1. Hand Hyigiene a. Pengertian Hand hygiene merupakan istilah umum yang biasa digunakan untuk menyatakan kegiatan yang terkait membersihkan tangan (WHO, 2009). Salah satu cara untuk mencegah kontaminasi silang dari mikroorganisme sehingga dapat menurunkan dan mencegah insiden kejadian infeksi nosokomial yaitu hand hygiene, baik itu melakukan proses cuci tangan atau disinfeksi tangan merupakan (Akyol, 2007). Salah satu cara terpenting dalam rangka pengontrolan infeksi agar dapat mencegah infeksi nosokomial yaitu dengan cara melaksanakan hand hygiene, baik melakukan cuci tangan ataupun hand rubbing (Mani, dkk., 2010). b. Tujuan Hand Hygiene Tujuan Hand Hygiene dilakukan secara rutin dalam perawatan pasien ialah untuk menghilangkan kotoran dan bahan organik serta kontaminasi mikroba dari kontak dengan pasien atau lingkungan (WHO, 2009). Kebersihan tangan tenaga kesehatan sangat membantu pencegahan penularan kuman berbahaya dan mencegah infeksi terkait perawatan kesehatan. Hal ini dikarenakan tangan adalah jalur utama penularan kuman selama perawatan pasien (Pratami, dkk., 2012). Perpindahan kuman patogen secara umum terjadi pada tangan petugas kesehatan yang terkontaminasi (Mani, dkk., 2010). Dalam “WHO Guideline on Hand hygiene in Helath Care” yang diterbitkan pada tahun 2009 diketahui bahwa terdapat bakteri yang mendiami tangan manusia, yaitu : 1) Resident flora merupakan mikroorganisme yang bertempat tinggal di kulit yaitu pada lapisan luar stratum corneum dan pada permukaan kulit. Resident flora tidak terlalu dikaitkan dengan kejadian infeksi nosokomial. Contoh : Staphylococcus Epididimis, S. Hominis, beberapa bjenis bakteri dan fungi. 2) Transient flora merupakan mikroorganisme pada lapisan kulit yang dapat dihilangkan dengan pelaksanaan hand hygiene secara rutin. Transient flora dapat bertahan dan memperbanyak diri secara sproadis pada permukaan kulit walau jenis mikroorganisme ini tidak memperbanyak diri pada kulit. Jenis mikroorganisme yang termasuk transient flora ini didapatkan petugas kesehatan dari kontak langsung dengan pasien. Selain kontak langsung dengan pasien, transient flora juga bisa mengontaminasi tangan petugas kesehatan saat kontak langsung dengan lingkungan pasien yang terkontaminasi. Contoh : S. Aureus, Basilus Gram-negatif, atau ragi. Menurut akyol (2007) sebagian besar bakteri yang termasuk transient flora terbawa oleh tangan manusia. Mencuci tangan secara cermat merupakan metode paling efektif untuk mencegah perpindahan bakteri pada pasien. c. Indikator Cuci Tangan Himpunan Perawat Pengendali Infeksi Indonesia (HPPI) tahun 2010 menyatakn bahwa waktu melakukan cuci tangan, adalah pada tangan kotor, saat tiba dan sebelum meninggalkan rumah sakit, sebelum dan sesudah melakukan tindakan, kontak dengan pasien, lingkungan pasien, sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, serta sesudah ke kamar mandi. Indikator mencuci tangan digunakan dan harus dilakukan untuk antisipasi terjadinya perpindahan kuman melalui tangan (Depkes RI, 2008), yaitu : 1) Sebelum melakukan tindakan, misalnya saat akan memeriksa (kontak langsung dengan klien), saat akan memakai sarung tangan besrih maupun steril, saat akan melakukan injeksi dan pemasangan infus. 2) Setelah melakukan tindakan misalnya setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat bekas dan bahan yang terkontaminasi setelah menyentuh selaput mukosa. World Health Organization (WHO, 2009) memperkenalkan konsep five moments hand hygiene sebagai evidence-based untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial yang harus dilaksanakan sesuai dengan seluruh indikasi yang telah ditetapkan tanpa memperhatikan apakah petugas kesehatan menggunakan sarung tangan atau tidak. WHO telah mengembangkan moment untuk kebersihan tangan yaitu Five Moments for Hand hygine, yang telah diidentifikasi sebagai waktu kritis ketika kebersihan tangan harus dilakukan sebelum kontak dengan pasien, sebelum tindakan aseptik, setelah terpapar cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan pasien (WHO, 2009). Dua dari lima momen untuk kebersihan tangan terjadi sebelum kontak. Indikasi “sebelum” momen ditujukan untuk mencegah resiko penularan mikroba untuk pasien. Tiga lainnya terjadi setelah kontak, hal ini ditujukan untuk mencegah risiko transmisi mikroba ke petugas kesehatan perawatan dan lingkungan pasien. WHO (2009) menetapkan indikasi five moments hand hygiene yang dimaksud meliputi: 1) Sebelum menyentuh pasien Hand Hygiene yang dilakukan sebelum menyentuh pasien bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan mikroorganisme dan beberapa kasus melawan infeksi dari luar, oleh kuman berbahaya yang berada di tangan. Contoh tindakan dari indikasi ini adalah: a) Sebelum berjabat tangan dengan pasien. b) Sebelum membantu pasien melakukan aktivitas pribadi: bergerak, mandi, makan, dan berpakaian. c) Sebelum melakukan perawatan dan tindakan non-invasif lainnya: pemasangan masker oksigen dan melakukan masase. d) Sebelum melakukan pemeriksaan fisik non-invasif: memeriksa nadi, memeriksa tekanan darah, auskultasi dada, dan merekam ECG. 2) Sebelum melakukan prosedur bersih/aseptik Hand Hygiene yang dilakukan sebelum melakukan prosedur bersih/ aseptik bertujuan untuk melindungi pasien dengan melawan infeksi kuman berbahaya, termasuk kuman yang berada di dalam tubuh pasien. Contoh tindakan dari indikasi ini adalah: a) Sebelum menyikat gigi pasien, memberikan obat tetes mata, pemeriksaan vagina atau rektal, memeriksa mulut, hidung, telinga dengan atau tanpa instrumen, memasukkan suppositori, dan melakukan suction mukus. b) Sebelum membalut luka dengan atau tanpa instrumen, pemberian salep pada kulit, dan melkukan injeksi perkutan. c) Sebelum memasukkan alat medis invasif (nasal kanul, Nasogastric Tube (NGT), Endotracheal Tube (ETT), periksa urin, kateter, dan drainase), melepas/ membuka selang peralatan medis (untuk makan, pengobatan pengaliran, penyedotan, dan pemantauan). d) Sebelum mempersiapkan makanan, pengobatan, dan peralatan steril. 3) Setelah kontak dengan cairan tubuh pasien Hand hygiene yang dilakukan setelah kontak dengan cairan tubuh pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari infeksi oleh kuman berbahaya dari tubuh pasien dan mencegah penyebaran kuman di lingkungan perawatan pasien. Contoh tindakan dari indikasi ini adalah : a) Ketika kontak dengan membran mukosa atau dengan kulit yang tidak utuh b) Setelah malakukan injeksi; setelah pemasangan dan pelepasan alat medis invasif (akses ke pembuluh darah, kateter, selang, dan drainase); setelah melepas dan membuka selang yang terpasang dalam tubuh. c) Setelah melepaskan peralatan medis invasif d) Setelah melepas alat perlindungan (serbet, gaun dan handuk pengering). e) Setelah menangani sampel yang mengandung bahan organik, setelah membersihkan ekskresi dan cairan tubuh lainnya, setelah membersihkan benda atau peralatan yang terkontaminasi (sprei tempat tidur yang kotor, gigi palsu, instrumen, dan urinal). 4) Setelah menyentuh pasien Hand hygiene yang dilakukan setelah menyentuh pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari kuman yang berada di tubuh pasien dan melindungi lingkungan perawatan pasien dari penyebaran kuman. Contoh tindakan dari indikasi ini adalah : a) Setelah berjabat tangan. b) Setelah membantu pasien melakukan aktivitas pribadi : bergerak, mandi makan, dan berpakaian. c) Setelah melakukan perawatan dan tindakan non-invasif lainnya: pemasangan masker oksigen dan melakukan masase. d) Setelah melakukan pemeriksaan fisik non-invasif: memeriksa nadi, memeriksa tekanan darah, auskultasi dada, dan merekam ECG. 5) Setelah menyentuh peralatan di sekitar pasien Hand hygiene yang dilakukan setelah menyentuh peralatan di sekitar pasien bertujuan untuk melindungi petugas kesehatan dari kuman yang berada di tubuh pasien yang memungkinkan juga berada di permukaan/benda-benda di sekitar pasien dan untuk melindungi lingkungan perawatan dari penyebaran kuman. Contoh tindakan dari indikasi ini adalah: a) Setelah kontak fisik dengan lingkungan pasien: menganti sprei tempat tidur, memegang rel tempat tidur, dan membereskan meja yang berada di sebelah tempat tidur pasien. b) Setelah melakukan aktivitas perawatan: mengatur kecepatan perfusi, dan membenahi alarm monitor c) Setelah kontak dengan permukaan atau benda lainnya (sebaiknya hindari aktivitas yang tidak diperlukan) Prinsip dari 6 langkah Hand hygiene antara lain: 1) Dilakukan dengan menggosokkan tangan menggunakan cairan antiseptik (handrub) atau dengan air mengalir dan sabun antiseptik (handwash). Rumah sakit akan menyediakan kedua ini di sekitar ruangan pelayanan pasien secara merata. 2) Handrub dilakukan selama 20-30 detik sedangkan handwash 40-60 detik. 3) 5 kali melakukan handrub sebaiknya diselingi 1 kali handwash WHO (2009) menyatakan 6 langkah prosedur Hand hygiene, yaitu 1) Ratakan sabun dnegan kedua telapak tangan. 2) Gosokkan punggung dan sela-sela jari tangan dengan tangan kanan dan sebaliknya. 3) Gosokkan kedua telapak tangan dan sela-sela jari. 4) Jari-jari dalam dari kedua tangan saling mengunci. 5) Kemudian gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya. 6) Gosok dengan memutar ujung jari di telapat tangan kiri dan sebaliknya Secara umum petugas kesehatan peduli terhadap pentingnya hand hygiene untuk pencegahan infeksi, namun pemenuhan hand hygiene sesuai prosedur masih rendah. Akyol (2007) dalam jurnalnya yang berjudul “Hand hygiene among Nurses in Turkey : Opinions and practices”, menuliskan bahwa kepatuhan petugas kesehatan masih rendah, biasanya di bawah 50% untuk melaksanakan Hand hygiene sesuai. Pernyataan yang sama juga terdapat dalam jurnal Mani, dkk. (2010), yaitu pemenuhan Hand hygiene masih di bawah 50% dari yang seharusnya yaitu pelaksaan yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Karabay, dkk. (2008), dalam jurnal dengan judul “Compliance and Efficacy of Hand Rubbing during In-Hospital Practice”mengungkapkan mengenai faktor rendanya pelaksanaan Hand hygiene yaitu karena waktu yang terbatas, meningkatnya beban kerja, menurunnya jumlah tenaga, keyakinan bahwa menggunakan sarung tangan sudah tidak membutuhkan Hand hygiene, jauh untuk mencapai bak cuci, ketidakpedulian dan tidak setuju perawat terhadap aturan. Alasan yang hampir serupa seperti tidak terdapat fasilitas cuci tangan, iritasi dan kering pada kulit, telah menggunakan sarung tangan, kurangnya motivasi, tidak memikirkan tentang Hand hygiene atau alasan terlalu sibuk, juga ditemui pada jurnal Akyol (2007) yang berjudul ”Hand hygiene among nurses in Turkey : opinions and practices.” Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Hand hygiene perawat menurut Lankford, et Al. (2009) meliputi usia, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, masa kerja, ketersediaan fasilitas untuk mencuci tangna, kondisi pasien dan kebijakan rumah sakit. 1) Usia Usia berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dan pola pikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umur seseorang secara garis besar menjadi indikator dalam setiap mengambil keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya, dengan semakin bertambah usia, maka dalam menerima sebuah instruksi dan dalam melaksanakan suatu prosedur akan semakin bertanggungjawab dan berpengalaman. Semakin cukup usia seseorang akan semakin matang dalam berpikir dan bertindak (Saragih dkk, 2010). 2) Tingkat Pendidikan Pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir individu. Sedangkan pola pikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang dengan kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan berbeda degnan pola pikir seseorang yang berpendidikan tinggi (Asmadi, 2010). Pendidikan keperawatan mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku perawat dalam melakukan Hand hygiene (Asmadi, 2010). Dengan demikian pendidikan yang tinggi dari seorang perawat akan mempengaruhi perwat dalam memberikan teknik pelayanan pelaksanaan Hand hygiene yang optimal. 3) Masa kerja Masa kerja (lama kerja) adalah merupakan pengalaman individu yang akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan jabatan. Semakin lama seseorang bekerja maka tingkat prestasi akan semakin tinggi, prestasi yang tinggi didapat dari perilaku yang baik. Hidayat (2009), menyatkaan bahwa seseorang yang telah lama bekerja mempunyai wawasan yang lebih luas dan mempunyai pengalaman lebih banyak dalam perannya pembentukan petugas perilaku kesehatan. Masa kerja yang berorientasi pada permasalahan dasar dan berorientasi pada tugas dapat meningkatkan ketaatan dalam melakukan Hand hygiene. Dengan demikian masa kerja mempengaruhi tingkat seorang perawat dalam pelaksanaan prosedur Hand hygiene, dalam hal ini adalah sebelum dan sesudah kontak dengan pasien (Siagian, 2008). 4) Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Notoadmodjo (2010) menyetakan bahwa pengetahuan terdiri dari 6 tingkatan yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisa, sintesis, dan evaluasi. a) Tahu (know) Tahu artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalaman pengathuan, tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima b) Memahami (comprehension) Memahami artinya sebagi suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan mater tersebut secara benar. c) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagi kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. d) Analisa (analysis) Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu dengan yang lain. e) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam keseluruhan yang baru. f) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kammpuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu materi. Sebagian besar pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan faktor rendahnya pengetahuan perawat tentang pelaksanaan hand hygiene diantaranya adalah karena ketidaktahuan perwat tentang bagaimana mencegah terjadinya kontaminasi pada tangan, kurang mengerti tentang teknik melakukan hand hygiene yang benar dan ketidaktahuan perwat terhadap pentingnya program hand hygiene sebagai sebuah langkah efektif untuk mencegah HAIs. 5) Ketersediaan Fasilitas Untuk Mencuci Tangan Kurangnya ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan untuk pelaksanaan hand hygiene perawat meliputi tidak tersedianya fasilitas wastafel serta jarak yang jauh untuk menuju tempat cuci tangan. Damanik, dkk. (2010) menyatakan bahawa salah satu kendala dalam ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan hand hygiene adalah sulitnya mengakses tempat cuci tangan atau persediaan alat lainnya yang digunakan untuk melakukan hand hygiene. Kemudahan dalam mengakses persediaan alat-alat untuk melakukan hand hygiene, bak cuci tangan, sabun atau alkohol jell adalah sangat penting untuk membuat kepatuhan menjadi optimal sesuai standar. 6) Kebijakan Rumah Sakit Salah satu langkah dari pihak rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan perawat adalah dengan mengadakan pelatihan atau sosialisasi secara periodik terhadap pelaksanaan hand hygiene. Karena pelatihan dan sosialisasi dapat memberikan dampak yang positif terhadap sikap perwat dalam melakukan hand hygiene. Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa pelatihan merupakan melakukan perubahan perilaku afektif yang meliputi sikap seseorang terhadap sesuatu. Di sisi lain pelatihan dapat memberikan informasi kepada perawat untuk membentuk sikap positif dan meningkatkan keterampilan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit dalam menerapkan prosedur hand hygiene untuk mencegah terjadinya HAIs dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan menurunkan resiko kejadian HAIs serta pelaksanaan hand hygiene diharapkan dapat memperpendek hari perawatan dan biaya perawatan di rumah sakit (Lankford, et Al. 2009). 2. Kepatuhan a. Pengertian Kepatuhan Kepatuhan (adherence) adalah suatu bentuk perilaku yang timbul akibat adanya interaksi antara petugas kesehatan dan pasien sehingga pasien mengerti rencana dengan segala konsekwensinya dan menyetujui rencana tersebut serta melaksanakannya (Kemenkes RI, 2011). Menurut Smet (2004) dalam Emaliyawati (2010), kepatuhan adalah tingkat seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disrankan atau dibebankan kepadanya. Kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat perawat tersebut bekerja. Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku. Menurut Kelman dalam Emaliyawati (2010) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawal dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Kepatuhan pelaksanaan prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di tempat perawat tersebut bekerja. Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang dasar berperilaku. Menurut Kelman dalam Emaliyawati (2010) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses patuh, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpaham tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dnegan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut (change agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika perubahan tersebut menjadi mellaui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai-nilai lain dari hidupnya (Al-Assaf, 2010). b. Pengukuran Kepatuhan Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan menggunakan kuisioner yaitu dengan cara mengumpulkan data yang diperlukan untuk mengukur indikator-indikator yang telah dipilih. Indikator tersebut sangat diperlukan sebagi ukuran tidak langsung mengenai standar dan penyimpangan yang diukur melalui sejumlah tolak ukur atau ambang batas yang digunakan oleh organisasi merupakan petunjuk derajat kepatuhan terhadap standar tersebut. Suatu indikator merupakan suatu variabel (karakteristik) terukur yang dapat digunakan untuk menentukan derajat kepatuhan terhadap standar atau pencapaian tujuan mutu, di samping itu indikator juga memiliki karakteristik yang sama dengan standar, misalnya karakteristik itu harus reilabel, valid, jelas, mudah diterapkan, sesuai dengan kenyataan, dan juga dapat diukur (Al-Assaf, 2010). c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh faktor individu meliputi jenis kelamin, jenis pekerjaan, profesi, lama kerja dan tingkat pendidikan, serta faktor psikologis meliputi sikap, ketegangan dalam suasana kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko (Suryoputri, 2011). Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet (1994) dalam Damanik, dkk. (2010), mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, yaitu: 1) Faktor Internal a) Karakteristik perawat Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan dapat berupa tidak lain merupakan karakteristik perawat itu sendiri. Karakteristik perawat merupaan ciri-ciri pribadi yang dimiliki seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun sakit. Karakteristik perawat meliputi variable demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan) (Suryoputri, 2011). Menurut Smet (1994) dalam Damanik, dkk (2010), variable demografi berpengaruh terhadap kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung taat mengikuti anjuran atau peraturan di bidan gkesehatan. Data demografi yang mempengaruhi ketaatan misalnya jenis kelamin wanita, ras kulit putih, orang tua dan anak-anak terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. latar belakang pendidikan juga akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melaksanakan etos kerja. Semakin tinggi pendidikan seseorang, kepatuhan dalam pelaksanaan aturan kerja akan semakin baik. b) Kemampuan Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam pekerjaan yang meliputi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar dalam pekerjaan yang rumit, sedangkan kemampuan fisik mempunyai peranan penting untuk melakukan tugas yang menurut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan. Kemampuan seseorang bisa berbeda-beda dalam pelaksanaan mencuci tangan. Bagi perawat yang memiliki kemampuan melaksanakan akan cenderung patuh untuk melakukan cuci tangan (Suryoputri, 2011). c) Motivasi Motivasi adalah rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat yang mau berbuat dan bekerja sama secara optimal melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Suryoputri, 2011). Motivasi dapat mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Motivasi adalah daya penggerak dalam diri orang untuk melakukan aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan terntentu (Hamzah, 2008). Metode untuk meningkatkan motivasi seseorang ada dua metode, yaitu metode langsung dengan pemberian materi atau non materi secara langsung untuk memenuhi kebutuhan misalnya memberikan bonus atau hadiah, dan metode tidak langsung berupa fasilitas atau saran dalam upaya meningkatkan motivasi dalam mencuci tangan (Notoatmodjo, 2010). 2) Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan terdiri atas : a) Pola komunikasi Pola komunikasi dengan profesi lain yang dilakukan oleh perawat akan mempengaruhi tingkat kepatuhannya dalam melaksanakan tindakan. Aspek dalam komunikasi ini adalah ketidakpuasan terhadap hungungan emosional, ketidak puasan terhadap pendelegasian maupun kolaborasi yang diberikan (Suryoputri, 2011). b) Keyakinan/ nilai-nilai yang teterima perawat Smet (1994) dalam Damanik, dkk. (2010) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau perawatan dalam sistem pelayan kesehatan mempengaruhi kepatuhan perawat dalam melaksanakan peran dan fungsinya. c) Dukungan sosial Smet (1994) dalam Damanik, dkk. (2010) mengatakan dukungan sosial berpengaruh terhadap kepatuhan seseorang. Variabel- variabel sosial mempengaruhi kepatuhan perawat. Dukungan sosial memainkan peran terutama yang berasal dari komunitas internal perawat, petugas kesehatan lain, pasien maupun dukungan dari pimpinan atau manajer pelayan kesehatan serta keperawatan. d. Kriteria Kepatuhan Menurut Depkes RI (2006) kriteria kepatuhan dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah ataupun aturan dan semua aturan maupun perintah terseebut dilakukan dan semuanya benar. 2) Kurang patuh adalah suatu tindakan yang melaksanakan perintah dan aturan hanya sebagian dari yang ditetapkan, dan dengan sepenuhnya namun tidak sempurna. 3) Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak melaksanakan perintah atau aturan sama sekali. Untuk mendapatkan nilai kepatuhan yang lebih akurat atau terukur maka perlu ditentukan angka atau nilai dari tingkat kepatuhan tersebut, sehingga bisa dbuatkan rangking tingkat kepatuhan seseorang. Menurut Yayasan Spritia (2006) tingkat kepatuhan dapat dibedakan menjadi tiga tingaktan yaitu: 1) Patuh : 75%-100% 2) Kurang patuh : 50%-<75% 3) Tidak patuh : <50% 3. Karakteristik Perawat Karakteristik adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari demografi seperti jenis kelamin, umur serta status sosial seperti, tingkat pendidikan, pekerjaan, ras, status (Widianingrum, 2008) a. Umur Umur berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dan pola pikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Umur seseorang secara garis besar menjadi indikator dalam setiap mengambil keputusan yang mengacu pada setiap pengalamannya, dengan semakin banyak umur maka dalam menerima sebuah instruksi dan dalam melaksanakan suatu prosedur akan semakin bertanggung jawab dan berpengalaman. Semakin cukup umur seseorang akan semakin matang dalam berpikir dan bertindak (Evin, 2009). b. Jenis Kelamin Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai saran atau sebagi akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan spesies itu. Jenis kelamin adalah istilah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, dan dibawa sejak lahir dengan sejumlah sifat yang diterima orang sebagi karakteristik laki-laki dan perempuan (Dian, 2009). c. Tingkat Pendidikan Pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir individu. Sedangkan pola pikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang dengan kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan berbeda dengan pola pikir seseorang yang berpendidikan tinggi (Asmadi, 2010). Pendidikan keperawatan mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pelayanan keperawatan (Asmadi, 2010). Pendidikan yang tinggi dari seorang perawat akan memberi pelayanan yang optimal. d. Masa Kerja Kreitner dan Kinichi (2009) menyatakan bahwa masa kerja yang lama akan cenderung membuat seseorang betah dalam sebuah organisasi hal ini disebabkan karena telah beradaptasi dengan lingkungan yang cukup lama sehingga akan merasa nyaman dalam pekerjaannya. Semakin lama seseorang bekerja maka tingkat prsetasi akan semakin tinggi, prestasi yang tinggi didapat dari perilaku yang baik. e. Pengetahuan Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil “tahu” pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terhadap obyek terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, pendengan, penciuman, rasa, dan raba. Pada waktu pengindraan sampai menghasilkan pengetahuan sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian terhadap obyek, yang sebagian besar pengetahuan manusia dipengaruhi oleh mata dan telinga. Pengetahuan erat hubungannya dengan pendidikan, diharapkan dengan pendidikan yang tinggi maka seseorang akan semakin luas pengetahuannya, tetapi bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari pendidikan formal, tetapi juga dapat diperoleh dari pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang mengenai suatu obyek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek menentukan sikap seseorang semakin banyak aspek positif terhadap obyek yang diektahui maka akan menimbulkan sikap positif terhadap obyek terntentu (Asmadi, 2010).