Anda di halaman 1dari 3

Persamaan antara family therapy yang satu dengan yang lain adalah keterlibatan keluarga dalam

memecahkan suatu masalah dianggap sebagai poin yang penting. Keterlibatan keluarga pada umumnya
terlihat dari partisipasi aktif selama sesi terapi. Kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang terapis
termasuk di antaranya untuk membuka atau memulai pembicaraan yang dapat menganalisa kekuatan,
kebijaksanaan dan support dari keluarga tersebut sebagai sistem yang lebih luas.

Pada awal terbentuknya spesialisasi ini, banyak klinisi menerjemahkan keluarga dalam artian yang
sempit dan tradisional, yaitu hanya terkait kedua orang tua dan anak-anak. Seiring berkembangnya
keilmuan, konsep keluarga lebih diartikan sebagai support terkuat, panutan jangka panjang dan
hubungan antara orang-orang yang terkait maupun tidak terkait hubungan darah atau pernikahan.

Dari sejak awal terbentuk hal inilah yang menjembatani perbedaan antara pendidikan satu family
therapy dengan yang lainnya. Seiring dengan waktu fokus yang dihadapi dalam terapi mengalami
perubahan. Terdapat sedikit perubahan dari demarkasi tegas antara masing-masing pendidikan, lebih
berfokus pada pendekatan terintegrasi dan meluas. Pada pendekatan meluas terdapat penggunaan
konsep teoritis yang sesuai untuk memfasilitasi perkembangan dari hubungan tiap-tiap pasangan.

Secara ideal marital therapy diikuti oleh kedua belah pihak. Menjadi sebuah masalah bila salah satu
pihak saja yang datang sedangkan pihak yang lain menolak untuk berpartisipasi. Alasan Terbesar dari
ketidak hadiran adalah merasa bahwa permasalahan ada pada sikap dan perilaku dari pasangannya,
dengan harapan terapi dapat merubah pasangan tersebut, sehingga timbul anggapan pihak yang lain
tidak perlu datang. Alasan yang lain adalah ketakutan dari pasangan karena menganggap terapi adalah
pengadilan terhadap tindakannya. Pada kasus-kasus sedemikian rupa, berikan telepon secara personal
maupun surat, yang mengharapkan kedatangan dari pihak tersebut, sebatas mengundang untuk
mengklarifikasi isu dan untuk memahami masalah dari kedua belah sudut pandang.

Jika akhirnya pihak tersebut tidak mau datang, maka diperlukan usaha ekstra pada pihak yang bersedia
datang untuk mengenali permasalahan dan kontribusi dari pasangannya tersebut dalam suatu masalah,
sehingga dapat diperoleh pemecahan masalah yang mungkin menarik pihak tersebut untuk terbuka dan
menanggapi undangan dari terapis.

Sangat dianjurkan untuk menemui kedua belah pihak pasangan secara bersamaan. Walaupun kelihatan
lebih nyaman untuk menemui satu demi satu pihak untuk memperoleh informasi, sehingga kecil
kemungkinan dalam keterlibatan emosional yang berlebihan. Menemui kedua belah pihak pasangan
dapat membantu menentukan bagaimana sudut pandang mereka terhadap suatu masalah dan
kontribusi mereka serta penyelesaian yang diharapkan dari suatu konflik. Jika salah satu pasangan
memiliki kebutuhan emosional lebih besar maka diperlukan sesi individu sebelum atau setelah sesi
gabungan. Jika kemungkinan terdapat permasalahan yang dianggap terlalu menghancurkan, memalukan
untuk dikomunikasikan bersamaan maka dapat direncanakan sesi alternatif atau sesi terapi terpisah.
Nantinya, terapis dapat menilai apakah ada itikad baik dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan
masalah atau isu tersebut. Kadangkala diperlukan asisten terapis yang berlawanan jenis kelamin. Hal ini
dapat mengurangi perbedaan persepsi dan gender bias sebagai bagian alamiah dari seorang terapis.

Terapis memainkan peran aktif sebagai fasilitator dan guru, dan melalui ucapan dan aksinya memiliki
tujuan supaya pasangan tersebut dapat mengatasi permasalahan dalam pernikahannya secara alami
dengan cara mereka sendiri sesuai dengan kepribadian satu sama lain.
Isu utama yang harus diungkap adalah keberadaan basic love dan pemahaman terhadap keberadaan
satu sama lain sebagai marital unit. Secara umum keluarga terbentuk dengan landasan cinta, yang
tanpa disadari terdapat pula kekecewaan, kemarahan dan agresi di dalamnya. Ketika “love base” tidak
dapat ditemukan dalam suatu keluarga maka usaha dari terapi tersebut tidak ada artinya saat itu.
Diperlukan komitmen untuk mengusahakan hal ini supaya mengembangkan hubungan bagi kedua belah
pihak.

Selama assessment, perlu dilakukan percobaan untuk mengetahui bagaimana pasangan


mendemonstrasikan dan mengomunikasikan cinta, penerimaan dan perhatian. Sangat penting untuk
membantu kedua belah pihak melihat aset dan kekuatan personal dalam diri mereka masing-masing.
Kedua belah pihak harus mengingat tentang pengalaman yang menyenangkan, memori yang baik, dan
keberhasilan mengatasi masalah di masa lalu. Bagian terpenting adalah mereka harus mengidentifikasi
“kemarahan” sebagai “sakit”, dan memahami seberapa besar pengaruh kemarahan dapat menimbulkan
ekspresi dan komunikasi cinta yang salah. Sebagai contoh, seorang istri marah kepada suaminya karena
terlambat pulang, kemarahan ini timbul dari bentuk kepedulian istri tersebut akan keamanan suami
selama perjalanan.

Pasangan harus memahami seberapa penting mereka bertemu, struktur dalam hubungan mereka, cara
komunikasi -verbal dan nonverbal, dan batasan tertentu dari kedua belah pihak. Biarkan pasangan
untuk menjawab kuesioner yang berfokus pada apa yang mereka harapkan terhadap pasangan dalam
pernikahan, bagaimana pasangan akan setuju/menolak ekspektasi mereka, dengan cara bagaimana ia
dan pasangan harus berubah dalam mencapai harmoni. Pertanyaan ini harus dijawab secara spesifik
dengan bahasa yang mudah dimengerti. Penggunaan kata-kata larangan, keharusan, dan penolakan
sangat tidak dianjurkan karena dapat memicu permasalahan serupa. Ketika terapis memberikan contoh
yang jelas, eksplisit dan mudah mengerti, kemudian mereka membuat dan saling menukar jawaban,
diharapkan kedua belah pihak dapat memahami sesuai dengan konsep “give and take”.

Terapis dapat memberikan contoh ekspresi yang berlebihan terkait dengan cara berkomunikasi
pasangan. Contohnya dengan bersikap seperti orang tuli -ketika seorang berbicara dengan lainnya-
dibanding mendengarkan- bersikap tidak menganggap ada yang berbicara sampai tiba kesempatannya
untuk bicara. Hal ini dapat menunjukkan bahwa salah satu pihak dapat pula merasakan sakit dan
marah. Dengan memicu melalui respon maladaptif ini, dapat menimbulkan perubahan dari interaksi
dan ekspresi emosi. Pasangan menjadi lebih memperhatikan satu sama lain. Hal ini berefek sama
dengan respon maladaptif nonverbal lainnya seperti : ekspresi marah, melirik ke langit-langit, melamun,
mengepal tinju dan senyum sarkastik – semua ekspresi kaya makna, yang seringkali tidak dipedulikan
oleh salah satu pihak.

Berdasarkan cara kerja yang mengutamakan kepercayaan, kenyamanan dalam hubungan dan
pengembangan komunikasi, pasangan sekaligus mengekspresikan rasa sakit dan mekanisme
perlindungan yang digunakan dalam hubungan mereka. Mereka menjadi waspada dan peduli terhadap
kelemahan satu sama lain dan belajar untuk menerimanya.

Sebagai tambahan terapis harus memeriksa pola kekuatan dari sebuah pernikahan. Terapis mengambil
peranan penting untuk mengklarifikasi jika terdapat konflik kekuatan (conflict for power), objektivitas
terapis diperlukan untuk memahami akar masalah dan membentuk pemahaman terhadap otonomi dan
kemandirian salah satu pihak.
Apa yang sering hilang dalam pernikahan yang terganggu adalah ekspresi terhadap kenyamanan dan
rasa cinta. Ekspresi kemarahan berulang menimbulkan perasaan tidak dicintai lagi. Terapis, melalui
demonstrasi berbagai metode- mendengarkan, menghargai, memberi semangat dan empati- dengan
cara itu cinta dan kenyamanan dapat diekspresikan. Pasangan akan belajar untuk menghancurkan
pembatas dan belajar bersyukur dan menghargai dengan cara yang sederhana. Perlahan akan timbul
perubahan perilaku kedua belah pihak setelah melakukan repetisi sepanjang sesi terapi.

Pembelajaran umum dalam terapi

Secara ideal pasangan harus bertemu secara bersamaan dalam rentang waktu 1 hingga 4 Minggu.
Frekuensi pertemuan ditentukan oleh banyak faktor. Ketika pasangan memiliki permasalahan yang
kompleks yang harus diluruskan dan dipahami sebelum proses berlangsung, interval pertemuan
disarankan mingguan / dwimingguan. Frekuensi yang sama juga disarankan pada pasangan dengan
kemarahan dan kekerasan, atau kedua belah pihak memiliki kebutuhan personal mendesak berkaitan
dengan terapis. Sesi terapi yang efektif adalah, pasangan harus memperoleh pemahaman baru dan
memiliki coping mechanisme efektif di setiap sesi, dan belajar mempraktekkan di kehidupan sehari-hari.

Ada tiga pola hasil. Pertama, salah satu atau kedua belah pihak bersikeras menolak perbaikan, bahkan
berpikir lebih baik mengakhiri pernikahan. Kedua, pasangan mendapatkan pemahaman baru,
memperoleh metode efektif dalam membangun kembali pernikahannya. Ketiga, tidak ada
perkembangan atau perburukan dalam hubungan mereka hingga pasangan memutuskan untuk berhenti
terapi.

Terapi dapat diakhiri dalam berbagai cara. Pertama, salah satu pihak menolak melanjutkan dan merasa
tidak ada keuntungan; lalu, jika kedua belah pihak senang dengan hasilnya dan meminta terapi
dihentikan; atau, akhirnya terapis memutuskan untuk menghentikan terapi. Follow up diperlukan untuk
mereview cara komunikasi, coping dan kepuasan secara umum terhadap hubungan.

Problem umum dalam terapi

Satu dari poin penting yang harus diingat terapis adalah, menghindari label pasien. Pasangan yang
sedang menjalani terapi dapat mengalami kecemasan atau depresi ketika digambarkan sebagai pasien
yang menderita sakit tertentu dan harus diobati. Hal ini membuat proses terapi menjadi lebih sulit dan
membuat pasangan merasa semakin keras usaha terapi semakin tinggi tingkat keberhasilan.

Kesimpulannya, sangat sedikit riset terkait marital therapy untuk membantu terapis, dan pembelajaran
terbaik bagi terapis adalah untuk mengadaptasi sikap fleksibel dan menjalankan teknik apa saja yang
mungkin dapat membantu sesuai dengan kondisi pasangan -inti dari pendekatan luas. Poin penting dari
pernikahan akan berubah secara berkesinambungan dan marital therapy harus cukup adaptif dan
fleksibel menghadapi perubahan ini.

Anda mungkin juga menyukai