Power Test
Keduanya termasuk dalam tes yang dikerjakan secara individu .
Ada yang menyatakan kedua tes ini masuk kategori Aptitude and Ability
Test.
a) Speed Test
Dari kata speed kita sudah dapat menebak, tes ini berhubungan
dengan kecepatan. Tes diberikan untuk diselesaikan dalam
durasi yang sudah ditentukan, pertanyaan terbatas dalam 1
(satu) hal, dan metode mengerjakan dan menjawab juga jelas.
Tes ini menitikberatkan pada banyaknya pertanyaan yang dapat
dijawab dengan tepat. Artinya, semakin banyak soal yang
diselesaikan dengan benar, maka hasil tes akan semakin baik.
b) Power Test
Berbeda dengan Speed test, Power test ini pertanyaan yang
diberikan bersifat kompleks, dengan durasi waktu yang sama
dengan speed test, dan metode penyelesaian jawaban tidak
mudah diketahui. Biasanya model tes ini lebih banyak dipakai
untuk sekolah Pasca Sarjana atau jenjang menejer dan
professional.
Sering dikatakan bahwa hasil speed test dapat untuk
memprediksi hasil power test, karena biasanya seseorang yang
speed testnya bagus akan bagus pula dalam power test.

4) Tes Buatan Guru dan Tes Standar


a) Tes Buatan Guru
Tes ini dibuat oleh guru (guru kelas). Tes ini disusun untuk
mengetahui atau mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap
materi/ bidang studi yang telah diajarkan oleh guru tersebut. Soal
atau tes buatan guru bisa dikatakan memenuhi syarat kelayakan,
kesahihah, dan ketepercayaan bila dalam teknik penyusunan
dan pengolahan hasil nilainya mempunyai kriteri kelayakan dan
validitas isi (kesahihan isi). Tes buatan guru ini dapat berupa tes
lisan, tes tertulis, dan tes perbuatan.
Hasil dari tes buatan guru tidak dapat sebagai pembanding
antara sekolah yang satu dengan lainnya. Namun tes ini dapat
membedakan hasil belajar siswa yang satu dengan siswa lainnya
selama masih dalam satu kelas dan atau satu sekolah.
Bagaimanapun tes buatan guru ini tetap berguna karena gurulah
yang menyusun materi pembelajaran, mengujikan, dan menilai
hasil belajar siswa.

b) Tes Standar
Tes standar yang dimaksudkan di sini adalah tes pencapaian
atau tes prestasi (achievement test). Tes ini mempunyai
mengertian bahwa butir-butir soalnya dikerjakan oleh semua

9 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
siswa dengan petunjuk yang sama dalam tingkat yang sama
pula. Misalnya, ada soal tes standar untuk tingkat Pendidikan
Dasar dan Pendidikan Menengah dan bersifat seragam/
nasional. Tes standar ini dapat digunakan berkali-kali. Hal ini
salah satu yang membedakannya dengan tes buatan guru
Setelah menentukan bahan tes, lalu dilakukan penyusunan butir-
butir soal. Selanjutnya butir-butir soal tersebut diujicobakan
terhadap sejumlah siswa. Inilah perbedaan selanjutnya jika
dibandingkan tes buatan guru. Hasil ujicoba selanjutkan
dianalisis untuk mencari koefisien tingkat kesulitan dan daya
beda (Tingkat kesulitan dan daya beda akan dibicarakan lebih
lanjut dalam bab lain). Butir soal yang terlalu sulit dan terlalu
mudah akan direvisi, atau bahkan diganti dengan butir soal baru.
Tes standar ini selain berguna untuk mengetahui tingkat hasil
belajar siswa juga dapat untuk pembanding siswa satu sekolah
dengan siswa sekolah yang lain bahkan siswa satu wilayah
dengan siswa wilayah lain. Satu hal lagi yang membedakan dari
tes buatan guru.

5) Tes Kemahiran/Keberhasilan (Proficiency Test)


a) Tes Penempatan (Placement Test)
Tes penempatan bertujuan untuk setepat-tepatnya menempatan
siswa ke dalam tingkat tertentu atau kelas tertentu dalam suatu
sekolah. Jika tes ini dilaksanakan oleh lembaga kursus, maka
tujuannya adalah menempatan peserta kursus di kelas atau
tingkat yang sesuai dengan tingkat kemahirannya. Jika satu
kelas terdiri dari siswa dengan kemampuan yang seimbang,
maka akan memudahkan guru atau pihak sekolah atau pihak
lembaga kursus dalam menyiapkan materi dan melaksanakan
pengajarannya. Misalnya dalam bahasa asing, sering siswa
dikategorikan ke dalam tingkat pembelajar pemula, tingkat
menengah, dan tingkat lanjut.

b) Tes Diagnostik (Diagnostic Test)


Tes diagnostik disusun untuk tujuan mendiagnosis siswa
terhadap aspek khusus bidang yang dipelajari, misalnya tes
pelafalan bunyi-bunyi dalam bahasa Prancis. Oleh sebab itu, tes
dianostik dapat dilaksanakan sebelum atau selama pelajaran
dimulai.

c) Tes Pencapaian/Prestasi (Achievement Test)


Tes ini disusun dengan materi khusus, pada tingkat tertentu, dan
tujuan yang telah ditentukan. Tes dilaksanakan setelah masa
pengajaran selesai. Kebalikan dari tes penempatan dan tes
diagnostic yang dapat dikategorikan sebagai tes kemampuan

10 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
awal, maka beberapa ahli menyebut achievement test sebagai
tes kemampuan akhir.

6) Tes Formatif dan Tes Sumatif


a) Tes Formatif
Tes formatif bertujuan untuk mengetahui tingkat ketercapaian
bahan/ materi pengajaran untuk setiap bab, atau unit, atau pokok
bahasan tertentu. Oleh karena itu untuk tes ini dapat
dilaksanakan beberapa kali bergantung pada banyaknya pokok
bahasan yang ada. Ada yang menyebut tes formatif ini sebagai
tes atau ulangan harian.

b) Tes Sumatif
Tes sumatif dilaksanakan setelah suatu kegiatan pengajaran
selesai. Misalnya pada akhir semester,akhir term atau pada
akhir tingkat. Oleh sebab itu tes ini juga sering disebut sebagai
ulangan umum atau ulangan/ ujian tingkat.

D. BENTUK TES
1. Tes Objektif
Tes ini sering juga disebut dengan tes jawaban singkat. Butir tes
objektif sangat bermanfaat untuk mengukur hasil belajar kognitif tingkat
rendah. Namun sebaliknya tes ini tidak cocok untuk mengukur hasil
belajar yang bersifat kompkes. Tes hasil belajar ini terdiri dari butir-butir
soal yang harus dijawab oleh siswa dengan cara memilih satu jawaban
benar, menjodohkan, mengisi uraian pendek, dan lain-lain. Tes ini
dikatakan mempunyai kebenaran yang objektif. Dalam tes objektif ini
hanya satu jawaban benar (betuk skor 1, salah skor 0). Tes objektif ini
dapat dijabarkan dalam 4 (empat) macam, yaitu:
a) Tes Objektif Bentuk Benar-Salah (True-False Test)
Contoh:
Vrai-Faux Paris est la capital de France
B - S Paris adalah ibukota Negara Prancis

b) Tes Objektif Bentuk Menjodohkan (Matching Test)


Contoh:
1. Quelqu’un qui habite a Paris a. La Seine
2. La fleuve qui passé Paris b.Le Parisien
3. Le jour d’independant de la Republique Française c. Asterix
4. L’une de BD française tres célèbre d. 14 Juillet

c) Tes Objektif Bentuk Melengkapi (Completion Test), Isian (Fill in Test)


atau Menyempurnakan
Contoh:
1. Napoléon Bonaparte est français, mais Marie Antoinette est…..
2. M. Bernard enseigne à l’university. Il est…..

11 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
d) Tes Objektif Bentuk Pilihan Ganda (Multiple Choice Test)
Contoh:
1.Anna est étudiante. Je suis étudiante aussi.
Nous………….étudiantes.
a. sont b. sommes c. avons d. allons
2. J’ai un chat. …..chat s’appelle Toto
a. Un b. Le c. La d. L’

2. Tes Esai
Tes ini terdiri dari pertanyaan (pertanyaan) yang menhendaki
jawaban dengan uraian panjang. Bentuk tes ini cocok untuk mengukur
hasil belajar yang bersifat kompleks (tingkat kognisi tinggi). Dalam tes ini,
siswa diharuskan menyusun sendiri kata- kata/ kalimatnya.

Kedua bentuk tes (tes objektif dan tes esai) di atas masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Guru yang ideal akan mampu
meminimalkan kelemahan sehingga, tetap dapat memberikan penilaian
secara objektif.

E. PENILAIAN SEJATI (SEBENARNYA) (Authentic Assessment)


Penilaian hasil belajar jenis tes dan nontes yang telah disebutkan
pada bagian sebelumnya, biasanya dibuat secara homogen dan bersifat
diskret. Siswa dinilai dengan soal yang sama, seragam, tanpa
membedakan siswa satu dan lainnya. Sementara dalam belajar bahasa,
penilaian sebaiknya tidak mengemsampingkan perbedaan antarsiswa.
Oleh karena itu, muncullah istilah authentic assessment.Beberapa crri dan
criteria penilaian sejati ini antara lain adalah sebagai berikut 1) lebih
mendorong siswa agar dapat mengembangkan jawaban daripada hanya
menghafal jawaban, 2) memungkinkan siswa untuk berpikir ke tingkat
yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuannya, 3) memberikan penilaian
secara holistic, 4) penilaian berdasarkan pada desain pengajaran dan
kemajuan kelas, 5) mengakomodasi jawaban yang beragam (multiple
responses), 6) memanfaatkan portofolio siswa, dan 7)mendorong siswa
agar dapat melaksanakan evaluasi terhadap tugasnya masing-masing.
Authentic Assessment akan membawa siswa pada “dunia nyata”
dalam mengerjakan tugas. Misalnya, membaca 1 (satu) text secara utuh,
atau menulis 1 (satu) paragraf. Penilaian tertulis akan meliputi konsep
pemilihan topik, proses penulisan, dan tentu saja hasil akhir dari tulisan
tersebut. Hal ini berlaku juga dalam penilaian lisan.

1. Cloze Test
Tes ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap
konten suatu teks. Penyusunan cloze test ini dengan cara menghilangkan
beberapa kata dalam 1 (satu) teks. Siswa kemudian diminta untuk mengisi
tempat yang kosong tersebut dengan kata yang tepat, sesuai dengan

12 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
konteksnya. Selama jawaban itu masih bisa berterima dengan konteks,
maka dimungkinkan ada lebih dari 1 (satu) jawab benar.
Contoh:
To jump to a scene, click _____ Henry's shirt pocket. The note pad _____.
Then, click on the options tab. _____ options page appears. Then, click on
_____ arrows on the right and left _____ of the scene pictured near the
_____ of the page to _____ through the scenes. When you find the scene
_____ want, click the picture to go _____. (Diambil dari tulisan Richard E.
Mayer, Cognitive Education, USA).

2. Tes Lisan
Tes lisan lebih sering terdengar pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Tes lisan ini bukan hanya menilai pengetahuan saja, namun juga
keterampilan dalam menyampaikan pengetahuan tersebut. Dalam hal ini
keterampilan berkomunikasi secara lisan juga dinilai. Tes lisan dapat
berlangsung di depan kelas (guru berhadapan langsung dengan seorang
siswa), secara panel, atau dalam 1 (satu) kelas.
Dalam tes lisan secara formal, biasanya sudah terdapat daftar
pertanyaan pada penguji (guru). Siswa harus menjawab pertanyaan
tersebut, menjawab secara tepat, jelas, tidak boleh memberikan informasi
berlebihan kecuali jika diminta. Sebaliknya jika secara informal, siswa
boleh memberikan informasi yang lebih daripada secara formal.

3. Portofolio
Penilaian berdasarkan portofolio bukan hanya sekedar berisi
kumpulan daftar observasi dan karya siswa secara acak, namun
merupakan kumpulan yang dibuat secara sistematis. Observasi tercatat
dan hasil karya siswa harus sesuai dengan tujuan pembelajaran. Misalnya
buku perantara (log book) yang dipegang oleh siswa akan mampu
menampilkan refleksi tingkat perkembangan perilaku dan kebiasaan siswa
dalam membaca. Tingkat perkembangan pemahaman siswa dalam
membaca, kemudian mengkonstruksinya dalam perkembangan perilaku
menulis dapat dijadikan sebagai parameter kemajuan siswa.

Selain itu, portofolio juga mampu mencerminkan catatan kemajuan


dan pertumbuhan siswa dalam hal membaca dan menulis (karena catatan
dikumpulkan secara teratur dalam masa satu tahun, misalnya). Tentu saja,
bukan hanya catatan yang dapat dijadikan bahan portofolio. Bahan lain
yang dapat dipakai adalah catatan guru, daftar checklist guru, buku
refleksi milik siswa, log book bacaan siswa, contoh jurnal siswa,
rangkuman hasil karya siswa, rekaman audio siswa ketika membaca atau
bercerita, rekaman visual suatu proyek kelompok (drama), dll.

13 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
F. CECRL-DELF
1. CECRL
CECRL atau Cadre Europeen Cadre Reference de Langue adalah
kerangka acuan umum Eropa tentang bahasa. CECRL ini dikembangkan
melalui proses penelitian dan diskusi panjang yang akhirnya
menghasilkan perangkat praktis dan susunan standar yang harus
ditempuh secara bertahap dalam mempelajari bahasa. CECRL juga
sekaligus memuat cara pengajaran dan penilaiannya secara Internasional.
Jadi bukan hanya berlaku untuk bahasa Prancis saja.
Pada tahun 2001 Uni Eropa menyetujuai adanya system validasi
kompetensi bahasa-bahasa di Eropa, yang diikuti juga dengan penetapan
Portofolio bahasa-bahasa di Eropa, dan deklarasi hari bahasa.
CECRL dibagi dalam tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a) Niveau/ tingkat A1
b) Niveau/ tingkat A2
c) Niveau/ tingkat B1
d) Niveau/ tingkat B2
e) Niveau/ tingkat C1
f) Niveau/ tingkat C2
Sampai saat ini ada beberapa Negara di luar Uni Eropa yang juga
mengadopsi CECRL ini, misalnya Jepang dan Taiwan.

2. DELF
DELF atau Diplome D’Etudes en Langue Françaises adalah satu-
satunya sertifikat penguasaan bahasa Prancis sebagai bahasa asing yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Prancis. Sampai saat ini ujian
DELF diselenggarakan di 163 negara di dunia.

G. TUGAS

Bekerjalah secara kelompok, 1 (satu) kelompok terdiri dari 2 (dua) atau


3(tiga) orang. Buatlah kunjungan ke SMA/ SMK/ MA untuk
mendokumentasikan penilaian dalam 1 (satu kelas) selama 1 (satu)
semester. Selanjutnya, analisis tes/ instrument tes yang diberikan sesuai
dengan criteria jenis tes dan bentuk tes yang telah kita bahas dalam
halaman-halaman sebelumnya. Kemudian, simpulkan kelebihan dan
kelemahan masing-masing tes dan atau penilaian dalam kelas yang
menjadi objek penelitian Anda.

H. REFERENSI
Brown, Dauglas.2004. Language Assessment: Principle and Classroom
Practices.New York: Longman

Buba, Egon G & Lincoln, Yvonne S. 1989. Fourt Generation


Evaluation.Newberry Park: Sabe Publication

14 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
http://www.ciel-strasbourg.org/niveau_a1.html

Lamme & Yhsmith. 1991.Portfolio approaches to assessing literacy have


been described in a wide variety of publications

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE

Valencia, Sheila, et al.1990. "Assessing reading and writing." In Gerald G.


Duffy (Ed.), Reading in the Middle School (2nd ed.)

15 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 3
KRITERIA INSTRUMEN
A. PENDAHULUAN
Instrumen sebagai alat pengukur hasil belajar siswa, diharapkan
mampu memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Artinya, instrument dapat memberikan informasi tentang
siswa sesuai dengan keadaan yang mendekati sesungguhnya. Agar
instrumen dapat memberikan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan, instrumen tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan sebagai alat penilaian yang baik. Untuk itu, kita
membutuhkan informasi apakah alat tes yang disusun telah memenuhi
syarat ”baik” yang dimaksud.

B. KRITERIA KELAYAKAN ALAT TES


Untuk mengetahui apakah tes yang telah disusun memenuhi
kriteria kelayakan, maka dapat dengan cara menjawab pertanyaan berikut
yang jawabannya dapat menunjukkan kadar kelayakan alat tes tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Apakah butir-butir tes itu telah sesuai dengan tujuan ?
a. Apakah paling tidak telah ada dua butir soal untuk tiap tujuan?
b. Apakah semua butir soal mempunyai tujuan, atau telah
dimaksudkan untuk mengukur tujuan tertentu?
c. Apakah jumlah butir soal per tujuan telah secara tepat
mencerminkan kadar pentingnya tujuan itu?
2. Apakah butir-butir soal telah mencerminkan tingkah laku yang sesuai
dengan kata-kata kerja operasional yang terdapat dalam tujuan
(kompetensi dasar) ?

C. PENTINGNYA TUJUAN
Untuk menentukan tingkat kelayakan alat tes, kesesuaian dengan
tujuan merupakan kriteria utama. Tes yang dapat mengukur keluaran hasil
belajar sesuai dengan yang disarankan oleh tujuan itulah tes yang
memenuhi kriteria kelayakan. Tiap butir tes harus secara jelas dapat
mengacu pada tujuan tertentu. Sebaliknya, setiap tujuan harus
mempunyai alat ukurnya dan harus dapat ditunjuk (butir-butir soal nomor
berapa, berapa jumlah, apakah telah sesuai dengan tingkat pentingnya
dan cakupan bahan yang ditunjuk).
Kadang-kadang terjadi adanya satu atau beberapa tujuan yang
tidak mempunyai butir-butir tes yang dimaksudkan untuk mengukur
ketercapaiannya. Atau mungkin sebaliknya, ada sejumlah butir soal yang
tidak mempunyai tujuan, tidak jelas yang dimaksudkan untuk mengukur
ketercapaian tujuan yang mana. Jika kasus seperti ini terjadi, berarti alat
tes tersebut tidak memenuhi kriteria kelayakan, karena itu instrumen
tersebut bukanlah alat ukur yang baik.

16 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
D. KESESUAIAN DENGAN BAHAN
Tes yang baik adalah yang sesuai dengan bahan pelajaran yang
telah diajarkan. Bahan pelajaran itu sendiri dikembangkan berdasarkan
tujuan. Dengan demikian, kaitan antara ketiga komponen tujuan, bahan,
dan alat penilaian cukup erat. Penyusunan alat tes pada kenyataannya
lebih mendasarkan diri pada bahan pelajaran. Penilaian terhadap
ketercapaian tujuan pada hakikatnya tidak lain dari penilaian terhadap
penguasaan bahan.
Semua bahan (pokok bahasan) yang diajarkan harus diteskan.
Pada kenyataannya, juga sering terjadi terdapat beberapa pokok bahasan
yang diajarkan tidak diteskan, atau pengambilan bahan tes tidak bersifat
mewakili. Sebaliknya, kadang-kadang terjadi adanya sejumlah butir soal
yang dimaksudkan untuk mengukur penguasaan terhadap suatu bahan
(pokok bahasan) yang belum atau tidak diajarkan.
Kesesuaian alat tes dengan tujuan dan bahan pelajaran ini
merupakan salah satu jenis kesahihan, yaitu kesahihan isi (content
validity), suatu jenis kesahihan yang penting dalam tes buatan guru. Agar
alat tes dapat dipertanggungjawabkan tingkat kelayakan atau kesahihan
isinya, penyusun tes itu hendaknya mendasarkan diri pada deskripsi
bahan yang diajarkan. Dengan kata lain, kita perlu membuat deskripsi
bahan yang diajarkan.

E. TUGAS

Bekerjalah secara kelompok, 1 (satu) kelompok terdiri dari 2 (dua) atau


3(tiga) orang. Carilah contoh tes sumatif Bahasa Prancis SMA. Analisislah
soal-soal pada tersebut berdasarkan tujuan, bahan, dan alat penilaiannya.
Apakah sudah sesuai dan seimbang jumlah butir soalnya untuk tiap-tiap
tujuan (kompetensi dasar).

F. REFERENSI
Brown, Dauglas.2004. Language Assessment: Principle and Classroom
Practices.New York: Longman

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE

17 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 4
VALIDITAS DAN RELIABILITAS TES

A. PENDAHULUAN
Ketika kita ingin mengukur sesuatu, kita harus dapat memilih alat
ukur yang sesuai sehingga kita dapat memperoleh hasil pengukuran
dengan tepat. Ketepatan hasil pengukuran inilah yang dinamakan
validitas. Ada beberapa macam validitas yang sudah dibicarakan dalam
bab sebelumnya. Sehubungan dengan penyusunan alat tes, ada istilah
bahwa selain valid, tes juga harus reliabel. Apa itu Reliabilitas? Tes
harus reliabel, artinya jika tes tersebut digunakan lebih dari satu kali pada
kelompok yang sama maka tes tersebut harus dapat memberikan hasil
pengukuran yang tetap. Reliabilitas suatu tes dapat ditingkatkan dengan
cara menambah jumlah butir soal, dengan catatan bahwa soal yang
ditambahkan harus homogen dengan butir soal yang sudah ada.

B. VALIDITAS
1. Teknik t-test
Teknik t-test ini dapat dipakai untuk menghitung koefisien dengan cara
mencari perbedaan nirai rerata hasil tes yang sama pada 2 (dua)
kelompok siswa yang berbeda. Misalnya tes teori sastra yang diberikan
pada kelompok pertama yang sudah memperoleh mata pelajaran teori
sastra, sementara kelompok kedua belum memperoleh teori sastra.
Kelompok pertama sebagai (X1) dan kelompok kedua sebagai (X2).
Contoh penghitungannya, seperti terdapat dalam buku Nurgiyantoro
(2001).

a) Jika subjeknya berbeda, maka rumus yang digunakan adalah sebagai


berikut.
X1 - X2
t = __________
__________
√ s² - s²
n1 n2

Keterangan=
t = koefisien yang akan dicari
X1 = nilai rerata kelompok pertama (yang sudah memperoleh teori
sastra)
X2 = nilai rerata kelompok kedua (yang belum memperoleh teori
sastra)
n = jumlah subjek
s² = taksiran varian

18 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Dari rumus dan keterangan di atas, ternyata kita masih harus mencari nilai
taksiran varian, yaitu s². Dengan rumus berikut di bawah ini kita akan
dapat memperoleh taksiran varian.

(∑X1)² (∑X2)²
(∑ X1² - ______) + (∑ X2² - _____)
n1 n2
S² = ____________________________________________
n2 + n2 - 2

Penghitungan koefisien dimulai dengan membuat daftar rerata kelompok


pertama (X1) dan kelompok kedua (X2) seperti berikut ini (Nurgiyantoro,
2001).

Daftar Nilai Rerata Kelompok Pertama (X1)


Daftar Nilai Rerata Kelompok Kedua
(X2)
No urut X1 X1² No urut X2 X2²
1. 7,5 56,25 1. 5,0 25,00
2. 7,0 49,00 2. 4,5 20,25
3. 7,0 49,00 3. 4,0 16,00
4. 6,5 42,25 4. 4,0 16,00
5. 7,5 56,25 5. 3,5 12,25
6. 5,5 30,25 6. 4,5 20,25
7. 8,0 64,00 7. 4,0 16,00
8. 7,0 49,00 8. 3,5 12,25
n1= 8 ∑ X1= 56 ∑ X1²= n2= 8 ∑ X2= 33 ∑ X2²= 138
396

Rerata masing-masing kelompok adalah sebagai berikut.

X1 = ∑ X1 = 56 = 7 X2 = ∑X2 = 33 = 4,125
n1 8 n2 8

Langkah selanjutnya, tinggal memasukkan nilai rerata masing-masing


kelompok untuk mengetahui taksiran varian (S²).

19 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
56² 33²
(396 - ______) + (138 - _____)
8 8
S² = ______________________________________
8 + 8 - 2

= 396 – 392 + 138 – 136,125


14
= 4 + 1,875 = 0,42
14

Selanjutnya tinggal memasukkan angka-angka hasil penghitungan di atas


ke dalam rumus t-test sebagai berikut.
X1 – X2
t = __________
__________
√ s² - s²
n1 n2

= 7 - 4,125
__________
√0,42 + 0,42
8 8

= 2,875 = 8,873
0,324

Koefisien nilai t sudah diperoleh. Langkah selanjutnya adalah melihat


dalam tabel nilai kritis t (terlampir). Derajat Kebebasan (DB) 14, dengan
tingkat signifikansi 0,1% hanya membutuhkan koefisien 4,140. Sementara
nilai t di atas adalah 8,873, jadi sangat signifikan bahkan pada batas
kesahihah 0,1 %. Maknanya, tes teori sastra tersebut sangat sahih.
a) Jika subjeknya sama, maka rumus yang digunakan adalah sebagai
berikut.

∑D
t = ____________
__________
√ n∑D ² - (∑D)²
N - 1

20 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Keterangan
D = Perbedaan skor antara 2 (dua ) tes (X1 – X2)
∑ D = Jumlah perbedaan skor antara X1 – X2
N = Jumlah subjek

Skor X1 dapat diperoleh dari hasil pretest teori sastra, dan skor X2
diperoleh dari hasil posttest. Selanjutnya, langkah yang harus dilakukan
adalah menyusun daftar skor agar lebih mudah dihitung seperti di bawah
ini.

Subjek X1 X2 D D²
1. 4,0 7,0 -3,0 9,00
2. 3,5 7,3 -3,8 14,44
3. 3,5 6,8 -3,3 10,89
4. 4,3 7,5 -3,2 10,24
5. 4,2 7,5 -3,3 10,89
6. 3,3 6,2 -2,9 8,41
7. 4,2 6,8 -2,6 6,76
8. 4,3 7,5 -3,2 10,24
n= 8 ∑ X1= 28,3 ∑ X2 = 56,5 ∑D= -25,3 ∑D²= 80,87

Tahapan berikutnya, masukkan hasil penghitungan pada tabel di atas ke


dalam rumus sebagai berikut.

-25,3
t= _________________
_________________
√ 8 x 80,87 - (-25,3)²
8 - 1

-25,3
= ________________
________________
√ 646,96 – 640,09
7

-25,3
= ________________ = -25,53
0,991

Harap diingat bahwa yang diperhatikan adalah angka mutlak, sehingga


koefisien (-25,53) dapat diperhitungkan sebagai 25,53. Selanjutkan
silakan konsultasikan dengan tabel kritis nilai t. DB 7 pada tingkat
kesahihan 0,1 % hanya 5,405, sementara hasil penghitungan di atas

21 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
memperlihatkan koefisien yang sangat jauh dari koefisien dalam tabel.
Artinya, tes teori sastra yang diujikan pada subjek yang sama tadi
mempunyai tingkat kesahihan yang tinggi.

2. Korelasi Product Moment


Alat tes yang hendak diukur ke-validannya atau tingkat kesahihannya
dengan cara mengorelasikan 2 (dua) hasil tes yang sejenis. Misalnya hasil
tes Comprehénsion Ecrite dan Vocabulaire. Kedua mata kuliah (atau
mata pelajaran) ini bersifat reseptif. Contoh penghitungannya, seperti
terdapat dalam buku Nurgiyantoro (2001).

Besaran koefisien korelasi dapat mendasarkan pada ketentuan berikut ini


- Koefisien 0,800 sampai 1,00 = sangat tinggi
- Koefisien 0,600 sampai 0,799 = tinggi
- Koefisien 0,400 sampai 0,599 = cukup
- Koefisien 0,200 sampai 0,399 = rendah
- Koefisien 0,00 sampai 0,199 = sangat rendah
-
Catatan= Ketentuan ini sangat dipengaruhi oleh jumlah subjek (N). Ada
yang berpendapat bahwa penghitungan korelasi lebih baik berdasarkan
table (lihat lampiran).

N∑X1X2 - (∑X1) (∑X2)


r₁ .₂ = ____________________________________
___________________________________
√ (N∑ X1² - (∑X1)² ) ( N ∑ X2 ² - (∑X2)² )

Keterangan:
r1.2 = Koefisioen korelasi yang dicari
N = Jumlah skor
X1 = Skor hasil tes pertama (yaitu Comprehénsion Ecrite )
X2 = Skor hasil tes kedua (yaitu Vocabulaire)

Selanjutnya, perhatikan data nilai (skor) dalam table berikut ini. ( X₁ )


merupakan skor hasil tes pertama, yaitu Comprehénsion Ecrite. (X₂ )
merupakan skor hasil tes kedua, yaitu Vocabulaire. Sementara N
merupakan jumlah skor atau jumlah subjeknya.

Tabel Persiapan Penghitungan Koefisien Korelasi untuk mengukur


kesahihah tes Comprehénsion Ecrite. Silakan menggunakan program
excel untuk menghitung.

22 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
No Urut X1 X2 X1² X2² X1 X2
Subjek
1. 6,5 7,0 42,25 49,00 45,50
2. 6,5 6,5 42,25 42,25 42,25
3. 6,0 6,5 36,00 42,25 39,00
4. 5,6 6,5 31,36 42,25 36,40
5. 7,0 6,8 49,00 46,24 47,60
6. 7,0 7,5 49,00 56,25 52,50
7. 6,5 7,0 42,25 49,00 45,50
8. 6,0 6,8 36,00 46,24 40,80
N= 8 ∑X1=51,1
∑ X2= ∑ X1²= ∑ X2 ²= ∑ X1 X2=
54,6 328,11 373,48 349,55
Kemudian masukkan data hasil penghitungan awal di atas ke dalam
rumus korelasi

r1.2 = 8 x 349,55 - (51,1) (54,6)


______________________________________
√ (8 x 328,11 - 51,1²) (8 x 373,48 - 54,6²)

= 2.796,4 - 2.790,06
______________________
√ (13,67) (6,68)

= 6,34
9,56

= 0,663

Jika berdasarkan ketentuan besarn di atas, maka r= 0,663 masuk dalam


range antara 0,600 sampai 0,799 yang berarti tinggi. Dengan demikian
dapat ditafsirkan bahwa dengan jumlah siswa 8 (delapan) orang, tes
Comprehénsion Ecrite mempunyai kesahihan sejalan yang tinggi .
Namun tidak demikian halnya jika penafsiran nilai koefisien korelasi
tersebut berdasarkan pada nilai kritis korelasi. Nilai r= 0,663 tersebut di
atas tidak signifikan. Silakan lihat pada tabel yang terlampir.

C. RELIABILITAS
1. KR20, 21 (Kuder-Richardson 20-21)
Penghitungan koefisien reliabilitas KR20,21 ini hanya dikenakan pada tes
yang mempunyai skor dikotomi. Maksudnya, jawaban benar diberi skor 1
(satu) dan jawaban salah diberi skor 0 (nol).

23 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Rumus KR20

n ∑pq
r = _____ ( 1 - _____ )
n–1 S²

Keterangan
r = Koefisien reliabilitas tes
n = Jumlah butir soal
p = Proporsi jawaban betul
q = Proporsi jawaban salah ( q = 1 – p )
S = Simpangan baku
S² = Varian

Rumus KR21

n X(n- X)
r = _____ ( 1 - _________ )
n–1 nS²

Keterangan
r = Koefisien reliabilitas tes
n = Jumlah butir soal
X = Rerata (mean)
S² = Varian

Tuckman (1975) menyatakan bahwa besarnya koefisien tingkat reliabilitas


di antara 0 - 1,0. Jika dari penghitungan diperoleh nilai koefisien 0 atau
bahkan minus (negatif) maka dapat dikatakan bahwa tes tersebut sangat
rendah tingkat ketepercayaannya. Sebaliknya semakin tinggi nilai
koefisien maka tes dikatakan semakin tepercaya. Tes buatan guru
dikatakan tepercaya jika mencapai nilai koefisien minimal 0,60 sedangkan
tes yang dipublikasikan minimal harus mempunyai tingkat koefisien 0,85.
Ebel (1979) menambahkan bahwa cara penghitungan KR 20 yang rumit,
terutama ketika menghitung p dan q, maka rumus KR 21 lebih
direkomendasikan.
Contoh penghitungan lengkap terdapat pada BAB VIII.

24 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
2. Koefisien Alpha
Berbeda dengan KR20,21, koefisien Alpha atau lengkapnya Alpha
Cronbach menghitung koefisien reliabilitas tes dengan jawaban
berjenjang. Maksudnya jawaban antara angka 1-5, seperti yang biasa
terdapat dalam pemberian skor angket.
Tes dikatakan mempunyai tingkat ketepercayaan jika dari penghitungan
nilai koefisien menghasilkan angka antara 0,5 – 1,0. Sebaliknya tingkat
koefisien di bawah 0,5 dikatakan tidak tepercaya atau instrumen tes itu
buruk. Sementara ada pendapat lain yang menyatakan bahwa baik
buruknya tes/ instrument tes dengan membandingkan nilai koefisien r
hitung (ɑ)dengan koefisien r dalam tabel. Jika nilai dari hitungan lebih
besar daripada nilai koefisien r (ɑ) tabel, maka dikatakan tes itu
mempunyai tingkat ketepercayaan yang tinggi.

Rumus

K ∑ Si²
r = _____ ( 1 - _______ )
K–1 St²

Keterangan
K = Jumlah butir soal
∑ Si² = Jumlah varian butir-butir soat
St² = Total varian (seluruh butir tes)

3. Spearman Brown
Koefisien Spearman Brown merupakan kelanjutan dari “Teknik Belah Dua”
atau (Split-Half Reliability ) yang hanya menghitung koefisien reliabilitas
separuh soal. Spearman Brown menyempurnakannya sehingga akan
memberikan reliabilitas keseluruhan tes. Nilai koefisien r ini akan sangat
dipengaruhi oleh jumlah subjek (n).
Rumus Spearman Brown

2 x reliabilitas separuh tes


Reliabilitas seluruh tes= ________________________
1 + reliabilitas separuh tes

Contoh penghitungan terdapat pada BAB 8.

25 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
D. TUGAS.
Tugas kelompok dengan jumlah anggota 3-5 orang. Silakan mengambil
sampel soal uji coba SNMPTN yang diselenggarakan oleh suatu lembaga
bimbingan belajar di Yogyakarta. Temukan subjek sebanyak 20 orang
agar Anda memperoleh skor sebanyak 20 orang. Selanjutnya analisislah
tingkat kesahihan dan ketepercayaan soal tes tersebut berdasarkan dari
skor 20 subjek dari lembaga bimbingan belajar. Selamat mengerjakan!

E. REFERENSI
Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan
Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE.

http://www. azuarjuliandi.com

http://www.scribd.com

26 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 5
TABEL SPESIFIKASI

A. PENDAHULUAN
Agar instrumen penilaian yang dibuat memiliki keseimbangan
dalam jumlah dan bobot, sebelum menyusun instrumen perlu dibuat tabel
spesifikasi. Tabel spesifikasi berguna bagi guru atau penyusun soal tes
untuk selalu mendasarkan diri pada rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Hal iu penting karena tak jarang guru hanya memfokuskan diri pada
beberapa pokok bahasan dan tingkatan kognitif tertentu, sengaja ataupun
tidak. Misalnya seorang guru bahasa Prancis yang kebetulan menyenangi
tata bahasa, seperti dalam pengajarannya, ia akan lebih banyak membuat
soal tata bahasa saja yang mungkin hampir separuh jumlah seluruh soal.
Akibatnya, pokok soal yang lain kurang mendapat porsi yang semestinya.

B. ISI TABEL SPESIFIKASI


Tabel spesifikasi atau rincian sering juga disebut sebagai kisi-kisi
(blue print). Sesuai namanya tabel spesifikasi berisi (a) perincian bahan
pelajaran atau pokok bahasan yang akan diteskan, (b) tingkah laku atau
kemampuan tingkatan-tingkatan kognitif yang dikehendaki, (c)
perimbangan dan jumlah soal untuk tiap tingkatan kognitif per pokok
bahasan, (d) persentase dan jumlah soal per pokok bahasan, per
tingkatan kognitif, dan seluruh soal yang akan disusun, dan bahkan ada
yang telah berisi, (e) bentuk tes.

C. PERTIMBANGAN BESARNYA PROPORSI TIAP POKOK BAHASAN


Untuk keperluan pembuatan tes sumatif, pihak yang berwenang
yang dalam hal ini Kantor Diknas telah memberikan tabel spesifikasi
tersebut ke sekolah- sekolah. Akan tetapi, guru dapat membuat sendiri
sesuai dengan perimbangan proposi yang dikehendaki, baik yang
menyangkut proporsi untuk tiap pokok bahasan, tingkah laku tingakatan
kognitif porsi untuk tiap bahasan, tingkah laku keluaran belajar yang
diukur maupun bentuk tes yang dipilih. Akan tetapi, penentuan besarnya
proporsi untuk tiap pokok bahasan per tingkatan kognitif tidak boleh
menurut selera sendiri, melainkan harus dengan pertimbangan-
pertimbangan tertentu.
Pertimbangan pertama, berkaitan dengan aspek kejiwaan,
menuntut kita untuk mempertimbangkan tingkat perkembangan kognitif
siswa. Dalam kaitan ini, kita akan berurusan apakah siswa itu tingkat SD,
SMTP, SMTA, atau bahkan mahasiswa. Pertimbangan kedua, berkaitan
dengan penting dan luasnya pokok bahasan. Pokok- pokok bahasan yang
penting, dalam arti sangat menopang tercapainya tujuan pengajaran
secara keseluruhan, dan mempunyai cakupan yang lebih luas, dibanding
pokok(-pokok) bahasan yang lain, haruslah diberi proporsi yang lebih
besar pula. Sebaliknya pokok bahasan yang tidak begitu luas cakupan
bahasanya proporsinya juga lebih kecil.

27 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
D. PENGISIAN TABEL SPESIFIKASI
Kegiatan pertama pengisian tabel spesifikasi menentukan pokok-
pokok bahasan yang akan diteskan, kemudian menentukan perimbangan
bobot masing-masing pokok bahasan dan tingkatan aspek kognitif yang
akan diungkap. Setelah itu, kita menentukan jumlah seluruh soal yang
akan diteskan, baik tes yang berbentuk objektif atau esai, dengan
mendasarkan diri pada waktu yang tersedia.

Tabel
Contoh Tabel Spesifikasi dengan Pertimbangan Bobot
per Pokok Bahasan dan Tingkatan Kognitif dalam Persentase
Tingkat Ingata Pemah Aplika Analisi Sintesi Evalua Jumla
an n a si s s si h
Kognitif man

(C1) (C2) (C3) (C4) (C5) (C6)


Pokok
Bahasa
n
CO 3 2 2 1 - - 20%
CE 6 4 3 25%
EE 10%
Voc 15%
Gram 20%
Bud 10%
Jumlah 20% 30% 25% 15% 5% 5% 100%

Keterangan: CO (Compréhension Orale/Mendengarkan)


CE (Compréhension Écrite/Membaca)
EE (Expression Écrite/Menulis)
Voc (Vocabulaire/Kosakata)
Gram (Grammaire/Tata Bahasa)
Bud (Pengetahuan Budaya)

E. PENENTUAN JUMLAH SOAL


Dengan mendasarkan diri pada besarnya bobot per pokok bahasan
per tingkatan kognitif di atas, selanjutnya kita dapat menentukan jumlah
soal untuk tiap sel, setelah lebih dulu kita tentukan jumlah keseluruhan
soal dan jumlah skor maksimal. Misalnya, tes akan diberikan selama 90
menit, jumlah skor maksimal 75 dengan perimbangan tes bentuk objektif
80 % dan esai 20 %. Jumlah soal dan skor tes objektif 60 (skor tiap soal 1,
bentuk tes dapat B-S, pilihan ganda, penjodohan, atau jawaban singkat),
sedang jumlah skor esai 15 (20% x 75 = 15) dengan soal 3 atau 4. Agar
dapat mengukur proses berpikir siswa, tes esai khusus untuk mengukur
tingkat C4 (10%), C5 dan C6 (juga 10%). Dengan demikian, tak ada tes
objektif untuk C 5 dan C6, sedang C4 tinggal 5 %.
28 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Untuk memudahkan pengisian tiap sel, kita perlu menghitung
jumlah skor per pokok bahasan (horisontal) dan per tingkatan kognitif
(vertikal) dengan (sementara) mengabaikan bentuk tesnya, objektif atau
esai. Perhitungan- perhitungan yang dimaksudkan dicontohkan di bawah
ini.
(a) perhitungan jumlah skor untuk tiap pokok bahasan:
- Mendengarkan : 20% x 75 = 15
- Membaca : 25% x 75 = 18,75 (19)
- Menulis : 10% x 75 = 7,50 (7)
- Kosakata : 15% x 75 = 11,25 (11)
- Tata Bahasa : 20% x 75 = 15
- Budaya : 10% x 75 = 7,5 (8) +
Jumlah = 75

(b) perhitungan jumlah skor untuk tiap pokok kognitif:


- Ingatan : 20% x 75 = 15
- Pemahaman : 30% x 75 = 22,50 (22)
- Penerapan : 25% x 75 = 18,75 (19)
- Analisis : 15% x 75 = 11,25 (11)
- Sintesis : 5% x 75 = 3,75 (4)
- Evaluasi : 5% x 75 = 3,75 (4) +
Jumlah = 75

Catatan : jika semua soal berbentuk objektif dengan bobot satu, hasil
perhitungan di atas sekaligus menunjukkan jumlah butir soal.

Dengan mendasarkan diri pada hasil perhitungan di atas, kita


selanjutnya dapat menghitung jumlah butir soal untuk tiap sel. Untuk
maksud itu, kita melakukannya melalui dua cara: (a) mendasarkan diri
pada hitungan yang pertama, dan (b) mendasarkan diri pada
penghitungan kedua. Berikut contoh penghitunan yang dimaksud.
(a) - Membaca, ingatan : 20% x 15 = 3
- Membaca, pemahaman : 30% x 15 = 4,50 (5)
- Membaca, penerapan : 25% x 15 = 3,75 (3)*)
- Dan seterusnya

(b) - Ingatan, membaca : 20% x 15 = 3


- Ingatan, kosa kata : 10% x 15 = 1,50 (2)
- Ingatan, struktur : 25% x 15 = 3,75 (3)
- Dan seterusnya

Pengisian tiap sel selain dengan cara di atas, juga dapat dihitung
langsung berdasarkan besarnya presentase pokok bahasan, tingkatan
kognitif, dan jumlah keseluruhan skor. Berikut dicontohkan dua buah
penghitungan yang dimaksud.
- Sel membaca, ingatan : 20% x 20% x 75 = 3

29 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
- Sel kosa kata, ingtan : 20% x 20% x 75 = 1,5 (2)

Keterangan :
*) pembulatan angka di atas 0,5 tidak harus ke atas dengan
pertimbangan (-pertimbangan) tertentu, yaitu (i) karena kita
mendasarkan diri pada jumlah butir soal per pokok bahasan atau per
tingkatan kognitif, sehingga jika pembulatan selalu ke atas, ada
kemungkinan jumlah butir soal yang di dapat akan melebihi target; (ii)
pengukuran kemampuan terhadap pokok bahasan yang bersangkutan
dirasa lebih tepat jika tingkatan kognitif yang di bawahnya yang
ditambah porsinya.

Dengan penghitungan tersebut, seluruh sel akan dapat diisi


dengan jumlah soal yang sesuai dengan perimbangan bobot yang
ditentukan. Akan tetapi, berbeda dengan cara sebelumnya, jumlah butir
soal untuk tiap pokok bahasan dan tingkatan kognitif justru akan
ditemukan kemudian setelah seluruh sel terisi.
Tabel
Contoh Tabel Spesifikasi Penyusunan Soal Tes
Sumatif Bahasa Prancis
Tingkat Ingata Pemah Aplika Analisi Sintesi Evalua Jumla
an n a si s s si h
Kognitif man

(C1) (C2) (C3) (C4) (C5) (C6)


Pokok
Bahasa
n
CO 4 4 5 2 - - 15
CE 5 5 5 2 1 1 19
EE - 2 2 1 1 1 7
Voc 4 4 2 1 - - 11
Gram - 6 4 3 1 1 15
Bud 2 1 1 2 1 1 8
Jumlah 15 22 19 11 4 4 75

Kisi-kisi yang dicontohkan di atas, sekaligus memuat bentuk tes


objektif dan esai. Dalam model yang lain, keduanya dapat dipisahkan dan
dibuat dalam dua kisi-kisi. Untuk contoh kasus di atas, pertama dibuat
dengan kisi-kisi objektif dengan jumlah keseluruhan 60 butir. Cara
pengisian sel-sel sama dengan yang dicontohkan. Kedua, dibuat kisi- kisi
untuk tes esai yang bentuknya lebih sederhana. Misalnya, dalam kolom
itu berisi: (i) jenis kemampuan yang diukur, (ii) pokok bahasan dan (iii)
skor. Yang pertama diisi dengan tingkatan kognitif yang dapat lebih dari
satu, demikian juga kolom kedua. Kolom skor diisi kemungkinan skor

30 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
tertinggi, karena skor tes esai adalah berskala dan belum tentu sama
antara nomor satu dengan yang lain (misalnya: No. 1: 1-4; No. 2:1-5; No.
3:1-6)
Demikian pula halnya dengan penyusunan soal yang menyangkut
tingkatan kognitif, mungkin sekali hanya mengungkap tingkatan C1 dan C2,
atau sedikit tingkatan di atasnya. Sebab, kedua tingkatan tersebut lebih
mudah disusun alat tesnya daripada yang lain.
Dengan selalu melihat kisi-kisi, kita akan mengetahui pokok
bahasan dan tingakatan mana saja yang sudah cukup, masih kurang, atau
belum terisi. Caranya ialah begitu selesai menyusun suatu butir soal,
segera kita tuliskan cacahan (tally) pada tiap sel yang dibuat alat tesnya.
Melalui penghitungan cacahan itulah kita akan tahu sel mana saja yang
sudah memenuhi target dan yang belum. Dengan cara seperti itu dapat
diharapkan tersusunnya sebuah alat penilaian yang komprehensif seperti
yang direncanakan.

F. TINDAK LANJUT SETELAH PENYUSUNAN TABEL SPESIFIKASI


Setelah menyusun tabel spesifikasi, langkah selanjutnya adalah
menentukan bentuk soal dan menuliskan soal-soal tes/instrumen.

1. Menentukan Bentuk Soal


Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan
bentuk soal, yaitu:
a. Waktu yang tersedia
- Untuk tes formatif dari bahan yang diselesaikan dalam waktu 4-
5 kali pertemuan @ 45 menit kira-kira memerlukan 15 – 20
menit, sedangkan untuk pelajaran yang berlangsung selama 1
jam pelajaran memerlukan waktu kira-kira 5 – 10 menit.
- Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan soal bentuk
objektif pilihan ganda kira-kira ½ - 1 menit untuk setiap butir tes
(untuk pilihan ganda sederhana barangkali dapat lebih singkat).
- Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan soal bentuk uraian
tergantung dari berapa lama siswa harus berpikir dan
menuliskan jawaban.
b. Sifat materi yang diteskan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menulis soal tes adalah:
- Bahasanya harus sederhana dan mudah dipahami.
- Suatu soal tidak boleh mengandung penafsiran ganda atau
membingungkan.
- Cara memenggal kalimat atau meletakkan/menata kata-kata
perlu diperhatikan agar tidah ditafsirkan salah.
- Petunjuk pengerjaan, petunjuk ini harus dituliskan dengan jelas
sehingga siswa tidak bekerja menyimpang dari yang
dikehendaki guru.

31 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
G. TUGAS
Buatlah tabel spesifikasi tes sumatif bahasa Prancis dengan jumlah
soal 50 butir, 60 butir, dan 90 butir.

H. REFERENSI

Arikunto, Suharsimi. 2004. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:


Bumi Aksara.

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE.

32 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 6
TES KOMPETENSI KEBAHASAAN

A. PENDAHULUAN
Kompetensi kebahasaan seseorang berhubungan dengan sistem
bahasa, struktur, kosa kata atau seluruh aspek kebahasaan serta
hubungan dari tiap-tiap aspek kebahasaan yang telah tersebut di atas.
Kompetensi kebahasaan tersebut berpengaruh pada kemampuan
seseorang dalam melakukan tindak bahasa. Maksudnya, ada ahli yang
mengatakan bahwa keterampilan berbahasa seseorang itu bergantung
pada kualitas dan kuantitas kosa kata. Bahkan lebih lanjut dikatakan
bahwa penguasaan kosa kata seseorang akan menunjukkan kemampuan
berkomunikasi orang tersebut. Sementara di sisi lain, penguasaan
bahasa lisan maupun tertlis tidak akan pernah dapat dilakukan tanpa
adanya penguasaan struktur bahasa. Bab ini akan menguraikan tes
kompetensi kebahasaan

B. TES KEMAMPUAN BERBAHASA


Kegiatan berbahasa merupakan performance yang menunjukkan
kompetensi berbahasa seseorang. Kemampuan berbahasa ini dibedakan
menjadi kemampuan memahami dan kemampuan menggunakan.
Kemampuan memahami terjadi ketika siswa pembelajar melakukan
decoding terhadap ujaran yang didengar dan atau tulisan yang dibaca.
Sementara kemampuan menggunakan merupakan proses encoding yang
akan muncul dalam keterampilan berbicara dan keterampilan menulis.

1. Kemampuan Reseptif.
Salah satu kemampuan seseorang dalam tindakan bahasa bersifat
reseptif. Reseptif maksudnya menyerap, atau pasif. Misalnya dalam mata
kuliah Compréhension Orale dan Compréhension écrite. Secara umum
kegiatan menyimak, mendengarkan dan membaca masuk dalam
kelompok ini.
Menyimak merupakan usaha memahami informasi yang
disampaikan dalam bentuk ujaran. Oleh karena itu siswa membutuhkan
pengetahuan tentang sistem bunyi dan ejaan bahasa yang dipelajari. Tes
kemampuan reseptif menyimak menuntut siswa untuk dapat memahami
informasi lisan wacana sederhana tentang tema-tema tertentu, sesuai
niveau atau tingkat pembelajar/siswa.
Sedangkan membaca merupakan usaha memahami informasi yang
disampaikan dalam bentuk tulisan. Oleh sebab itu siswa bukan hanya
membutuhkan pengetahuan tentang ejaan, namun juga struktur dan kosa
kata. Tes kemampuan reseptif membaca menuntut siswa untuk dapat
memahami informasi tertulis wacana sederhana tentang tema-tema
tertentu, sesuai dengan tingkat an pembelajar.

33 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
2. Kemampuan Produktif
Kebalikan dari reseptif adalah produktif. Yaitu kemampuan
seseorang dalam menghasilkan tindak bahasa. Hasil di sini maksudnya
adalah hasil bicara, berpidato, monolog, dan menulis. Contoh dari
kemampuan ini misalnya terdapat dalam mata kuliah Expression Orale
dan Expression Ecrite.
Kegiatan berbicara (contoh lain: pidato, monolog) merupakan
kegiatan yang menghasilkan bahasa untuk mengkomunikasikan atau
menginformasikan ide dan pikiran si pembicara. Agar mempunyai
kemampuan berbicara yang prima, siswa bukan hanya membutuhkan
kemampaun tentang sistem bunyi, namun juga unsur bahasa dan ide/
pikiran. Unsur bahasa terdiri dari struktur dan kosa kata. Penyampaian ide
membutuhkan ketepatan pemilihan diksi, alur penyampaian, kejelasan ide
yang semuanya dapat dijadikan komponen untuk menyusun rambu-rambu
tes kemampuan produktif berbicara.
Kegiatan menulis merupakan kegiatan yang menghasilkan bahasa
dan tulisan. Ide dan pikiran dari siswa (atau dalam hal ini disebut penulis)
ditulis dalam rangkaian kata menjadi kalimat. Kalimat demi kalimat
disusun dalam suatu paragraf. Keterampilan menulis membutuhkan
kejelian dalam mengungkapkan ide pokok dalam 1 (satu) paragraf dan
kalimat-kalimat yang mendukung ide tersebut. Tes kemampuan produktif
menulis menuntut siswa agar mampu memberikan kejelasan ide dan
pikiran dengan menggunakan bahasa yang tepat dalam menulis.

C. TES KOMPETENSI KEBAHASAAN


Tes kompetensi kebahasaan secara umum dikelompokkan ke
dalam tes struktur dan kosakata. Hal ini disebabkan karena kedua aspek
bahasa tersebut mendominasi dalam tindak bahasa. Seorang siswa
dikatakan mempunyai kompetensi kebahasaan jika siswa tersebut mampu
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks
situasinya.
Walaupun saat ini tes lebih sering muncul dalam bentuk integratif,
yang disesuaikan dengan pendekatan pengajaran bahasa yang dipakai,
namun demikian masih dibutuhkan tes kompetensi secara diskrit.
Mengingat bahasa Prancis diajarkan di tingkat SMA/ SMK/ MA maka
hendaknya penyusunan butir tes juga memperhitungkan tingkat aspek
kognitif siswa (C1, C2, C3, C4, C5, dan C6). Materi tes juga disesuaikan
dengan niveau DELF A1.

1. Tes Struktur
Contoh tes struktur dapat dilihat sebagai berikut:
Choisissez la bonne réponse
-- ???? --
1) Nous étudiants. ( suis, sommes, sont)
--????--
2) Nous allons manger croissants? (un, une, des)

34 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
--????--
3) Tu as un stylo. C'est stylo.(ton, ta, tes)
-- ???? --
4) Ils le musée. (visite, visites, visitent)
-- ????--
5) Georges et Yves alcool. (bois, buvez, bouvent)

2. Tes Kosakata
Contoh tes kosakata dapat dilihat sebagai berikut:
Complétez ces dialogues avec les mots proposés.

train - métro - avion - gare - taxi - aéroport

1. - Pour aller à la de Lyon, s'il vous plaît ?


- Prenez le , c'est à 2 stations.

2. - Pour aller à l' de Roissy ?


- Prenez le , c'est plus rapide !

3. - Le de 8 heures pour Nantes part de Montparnasse ?


-Oui, c'est bien ça.

4. - Tu as ton à quelle heure ?


- A 9 heures, d'Orly Sud.

D. JENIS TES BAHASA


1. Tes Diskrit
Tes diskrtit merupakan tes yang hanya menekankan pada 1 (satu)
aspek kebahasaan atau 1 (satu) keterampilan berbahasa pada materi
soalnya (Oller, 1979:37).
Perhatikan contoh soal Phonetiques Française berikut ini.
Ecoutez les paires de mots suivantes. Dites si elle sont identiques (=)
ou différentes (≠)
1) bain, pain (=), (≠)
2) Elaine, Hélène (=), (≠)
3) eau, ou (=), (≠)
4) etc
Silakan dianalisis, apa yang mau diukur dengan tes seperti di atas? Aspek
bahasa apa saja yang bisa diukur? Atau kemampuan berbahasa yang
mana, yang bisa diukur dengan tes tersebut?
Ya. Tes di atas ingin mengetahui kemampuan siswa dalam menyimak
fonem bahasa Prancis dengan cara membedakan 2 (dua) fonem bahasa
Prancis. Tidak ada tes struktur, kosakata, atau kemampuan berbicara

35 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
dalam soal di atas. Ini yang dinamakan tes diskrit. Jadi tes yang hanya
menekankan 1(satu) aspek kebahasaan atau 1 (satu) keterampilan
berbahasa saja.
Munculnya teori tes diskrit ini sejalan dengan teori strukturalisme
(dalam bidang linguistic) dan teori behaviorisme (dalam bidang psikologi)
(Brown, 1980:217). Aliran ini beranggapan bahwa keseluruhan bahasa itu
dapat dipahami dan dikuasai dengan cara memecah asek dan
kemampaun berbahasa itu menjadi bagian-bagin terpisah(baca= dipisah-
pisahkan). Misalnya bidang fonetik terlihat pada soal di atas tadi yang
hanya mengukur kemampuan menyimak dengan cara membedakan 2
(dua) buah fonem, atau bidang struktur, kosakata, kemampuan membaca,
kemampuan menulis saja, dll. Sementara fungsi bahasa secara
keseluruhan kurang diperhatikan (jika dibandingkan dengan tes integratif
yang akan dibahas di bagian lain dalam bab ini).
Pemahaman bahwa kemampuan dan keterampilan kebahasaan
seseorang tidak dapat dipisah-pisahkan memunculkan ketidaksetujuan/
keraguan akan keberhasilan siswa dalam belajar bahasa. Tes diskrit telah
dianggap gagal untuk mengukur kemampuan kebahasaan siswa.
Munculnya pendekatan baru dalam pengajaran bahasa, yaitu pendekatan
komunikatif melahirkan teori tes yang menolak tes diskrit ini.

2. Tes Integratif
Tes integrative muncul sejalan dengan munculnya pendekatan
komunikatif dalam pengajaran bahasa. Telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya bahwa tes integrative ini bertolak belakang dengan tes diskrit.
Tes integrative merupakan tes yang mengukur beberapa aspek
kebahasaan atau beberapa keterampilan berbahasa secara integral
(menjadi satu/ bersama-sama) (Oller, 1979:37). Minimal ada 2 (dua)
aspek kebahasaan atau 2 (dua) keterampilan berbahasa yang dapat
diukur. Bandingkan dengan tes diskrit yang hanya mengukur 1 (satu)
aspek kebahasaan atau 1 (satu) keterampilan berbahasa!

Perhatikan contoh soal berikut ini.


Ecrivez une carte postale pendant les vacances!

Dari soal tersebut di atas marilah kita analisis bersama-sama.


1. Perintah “Ecrivez” berarti siswa harus mengerjakan soal dengan cara
menulis, yaitu menulis kartu pos. Apakah hanya pengetahuan menulis
saja, yang diperlukan? Tentu saja tidak. Siswa harus berpikir “Apa saja
yang harus saya ketahui untuk bisa menulis kartu pos?”. Pengetahuan
lain yang diperlukan adalah sebagai berikut.
2. Bagaimana tipografi penulisan kartu pos? Bagaimana susunannya?
Apakah sama dengan menulis surat resmi?
3. Pilihan kata yang dipergunakan dalam menulis. Mengingat bahwa tes
diberikan dalam bahasa Prancis, maka siswa harus mengetahui tata
cara menulis kartu pos dalam bahasa Prancis. Misalnya, bagaimana

36 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
menulis tanggal, bagaimana menulis sapaannya, bagaimana salam
pembuka dan penutupnya, dll.
4. Pengalaman apa saja yang akan diceritakan selama liburan ke dalam
kartu pos? Jika menulis cerita tentang liburan, maka sudah pasti
liburan itu sudah dilaksanakan atau sedang dan masih dilaksanakan.
Hal ini akan berpengaruh pada pemilihan temps atau kala waktu, yang
dalam hal ini berbeda cara pengungkapannya dengan cara dalam
bahasa Indonesia.

Dari hanya 1 (satu) soal untuk menulis kartu pos yang lebarnya kira-kira
seperempat kertas folio itu sudah diperlukan lebih dari 2 (dua) aspek
kebahasaan.

3. Tes Pragmatik
Tes pragmatik muncul seiring dengan pendekatan komunikatif
dalam pengajaran bahasa. Sebagaimana diketahui, pendekatan
komunikatif dalam pengajaran bahasa popular pada tahun 1970-1980.
Pendekatan ini menekankan pada pembentukan kompetensi bahasa dan
kemampuan berbahasa dalam fungsi komunikasi yang wajar (seperti
dalam situasi pemakaian bahasa yang sesungguhnya). Dalam konteks
berkomunikasi akan terdapat hubungan sistematis dan timbal balik antara
konteks linguistik (konteks yang ada dalam bahasa) dan konteks
ekstralinguistik (konteks yang ada di luar bahasa).
Tes pragmatik tidak menyajikan tes struktur atau kosakata ataupun
unsur-unsur kebahasaan lainnya secara diskrit. Tes pragmatik lebih
menekankan pada kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan
bahasa dalam situasi tertentu. Mungkin akan terjadi kesalahan atau
kesilapan dalam berbahasa/ berkomunikasi, namun senyampang
kesalahan tersebut tidak mengganggu kelancaran berkomunikasi, maka
hal tersebut (baca= kesalahan/ kesilapan) tidak akan dianggap sebagai
masalah.Tes pragmatik sudah tentu bersifat integrative. Namun tes
integrative belum tentu pragmatik.

Contoh tes yang bersifat Pragmatik


a) Dikte
Dikte tidak hanya menyangkut konteks linguistic saja, namun juga
melibatkan konteks ekstralinguistik. Tes dengan dikte ini menuntut siswa
untuk mampu memahami yang didengar, kemudian menuliskannya dalam
waktu tertentu/ terbatas(Oller, 1979). Dikte dapat didefinisikan sebagai tes
yang diberikan dengan cara dibacakan atau dibunyikan secara keras-
keras dan siswa harus menuliskannya (merupakan hasil penyimakan).
Prosedur pelaksanaan dikte dapat dilakukan seperti dalam pemberian tes
dengan teknik cloze-test (lihat Bab II). Bedanya adalah bahwa dikte
disampaikan secara lisan. Misalnya guru membacakan suatu teks namun
ada beberapa bagian (kata atau kelompok kata) dalam teks tersebut yang
dihilangkan/ dikosongkan. Siswa kemudian diminta untuk menulis/

37 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
melengkapi ruang yang kososng dengan kata/ kelompok kata yang sesuai
tengan konteks sehingga teks tersebut menjadi sempurna.
Dikte juga dapat dilaksanakan dengan member semacam “gangguan”
suara. Hal ini dilakukan agar menyerupai peristiwa berbahasa
sesungguhnya yang kadang-kadang bisa jelas, namun juga bisa
terganggu oleh suara lain di sekitarnya. Jika hasil dikte tersebut ditulis,
maka disebut dengan dikte-komposisi atau dictation-composition atau
dicto-compo.Sedangkan yang tidak ditulis, maksudnya disampaikan
secara lisan disebut produksi lisan imitasi.

b) Berbicara
Tes kemampuan berbicara bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa
dalam mengekspresikan ide dan gagasannya secara lisan. Tes ini dapat
dilakukan dengan cara menyuruh siswa membangun suatu cerita
berdasarkan gambar (dan atau gambar berseri) yang diperlihatlan oleh
guru. Teknik lain yang dapat dipakai untuk mengadakan tes berbicara
adalah dengan melakukan wawancara, baik wawancara terstruktur
maupun takterstruktur. Penyusunan tes tetap harus mempertimbangkan
tingkat pembelajar/ siswa. 3 (tiga) macam tes berikut ini termasuk dalam
tes berbicara (bercerita, pidato, diskusi)

c) Bercerita
Bercerita juga merupakan tes kemampuan berbicara. Tes dengan teknik
bercerita ini dapat dilakukan dengan memberikam rangsangan berupa
gambar (dan atau gambar berseri) seperti pada tes kemampuan
berbicara. Namun dapat juga dengan menggunakan teknik lain, misalnya
menceritakan aktivitas sehari-hari, olah raga kegemaran, liburan,
pengalaman memasak, naik gunung, dan lain-lain. Untuk siswa
SMA/SMA/MA dapat juga memasukkan tema pengalam lomba cerdas-
cermat, lomba pidato, dll. Sementara untuk tingkat perguruan tinggi, teknik
bercerita dapat dijadikan juga sebagai tes. Misalnya dengan tes bercerita
tentang 1 (satu) bab atau 1 (satu) buku yang harus dibaca.

d) Berpidato
Tes ini hamper sama dengan tes bercerita. Dalam praktinya tes berpidato
ini dapat diberikan dengan cara simulasi. Maksudnya, seorang siswa
bertindak sebagai rektor UNY untuk menyampaikan pidato dies natalis,
atau sebagai presiden RI yang berpidato menyambut kedatangan
presiden AS.
Adapaun model penilaian tes berpidato (dan juga dapat dipakai sebagai
pedoman penilaian bercerita) dapat dilihat di bawah ini (Jakobovits &
Gordon).

38 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Model Penilaian TUgas Berpidato (dan bercerita)
No. Aspek yang dinilai Tingkatan Skala
1. Keakuratan informasi (sangat buruk---akurat 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
sepenuhnya)
2. Hubungan antarinformasi (sangat sedikit--- 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
berhubungan sepenuhnya)
3. Ketepatan struktur dan kosakata (tidak 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
tepat---tepat sekali)
4. Kelancaran (terbata-bata---lancar sekali) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5. Kewajaran urutan wacana (tidak normal--- 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
normal)
6. Gaya pengucapan (kaku---wajar) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah skor:…..

e) Diskusi
Diskusi adalah kemampuan berbicara sekaligus beradu argumentasi.Tes
dalam diskusi ini tidak hanya bertumpu pada peserta yang selalu aktif
berpendapat atau menolak tanggapan peserta diskusi lain, namun
penilaian dalam diskusi ditekankan pada isi pembicaraan. Jadi kualitas
materi yang dibicarakan dan bukan kuantitas berbicara dalam diskusi.

f) Memahami Parafrase
Tes ini dilakukan dengan cara memberikan wacana singkat kepada siswa,
baik secara lisan atau tertulis, kemudian siswa diminta untuk menentukan
1 (satu) jawaban benar.
Misalnya sebagai berikut.
Dari rekaman audio terdengar.
” Jean c’est Marc. Je vais aller au cinema ce soir avec Sophie. On part à
19h30. Si tu veux venir avec nous, appelle-moi au 06 57 22 15 37. A +”

Soal dapat disajikan sebagai berikut.


Marc propose à Jean a. d’aller au cinema (jawaban tepat)
b. d’aller manger au restaurant
c. d’aller chez Sophie

g) Menjawab Pertanyaan
Bagi yang pernah mengikuti tes TOEFL, pasti sudah pernah mengenal
tipe tes ini. Tes ini berupa kemampuan menyimak (comprehension orale).
Jadi siswa diperdengarkan dengan audio, kemudian diminta memberikan
jawaban yang tepat.
Misalnya sebagai berikut.
Rangsangan audio yang diperdengarkan
A: Bonjour mademoiselle, qu’est-ce que vous desirez?
B: Quel est le plat du jour, S’il vous plait?
A: Du coco vin
B: Parfait, alors un plat du jour.
39 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Soal dapat disajikan sebagai berikut.
Où sont-ils?
a. Dans un bar b. Dans un restaurant
c. Dans un hotel d. Dans un magasin

h) Teknik Cloze
Cloze atau close ini dimksudkan sebagai proses “menutup” sesuatu yang
belum lengkap. Tes ini muncul dari teori psikologi Gestal. Teknik
penyusunan tes ini adalah denganmemberikan wacana, namun dalam
wacana tersebut ada bagian-bagian yang sengaja dikosongkan. Wacana
bisa diberikan secara lisan atau tertulis, pada umumnya diberikan secara
tertulis. Penggosongan itupun bisa dilakukan dengan menghilangkan kata
ke-3, atau ke-5, atau ke-7. Singkatnya menghilangkan kata ke-n.
Pemilihan wacana harus mendapatkan perhatian yang cermat, jangan
sampai tes ini hanya berakhir pada hapalan, atau terjadi pengulangan
jawaban berkali-kali.
Contoh Cloze test dapat dilihat di bawah ini. Penyusunan tes dilakukan
dengan cara menghilangkan kata ke-5.

Fill in the blanks.

This is a program to help you increase your reading speed as well as your
reading comprehension. The reading passages are (1) in order
according to (2) length. Each short program (3) 15
passages and the 100 (4) , for example, includes the
(5) from 100 to 149 (6) . You time yourself and
(7) to read as fast (8) possible, while understanding
the (9) . You take a quiz (10) you finish reading. Keep
(11) of your results, and (12) your progress. You will
(13) a gradual improvement in (14) reading. Enjoy
reading in English.

4. Tes Komunikatif
Pendekatan komunikatif muncul dalam kurikulum 1994.
Konsekuensi dari pendekatan komunikatif tersebut adalah munculnya
penilaian yang harus komunikatif pula dalam pengajaran bahasa.
Maksudnya penilaian terhadap kemampuan berbahasa siswa tidak
dilakukan secara diskrit (terpisah-pisah) namun meliputi 4 (empat)
keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan
menulis.Kemampuan menyimak dan membaca termasuk ke dalam
pemahaman yang bersifat reseptif. Kemampuan berbicara dan menulis
merupakan kemampuan produksi atau bersifat produktif.

40 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Tes prgamatik sebenarnya telah bersifat komunikatif (Oller &
Valette), namun dalam perkembangannnya masih perlu mendapatakan
penekanan pada adanya konteks. Jadi tes komunikatif selain harus
memuat kompetensi gramatikal, sosiolinguistik juga harus kontekstual.
Dengan demikian tes komunikatif akan berupa tes kebahasaan,
pemahaman, dan penggunaan bahasa. Keempat aspek kebahasaan yang
diteskan harus kontekstual, artinya sesuai dengan penggunaan bahasa
yang sesungguhnya. Bagaimana contoh-contoh tes komunikatif?
Perhatikan beberapa contoh di bawah ini.
a) Mencermati siaran langsung kuliah umum Presiden AS Obama di UI
melalui pesawat televisi. Selanjutnya siswa membuat resume tentang
pidato Obama tersebut. Resume dapat disampaikan secara lisan,
dengan tampil secara individu di depan kelas atau dengan cara tertulis.
b) Mengamati seorang guide yang sedang melayani tamu di Borobudur.
Kemudian siswa tersebut mempraktikkan diri sebagai guide.

Dari 2 (dua) contoh soal tersebut akan terlihat konteks yang berbeda
antara pidato dan guide. Ragam bahasa yang dipakai juga akan
memperlihatkan perbedaan. Silakan diamati dan dipraktikkan.

D. TES KESASTRAAN

Pengajaran sastra di tingkat pendidikan dasar, menengah dan atas


di Indonesia merupakan bagian dari pengajaran bahasa Indonesia.
Pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia maka sekaligus juga
mengajar tentang sastra Indonesia. Di tingkat pendidikan tinggi, sastra
merupakan mata pelajaran/ mata kuliah tersendiri. Penilaian terhadap
pengetahuan sastra melahirkan tes kesastraan.
Penilaian dalam bidang sastra bukan semata-mata
mengungkapkan pengetahuan sastra pembelajar/ siswa (atau dalam hal
ini mahasiswa) namun juga dapat berfungsi untuk mengungkapkan
kemampuan apresiasi sastra. Hal ini selanjutnya akan data menunjang
tercapainya tujuan pengajaran apresiasi sastra (Nurgiantoro, 2001).
Apresiasi mendapat penekanan agar mahasiswa mampu membaca,
memahami, memberikan reaksi (respon), menganalisis, member kritik
terhadap karya sastra. Jadi tes satra hendaknya bukan hanya berisi
hapalan nama sastrawan, karyanya, periodisasinya. Jika kedua hal ini
dipadukan, maka pengajaran dan penilaian sastra akan dapat dikatakan
berhasil.

1. Taksonomi Tes Kesastraan


Berbicara mengenai taksonomi berarti berbicara tentang teori Bloom.
Bloom membedakan keluaran hasil belajar ke dalam tiga ranah, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Ranah kognitif masih dibagi lagi menjadi beberapa tingkat kognisi. Ke-6
(enam) tingkatan tersebut, yaitu sebagai berikut:

41 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
C1 = tingkat ingatan
Quel est l'auteur de Madame Bovary ?
C2 = tingkat pemahaman
Quel est le theme principal de l’existensialism?
C3 = tingkat penerapan
Paraphrasez la poesie ci-dessous
Chanson d'automne
Les sanglots longs
Des violons
De l'automne
Blessent mon coeur
D'une langueur
Monotone.
Tout suffocant
Et blême, quand
Sonne l'heure,
Je me souviens
Des jours anciens
Et je pleure;
Et je m'en vais
Au vent mauvais
Qui m'emporte
Deçà, delà
Pareil à la
Feuille morte.

Par: Paul Verlaine (1844-1896)

C4 = tingkat analisis
Analysez le roman Miserables par Victor Hugo.
C5 = tingkat sintesis
C6 = tingkat evaluasi.

2. Tes Kesastraan Kategori Moody


Moody membedakan tes kesastraan menjadi 4 (empat) bagian
tingkat. Keempat tingkat tersebut adalah sebagai berikut.
a) Informasi
Pertanyaan dalam tingkat informasi ini dapat dikembangkan dari Qui?,
Comment?, Ou?, Pourquoi?, etc.
b) Konsep
Tes yang dapat dikembangkan pada tingkat ini misalnya “Unsur-unsur
apa saja yang membedakan antara karya fiksi dan nonfiksi.
Berdasarkan jawaban anda, berikan contoh karya fiksi dan nonfiksi
tersebut.”
Pertanyaan tersebut di atas selain mengharuskan mahasiswa
memahami tentang teori fiksi dan nonfiksi, mahasiswa juga harus dapat

42 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
menerapkan teori yang dipelajarinya untuk membedakan karya fiksi dan
nonfiksi.
c) Persepktif
Pengembangan dari pertanyaan pada tingkat konsep, namun diikuti
dengan penilaian/ justifikasi diri sendiri. Misalnya, “Setelah
menyaksikan teater Moliere, berikan pendapat Anda.”
d) Apresiasi
Pada tingkat apresiasi ini unsur linguistic dalam sastra dapat
dikembangkan sebagai tes. Reseptif pembaca sastra juga diperlukan
dalam tes jenis ini.

E. TUGAS
1. Tugas Kelompok
Lakukan wawancara terhadap guru-guru bahasa Prancis SMA/ SMK/
MA, tentang bagaimana mereka memberikan tes/tugas untuk
siswanya. Selanjutnya kategorikan tes/tugas tersebut berdasarkan
jenis-jenis tes yang telah dibahas dalam bab ini.
2. Tugas Individu
Mencari soal UAS bahasa Prancis di SMA/ SMK/ MA. Analisis jenis-
jenis tes yang muncul, kelompokkan ke dalam tingkat Kognisi (C1, C2,
C3, dan seterusnya sampai C6 jika ada).

H. REFERENSI
Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan
Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE
Arikunto S. (1993). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
http://www.enpc.fr
http://phonetique.free.fr
http://www.edu365.cat
http://th.alliance_francaise.or.th
http://kkitao.e-leraning-server.com
http://www.feelingsurf.net

43 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 7
ANALISIS BUTIR SOAL

A. PENDAHULUAN
Secara keseluruhan sebuah tes mungkin tidak terpercaya, akan
tetapi tentunya tidak semua butir soal yang ada perlu direvisi. Sebab,
tentunya terdapat sejumlah butir soal yang telah memenuhi criteria
kelayakan dan karenanya dapat dipertahankan. Untuk memilih butir-butir
soal yang layak, dan sebaliknya perlu direvisi, dapat ditentukan
berdasarkan kerja analisis butir soal. Analisis butir soal akan memberikan
jawab terhadap maksud itu secara dapat dipertanggungjawabkan karena
ia sanggup memberikan informasi secara rinci tentang “keadaan” masing-
masing butir soal, yaitu berdasarkan tingkat kesulitan (item difficulty) dan
daya pembeda (item discrimination). Sebuah butir soal dinyatakan layak
jika indeks tingkat kesulitan dan daya pembedanya memenuhi standar
yang ditentukan.

B. LANGKAH-LANGKAH ANALISIS BUTIR SOAL


Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis butir soal
adalah sebagai berikut.
1. Mengurutkan skor pada lembar jawaban siswa dari skor yang tertinggi
berturut-turut sampai yang yang terbawah.
2. mengambil sebanyak 27,5% dari jumlah siswa dari skor yang tertinggi
dan 27,5% dari skor yang terendah. Kelompok yang pertama disebut
kelompok tinggi (kelompok siswa yang skornya tinggi), sedangkan
yang kedua disebut kelompok rendah, dan sisanya sebagai kelompok
tengah. Pembagian menjadi ketiga kelompok tersebut terutama
disarankan jika jumlah siswa cukup besar, sebaliknya, jika hanya
sedikit, cukup dibedakan menjadi kelompok tinggi dan kelompok
rendah saja.
3. menganalisis jawaban yang benar atau salah per butir soal per siswa.
Analisis ini hanya dilakukan terhadap jawaban siswa kelompok tinggi
dan kolmpok rendah, sedangkan kelompok tengah ditinggaikan.
Berdaraskan analisis atau identifikasi ini akan dapat dihitung indeks
tingkat kesulitan dan daya beda masing-masing butir soal.

44 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Tabel
Analisis Butir Soal Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah untuk
Persiapan Penghitungan Indeks Tingkat Kesulitan dan Daya Beda
Kelompok Tinggi
Nomor Nomor Butir Soal Jumlah
urut Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 ... ... 40
subjek
1 1 1 1 0 1 1 1 1 ... ... 1 36
2 1 1 0 1 1 1 1 1 ... ... 1 34
3 1 1 1 0 0 1 1 1 ... ... 1 30
4 1 0 1 1 0 1 1 0 ... ... 1 30
5 0 1 1 1 1 0 1 1 ... ... 0 28
6 1 1 1 0 1 0 1 0 ... ... 1 28
Jumlah 5 5 5 3 4 4 6 4 ... ... 5

Kelompok Rendah
Nomor Nomor Butir Soal Jumlah
urut Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 ... ... 40
subjek
1 1 1 0 1 0 0 1 1 ... ... 1 20
2 0 0 1 1 1 0 1 1 ... ... 0 19
3 0 1 1 0 0 1 0 1 ... ... 1 19
4 1 1 1 0 0 1 1 0 ... ... 0 18
5 0 1 0 0 1 1 1 0 ... ... 0 16
6 0 0 1 1 1 0 1 1 ... ... 1 15
Jumlah 2 4 3 3 3 3 5 4 ... ... 3

C. TINGKAT KESULITAN BUTIR SOAL


Tingkat kesulitan (item difficulty) adalah pernyataan tentang
seberapa mudah atau sulit butir soal bagi siswa yang dikenai pengukuran
(Oller dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001: 138). Butir soal yang baik adalah
yang tingkat kesulitannya cukupan, tidak terlalu mudah atau terlalu sulit.
Butir soal yang terlalu mudah atau sulit sama tidak baiknya karena
keduanya tidak dapat membedakan antara siswa kelompok tinggi dan
kelompok rendah. Butir soal yang demikian tidak memberikan informasi
apa-apa tentang perbedaan prestasi tiap individu (Noll dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2001: 138).
Tingkat kesulitan suatu butir soal dinyatakan dengan sebuah
indeks yang berkisar antara 0,0 – 1,0. Indeks 0,0 berarti soal tersebut
sangat sulit karena tak seorang siswa pun yang dapat menjawabnya.
Sebaliknya, indeks 1,0 berarti soal tersebut sangat muda karena semua
siswa yang dapat menjawab dengan betul. Oller dalam Burhan
Nurgiyantoro (2001: 138) mengemukakan bahwa suatu butir soal
dinyatakan layak jika indeks tingkat kesulitannya berkisar antara 0,15 –

45 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
0,85. Indeks yang di luar itu berarti soal itu terlalu mudah atau terlalu sulit
sehingga ia perlu diganti atau direvisi.
Untuk menghitung indeks tingkat kesulitan digunakan rumus:

IF = FH + FL
N
Keterangan:
IF = (Item Facility) indeks tingkat kesulitan
FH = (Frequency High) jumlah jawaban betul kelompok tinggi
FL = (Frequency Low) jumlah jawaban betul kelompok rendah
N = Jumlah siswa kedua kelompok

Berdasarkan data pada tabel … kita dapat menghitung indeks


tingkat kesulitan tiap butir soal yang ada. Misalnya butir nomor 1.

Butir nomor 1 = 5 + 2 = 0,58


12
Hitung pula indeks tingkat kesulitan tiap butir soal yang lain!

D. DAYA PEMBEDA BUTIR SOAL


Daya pembeda (item discrimination) maksudnya adalah seberapa
besar suatu butir soal dapat membedakan antara siswa kelompok tinggi
dan siswa kelompok rendah. Butir soal tersebut adalah dapat
membedakan kedua kelompok secara layak. Hal tersebut berdasarkan
logika bahwa siswa dari kelompok tinggi dapat menjawab dengan betul
yang lebih banyak daripada kelompok rendah (Oller, 1979: 251;
Ebel,1979: 258).
Daya pembeda dihitung berdasarkan pembedaan jumlah jawaban
betul untuk tiap butir soal antara kelompok tinggi dan kelompok rendah.
Jika terjadi kelompok rendah menjawab betul lebih banyak daripada
kelompok tinggi, butir soal tersebut kurang baik karena menyalahi logika.
Lebih jauh, hal itu berarti bahwa butir soal tersebut tidak terpercaya
karena tidak memiliki konsistensi internal (internal consistency,
Olley,1979: 284).
Besar kecilnya daya pembeda suatu butir soal dinyatakan dengan
suatu indeks yang berkisar antara -1,00 sampai dengan 1,00. Indeks yang
semakin besar atau mendekati 1,00, butir soal yang bersangkutan
semakin baik sebab semakin nyata perbedaan antara kelompok rendah
dan kelompok tinggi. Indeks negatif berarti siswa kelompok rendah justru
menjawab dengan betul lebih banyak daripada kelompok tinggi.
Untuk mencari indeks daya beda suatu butir soal dilakukan dengan
cara sebagai berikut: jumlah jawaban betul kelompok tinggi dikurangi
jumlah jawaban betul kelompok rendah kemudia dibagi dengan jumlah
subjek kelompok tinggi atau kelompok rendah (27,5 persen). Jika ditulis

46 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
dengan rumus indeks daya beda (IDB, atau ID) tersebut adalah sebagai
berikut.

ID =

ID = (Item discrimination) indeks daya pembeda yang dicari


FH = Jumlah jawaban betul kelompok tinggi
FL = Jumlah jawaban betul kelompok rendah
n = Jumlah subjek kelompok tinggi atau rendah, atau 27,5 persen
subjek.

Berdasarkan data-data yang ada pada Tabel 4.8 di atas kita dapat
menghitung indeks daya pembeda tiap butir soal, misalnya dicontohkan di
bawah ini.
- Butir nomor 1 = = 0,50

- Butir nomor 2 = = 0,17

- Butir nomor 3 = = 0,33

- Butir nomor 4 = = 0,00

- Butir nomor 7 = = 0,17

- Butir nomor 40= = 0,33

Butir soal yang baik indeks daya pembeda paling tidak harus
mencapai 0,25 atau bahkan 0,35 (Oller, 1979: 252). Butir soal yang indeks
daya pembedanya kurang dari 0,25 dianggap tidak layak, dan karenanya
perlu revisi atau diganti. Indeks yang kurang dari 0,25 berarti butir soal
yang bersangkutan kurang mampu membedakan antara kelompok tinggi
dan rendah. Indeks daya pembeda butir 2, 4, dan 7 di atas kurang 0,25,
sedang butir nomor 1, 3, dan 40 di atas 0,25.
Sebuah butir soal dinyatakan layak indeks tingkat kesulitan
maupun daay pembeda dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Indeks tingkat kesulitan mungkin telah memenuhi persyaratan, tetapi jika
indeks daya pembedanya rendah, di bawah 0,25, butir soal yang
bersangkutan tetap dinyatakan kurang layak. Demikian pula sebaliknya.
Hal ini biasanya cukup berat dipenuhi terutama yang berkaitan dengan
tuntutan indeks daya pembeda. Akan tetapi, jika butir-butir soal tes
memenuhi persyaratan tersebut, tingkat kepercayaan tes akan menjadi
lebih tinggi.
Penghitungan indeks tingkat dan indeks daya beda dapat dilakukan
dengan cara lain, yaitu dengan mempergunakan tabel analisis butir soal
(Fan, 1952. Item analysis table). Untuk maksud ini, terlebih dahulu kita
harus menghitung proporsi jawaban betul kelompok tinggi (PH) dan

47 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
proporsi jawaban betul kelompok rendah (PL). Proporsi diperoleh dengan:
jumlah jawaban betul (FH atau FL) dibagi jumlah subjek (n, 27,5 persen).
Setelah besarnya proporsi masing-masing kelompok ditemukan, langkah
selanjutnya adalah konsultasi tabel.
Berdasarkan angka-angka pada tabel 4.10 di atas, misalnya, kita
dapat menghitung besarnya proporsi yang dimaksud. Butir soal nomor 1:
PH = 5: 6 = 0,83 sedang PL = 2: 6 = 0,33 (n, 2,75 persen = 6); butir soal
nomor 2: PH = 5:6 = 0,83 sedang PL = 4: 6 = 0,67. Demikian seterusnya
dengan nomor-nomor butir soal yang lain.
Walau terjadi perbedaan kecil indeks yang dihasilkan,
penghitungan seperti di atas menghasilkan kesimpulan yang sama
dengan yang yang dilakukan seperti pada tabel 4.10 di atas. Artinya,
indeks-indeks butir soal yang dinyatakan layak atau tidak layak pada tabel
4.10 juga dinyatakan secara sama pada tabel 4.11.
Kerja analisis butir soal, selain dapat dilakukan dengan cara-cara
seperti di atas, juga dapat dilakukan dengan mempergunakan jasa
komputer. Misalnya, kita dapat mempergunakan program SPSS
(Statistical Package for Social Sciences), Lisrel, dan Iteman (Item
Analysis)

E. ANALISIS DISTRAKTOR
Penentuan revisi terhadap suatu butir soal tidak semata-mata
berdasarkan besarnya indeks tingkat kesulitan dan daya beda saja,
melainkan juga bagaimana sebaran distribusi frekuensi jawaban pada
alternatif yang disediakan. Dengan kata lain, kita perlu juga menganalisis
efektivitas butir-butir pengecoh (distractors) untuk tiap butir soal.
Dasar pemikiran analisis efektivitas distraktor tersebut tidak
berbeda halnya dengan daya beda suatu butir soal: harus ada perbedaan
frekuensi jawaban antara siswa kelompok tinggi dan kelompok rendah.
Untuk setiap alternatif jawaban yang betul, kelompok tinggi harus memilih
secara lebih banyak karena besarnya selisih jawaban betul inilah yang
akan menentukan besar kecilnya indeks daya beda. Sebaliknya, alternatif-
alternatif jawaban yang merupakan distraktor, kelompok rendah harus
memilih secara lebih banyak. Di samping itu, semua alternatif jawaban
yang disediakan harus ada siswa yang memilihnya. Namun, jika hanya
ada satu orang yang memilih distraktor, ia harus dari kelompok rendah.
Jika yang memilih distraktor itu dari kelompok tinggi dan rendah
dengan jumlah (misalnya sama-sama dua orang), distraktor tersebut
kiranya masih dapat dipandang layak. Jika terjadi penyimpangan,
terhadap hal-hal tersebut, suatu butir soal disarankan untuk direvisi.
Kegiatan butir soal tidak harus mencakup butir soal dengan seluruh
alternatif jawabannya, melainkan cukup pada distraktor yang mengalami
penyimpangan saja.
Untuk mengetahui efektivitas tiap alternatif jawaban, atau
sebaliknya, ada penyimpangan, perlu dilakukan kegiatan analisis

48 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
distraktor, karena dari kegiatan itulah akan diketahui sebaran (distribusi)
frekuensi jawaban. Langkah pertama yang dilakukan, yaitu setelah kita
memisahkan lembar-lembar jawaban untuk siswa kelompok tinggi dan
kelompok rendah, adalah meneliti pilihan terhadap alternatif-alternatif
jawaban semua butir soal untuk seluruh siswa.
Setelah kita mendapatkan data-data sebaran sebaran distribusi frekuensi
jawaban siswa baik dari kelompok tinggi maupun kelompok rendah seperti
di atas, kita langsung dapat melakukan analisis distraktor tiap butir soal
untuk mengetahui keefektivitasannya. Akan tetapi, kita juga dapat
mengalihkan ke dalam tabel lain yang sekaligus untuk menganalisis butir
soal untuk mencari indeks tingkat kesulitan dan daya beda. Berikut
dicontohkan model yang kedua, dengan pertimbangan bahwa model
tersebut dapat menghemat tempat. Di samping itu, dengan
mempergunakan model itu sekaligus dapat diketahui ketiga hal yang
dianalisis (indeks tingkat kesulitan, indeks daya beda, dan efektivitas
distraktor), sehingga hal-hal yang perlu direvisi dapat dilihat atau
ditentukan secara menyeluruh. Bentuk tabel yang demikian itulah yang
disarankan untuk dilakukan (dan ditampilkan) dalam kegiatan analisis butir
soal.

F. ANALISIS BUTIR SOAL ESAI

Untuk tes yang berbentuk esai, penghitungan indeks tingkat

kesulitan dan indeks daya beda dipergunakan rumus (Noll dkk,1979: 214-

215) berikut

Indeks Tingkat Kesulitan =

Indeks Daya Beda =

Catatan:

Sh = Jumlah skor betul kelompok tinggi


S1 = Jumlah skor betul kelompok rendah
Skormaks = Skor maksimal suatu butir soal
Skormaks = Skor minimal suatu butir soal
N = Jumlah subjek kelompok tinggi atau rendah (27,5 persen).

Langkah- langkah yang ditempuh sama dengan pada analisis butir


soal objektif di atas, tetapi pada langkah identifikasi jawaban benar dan
49 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
salah berbeda. Pada tes esai, jawaban benar biasanya berskala 1 sampai
dengan 5. Artinya, skor minimal (jawaban salah) 1 dan skor maksimal
(jawaban tepat) 5.
Berdasarkan data-data di atas berikut dicontohkan penghitungan
indeks tingkat kesulitan (IF) dan daya beda (ID).

- Butir nomor 1: IF =

= 0,48

ID = = 0,38

- Butir nomor 2: IF =

= 0,38

ID = = 0,42

- Butir nomor 3: IF =

= 0,46

ID = = 0,50

- Butir nomor 4: IF =

= 0,71

ID = = 0,17

Dengan mempergunakan kriteria kelayakan butir soal seperti di


atas, indeks tingkat kesulitan 0,15 sampai 0,85 dan indeks skor daya beda
minimal 0,25, dari keempat butir soal di atas hanya nomor 4 yang kurang
layak karena indeks daya bedanya yang terlalu kecil. Hasil analisis butir
soal untuk tes bentuk esai pun perlu disajikan dalam tabel.

50 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
G. TUGAS

Matrik jawaban siswa terhadap butir soal tertera seperti di bawah ini.
Carilah indeks kesukaran dan Daya Beda butir soal tersebut.

No Nomor Item Skor


Siswa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 yang
diperoleh
1 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 4
2 0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 5
3 0 1 0 1 1 1 0 1 1 1 7
4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
5 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
6 1 0 1 1 1 1 0 1 1 1 8
7 0 1 1 1 0 0 1 1 0 0 5
8 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 8

H. REFERENSI

Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:


Bumi Aksara.

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE.

51 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 8
UJI COBA INSTRUMEN

A. PENDAHULUAN
Bab ini akan membahas tentang uji coba penghitungan
ketepercayaan alat tes yang jabaran dan rumus-rumusnya terdapat dalam
BAB IV. Selain itu dalam bab ini juga akan membahas tentang analisis
distraktor dan revisi butir soal.

B. PENGHITUNGAN PENGUJIAN ALAT TES


1. Reliabilitas Spearman Brown
a. Pertama
Menganalisis lembar jawaban siswa. Dalam hal ini yang akan
dicontohkan adalah menghitung koefisien soal tes objektif yang
dikotomis. Artinya, jawaban benar skor 1 (satu) dan jawaban salah skor
0 (nol). Kemudian masukan tabulasi dengan menggunakan teknik belah
dua yang dalam penghitungan ini menggunakan nomor soal ganjil dan
nomor soal genap. Belah dua juga dapat dilakukan dengan pemilihan
nomor awal dan nomor akhir.
Tabel akan terlihat seperti beriku ini. (Nurgiyantoro, 2001)
Nomor Nomor Butir Soal Skor Skor Skor
Urut Total Ganjil Genap
Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. 1 1 0 1 0 1 1 1 1 1 8 3 5
2. 1 0 1 1 1 1 0 0 0 1 6 3 3
3. 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 7 3 4
4. 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 8 4 4
5. 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 5 2 3
6. 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 9 4 5
7. 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 6 3 3
8. 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 4 2 2
b. Kedua
Penghitungan langkah awal di atas dilanjutkan dengan penghitungan di
bawah ini. Skor ganjil sebagai X₁ dan skor genap sebagai X₂ .

Nomor X1 X1² X2 X2² X1X2


Urut
Subjek
1. 3 9 5 25 15
2. 3 9 3 9 9
3. 3 9 4 16 12
4. 4 16 4 16 16
5. 2 4 3 9 6
6. 4 16 5 15 20
7. 3 9 3 9 9
8. 2 4 2 4 4
n= 8 ∑ X1= 24 ∑ X1²=76 ∑ X2= 29 ∑ X2²=113 ∑ X1X2= 91

52 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
c. Ketiga
Mulai hitung koefisien nilai r dengan menggunakan rumus product
moment angka kasar, seperti terlihat di bawah ini.

r₁ .₂ = ( 8 x 91 ) - ( 24 x 29 )
__________________________
√ (8 x 76 - 24²) (8 x 113 - 29²)

= 718 - 686
_________
√ (32 x 63)

= 32
_____
√2.016

= 32
44,9

= 0,713

d. Keempat
Nilai koefisien 0,713 dalam penghitungan di langkah ketiga di atas baru
menghitung koefisien separuh soal. Untuk mengetahui reliabilitas
keseluruhan soal, maka dihitung dengan menggunakan rumus
Spearman Brown sebagai berikut.

2 x reliabilitas separuh tes


Reliabilitas seluruh tes= _____________________
1 + reliabilitas separuh tes

2 x 0,713
= ________
1 + 0,713

= 1,426
1,713

= 0,832

e. Kelima
Memberi makna nilai 0,832. Nilai koefisien 0,832 ini termasuk dalam
tingkat keterpercayaan yang tinggi. Biasanya nilai koefisien r adalah
1,0 (pada umumnya di bawah 1,00). Jadi nilai 0,832 itu mendekati

53 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
angka 1,00. Selain itu menentukan tingkat reliabilitas dapat
menggunakan tabel nilai-nilai korelasi.
2. Rumus KR20
a. Pertama
Sama seperti langkah pertama dalam menganalisis dengan rumus
Spearman Brown. Buat tabulasi jawaban benar (skor 1) dan jawaban
salah (skor 0) (Nurgiyantoro, 2001).

Nomor Nomor Butir Soal Jumlah


Urut Skor
Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. 1 1 0 0 1 0 1 1 1 0 6
2. 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 5
3. 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 8
4. 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4
5. 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 3
6. 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 9
7. 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 6
8. 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 7
Jumlah 6 6 3 3 5 5 6 3 6 5 48
P .75 .75 .375 .375 .625 .625 .75 .375 .75 .625
Q .25 .25 .625 .625 .375 .375 .25 .625 .25 .375
Pq .19 .19 .234 .234 .234 .234 .19 .234 .19 .234 2.164

b. Kedua
Dengan menggunakan Excel atau kalkulator, maka akan diketahui

n = 10

S = 1,87

X (rerata) = 6

∑pq = 2,164

c. Ketiga
Data-data pada langkah kedua masukkan ke dalam rumus KR20

n ∑pq
r = _____ ( 1 - ___ )
n-1 S²

10 2,164

54 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
= ____ ( 1 - _____ )
10-1 1,87²

10 2,164
= _____ ( 1 - ____ )
9 3,5

= 1,11 (1-0,619)

= 1,11 x 0,381

= 0,423

d. Memaknai
Besarnya koefisien korelasi antara 0 samapi dengan 1,0. Jika nilai
koefisien 1,00 maka soal/ instrument tes tersebut dinyatakan sempurna
atau sangat tepercaya. Berdasarkan penghitungan di atas nilai
koefisien 0,423 bahkan lebih kecil dari nilai yang dipersyaratkan bagi
tes buatan guru (minimal tes buatan guru mempunyai koefisien 0,60).

3. Rumus KR21
Dengan data yang sama dengan penghitungan memakai rumus KR20,
maka kita tinggal memasukkan data yang dibutuhkan oleh Rumus
KR21 sebagai berikut ini.

n X(n- X)
r = _________ ( 1 - _________ )
n–1 nS²

10 6 (10-6)
= ______ ( 1 - _________ )
10- 1 10 x 1,87²

10 6 (10-6)
= _____ ( 1 - ___________ )
10- 1 10 x 1,87²

10 6x4
= _____ ( 1 - ________ )
9 10 x 3,5

24
= 1,11 (1 - _______)
34,97

55 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
= 1,11 (1-0,686)

= 1,11 x 0,314
= 0,348

Perlu diingat bahwa Rumus KR20,KR21 ini menghendari sebaran


yang merata disisi kanan dan sisi kiri (akan terlihat jika dibuat dalam
kurva). Semakin besar varian (koefisien S-nya) maka instrumen tes akan
semakin bagus/ terpercaya.

C. ANALISIS DISTRAKTOR
Dalam mempersiapka alat tes yang sahih dan tepercaya diperlukan
langkah-langkah yang tidak sederhana. Pada bab-bab sebelumnya telah
dibahas tentang analisis butir soal (anabut), tingkat kesulitan dan daya
beda (DB). Revisi terhadap suatu butir soal juga ditentukan oleh efektifitas
distraktor.
Distraktor dari kata distract atau distraire yang artinya mengecoh. Jadi
dalam membuat soal (dalam hal ini pilihan ganda) tim penyusun juga
harus mempersiapkan pengecoh. Bagaimana menyusun soal pilihan
ganda dengan distraktor? Simaklah beberapa kiat berikut ini.
1. Dalam tes pilihan ganda yang disebut dengan distraktor adalah pilihan
jawaban yang bukan jawaban sebenarnya.
2. Distraktor harus mampu mengecoh, jadi harus ada yang memilih
jawaban tersebut, misalnya siswa yang mempunyai kompetensi rendah.
Perlu diingat bahwa di kelas terdapat kelompok atas dan kelompok
bawah.
3. Sebagai akibat dari ketentuan di atas, jika ada distraktor yang tidak
di[ilih, maka distraktor tersebut harus direvisi dengan alternatif jawaban
yang lain.
4. Distraktor memang harus dapat mengecoh atau “menipu” namun bukan
“menjebak” siswa dalam memilih jawaban yang tepat.
Nurgiyantoro (2001) memberikan contoh analisis butir soal sehingga kita
dapat mengetahui soal soal-soal ataupun jawaban yang harus direvisi.
Silakan simak tabel berikut ini.

56 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Analisis Butir Soal
Nomor KT KR PH PL P R Keterangan
Butir
Soal dan
Opsi
1. (a) 15 10 0,75 0,50 0,63 0,27 layak
b - 4 dengan
c 2 6 revisi
d 3*) -)
2. a 5 7 0,75 0,35 0,55 0,41 layak
b - 2
c - 4
(d) 15 7
3. a 5 8 0,50 0,35 0,42 0,16*) tak layak
(b) 10 7
c 3*) 2*)
d 2 3
4. a 6 7 0,40 0,40 0,40 0,00*) tak layak
(b) 8 8
c 4*) 3*)
d 2*) 2*)
dst…
Keterangan
KT = Kelompok Tinggi
KR = Keompok Rendah
() = Alternatif jawaban benar
*) = soal atau pilihan tidak layak, sehingga harus direvisi
PH = Proporsi jawaban benar kelompok tinggi
PL = Proporsi jawaban benar kelompok rendah
P = Indeks Tingkat Kesulitan
r = Daya Beda

D. REVISI BUTIR SOAL


Berdasarkan pada tabel di atas, marilah kita analisis soal-soal yang
memerlukan revisi dan alasan melakukan revisi.

1. Butir nomor 1 (satu);


- indeks tingkat kesulitan memenuhi syarat,
- daya beda memenuhi syarat,
- alternatif pilihan jawaban d harus direvisi karena tidak dapat
membedakan antara kelompok tinggi dan kelompok rendah.
Justru kelompok tinggi ada yang terkecoh (3 orang), sementara
kelompok rendah tidak ada yang terkecoh ( 0 orang).
Kesimpulannya soal sudah layak dengan syarat distraktor d dalam
alternatif jawaban direvisi.

2. Butir nomor 2 (dua)= soal sangat layak, tidak perlu mengalami revisi.

3. Butir nomor 3 (tiga)

57 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
- indeks tingkat kesulitan memenuhi syarat,
- syarat daya beda TIDAK terpenuhi, karena kurang atau tidak
dapat membedakan siswa kelompok tinggi dan siswa kelompok
rendah,
- distraktor pilihan jawaban c harus direvisi karena tidak dapat
membedakan antara kelompok tinggi dan kelompok rendah.
Justru kelompok atas ada yang terkecoh (3 orang), sementara
kelompok rendah yang terkecoh 2 orang.
Kesimpulannya soal HARUS direvisi atau DIGANTI

4. Butir nomor 4 (empat)


- indeks tingkat kesulitan memenuhi syarat,
- syarat daya beda TIDAK terpenuhi, karena kurang atau tidak
dapat membedakan siswa kelompok tinggi dan siswa kelompok
rendah,
- distraktor pilihan jawaban c dan d harus direvisi karena tidak
dapat membedakan antara kelompok tinggi dan kelompok
rendah. Justru lebih banyak kelompok tinggi yang terkecoh
daripada kelompok rendah.
Kesimpulannya soal HARUS direvisi atau DIGANTI.

D. TUGAS.

Tugas kelompok dengan jumlah anggota 3-5 orang. Silakan mengambil


sampel soal uji coba SNMPTN yang diselenggarakan oleh suatu lembaga
bimbingan belajar di Yogyakarta. Temukan subjek sebanyak 20 orang.
Buatlah analisis terhadap 20 butir soal. Susun hitungan dalam tabel,
kemudian maknai masing-masing nilai koefisien yang ada. Tentukan soal-
soal yang perlu direvisi atau diganti. Selamat mengerjakan!

E. REFERENSI

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE

jurnal ramainas (on line)

http://www.scribd.com

58 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 9
ANALISIS DATA HASIL TES

Setelah pelaksanaan tes selesai dilakukan, kegiatan guru berikutnya


adalah mengoreksi pekerjaan siswa, yang sebenarnya tidak lain dari
menentukan dan menghitung jumlah jawaban betul siswa. Kegiatan ini
disebut juga menghitung jumlah skor. Jadi, jumlah skor adalah jumlah
jawaban betul siswa terhadap butir-butir tes yang dikerjakan.
Skor yang diperoleh dengan cara di atas adalah skor mentah (raw
scores), dan masih harus diolah lebih lanjut untuk dijadikan nilai jadi.
Angka-angka skor tersebut belum dapat menafsirkan hasil tes,
menentukan kedudukan siswa di antara kelompoknya, menentukan
prestasi kelas, dan lain-lain, sebelum diolah dengan teknik-teknik tertentu.
Analisis data skor biasanya dilakukan dengan mempergunakan teknik
statistik walau dalam bentuk yang sederhana. Beberapa teknik yang
dimaksud berikut akan dibicarakan dengan contoh-contoh seperlunya.

A. Penyusunan Distribusi Frekuensi


Untuk memudahkan analisis selanjutnya, data-data skor tersebut
perlu disusun menurut teknik tertentu, misalnya dengan membuat
tabulasi dan kemudian menghitung frekuensi masing-masing skor.
Jika kita memilih cara itu, berarti kita akan menyusun distribusi
frekuensi yang akan memudahkan kita untuk mengerjakan
penghitungan selanjutnya, misalnya menghitung nilai rata-rata,
simpangan baku, tingkat presentil, dan sebagainya. Distribusi
frekuensi dibedakan menjadi dua macam yaitu dengan penjelasan
sebagai berikut.

1. Distribusi Tunggal
Dalam distribusi tunggal, tiap skor ditulis dan kemudian dihitung
atau ditali (Inggris: tally) sendiri-sendiri. Cara ini lebih
menguntungkan jika jarak sebaran skor yang ada relatif kecil
(maksimal 15). Jarak sebaran skor (range) dihitung dengan cara:
skor tertinggi dikurangi skor terendah ditambah satu. Misalnya: skor
tertinggi 60 dan terendah 25, jarak sebaran = (60-25) + 1 = 36.
Sebagai contoh distribusi tunggal, berikut disajikan skor hasil
bahasa dari 40 orang siswa dengan kemungkinan skor tertinggi 75.
Skor yang dimaksud sebagai berikut:

55 60 57 60 55 53 62 60 55 58
54 62 52 60 54 60 61 61 55 64
58 58 60 63 62 59 59 61 56 54
53 53 55 56 60 57 58 62 63 59

Dengan membandingkan skor siswa yang belum disusun


dengan yang telah dibuat menjadi distribusi frekuensi di atas, kita

59 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
dapat melihat perbedaannya. Data yang pertama belum dapat
memberikan gambaran secara jelas, misalnya tentang skor
tertinggi, terendah, jumlah frekuensi masing-masing skor, skor yang
tertinggi frekuensinya atau sebaliknya yang terendah. Padahal, hal-
hal tersebut akan dengan mudah ditemukan jika data-data itu telah
dibuat menjadi distribusi frekuensi seperti di atas. Hal itu akan
menjadi lebih sulit jika jumlah siswa relatif besar, apalagi jika skor-
skornya terdiri dari angka yang tidak bulat.

2. Distribusi Bergolong
Distribusi bergolong dibuat berdasarkan data-data yang telah
dikelompokkan ke dalam kelas-kelas interval tertentu. Tiap kelas
mempunyai angka batas kelas bawah dan batas kelas atas yang
keduanya berjarak interval tertentu. Oleh karena itu, sebelum
membuat distribusi frekuensi bergolong, terlebih dahulu kita perlu
menentukan besarnya kelas dan interval.
Penentuan Besarnya Kelas. Tidak ada ketentuan yang harus
diikuti secara mutlak untuk menentukan jumlah kelas. Sebagai
bahan pertimbangan perlu dikemukakan bahwa jumlah kelas
sebaiknya tidak terlalu kecil, atau sebaliknya terlalu besar. Kelas
yang terlalu kecil akan mengaburkan keterangan-keterangan yang
diperlukan. Sebaliknya, jumlah kelas yang terlampau besar, akan
tidak praktis dan tidak efisien. Sebagai ancar-ancar di sini
dikemukakan bahwa jumlah kelas berkisar antara 7 sampai dengan
15.
Penentuan Besarnya Interval. Meskipun tidak ada keharusan
mutlak yang harus diikuti, sebaiknya interval merupakan bilangan
ganjil agar kita dengan mudah dapat menentukan titik tengah skor-
skor pada tiap kelas. Setelah kita menentukan jumlah kelas,
besarnya interval dapat ditentukan berdasarkan rumus berikut.

Misalnya, data hasil tes menunjukkan skor tertinggi 69 dan skor


terendah 15, sedang kita telah menentukan besarnya kelas adalah
11 buah, besarnya interval dapat dihitung sebagai berikut.

=5

Secara lengkap hasil tes yang dimaksud adalah sebagai


berikut. Catat juga bahwa jumlah siswa adalah 50 orang dengan
kemungkinan nilai tertinggi 75. Perhatikan juga bahwa susunan
skor yang tak teratur belum dapat memberikan informasi-informasi
yang diperlukan sebelum disusun menjadi distribusi frekuensi.

60 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
48 56 44 60 34 35 45 64 53 37
58 63 28 52 69 34 38 44 49 60
23 25 18 54 46 15 22 38 33 57
24 40 44 38 47 44 42 34 30 32
26 36 42 58 65 40 29 58 40 28
Dengan jumlah kelas (11) dan besarnya interval (5) seperti yang
telah ditentukan di atas, kemudian kita susun distribusi bergolong
yang dimaksud.
Perlu ditambahkan bahwa besarnya interval yang umum
digunakan adalah 1, 2, 3, 5, 10, dan 20 (Guilford, 1956, lewat
Nurkancana, 1983: 144), dan Nurkancana sendiri kemudian
menambahkan angka 15.

B. Penghitungan Nilai Rata-Rata, Median, Modus, dan Simpangan


Baku
Nilai rata-rata dan simpangan baku adalah dua hal yang banyak
dimanfaatkan dalam menganalisis dan atau mengolah skor mentah
menjadi nilai jadi. Median dan modus juga sering ingin diketahui.
Untuk itu, berikut juga akan dijelaskan bagaimana cara
menghitungnya.
1. Nilai rata-rata (mean) disimbolkan dengan tanda: (banyak juga
yang mempergunakan M sebagai kependekan mean). Nilai rata-
rata dapat dihitung dengan berbagai cara tergantung keadaan
data: (a) data yang belum disusun, (b) data yang disusun dengan
distribusi tunggal, dan (c) data yang disusun dengan distribusi
bergolong.
(a) Menghitung Mean dari Data yang Belum Disusun
Mean dihitung dengan menjumlah semua skor dibagi dengan
jumlah subyek. Rumusnya adalah:

Sebagai contoh misalnya, kita menghitung mean skor hasil


yang belum disusun di atas. Kita ambil contoh yang pertama.

= 58,1

61 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
(b) Menghitung Mean dari Data Distribusi Tunggal
Pada hakikatnya, penghitungan mean data yang telah disusun
dalam distribusi tunggal sama dengan cara di atas, yaitu sama-
sama menjumlah seluruh skor kemudian dibagi jumlah subyek.
Rumus yang digunakan adalah:

Sebagai contoh kita ambil data dalam table 10.1 di atas. Dalam
penghitungan table 103 berikut sekaligus akan dihitung X2 dan
ΣX2 sebagai persiapan menghitung simpangan baku.

(c) Menghitung Mean dari Data Distribusi Bergolong


Penghitungan ini agak berbeda dengan kedua cara
sebelumnya. Dalam hal ini kita perlu lebih dulu menentukan
adanya angka yang diperlukan sebagai mean, yaitu yang
disebut mean duga (Xd) atau mean tebakan. Rumus yang
digunakan adalah:

= mean duga
I = interval
d = derivation
Cara menentukan mean duga. Angka yang diperkirakan
sebagai mean adalah titik tengah pada kelas interval yang
tempatnya di tengah jumlah kelas.
Cara menentukan derivation. d (erivation) menunjukkan
besarnya penyimpangan dari nilai rata-rata (Xd). Oleh karena
itu, kelas interval yang ditempati mean duga, d adalah 0. Kelas
interval di atasnya berturut-turut adalah: +1, +2, +3 dan
seterusnya, sedang kelas di bawahnya berturut-turut -1, -2, -3,
dan seterusnya. Berikut contoh penghitungan konkret yang
diambil dari table di atas.

Berdasarkan data-data di atas kita dapat menghitung mean


dengan memasukkan ke dalam rumus berikut.

62 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
= 42 + 5 (-0,06)
= 42 + 0,3
= 41,7

Penghitungan nilai rata-rata dengan cara di atas sering


menghasilkan angka yang berbeda disbanding dengan cara
yang pertama yaitu dengan menjumlah semua skor dibagi
jumlah subyek. Perbedaan angka itu memang tak terlalu besar.
Namun, hal itu dapat dipandang sebagai kelemahan cara
tersebut. Sebagai contoh misalnya, data-data di atas jika
dihitung dengan teknik pertama akan menghasilkan mean
sebagai berikut.

= 41,98

Jadi, ada perbedaan angka sebesar 0,28. Selisih perbedaan


tersebut disebut kesalahan pengelompokan (grouping error),
akibat pengelompokan data kasar ke dalam distribusi frekuensi.

2. Median
Median (Md) adalah angka sentral atau titik tengah dari
sejumlah skor. Secara teoretis median membagi skor menjadi dua
bagian yang sama, yaitu skor-skor yang berada di atas dan di
bawah median. Itulah sebabnya median disebut juga sebagai rata-
rata posisi. Misalnya kita memiliki 15 skor yang telah diurutkan
dari yang tertinggi: 65, 64, 62, 60, 60, 60, 59, 58, 56, 55, 55, 54,
53, 52, 50, mediannya adalah skor ke-8, yaitu 58.
Median yang dicari berdasarkan cara tersebut dinamakan
median sesungguhnya (true median) karena ditentukan
berdasarkan posisi skor yang telah diurutkan. Dalam penafsiran

63 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
nilai rata-rata populasi melalui teknik sampel, mean lebih banyak
dipergunakan daripada median.

3. Modus
Modus (mode, simbol: Mo) adalah skor yang memiliki
frekuensi paling tinggi. Mencari modus data skor yang belum
dikelompokkan ke dalam distribusi bergolong tidak sukar. Kita
tinggal menunjuk saja skor tertentu yang berfrekuensi tertinggi,
tanpa melalui penghitungan.
Menghitung modus dari data yang telah dikelompokkan harus
melalui penghitungan. Hasil perhitungan itu merupakan modus
yang diperkirakan, bukan modus yang sebenarnya. Angka yang
diperoleh biasanya tidak sama dengan modus yang
sesungguhnya. Rumus yang digunakan untuk mencari modus
adalah:

Mo = modus yang dicari


B = Batas kelas bawah dari kelas modus
Fo = Frekuensi kelas modus
F1 = Frekuensi kelas sebelum kelas modus
F-1 = Frekuensi kelas sesudah kelas modus
i = interval

Berikut contoh penghitungan modus berdasarkan data yang


diasjikan pada table 10.5 di atas. Pertama, kita tentukan kelas
modus, yaitu kelas yang berfrekuensi paling tinggi yang dalam
table adalah: 40-44 dengan frekuensi (Fo: 9). Dari kelas itu kita
dapat mengetahui frekuensi kelas sebelum dan sesudahnya, serta
batas kelas bawah dan atasnya. Data-data itu kemudian
dimasukkan ke dalam rumus di atas:

4. Simpangan Baku
Simpangan baku (standar deviation, dilambangkan denngan
huruf Yunani: σ) adalah ukuran penyebaran (variabilitas) skor
yang diperoleh para siswa yang didasarkan pada kuadrat
penyimpangan tiap skor dari nilai rata-rata (Tuckman, 1975: 486).
Skor yang diperoleh seorang siswa (disebut skor mentah)
biasanya mempunyai penyimpangan atau perbedaan dengan nilai
rata-rata yang dicapai seluruh siswa. Rumusnya adalah:

x=X–X

x = (x kecil) besarnya penyimpangan individual


X = (X besar) skor mentah

64 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
X = (X bar) nilai rata-rata

Misalnya, seorang siswa mendapat skor mentah 58, sedang nilai


rata-rata kelompok adalah 55, maka besarnya penyimpangan
individual siswa tersebut adalah 3 (58 – 55 = 3)
Jika penyimpangan itu positif, berarti skor siswa yang
bersangkutan berada di atas nilai rata-rata kelompok, sebaliknya
jika negative, berarti di bawah nilai rata-rata. Penyimpangan skor
dari nilai rata-rata tersebut terjadi pada seluruh siswa. besar
kecilnya penyimpangan itu akan memberikan petunjuk secara
jelas tentang penyebaran (variabiitas) skor pada siswa. besar
kecilnya penyimpangan itu biasanya dinyatakan dengan indeks
penyebaran (index of variability), dan indeks inilah yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan simpangan baku (disingkat: S), atau
ada yang mengadaptasi dari bahasa aslinya: standar deviasi
(disingkat: SD), adapula yang menyingkatnya SB.
Besar kecilnya (indeks) simpangan baku menunjukkan besar
kecilnya jarak penyebaran (range) yang dapat dilihat dari skor
terendah dan tertinggi. Hal itu berarti semakin besar simpangan
baku, semakin besar pula jarak penyebaran skor, itu berarti skor
bersifat heterogen. Sebaliknya, semakin kecil simpangan baku,
semakin kecil pula jarak penyebaran, dan menunjukkan bahwa
skor bersifat homogeny. Hal itu juga berarti, jika semua skor yang
diperoleh siswa itu sama, maka indeks simpangan baku adalah
nol.
Penghitungan simpangan baku dapat dilakukan berdasarkan
(a) penghitungan penyimpangan tiap skor individual, (b) data yang
disusun dalam distribusi tunggal, (c) data dalam distribusi
bergolong, dan langsung dari kalkulator.
(a) Menghitung Simpangan Baku dari Penyimpangan Skor
Individual
Rumus yang digunakan:

S = Simpangan baku yang dicari


x = Penyimpangan skor individual dari mean
N = Jumlah subyek

Untuk memperjelas, berikut disajikan tiga data sebagai contoh


penghitungan.

65 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Data pertama Data kedua Data ketiga

Skor (X) Mean Skor (X) Mean Skor (X) Mean


(X) (X) (X)

60 60 50 52 40 44

60 60 54 55 45 48

60 60 60 55 56 55 50 54 49,5

60 60 58 60 55 60

Data pertama menunjukkan bahwa ke-8 orang subyek


semuanya mendapat skor 60, berarti meannya juga 60.
Dengan demikian tidak terdapat penyimpangan tiap skor
individual dari mean. Hal itu berarti tidak ada variabilitas skor,
dan sebagai akibatnya, simpangan bakunya pun nol.
Hal di atas tidak berlaku untuk data kedua dan ketiga
karena keduanya mempunyai penyimpangan individual dari
mean. Untuk menghitung simpangan baku, dan untuk lebih
memperjelas, data-data di atas kita sajikan lagi ke dalam table
10.6 berikut.

Data tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus:

= 2,958

Dengan teknik penghitungan yang sama, data ketiga di atas


mempunyai simpangan baku sebesar: 6,164. Masalahnya
kemudian, apa arti perbedaan besarnya simpangan baku
tersebut.
Simpangan baku data kedua lebih kecil daripada data
ketiga. Hal itu terbukti bahwa data kedua memang mempunyai
jarak penyebaran lebih kecil daripada data ketiga. Jarak
penyebaran data kedua adalah 11, dengan skor tertinggi 60
dan terendah 50, sedangkan jarak penyebaran data ketiga

66 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
adalah 21, dengan skor tertinggi 60 dan terendah 40. Hal itu
juga menunjukkan bahwa data kedua lebih bersifat homogeny
daripada data ketiga, atau, data ketiga lebih heterogen
daripada yang kedua.

(b) Menghitung Simpangan Baku dari Data Distribusi Tunggal


Rumus yang digunakan:

atau

Penghitungan dengan rumus di atas dilakukan langsung


berdasarkan data kasar. Oleh karena itu, skor penilaian yang
belum disusun ke dalam bentuk distribusi pun dapat dihitung
dengan mempergunakan rumus di atas. Disbanding dengan
rumus pertama, rumus langsung dari angka kasar ini lebih
menguntungkan karena kerja penghitungan lebih sedikit. Jadi,
lebih bersifat menghemat tenaga walau angka-angka yang
dihadapi lebih besar. Sebab, hal itu bukan masalah jika
mempergunakan kalkulator.
Sebagai contoh penghitungan, kita ambi data-data seperti
yang terdapat dalam table 10.3. Dari table itu, kita telah
mempunyai data-data N = 40, ΣX = 2.324, dan ΣX2 = 135.446.
Data-data tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus
sebagai berikut.

= 3,246

(c) Menghitung Simpangan Baku dari Data Distribusi Bergolong


Rumus yang digunakan:

C. Kurve Normal
Penyebaran skor hasil tes biasanya mempunyai kecenderungan-
kecenderungan tertentu, yaitu sebagian besar skor akan berada di
sekitar mean, di atas atau di bawahnya. Skor yang semakin besar
penyimpangannya dari mean akan semakin kecil frekuensinya, baik

67 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
penyimpangan ke arah yang lebih rendah. Dengan kata lain, skor
yang berada jauh di atas dan di bawah mean frekuensinya akan jauh
lebih kecil disbanding yang berada di sekitar mean. Penyebaran skor
yang demikian adalah penyebaran yang memenuhi cirri-ciri distribusi
normal – sebuah konsep yang sangat penting untuk menganalisis dan
menaksir skor secara lebih lanjut.
Skor yang berada di titik tengah kurve adalah mean.
Penyimpangan skor dari mean baik ke kanan (atas mean) maupun ke
kiri (bawah mean) bersifat simetris, sama besarnya. Kurve normal
memang disusun berdasarkan distribusi teoretis dengan persamaan
matematis, bukan fakta empiris. Akan tetapi pada umumnya skor yang
diperoleh dari hasil tes cenderung mengikuti distribusi normal, walau
kadar kenromalannya tidak benar-benar simetris seperti dalam kurve
normal.
1. Daerah Kurve Normal
Besarnya penyimpangan skor dari mean dinyatakan dalam
satuan simpangan baku (S). Simpangan ke kanan (di atas mean)
dengan: +1S, +2S, +3S, sedang simpangan ke kiri (di bawah
mean) dengan: -1S, -2S, -3S (tanda plus dan minus selalu
diikutsertakan). Daerah dinyatakan dalam presentase (ada: 100)
atau proporsi (ada: 1).
Sebagai contoh, kita ambil data yang kemudian disusun dalam
table 10.2, dari data tersebut diketahui: N = 50, X = 41,98 dan S =
13,205 (juga diketahui skor tertinggi 69, terendah 15).
Berdasarkan asumsi kurve normal berate siswa yang memiliki
skor dari 28,775 sampai 55,185 (dibulatkan: 29 – 55), yaitu ±
13,205 dari 41,98 adalah 68,26% x 50 = 34,13 (dibulatkan 34)
orang; yang memiliki skor ± 2 x 13,205 dari 41,98: 15,57 sampai
68,39 (16 – 68) adalah 95,44% x 50 = 47,72 (dibulatkan 48)
orang). Dan sisanya yang 2 orang adalah yang mempunyai skor
lebih dari ± 2 x 13,205 dari mean, dan dalam data memang ada
skor itu, yaitu 15 dan 69. Walaupun terdapat perbedaan dengan
keadaan data yang sesungguhnya, hal itu tidak akan menyimpang
jauh.
Perlu ditegaskan bahwa konsep dan asumsi distribusi normal
sangat penting. Penghitungan-penghitungan statistik
mendasarkan diri pada asumsi distribusi normal. Jika kita
bermaksud menguji normalitas data skor yang diperoleh, teknik
statistik juga menyediakan cara itu.

68 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
2. Kurve Juling
Jika hasil tes ditafsirkan berdasarkan skor yang diperoleh
siswa dalam sebuah kelompok, pada umumnya skor tersebut
cenderung mengikuti asumsi distribusi normal. Pengolahan skor
yang demikian adalah pengolahan skor yang berdasar norma
kelompok (norm reference test). Sebaliknya, jika skor hasil tes
ditafsirkan dengan criteria (patokan, standar) yang telah
ditetapkan sebelumnya – pengolahan skor yang berdasarkan
criteria tertentu (criterion referenced test) – skor hasil tes belum
tentu mengikuti asumsi distribusi normal.
Jika terjadi penyebaran skor tidak berdistribusi secara
normal, maka ada dua kemungkinan penyebaran skor hasil tes
tersebut: skor tes cenderung menyebar ke kiri, atau sebaliknya,
menyebar ke kanan. Jika sebagian besar skor (cenderung)
menyebar ke kiri, berarti sebagian besar siswa memperoleh skor
rendah (dalam kurve normal penyimpangan ke kiri di bawah
mean). Keadaan skor yang menyebar ke kiri, jika digambarkan
dalam bentuk kurve, akan berwujud kurve juling, juling ke kanan
atau juling negatif.
Penyebaran skor yang cenderng menyebar ke kiri
menunjukkan bahwa rata-rata siswa belum menguasai bahan
pelajaran yang diteskan. Butir-butir soal yang diteskan masih
terlampau sulit bagi siswa yang bersangkutan.
Apabila skor cenderung menyebar ke kanan, berarti
sebagian besar siswa memperoleh skor tinggi jika skor hasil tes
mereka ditafsirkan dengan criteria yang telah ditetapkan.
Penyebaran skor yang demikian, jika digambarkan dalam bentuk
kurve, akan berwujud kurve juling, juling kiri atau juling positif.
Gambar kurve juling kiri menunjukkan bahwa sebagian besar
siswa mampu mengerjakan butir-butir soal dengan betul. Butir-
butir soal tersebut dirasakan mudah. Atau, hal itu dapat juga
diartikan bahwa rata-rata siswa menguasai bahan pelajaran yang
diteskan. Keadaan skor yang cenderung menyebar ke kanan atau
ke kiri dapat ditemui jika penafsiran mempergunakan standar
tertentu, tetapi hal itu tidak berlaku jika penafsiran
mempergunakan standar relatif (norma kelompok).

69 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
D. TUGAS
Seorang guru bahasa memperoleh data skor hasil tes yang diberikan
kepada 44 orang siswanya sebagai berikut.

65 55 58 47 45 54 60 50 52 45 42
46 50 63 54 68 30 34 38 52 66 40
33 37 26 46 36 28 54 45 50 43 44
42 39 35 46 58 65 44 43 50 36 62

1. Buatlah distribusi frekuensi data skor di atas ke dalam 12 kelas. Jika


jarak penyebaran besar, distribusi yang dibuat adalah distribusi
frekuensi bergolong.

2. Hitunglah mean, median, modus, dan simpangan baku data skor di


atas. Penghitungan mean dan simpangan baku dilakukan dua kali
berdasarkan data kasar dan data yang telah disusun ke dalam bentuk
distribusi frekuensi.

3. Gambarlah sebuah kurve normal berdasarkan mean dan simpangan


baku yang diperoleh melalui penghitungan sebelumnya. Tentukan
berapa orang yang memiliki skor di atas +1S, +2S, mean ke atas, -1S
sampai +1S, -1S, -2S, dan samakah jumlah siswa yang mendapat
skor -1S ke bawah dengan +1S ke atas.

E. REFERENSI

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE
http://supriyanto1985.wordpress.com

70 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
BAB 10
LAPORAN HASIL BELAJAR SISWA

A. PENDAHULUAN
Nilai akhir pada umumnya diberikan dalam bentuk laporan (raport)
atau tanda tamat belajar. Nilai akhir tersebut bukan semata-mata terdiri
dari nilai sumatif saja, namun juga nilai formatif, tugas-tugas, hasil
pengamatan guru, bahkan kehadiran. Sebelum suatu semester atau term
dimulai seorang guru sebaiknya menjelaskan penentuan nilai akhir (terdiri
dari komponen apa saja, bagaimana bobotnya, dll). Murid berhak
mengetahui cara guru mengevaluasi hasil belajar siswa. Berdasarkan
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pedidikan (KTSP), banyak komponen
yang dibutuhkan untuk mengisi laporan kemajuan siswa tersebut. Raport
disebut sebagai Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS).LHBS mempunyai
keunikan karena mencantumkan deskripsi ketercapaian masing-masing
kompetensi dasar (KD) dari setiap mata pelajaran.

B. KOMPONEN LHBS
1. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
KKM ditetapkan pada setiap awal tahun pelajaran. Besarnya nilai
KKM ditentukan oleh forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Nilai KKM ditetapkan mulai rentang 0 sampai dengan 100, dalam bilangan
bulat. Nilai ketuntasan belajar maksimal adalah 100. Pihak sekolah dapat
menetapkan nilai KKM di bawah nilai ketuntasan belajar maksimal.Nilai
KKM harus dicantumkan dalam LHBS.

Penetapan Nilai KKM


Kompetensi Kriteria Penetapan Ketuntasan Nilai KKM
Dasar (KD) Kompleksitas Daya Intake
dan Indikator (Kesulitan & Dukung Siswa
Kerumitan)

71 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
Penulisan KKM Pada LHBS

Lembar Hasil Belajar Siswa


Sekolah Menengah Atas
Nama Siswa: Nama
Sekolah:
No. Induk:
Kelas/ Semester: Tahun
Pelajaran:
No Mata KKM Nilai Hasil Belajar Sikap/
Pelajaran Afektif
Pengetahuan dan Praktik Predikat
Pemahaman
Konsep
Angka Huruf Angka Huruf
1. Pendidikan 75 80 Delapan - - B
Agama puluh
2. Bahasa 70 70 Tujuh 75 Tujuh B
Indonesia puluh puluh
lima
3. Bahasa 65 70 Tujuh 65 Enam B
Inggris puluh puluh
lima

Mengetahui tingkat ketercapaian KKM yang telah ditetapkan ini sangat


penting sebagai evaluasi dan sebagai dasar untuk menetapkan KKM
tahun berikutnya.

2. Nilai Pengetahuan/ Kognitif


Nilai pengetahuan dan pemahaman konsep (kognitif) yang muncul dalam
LHBS itu diolah dengan mencari rerata antara KD1, KD2, dan Ujian Akhir
Sekolah (UAS). Contoh dapat dilihat berikut ini.
Nilai Pengetahuan
KD₁ KD₂ UAS Rata-Rata
82 70 67 73

3. Deskripsi
Terdapat kolom Keterangan Ketercapaian Kompetensi (DESKRIPSI).
Misal” Telah mencapai KKM…..dan…. (hal ini harus mnegacu pada KKM
yang telah ditentukan)

4. Nilai Psikomotor
Nilai ini sifatnya berjenjang dari angka 1 - 4

5. Nilai Praktik

72 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
6. Nilai Sikap
Nilai Sikap berdasarkan pada rentang nilai sikap sebagai berikut.
Amat Baik = 85 – 100
Baik = 69 - 84
Cukup = 53 – 68
Kurang = 20 – 52

Pengolahan nilai dapat dilakukan dengan menggunakan Office excel


2003/ 2007.

C. LAPORAN
LHBS akan sangat berguna bagi:
1. Siswa yang bersangkutan
LHBS akan membuat siswa memahami kekurangan dan kelebihannya,
sehingga dia dapat menentukan langkah dan strategi belajar dalam
semester berikutnya.

2. Sekolah yang bersangkutan


Pihak sekolah juga membutuhkan LHBS untuk laporan, evaluasi, dan
keperluan lainnya.

3. Orang tua/ Wali murid


Orang tua/ wali murid sangat membutuhkan LHBS. Orang tua juga
bertanggung jawab atas kemajuan belajar anaknya.

4. Stakeholders
Masyarakat, khususnya para pemakai lulusan sekolah termasuk kelompok
yang turut serta membutuhkan informasi LHBS. Bahkan saat ini untuk
mendaftarkan ke Universitas atau untuk mengikuti seleksi bea siswa,
beberapa universitas dan atau lembaga memasukkan nilai LHBS sebagai
salah satu criteria pertimbangan.

D. TUGAS
Tugas Kelompok. Kelompok terdiri atas 2-3 orang. Kumpulkan contoh
LHBS mulai dari Tingkat Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas. Analisis
LHBS tersebut, kemudian bandingkan dengan contoh Raport (Laporan
hasil Belajar) yang pernah dipakai tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana
pendapat Anda?

E. REFERENSI

Nurgiyantoro, Burhan.2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan


Sastra. Yogyakarta: PT. BPFE
http://supriyanto1985.wordpress.com
http://akhmadsudrajat.wordpress.com

73 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id
74 Tri Kusnawati
kusnawati@uny.ac.id

Anda mungkin juga menyukai

  • Pengaruh MPKP terhadap Standar Asuhan dan Kepuasan Kerja Perawat
    Pengaruh MPKP terhadap Standar Asuhan dan Kepuasan Kerja Perawat
    Dokumen4 halaman
    Pengaruh MPKP terhadap Standar Asuhan dan Kepuasan Kerja Perawat
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen4 halaman
    Dokumen
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Metodologi
    Tugas Metodologi
    Dokumen3 halaman
    Tugas Metodologi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal MAKP Ibu Sunik
    Jurnal MAKP Ibu Sunik
    Dokumen14 halaman
    Jurnal MAKP Ibu Sunik
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal MAKP
    Jurnal MAKP
    Dokumen13 halaman
    Jurnal MAKP
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen2 halaman
    Dokumen
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Metodologi
    Tugas Metodologi
    Dokumen3 halaman
    Tugas Metodologi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Ibu Dewi
    Jurnal Ibu Dewi
    Dokumen13 halaman
    Jurnal Ibu Dewi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • 8-Article Text-13-2-10-20180129 PDF
    8-Article Text-13-2-10-20180129 PDF
    Dokumen14 halaman
    8-Article Text-13-2-10-20180129 PDF
    Talia Dewi
    Belum ada peringkat
  • Dokumen 45
    Dokumen 45
    Dokumen1 halaman
    Dokumen 45
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Geron
    Jurnal Geron
    Dokumen9 halaman
    Jurnal Geron
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurna Mpa
    Jurna Mpa
    Dokumen1 halaman
    Jurna Mpa
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • DINA Jurnal
    DINA Jurnal
    Dokumen15 halaman
    DINA Jurnal
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • DINA Jurnal
    DINA Jurnal
    Dokumen15 halaman
    DINA Jurnal
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Komunitas
    Tugas Komunitas
    Dokumen2 halaman
    Tugas Komunitas
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Keperawatan
    Jurnal Keperawatan
    Dokumen6 halaman
    Jurnal Keperawatan
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Dokumen
    Dokumen
    Dokumen2 halaman
    Dokumen
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Cara Buat SPSS
    Cara Buat SPSS
    Dokumen5 halaman
    Cara Buat SPSS
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Uu Permenkes
    Tugas Uu Permenkes
    Dokumen7 halaman
    Tugas Uu Permenkes
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Uu Permenkes
    Tugas Uu Permenkes
    Dokumen7 halaman
    Tugas Uu Permenkes
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Metodologi
    Tugas Metodologi
    Dokumen3 halaman
    Tugas Metodologi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas Metodologi
    Tugas Metodologi
    Dokumen3 halaman
    Tugas Metodologi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Ibu Dewi
    Jurnal Ibu Dewi
    Dokumen13 halaman
    Jurnal Ibu Dewi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Tugas DR - Maryati
    Tugas DR - Maryati
    Dokumen18 halaman
    Tugas DR - Maryati
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal MAKP Ibu Sunik
    Jurnal MAKP Ibu Sunik
    Dokumen15 halaman
    Jurnal MAKP Ibu Sunik
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Ibu Dewi
    Jurnal Ibu Dewi
    Dokumen13 halaman
    Jurnal Ibu Dewi
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Cover New
    Cover New
    Dokumen2 halaman
    Cover New
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Cover New
    Cover New
    Dokumen2 halaman
    Cover New
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Ardinah Marasabessy Tugas Rangkuman Materi Penyakit Tropis
    Ardinah Marasabessy Tugas Rangkuman Materi Penyakit Tropis
    Dokumen28 halaman
    Ardinah Marasabessy Tugas Rangkuman Materi Penyakit Tropis
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat
  • Distribusi Matkul
    Distribusi Matkul
    Dokumen5 halaman
    Distribusi Matkul
    DiNayyara Razan Marssy
    Belum ada peringkat